Beranda / Rumah Tangga / Setelah Aku Kau Miliki / 4. Kita Pernah Saling Kehilangan

Share

4. Kita Pernah Saling Kehilangan

Penulis: Lis Susanawati
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-06 20:51:53

SETELAH AKU KAU MILIKI

Part 4 Kita Pernah Saling Kehilangan

"Aku sudah bersabar, Mas. Tapi lama-lama aku bisa gila di sini." Air mata Naima luruh.

"Aku kasihan anakku. Dia nggak punya siapa-siapa selain aku. Zahra sejak kecil nggak mengenal ayah kandungnya. Yang dia tahu, Mas Emirlah ayahnya. Namun dalam pernikahan ini, yang kupertaruhkan adalah mental anakku." Naima menatap lekat wajah suaminya. "Mari kita berpisah secara baik-baik."

Emir menahan napas. Mengendalikan gejolak tak terima dalam dadanya yang terasa sesak. Satu kata itu tidak ingin didengarnya dari mulut Naima. "Nai, setelah Zahra tidur nanti. Kita bahas ini di kamar," ucap Emir dengan nada pelan.

Dengan kasar Naima menghapus air matanya. Kemudian berbalik dan melangkah ke kamarnya anak-anak.

Bocah itu terdiam di tepi tempat tidurnya. Naima menghampiri. "Zahra, gosok gigi dulu. Setelah itu bobok, ya."

"Mama, temani Zahra, ya?"

Naima merangkul anaknya. "Ya, Mama temani, Sayang. Yuk, kita gosok gigi dulu."

"Hu um." Zahra turun dan digandeng Naima keluar kamar. Melangkah ke arah kamar mandi di dekat dapur. Emir yang masih berdiri di dekat ruang makan, menghampiri mereka. Menunggu sampai selesai. "Sini Papa gendong."

Zahra manut saja saat Emir meraih tubuh kecilnya. Mereka bertiga masuk kamar. Ketika baru saja menurunkan Zahra, dari luar kamar terdengar Bu Anjar memanggil. "Mir, Aurel nyariin kamu," teriaknya cukup keras.

Naima langsung menghampiri anaknya. "Pergilah, Mas. Biar Zahra sama aku."

"Zahra, yuk baca doa sebelum tidur!"

Gadis kecil itu mengangguk sambil memandang Emir yang keluar kamar. Di depan pintu, Bu Anjar menunggu dengan tatapan sengit. "Kau belain anak perempuan itu. Sampai lupa nggak merhatiin anak sendiri."

Tanpa menanggapi ucapan sang mama, Emir langsung masuk ke kamar. Di mana Aurel duduk manyun sambil memegangi kuda poninya. "Aurel, mari bobok di kamarmu sendiri. Bersama-sama dengan Zahra," bujuk Emir.

"Nanti mainanku diambil Zahra, Pa." Bocah kecil itu memberengut.

"Apa pernah Zahra mengambil mainan Aurel?"

Aurel mengangguk.

"Dikembalikan, kan?"

"Iya. Dia pinjam, Pa."

"Kan Zahra bilangnya pinjam. Itu bukan mengambil. Oke. Yuk, kita ke kamar Aurel saja. Bisa bobok bareng Zahra di sana." Emir mengulurkan tangan pada anaknya. Bocah itu nurut juga.

Namun di depan pintu, ada Bu Anjar yang hendak masuk kamar. "Loh, kalian mau ke mana?" tanya wanita itu dengan tatapan tajamnya.

"Biar Aurel belajar tidur di kamarnya sendiri, Ma."

"Nggak usah. Biar tidur sama Mama saja. Nanti bocah itu macem-macem sama cucuku."

Emir memandang sang anak. Dan menyuruh Aurel pergi lebih dulu ke kamarnya. Sebab Emir tidak ingin putrinya mendengar percakapannya dengan sang mama. Bu Anjar tidak bisa mencegah.

"Mereka ini saudara, Ma. Biar mereka belajar untuk rukun dengan saudara sendiri."

"Perempuan itu benar-benar sudah mempengaruhimu. Sampai kapanpun mama nggak akan nganggap dia sebagai mantu. Apa keluarga ayah si Zahra itu nggak ada? Walaupun ibunya nikah lagi, tapi mereka harus tetap bertanggung jawab terhadap anak yang ditinggalkan oleh saudaranya. Zahra itu bukan tanggung jawabmu."

"Ma, Zahra itu yatim. Kenapa Mama tega bicara seperti itu?"

"Mama tahu dia yatim. Tapi itu bukan tanggung jawabmu."

"Kenapa Mama bicara seperti ini? Aku nggak pernah mengabaikan Aurel dan Mama, walaupun ada Naima dan Zahra."

Bu Anjar bersungut kesal, lalu masuk ke kamarnya. Emir masuk ke kamar anak-anak. Saat itu Naima sedang menyelimuti Aurel yang baru saja berbaring. Sementara Zahra sudah terlelap.

"Aurel mau sama Papa saja," rengeknya. Dan Naima memilih untuk mundur.

Dulu Aurel juga sangat dekat dengannya. Sangat sayang dan penurut. Sebelum mamanya intens menemui dan sang nenek terlalu banyak drama. Sekarang Aurel jauh berubah.

Naima menyusun mainan anak-anak. Tentu saja di rak yang berbeda. Dan yang paling banyak mainannya Aurel. Jika mereka akur, pasti seru kalau sedang bermain bersama. Tapi rasanya sulit, mereka bisa anteng duduk bermain berdua.

Setelah Aurel terlelap, ia dan Emir meninggalkan kamar mereka dan masuk ke peraduannya sendiri. Duduk berdua di tepian tempat tidur.

"Aku udah nggak sanggup lagi, Mas." Naima mulai bicara. Membuat Emir menelan ludah.

"Barusan aku mendengar apa yang diomongkan Mama tadi. Beliau benar, Zahra memang bukan tanggung jawab ayah tirinya. Keluarga Mas Ridho yang harus bertanggung jawab sebenarnya."

"Nggak usah hiraukan omongan Mama tadi."

Naima menarik napas dalam-dalam. "Aku kasihan sama Zahra. Dia seolah hidup dari dari belas kasihan orang-orang yang membencinya."

"Mas nggak benci Zahra."

Naima tersenyum getir. "Anak itu setiap hari harus menghadapi tatapan dan perlakuan kebencian." Naima berhenti sebentar, berusaha menahan isak. "Aku nggak akan mengorbankan anakku demi cinta. Demi pernikahan ini sekalipun, aku nggak rela kalau Zahra terus tertekan di sini. Mumpung kita belum punya anak, kita berpisah saja, Mas."

"Nai, sepuluh tahun yang lalu kita pernah saling kehilangan. Mas nggak ingin ini terulang lagi. Kita akan memperbaiki ini. Kamu dan Zahra adalah milikku dan tanggung jawabku. Aku sayang kalian. Jangan pernah ragukan itu."

"Ketika kita dihadapkan pada persolan seperti ini. Tentang kesehatan mental anakku, cinta bukan alasan yang tepat untuk bertahan." Naima menatap lekat pria di depannya. Lelaki yang sebenarnya masih ia cintai hingga saat ini.

"Kalau Mas nggak bisa ngasih solusi. Aku dan Zahra benar-benar akan pergi," ucap Naima tanpa ragu.

Ucapan itu membuat Emir tercekat. "Mas akan carikan tempat tinggal baru untukmu dan Zahra. Sementara tinggal di sana dulu, sampai Mas bisa membujuk Mama."

"Biar kami pulang ke rumah bapakku saja, Mas."

"Jangan. Kalian tanggung jawabku," cegah Emir lantas memeluk istrinya.

🖤LS🖤

Siang sepulang sekolah, terdengar tangisan kencang dari kamar anak-anak. Naima yang sedang di belakang bersama ART segera berlari masuk. Namun sudah keduluan oleh Bu Anjar. "Kau apakan cucuku?" bentak wanita itu pada Zahra.

Gadis kecil itu mengkerut ketakutan. "A-Aurel jatuh sendiri, Nek," jawab Zahra gagap.

"Nggak mungkin jatuh sendiri kalau nggak kamu dorong." Suara Bu Anjar masih meninggi dengan matanya yang melotot tajam.

Naima masuk lantas memeluk anaknya. Melihat wajah ketakutan Zahra, membuat Naima pias. "Ma, Maaf. Apa harus membentak. Bisa ditanyakan baik-baik, kan?" Ia sudah kehilangan kesabaran.

Sambil terisak-isak, Zahra bilang ke mamanya kalau Aurel lompat-lompat di atas tempat tidur, terus terpeleset jatuh.

"Anakmu itu pembohong. Kamu juga berani mengaturku sekarang."

"Bukan mengatur, Ma. Mereka ini masih anak-anak."

"Sejak dulu aku nggak suka sama kamu, anak preman. Bawa anakmu pergi dari sini. Bawa semua barangmu. Jangan sampai ada yang tertinggal."

Tanpa pikir panjang, Naima menggendong Zahra keluar kamar. Ia menurunkan koper besar dari atas lemari dan memberesi semua barang-barang. "Kita pergi, Zahra. Kamu segalanya bagi Mama."

"Ibu, mau pergi?" tanya ART menghampiri Naima dengan tubuh gemetar karena ketakutan.

"Iya, Mak. Bilang ke Bapak kalau saya dan Zahra nggak akan kembali ke sini. Kasihkan surat ini. Oh ya, nanti tolong kemaskan barang saya dan Zahra yang tersisa. Buang saja, Mak," ucap Naima sambil memberikan secarik kertas.

Setelah itu Naima mengendong Zahra dan melangkah keluar rumah.

Next ....

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
kreasiniche.cik
wah akhirnya naima dan zahra pergi juga, dah lah tinggalin aja emir yang masih menikmati dilemanya .........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Setelah Aku Kau Miliki    6. Sesal

    SETELAH AKU KAU MILIKI - Sesal"Bu Nai pergi jam dua belas tadi, Pak," jawab Mak Tam dengan tubuh gemetar saat menerima bosnya duduk di ruang tamu, di rumahnya yang sangat sederhana.Saat melihat Emir berbelok menuju rumahnya tadi, Mak Tam sudah panas dingin."Apa yang terjadi, Mak?"Wanita usia lima puluh tahun itu terlihat kebingungan sekaligus takut. Dia harus jujur atau menutupi karena sudah diancam oleh Bu Anjar. "Kalau sampai kamu buka mulut, jangan harap bisa bekerja di sini lagi." Wanita itu takut karena pekerjaan itu penting baginya."Mak, kenapa diam?" tanya Emir semakin gusar."Maaf, Pak. Saya sebenarnya kurang tahu apa yang terjadi tadi.""Apa benar, Naima memang sengaja pergi meninggalkan rumah? Atau ada sesuatu yang membuatnya pergi?" Emir terus mendesak. Menyebabkan Mak Tam kian terpojok. Wajah wanita itu pias dan pucat. Membuat Emir semakin yakin kalau telah terjadi sesuatu. Jika memang tak ada apapun, Mak Tam pasti sudah bicara."Jujur saja, Mak.""Nanti Pak Emir mem

  • Setelah Aku Kau Miliki    5. Pergi

    SETELAH AKU KAU MILIKI- Pergi"Ma, kita mau ke mana?" tanya Zahra tampak kebingungan. "Kita pergi jauh. Biar Zahra nggak ketakutan lagi kalau Nenek Anjar marah-marah. Biar Zahra nggak selalu disalahkan sama nenek. Zahra nanti tinggal bersama Mama saja," jawab Naima terus melangkah sambil menyeret kopernya. Dia agak kesulitan karena sambil menggendong Zahra."Zahra, jalan sendiri ya. Sampai depan sana. Nanti kita naik taksi," kata Naima."Iya," jawab Zahra lantas minta turun.Tangan kiri Naima mengandeng anaknya, sedangkan tangan kanan menarik koper. Saat itu matahari tepat berada di atas kepala. Panas musim kemarau membakar bumi. Dan mereka terus saja melangkah keluar perumahan. Suasana saat itu juga sepi. Cuaca panas membuat orang-orang malas keluar rumah. "Ma, kita nanti nggak bisa ketemu Papa lagi?" tanya Zahra di tengah terik matahari.Naima menatap anaknya lalu tersenyum. "Yang penting Zahra nggak dimarahi nenek dan Aurel lagi."Zahra lalu diam sambil menatap lurus ke depan. N

  • Setelah Aku Kau Miliki    4. Kita Pernah Saling Kehilangan

    SETELAH AKU KAU MILIKIPart 4 Kita Pernah Saling Kehilangan "Aku sudah bersabar, Mas. Tapi lama-lama aku bisa gila di sini." Air mata Naima luruh. "Aku kasihan anakku. Dia nggak punya siapa-siapa selain aku. Zahra sejak kecil nggak mengenal ayah kandungnya. Yang dia tahu, Mas Emirlah ayahnya. Namun dalam pernikahan ini, yang kupertaruhkan adalah mental anakku." Naima menatap lekat wajah suaminya. "Mari kita berpisah secara baik-baik."Emir menahan napas. Mengendalikan gejolak tak terima dalam dadanya yang terasa sesak. Satu kata itu tidak ingin didengarnya dari mulut Naima. "Nai, setelah Zahra tidur nanti. Kita bahas ini di kamar," ucap Emir dengan nada pelan. Dengan kasar Naima menghapus air matanya. Kemudian berbalik dan melangkah ke kamarnya anak-anak. Bocah itu terdiam di tepi tempat tidurnya. Naima menghampiri. "Zahra, gosok gigi dulu. Setelah itu bobok, ya.""Mama, temani Zahra, ya?"Naima merangkul anaknya. "Ya, Mama temani, Sayang. Yuk, kita gosok gigi dulu.""Hu um." Zahr

  • Setelah Aku Kau Miliki    3. Tak Kuat Lagi

    SETELAH AKU KAU MILIKI- Tak Kuat Lagi"Ma, bagus kuda poni milik Aurel," bisik lirih Zahra pada mamanya. Gadis kecil itu memegangi tangan Naima."Iya. Kapan-kapan Mama beliin, ya.""Hu um." Zahra mengangguk sambil terus memandangi Aurel yang sedang membongkar tas-tas berisi mainan. Namanya anak-anak, jika saudaranya punya mainan baru, pasti Zahra juga teringin.Emir bangkit dari duduknya, lalu menghampiri Zahra dan mengulurkan tangan. "Ayo, kita main bareng-bareng sama Aurel." Zahra menyambut tangan papa tirinya. Kemudian melangkah pelan ke ruang tengah. Saat bersamaan Bu Anjar keluar kamar. Zahra semakin berpegangan erat pada Emir karena takut.Yesi dan Bu Anjar ngobrol begitu akrab. Terkadang tawa menyelingi percakapan mereka tentang masa lalu, tanpa memikirkan perasaan Naima. Sedangkan Zahra dan Aurel bermain di depan diawasi oleh Emir. Naima sibuk di dapur.Keadaan seperti ini, sudah hampir setahun ia alami. Lalu sampai kapan sanggup bertahan lagi? Aurel ini kalau bermain diawa

  • Setelah Aku Kau Miliki    2. Apa aku yang salah?

    SETELAH AKU KAU MILIKI- Apa Aku yang Salah?"Kalian baru dua tahun menikah, belum terlambat untuk membuat keputusan. Lagian kalian juga belum punya anak." Kata-kata itu kembali menghantam dada Naima. Ia mematung dibalik tembok."Mama sejak dulu kan sudah bilang sih, Mir. Ngapain kamu nikahi janda itu. Bikin susah saja anaknya. Nanti lama kelamaan, Aurel yang kalah.""Ma, mereka masih kanak-kanak. Nanti usia bertambah, akan semakin mengerti.""Kamu selalu membelanya, kan? Perempuan itu sudah menghasutmu. Apa yang dikatakannya padamu, hingga kamu begitu tunduk padanya. Sampai nggak mau dengerin Mama. Apa kamu nggak kasihan sama anakmu?"Mama nggak habis pikir. Bisa-bisanya kamu nikahin anak preman itu. Nah sekarang cucunya jadi preman perempuan. Masih kecil dah pinter membully."Pertahanan Naima benar-benar runtuh. Air matanya tumpah tak terbendung mendengar ucapan mertuanya tentang masa lalu ayahnya. Ya, ayahnya dulu memang seorang preman. Tapi itu dulu sekali sebelum menikah. Sudah b

  • Setelah Aku Kau Miliki    1. Hanya Anak-anak

    SETELAH AKU KAU MILIKI - Hanya Anak-anak"Hai, Mas. Baru pulang kerja?" Yesi tersenyum ramah pada Emir yang muncul di pintu. Pria itu membalas senyum mantan istrinya sekilas. Lalu menyambut tangan dua anak perempuan usia tujuh tahun yang berebut menyalaminya.Emir mengusap kepala anak kandung dan anak tirinya. Lantas kedua gadis kecil itu kembali duduk di pangkuan mamanya masing-masing."Kenapa lengan Aurel terluka?" Emir yang baru duduk memperhatikan tangan putri kandungnya yang tergores. Masih tampak memerah oleh bekas darah yang mengering."Jatuh katanya, Mas." Yesi menjawab sambil memperhatikan luka itu."Nggak sengaja tadi. Senggolan sama Zahra di halaman, Mas." Naima menjelaskan sambil memandang sang suami. Sementara Yesi ini mantan istrinya Emir yang sudah bercerai tiga tahun lalu."Di dorong sama Zahra tadi," sahut Bu Anjar dengan tatapan sinis pada Zahra. Naima kian erat memeluk putrinya yang selalu ketakutan di depan nenek tirinya. Naima memilih diam untuk menghindari ker

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status