MasukSETELAH AKU KAU MILIKI
Part 4 Kita Pernah Saling Kehilangan "Aku sudah bersabar, Mas. Tapi lama-lama aku bisa gila di sini." Air mata Naima luruh. "Aku kasihan anakku. Dia nggak punya siapa-siapa selain aku. Zahra sejak kecil nggak mengenal ayah kandungnya. Yang dia tahu, Mas Emirlah ayahnya. Namun dalam pernikahan ini, yang kupertaruhkan adalah mental anakku." Naima menatap lekat wajah suaminya. "Mari kita berpisah secara baik-baik." Emir menahan napas. Mengendalikan gejolak tak terima dalam dadanya yang terasa sesak. Satu kata itu tidak ingin didengarnya dari mulut Naima. "Nai, setelah Zahra tidur nanti. Kita bahas ini di kamar," ucap Emir dengan nada pelan. Dengan kasar Naima menghapus air matanya. Kemudian berbalik dan melangkah ke kamarnya anak-anak. Bocah itu terdiam di tepi tempat tidurnya. Naima menghampiri. "Zahra, gosok gigi dulu. Setelah itu bobok, ya." "Mama, temani Zahra, ya?" Naima merangkul anaknya. "Ya, Mama temani, Sayang. Yuk, kita gosok gigi dulu." "Hu um." Zahra turun dan digandeng Naima keluar kamar. Melangkah ke arah kamar mandi di dekat dapur. Emir yang masih berdiri di dekat ruang makan, menghampiri mereka. Menunggu sampai selesai. "Sini Papa gendong." Zahra manut saja saat Emir meraih tubuh kecilnya. Mereka bertiga masuk kamar. Ketika baru saja menurunkan Zahra, dari luar kamar terdengar Bu Anjar memanggil. "Mir, Aurel nyariin kamu," teriaknya cukup keras. Naima langsung menghampiri anaknya. "Pergilah, Mas. Biar Zahra sama aku." "Zahra, yuk baca doa sebelum tidur!" Gadis kecil itu mengangguk sambil memandang Emir yang keluar kamar. Di depan pintu, Bu Anjar menunggu dengan tatapan sengit. "Kau belain anak perempuan itu. Sampai lupa nggak merhatiin anak sendiri." Tanpa menanggapi ucapan sang mama, Emir langsung masuk ke kamar. Di mana Aurel duduk manyun sambil memegangi kuda poninya. "Aurel, mari bobok di kamarmu sendiri. Bersama-sama dengan Zahra," bujuk Emir. "Nanti mainanku diambil Zahra, Pa." Bocah kecil itu memberengut. "Apa pernah Zahra mengambil mainan Aurel?" Aurel mengangguk. "Dikembalikan, kan?" "Iya. Dia pinjam, Pa." "Kan Zahra bilangnya pinjam. Itu bukan mengambil. Oke. Yuk, kita ke kamar Aurel saja. Bisa bobok bareng Zahra di sana." Emir mengulurkan tangan pada anaknya. Bocah itu nurut juga. Namun di depan pintu, ada Bu Anjar yang hendak masuk kamar. "Loh, kalian mau ke mana?" tanya wanita itu dengan tatapan tajamnya. "Biar Aurel belajar tidur di kamarnya sendiri, Ma." "Nggak usah. Biar tidur sama Mama saja. Nanti bocah itu macem-macem sama cucuku." Emir memandang sang anak. Dan menyuruh Aurel pergi lebih dulu ke kamarnya. Sebab Emir tidak ingin putrinya mendengar percakapannya dengan sang mama. Bu Anjar tidak bisa mencegah. "Mereka ini saudara, Ma. Biar mereka belajar untuk rukun dengan saudara sendiri." "Perempuan itu benar-benar sudah mempengaruhimu. Sampai kapanpun mama nggak akan nganggap dia sebagai mantu. Apa keluarga ayah si Zahra itu nggak ada? Walaupun ibunya nikah lagi, tapi mereka harus tetap bertanggung jawab terhadap anak yang ditinggalkan oleh saudaranya. Zahra itu bukan tanggung jawabmu." "Ma, Zahra itu yatim. Kenapa Mama tega bicara seperti itu?" "Mama tahu dia yatim. Tapi itu bukan tanggung jawabmu." "Kenapa Mama bicara seperti ini? Aku nggak pernah mengabaikan Aurel dan Mama, walaupun ada Naima dan Zahra." Bu Anjar bersungut kesal, lalu masuk ke kamarnya. Emir masuk ke kamar anak-anak. Saat itu Naima sedang menyelimuti Aurel yang baru saja berbaring. Sementara Zahra sudah terlelap. "Aurel mau sama Papa saja," rengeknya. Dan Naima memilih untuk mundur. Dulu Aurel juga sangat dekat dengannya. Sangat sayang dan penurut. Sebelum mamanya intens menemui dan sang nenek terlalu banyak drama. Sekarang Aurel jauh berubah. Naima menyusun mainan anak-anak. Tentu saja di rak yang berbeda. Dan yang paling banyak mainannya Aurel. Jika mereka akur, pasti seru kalau sedang bermain bersama. Tapi rasanya sulit, mereka bisa anteng duduk bermain berdua. Setelah Aurel terlelap, ia dan Emir meninggalkan kamar mereka dan masuk ke peraduannya sendiri. Duduk berdua di tepian tempat tidur. "Aku udah nggak sanggup lagi, Mas." Naima mulai bicara. Membuat Emir menelan ludah. "Barusan aku mendengar apa yang diomongkan Mama tadi. Beliau benar, Zahra memang bukan tanggung jawab ayah tirinya. Keluarga Mas Ridho yang harus bertanggung jawab sebenarnya." "Nggak usah hiraukan omongan Mama tadi." Naima menarik napas dalam-dalam. "Aku kasihan sama Zahra. Dia seolah hidup dari dari belas kasihan orang-orang yang membencinya." "Mas nggak benci Zahra." Naima tersenyum getir. "Anak itu setiap hari harus menghadapi tatapan dan perlakuan kebencian." Naima berhenti sebentar, berusaha menahan isak. "Aku nggak akan mengorbankan anakku demi cinta. Demi pernikahan ini sekalipun, aku nggak rela kalau Zahra terus tertekan di sini. Mumpung kita belum punya anak, kita berpisah saja, Mas." "Nai, sepuluh tahun yang lalu kita pernah saling kehilangan. Mas nggak ingin ini terulang lagi. Kita akan memperbaiki ini. Kamu dan Zahra adalah milikku dan tanggung jawabku. Aku sayang kalian. Jangan pernah ragukan itu." "Ketika kita dihadapkan pada persolan seperti ini. Tentang kesehatan mental anakku, cinta bukan alasan yang tepat untuk bertahan." Naima menatap lekat pria di depannya. Lelaki yang sebenarnya masih ia cintai hingga saat ini. "Kalau Mas nggak bisa ngasih solusi. Aku dan Zahra benar-benar akan pergi," ucap Naima tanpa ragu. Ucapan itu membuat Emir tercekat. "Mas akan carikan tempat tinggal baru untukmu dan Zahra. Sementara tinggal di sana dulu, sampai Mas bisa membujuk Mama." "Biar kami pulang ke rumah bapakku saja, Mas." "Jangan. Kalian tanggung jawabku," cegah Emir lantas memeluk istrinya. 🖤LS🖤 Siang sepulang sekolah, terdengar tangisan kencang dari kamar anak-anak. Naima yang sedang di belakang bersama ART segera berlari masuk. Namun sudah keduluan oleh Bu Anjar. "Kau apakan cucuku?" bentak wanita itu pada Zahra. Gadis kecil itu mengkerut ketakutan. "A-Aurel jatuh sendiri, Nek," jawab Zahra gagap. "Nggak mungkin jatuh sendiri kalau nggak kamu dorong." Suara Bu Anjar masih meninggi dengan matanya yang melotot tajam. Naima masuk lantas memeluk anaknya. Melihat wajah ketakutan Zahra, membuat Naima pias. "Ma, Maaf. Apa harus membentak. Bisa ditanyakan baik-baik, kan?" Ia sudah kehilangan kesabaran. Sambil terisak-isak, Zahra bilang ke mamanya kalau Aurel lompat-lompat di atas tempat tidur, terus terpeleset jatuh. "Anakmu itu pembohong. Kamu juga berani mengaturku sekarang." "Bukan mengatur, Ma. Mereka ini masih anak-anak." "Sejak dulu aku nggak suka sama kamu, anak preman. Bawa anakmu pergi dari sini. Bawa semua barangmu. Jangan sampai ada yang tertinggal." Tanpa pikir panjang, Naima menggendong Zahra keluar kamar. Ia menurunkan koper besar dari atas lemari dan memberesi semua barang-barang. "Kita pergi, Zahra. Kamu segalanya bagi Mama." "Ibu, mau pergi?" tanya ART menghampiri Naima dengan tubuh gemetar karena ketakutan. "Iya, Mak. Bilang ke Bapak kalau saya dan Zahra nggak akan kembali ke sini. Kasihkan surat ini. Oh ya, nanti tolong kemaskan barang saya dan Zahra yang tersisa. Buang saja, Mak," ucap Naima sambil memberikan secarik kertas. Setelah itu Naima mengendong Zahra dan melangkah keluar rumah. Next ....Ketegangan mulai melunak. Aprilia mengeluarkan dua kotak kecil, kado untuk Aurel dan Zahra. "Ini kado dari Nenek, ya. Ayo kalian terima.""Tante, Nenek sudah ngasih sepatu sama Aurel kemarin," ujar Aurel."Nggak apa-apa. Ini hadiah kembaran untuk kalian," jawab Aprilia. Dua hari yang lalu mama mertuanya minta tolong padanya untuk memberikan dua kalung emas yang liontinnya merupakan inisial nama Aurel dan Zahra."Terima kasih, Nek." Zahra bicara sambil menyentuh tangan Bu Anjar. Aurel juga melakukan hal yang sama."Dipakai selama liburan, ya. Kalau sekolah nggak boleh pakai perhiasan kecuali anting-anting." Naima memberitahu dua anaknya.Dua gadis kecil itu mengangguk.Kemudian mereka duduk berbincang-bincang. Emir menceritakan kedatangan pamannya Zahra dari Kalimantan. Cerita maksud kedatangannya mencari Zahra. Intinya untuk tanggung jawab. Ia juga menjelaskan kenapa mereka diam untuk beberapa tahun ini, karena kondisi mereka sedang tidak baik-baik saja. Emir sengaja membahasnya di de
"Sewaktu Kak Ridho baru meninggal, kondisi kami nggak baik-baik saja karena Papa sakit, Mbak. Beliau shock juga mendengar Kakak nggak ada. Saya sendiri juga masih tahap nyari pekerjaan waktu itu. Sedangkan kakak satunya juga baru menikah." Cerita Rony. Dia adiknya Ridho yang nomer dua. Mereka tiga bersaudara."Nggak apa-apa, Ron. Mbak juga ngerti. Alhamdulillah, kami baik-baik saja di sini bersama Mas Emir." Naima memandang pada suaminya. Tentu saja Naima tidak menceritakan kisah pahit yang dijalani selama ini.Rony manggut-manggut sambil menatap Emir. Melihat keadaan mereka, Rony yakin kalau kakak ipar dan keponakannya bersama orang yang tepat. Rumahnya besar dan mewah. Naima juga sudah berhijab. Zahra sangat terawat. Emir kelihatan sosok yang sangat bertanggung jawab dan melindungi."Ketika Papa sudah mulai pulih, kami menghubungi Mbak Naima. Tapi sudah nggak bisa. Papa sempat kepikiran, karena Zahra sebenarnya tanggung jawab kami."Emir yang duduk dengan tenang merasa kagum dengan
SETELAH AKU KAU MILIKI - 54 Tamu Dari JauhEmir melangkah ke arah pintu pagar. Dadanya sedikit berdebar saat memandang wajah pria itu. Dia seperti teringat seseorang yang tidak seberapa dikenalnya."Assalamu'alaikum," ucap lelaki yang berdiri di luar pagar, saat Emir membuka pintu."Wa'alaikumsalam. Maaf, Mas mencari siapa, ya?"Lelaki itu mengulurkan tangannya. "Saya Rony. Benarkah ini rumah Mas Emir suaminya Mbak Naima Fahira?""Ya, saya sendiri. Emir.""Saya adiknya Kak Ridho. Almarhum suaminya Mbak Naima. Maaf, kalau kedatangan saya mengganggu. Tadi saya ke alamatnya Mbak Naima, lalu di kasih tahu sama tetangga di sana, tentang Mas Emir dan alamat rumah ini. Saya datang dari Samarinda, Mas. Ingin bertemu ponakan saya. Maulida. Baru kali ini saya bisa berkunjung setelah kepergian kakak saya."Emir sekarang ingat dengan wajah itu. Mirip sekali dengan Ridho. Dia tidak pernah bertemu Ridho. Hanya melihat dari foto yang ada di rumah Naima waktu itu. Tapi masih lumayan ingat bagaimana
"Nggak pakai kausnya Mas malam ini?" tanya Emir sambil memandang istrinya.Spontan Naima memandang sang suami. "Zahra yang ngasih tahu," lanjut Emir. Membuat wajah Naima bersemu merah karena malu. Bisa-bisanya Zahra bocor pada papanya. Lalu apalagi yang diceritakan anak itu.Tapi kalau malam ini tidak memakai baju Emir, karena suaminya sedang bersamanya. Bukankah aroma tubuhnya yang digandrungi selama hamil ini. Duh, Naima mendadak melankolis. Dadanya sesak ingin menangis di pelukan suaminya. 'Sungguh kamu bikin malu ibu, Nak.'"Sini!" Emir menarik pelan lengan istrinya. Dan Naima tidak bisa menahan diri dan benar-benar menangis di dada sang suami. Emir mendekapnya erat. Semenjak kehamilan ini, ia menjadi berbeda. Apa ini bawaan bayi?Hari-hari yang dilalui tanpa Emir, dia menjadi sosok ibu yang kuat. Bahkan sanggup merahasiakan segala keluhan agar suaminya tidak khawatir. Tapi malam ini, Naima menyerah dan ingin dimanja. Untung anak-anak tidur lebih cepat.Malam beranjak larut dan
Emir membantu menata makanan di atas meja. Ada ayam goreng, ikan bakar, sup hangat, sambal matah, lalapan, dan buah-buahan yang kini memenuhi meja makan. Ia memanggil anak-anak, sedangkan Naima mencuci anggur dan memotong apel.Malam itu suasana ruang makan begitu hangat. 🖤Di Tulungagung, mobil Yesi melaju pelan menembus jalanan yang mulai sepi. Dia sedang perjalanan pulang dari rumah mamanya.Masih terngiang bagaimana percakapannya dengan mantan suaminya tadi. Lelaki yang seharusnya memaki-maki karena sudah dijebak, tapi Emir hanya memberikan ultimatum bahwa dirinya tidak bisa menemui Aurel dalam waktu dekat. Dan itu memang hukuman yang paling berat bagi seorang ibu."Aurel sudah liburan, Mbak nggak mau mengajaknya ke sini. Bisa dikenalin sama Mas Doni sebagai ayah sambungnya. Toh Mas Doni juga kelihatan welcome banget menerima kenyataan tentang kalian." Weni berkata demikian saat mereka ngobrol berdua di rumah mamanya.Mendengar itu Yesi masih diam."Nggak usah kelamaan mikir. Se
SETELAH AKU KAU MILIKI - 53 Ingin Bertemu "Halo," sapa Emir dengan dingin setelah menjauh dari anak-anak."Aku ingin bertemu Aurel. Dia sudah liburan sekolah, kan? Biarlah beberapa hari bersamaku." Suara Yesi di seberang. Kali ini nada suaranya merendah."Kamu ingin mengenalkan Aurel pada Papa barunya?" todong Emir. Hening. Saat itu Emir benar-benar mengendalikan emosinya biar tidak meledak. Kalau ikutkan kata hati, ingin rasanya memaki Yesi karena telah merencanakan jebakan untuknya malam itu. Namun ia menahan diri. Ingat kalau sekarang Naima sedang hamil dan dia sedang berada di hadapan anak-anak."Aku kangen sama dia. Paling nggak biarkan dua atau tiga hari bersamaku. Liburannya panjang, kan?""Aku nggak tega dia bersamamu untuk saat-saat sekarang ini.""Maaf. Aku benar-benar minta maaf atas kejadian beberapa hari yang lalu. Mungkin kamu nggak akan memaafkanku. Tapi tolong izinkan aku bertemu Aurel." "Kamu masih punya muka juga bertemu dengan anakmu. Jujur saja, aku nggak ingi







