Share

Bab 5

Aku dikejutkan dengan lambaian tangan Pak Pram, ia membuyarkan lamunanku yang seketika membayangkan wajah sangar suamiku ketika ia marah. Gigi gingsul dari senyum Pak Pram terlihat ketika menatapku yang gelagapan saat ia mengejutkanku.

"Maaf, kalau bikin kaget, abis wajahmu kelihatan kaku gitu," celetuk Pak Pram.

Bagaimana tidak kaku, setelah membaca ancaman Mas Dimas, dapat dipastikan aku pulang takkan selamat dari cengkraman laki-laki yang hanya memanfaatkan ragaku ini.

"Masih bengong juga?" tanya Pak Pram memastikan sekali lagi.

"Hm, maaf, Pak. Saya hanya kepikiran---" Aku tak melanjutkan ucapanku.

"Kepikiran apa? Dimas kah yang kau maksud?" cecarnya membuatku tambah gugup.

"I-iya, Pak. Suami saya galak," jawabku.

Aku menghela napas sambil memejamkan mata. Entah ini pilihan baik atau buruk menceritakan aib rumah tangga terhadap orang lain. Terlebih lagi yang aku dengar dari ibu, kalau Pak Pram ini adalah pemilik perusahaan di mana tempat Mas Dimas bekerja.

"Nanti kita bicarakan lagi, saya pamit pulang dulu, sekali lagi saya minta maaf sudah lancang baca isi pesan suamimu tadi," papar Pak Pram.

Aku pun tersenyum sambil mengangguk, kemudian membiarkan ia pamit untuk pulang setelah mengembalikan ponselku yang tertinggal.

Ibu dan aku mengantarkan sampai depan, kemudian ia membuka kaca mobilnya sesaat sebelum sopir melajukan kendaraannya.

"Pikirkan tawaran Papa tadi, kalian bisa ke tempat kami kapan pun itu. Soal ancaman Dimas tadi, akan saya coba bicarakan dengan Papa solusi untuk menolong kamu dari ancamannya itu," ucap Pak Pram kemudian menutup kaca jendela mobilnya begitu saja, padahal aku belum sempat mengangguk ataupun menjawab segala ucapannya.

Setelah ia pergi, aku pun kembali ke dalam bersama ibu. Ia yang sudah kuceritakan sebagian pun menanyakan isi pesan Mas Dimas barusan. Tanpa menceritakan padanya, aku langsung memberikan ponselku pada ibu, jadi ia bisa baca sendiri apa yang Mas Dimas kirim barusan.

"Astaga, ternyata firasat almarhum Bapak benar," ucap ibu.

Aku menelan ludah sambil meraih kembali ponsel milikku.

"Bapak pernah berfirasat apa, Bu?" tanyaku padanya.

Ibu terdiam sejenak, kemudian yang menghela napas sambil menumpuk telapak tangan ini di atas tangannya.

"Kan sebelum kami memutuskan untuk ke Kalimantan, Bapak dan Ibu menemui mertuamu, dia mencaci maki kami dengan semua sebutan yang pantas untuk orang susah, Bu Dewi mengutuk kami dengan segala kata-kata pedasnya. Di situlah bapakmu punya firasat bahwa kamu takkan bahagia, meskipun dia memastikan Inggit akan mendapatkan sandang, papan, pangan," ungkap ibu.

Hatiku mencelos mendengarnya. Ternyata bukan hanya aku yang dicaci maki oleh mertuaku, kedua orang tuaku malah lebih parah. Jadi pilihanku untuk menikah supaya tidak menyusahkan orang tua itu salah.

Memang semuanya harus tergantung niat, jika menikah untuk ibadah, semua akan berjalan seperti niatnya. Namun sebaliknya, pernikahan yang hanya dengan tujuan supaya bisa mengurangi beban hidup keluarga, maka akhir cerita pun akan sesuai dengan tujuannya, hanya mengurangi saja, tidak sampai membahagiakan.

Aku termenung sejenak, kemudian memeluk raga ibuku. Wanita yang kini menjadi orang tua tunggal.

"Bu, aku bahagia bisa ketemu Ibu, mungkin ini sudah jalan dari Tuhan untuk kita," timpalku.

Tidak ada yang bisa kami lakukan selain memetik pelajaran dari apa yang kami alami.

***

Pagi telah mengeluarkan sinarnya, tubuh kami sangat lelah hingga kesiangan dan kalah dengan ayam yang sudah lebih dulu berkokok. Aku pun langsung mandi dan segera bersiap-siap untuk pulang ke Jakarta lagi.

"Bu, aku harus pulang, kalau nggak Mas Dimas pasti marah besar padaku, Dia mengira Pak Pram itu selingkuhanku." Aku membereskan baju ke dalam tas yang kubawa.

"Kamu nggak kasihan sama ibu? Sekarang sendirian nggak ada Bapak," ucap ibu.

"Bu, aku akan cerai dengan Mas Dimas, tapi aku harus mengumpulkan bukti yang akurat dulu, bagaimana aku bisa menggugat cerai Kalau tidak ada bukti-bukti?"

Ibu membelai pipiku, kemudian tahan air matanya jatuh.

"Apa kita minta tolong sama Pak Satria dan Pak Pram?" tanya ibu.

Aku terdiam lagi, seraya menimbang saran dari ibu.

"Aku mikirnya terkesan hutang budi nggak sih, Bu?" tanyaku padanya.

"Nggak tahu, mereka sudah menawarkan pada kita, Ibu rasa bukan suatu hutang budi," jawab ibu.

"Ya, kan Bapak nolong Pak Satria karena tulus, Bu. Jangan biarkan ketulusannya menjadi sirna karena kita anggap hutang," timpalku.

"Iya, Nggit. Sebaiknya jangan bawa-bawa kebaikan Bapak ya. Bapak udah tenang di sana dengan kebaikan yang ia bawa," tutur ibu.

"Kalau gitu, Ibu ikut ke Jakarta aja ya, siapa tahu Mas Dimas mengizinkan karena Ibu sudah sendirian," ajakku.

"Itu ide bagus, Ya udah Ibu siap-siap dulu," ucapnya kemudian pergi.

Tidak lama kemudian, telepon genggamku berdering. Panggilan masuk dari Mas Dimas lagi. Kalau aku tidak angkat, pasti akan marah besar. Jadi terpaksa aku mengangkat panggilannya.

"Halo, Mas, maaf baru bisa angkat telepon. Repot banget kemarin," ucapku langsung ke inti.

"Pulang kamu, Inggit! Jelaskan di rumah siapa pria yang mengantarkan kamu ke dengan mobil sedan?" Mas Dimas berteriak di seberang telepon.

"Iya, hari ini aku pulang. Nanti akan kujelaskan. Tapi sama Ibu ya, Mas," ucapku lagi.

"Nggak bisa, nanti jadi beban keluarga. Kecuali ibumu mau jadi pembantu tanpa dibayar," celetuk Mas Dimas.

Aku menelan ludah sambil menghela napas. Sudah kuduga dia pasti akan menuturkan kata-kata andalannya, yaitu beban keluarga.

Tidak ada pilihan lain, mau cerai pun dia pasti tidak akan mau menceraikan, karena tujuannya belum tercapai. Mas Dimas menginginkan wanita kaya, setelah itu barulah ia menyingkirkanku dari hidupnya. Sungguh laki-laki yang tak memiliki perasaan, dia hanya menjadikan wanita yang bergelar istri sebagai pembantu.

Setelah berpikir panjang, akhirnya aku menyetujui syarat darinya, kemudian sambungan telepon pun terputus.

Aku duduk kembali di ruangan tamu. Tanganku menyanggah kening sambil mengusap seraya pening memikirkan ini semua.

Berselang kemudian, ibu sudah siap untuk ikut denganku ke Jakarta. Namun, kami masih perlu waktu lama untuk memesan tiket secara online. Akhirnya aku putuskan untuk mencari melalui aplikasi yang menjual tiket penerbangan secara online.

Namun, ketika aku baru hendak menekan tombol membeli, suara ketukan pintu pun terdengar. Ibu buru-buru membukanya.

"Pak Pram," ucap ibu.

Aku pun turut menghampiri ke ambang pintu.

"Saya disuruh Papa untuk jemput kalian," ucapnya membuat ibu menoleh ke arahku secara spontan.

"Maaf, Pak. Masalah utang budi Pak Satria terhadap almarhum suami saya, kami berdua sudah memutuskan untuk ikhlas dan tidak mau ada balas budi, saya terutama, menginginkan amal jariyah suaminya tetap ia nikmati meskipun sudah tiada," ucap ibu menolak ajakan Pak Pram secara halus.

"Tapi, kami juga sudah membicarakan ini dengan keluarga besar semalam, bisa kah kalian ikut saya menemui Papa?" tanya Pak Pram seakan memaksa. "Ini bukan masalah utang budi ataupun balas budi, tapi masalah perikemanusiaan," lanjutnya lagi.

"Bisa bicarakan sekarang aja, Pak, di sini?" Aku memaksanya untuk bicara langsung tanpa kami harus ke rumah Pak Satria. "Maaf, suami saya udah marah-marah soalnya," tambahku lagi.

Hening, suasana tiba-tiba hening, namun tiba-tiba suara deru mobil terdengar berhenti di depan rumah. Aku hapal betul itu mobil yang digunakan Pak Satria saat mengantarkan jenazah bapak ke pemakaman.

"Itu, Papa datang, biarkan beliau yang bicara pada kalian," tutur Pak Pram membuatku menelan ludah. Apa yang sebenarnya ingin mereka bicarakan? Sampai-sampai Pak Satria rela ke rumah kami?

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status