Usapan lembut di kepalanya membuat Irish terbangun. Namun, ketika membuka mata, pemandangan pertama yang dilihatnya adalah tatapan tajam suaminya. Ia spontan mengalihkan pandangan dan mengedarkan pandangan ke sekelilingnya.
Saat itu pula Irish menyadari dirinya sedang berada di rumah sakit. Dan sudah pasti Arthur telah mengetahui kehamilannya. Lelaki itu tampak marah besar. Entah karena Irish menyembunyikan kehamilannya atau karena kabar kehamilan Irish bukanlah kabar yang menyenangkan bagi lelaki itu. Sepertinya opsi kedua lah yang paling tepat. Irish yakin Arthur pasti merasa jika kehamilannya hanya akan menjadi penghalang hubungan lelaki itu dengan Elyza. Ia menyentuh perutnya, khawatir Arthur gelap mata dan melakukan sesuatu yang buruk pada janinnya. “Kamu tidak bisa membawa anakku pergi,” ucap Arthur dingin. Suara dingin itu terasa amat menusuk hingga Irish bergidik ngeri. Ia berdeham pelan dan berkata, “Dia bukan anakmu. Tenang saja, aku tidak akan meminta pertanggungjawaban.” Irish tak tahu apakah alasannya masuk akal atau tidak. Ia hanya ingin melindungi anaknya. Namun, ekspresi Arthur yang kian menggelap membuatnya semakin risau. Seharusnya, lelaki itu tidak perlu mengetahui kehamilannya hingga mereka benar-benar berpisah. “Maksudmu, itu anakmu dengan pria lain?” sahut Arthur sinis. “Kamu pikir aku bodoh?! Kamu ingin berpisah dariku untuk menyembunyikan anak ini?! Kamu pasti ingin membuat drama dan mengatakan ke publik kalau aku menelantarkan kalian!” Irish menatap Arthur dengan sorot tak percaya. Benar-benar tidak menyangka Arthur akan menuduhnya seperti itu. Tak pernah sekalipun dirinya berencana begitu. Ia memang ingin menyembunyikan anak ini, namun bukan untuk membuat drama di depan publik. “Jangan asal menuduh! Aku tidak mungkin melakukan itu!” balas Irish dengan sorot tajam di wajahnya yang masih pucat. Arthur berdiri dan menekan tombol untuk memanggil dokter di dekat bangsal Irish. “Jangan mengelak! Kamu dan keluargamu pasti merencanakan sesuatu. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi.” Tuduhan itu membuat Irish merasa terhina. Meskipun keluarganya memang terkesan menjualnya setelah Arthur membantu perusahaan mereka yang nyaris bangkrut. Namun, tak pernah sekalipun Irish berpikir untuk memanfaatkan lelaki itu. Perdebatan keduanya terhenti karena kedatangan dokter dan asistennya. Sang dokter langsung memeriksa keadaan Irish dan mengatakan Irish hanya perlu istirahat cukup dan jangan banyak pikiran. Kemudian, dua orang perawat datang dan mengantarkan makanan juga obat untuk Irish. “Habiskan makananmu, jangan banyak alasan!” titah Arthur setelah memasang meja portabel di ranjang Irish. Lalu, meletakkan semangkuk bubur beserta segelas air yang diantar oleh perawat tadi. Irish langsung menyuap bubur tersebut tanpa merespon Arthur. Namun, tiba-tiba perutnya bergejolak. Ia spontan menyingkirkan makanan di depannya dan turun dari ranjang pasien. Tubuhnya yang masih lemas membuatnya nyaris jatuh terjerembab. Untung saja, Arthur bergerak cepat dan menarik Irish sebelum terjatuh. Tanpa basa-basi, lelaki itu langsung menggendong Irish dan membawa sang istri ke toilet. Arthur juga membantu membersihkan muntahan Irish. Kemudian, kembali menggendong wanita itu keluar toilet setelah kondisinya membaik. Irish terkejut bukan main, selama ini Arthur tak pernah sudi membantunya. Bahkan, ketika dirinya sakit pun lelaki itu tidak pernah mempedulikannya. Wanita itu kembali dibuat terkejut ketika Arthur menyuapinya. Meskipun ekspresi lelaki itu masih terlihat tak bersahabat. “Aku tidak mau disalahkan kalau terjadi sesuatu padamu. Jadi, jangan membuat kesabaranku habis,” peringat Arthur ketus. “Kalau merasa kerepotan, pergi saja. Aku tidak memintamu menemaniku di sini,” jawab Irish datar. Meskipun sebenarnya enggan, Irish tetap melahap bubur yang Arthur sodorkan di depan mulutnya. Ajaibnya, ia tidak merasa mual lagi dan dapat menghabiskan separuh bubur tersebut tanpa kendala. Namun, sebelum bubur Irish habis, ponsel Arthur berbunyi. Setelah melihat nama orang yang menelponnya, Arthur langsung meletakkan mangkuk bubur Irish di meja portabel dan bangkit dari tempat duduknya. “Habiskan. Setelah itu minum obatmu.” Arthur beranjak pergi dari sana tanpa menoleh lagi. Irish sempat melihat nama Elyza pada layar ponsel suaminya. Seseorang yang masih selalu menjadi prioritas lelaki itu. Nyaris saja Irish berharap lebih. Namun, harapannya langsung dipatahkan di detik berikutnya. Irish melanjutkan makannya dengan mata berkaca-kaca. Sekeras apa pun ia berusaha untuk terlihat baik-baik saja, nyatanya dirinya tidak bisa. Walaupun Arthur telah mengetahui kehamilannya, Irish tetap ingin mereka berpisah secepatnya. Irish beristirahat sebentar untuk mengumpulkan tenaganya. Hingga dirinya kembali terjaga, Arthur belum kembali. Sepertinya lelaki itu masih bersama Elyza. Arthur masih tetap sama seperti biasanya. Bahkan, tega meninggalkannya sendirian di rumah sakit. “Kamu mau ke mana? Kabur?” sindir Arthur yang baru saja datang dengan sekantong makanan di tangannya. “Aku mau pulang,” jawab Irish dingin. Infus yang terpasang di tangannya pun sudah dilepas oleh perawat yang memeriksanya beberapa saat lalu. Sebenarnya ia belum boleh pulang. Namun, untuk apa juga berdiam di sini terlalu lama. Irish sudah merasa sehat dan ingin pulang sekarang juga. “Kamu belum boleh pulang!” tegas Arthur yang ingin mengajak Irish kembali ke ruangan, namun wanita itu langsung menghempas tangannya. “Aku lebih tahu tentang tubuhku dan aku mau pulang sekarang!” Irish langsung beranjak dari sana dengan langkah tertatih. Sikap keras kepala Irish membuat Arthur tampak tak senang. Namun, lelaki itu terpaksa mengikuti istrinya. Buru-buru menarik Irish ketika wanita itu hendak menyetop taksi yang kebetulan baru keluar dari parkiran rumah sakit. Kemudian, membawa Irish ke mobilnya sebelum wanita itu kembali bertingkah. “Jangan banyak tingkah,” bisik Arthur sinis. Irish ketiduran di mobil saat perjalanan pulang. Ia tidak tahu kapan dirinya dan Arthur sampai di rumah. Wanita itu terjaga karena seseorang menyiram wajahnya. Irish terbangun di ranjangnya dengan kepala berdenyut nyeri. Dan sang tersangka utama yang menyiram wajahnya adalah ibu mertuanya sendiri. Tubuh Irish yang belum benar-benar pulih langsung menggigil. Segelas air yang Maudy siram ke wajahnya sepertinya sengaja dicampur dengan air dingin. Padahal tanpa perlu dibangunkan dengan cara seperti ini pun dirinya pasti terbangun. “Bukannya kamu bilang ingin pergi dari sini? Kenapa masih enak-enakan? Kapan kamu akan pergi?” cerca Maudy sembari berkacak pinggang. Irish tersenyum miris. “Aku memang ingin pergi sekarang. Aku sudah menyiapkan semuanya, mama tidak perlu khawatir.” “Bagus. Cepatlah pergi. Sebelum saya pulang, kamu harus sudah pergi dari sini!” Setelah mengatakan itu, Maudy langsung melenggang pergi dari sana. Setelah Maudy pergi, Irish langsung beranjak dari ranjang dengan tubuh yang masih menggigil juga kepala pening. Namun, ia tetap memaksakan bangkit dan membereskan sisa barangnya. Ia hanya melapisi pakaiannya yang agak basah dengan sweater tipis sebelum beranjak pergi. Beberapa pelayan yang berpapasan dengan Irish menatap wanita itu dengan sorot iba. Namun, tidak ada yang berani membuka suara. Sedangkan Irish beranjak dengan ekspresi dingin. Tak ada keraguan sedikitpun di wajahnya. Toh, dirinya sudah diusir, tak ada gunanya berlama-lama di sini. Irish ingin memesan taksi online, tetapi ponselnya mati. Sepertinya karena kehabisan daya karena sejak kemarin ia tidak memegang ponselnya sama sekali. Alhasil, ia terpaksa melanjutkan langkah menelusuri komplek perumahan Arthur. Tinn! Tinnn! Irish yang sedang termenung terkejut bukan main mendengar klakson mobil tepat di sampingnya. Ia spontan menoleh dengan panik. Khawatir Arthur lah yang datang dan memaksanya kembali ke rumah. Namun, ternyata mobil yang berhenti di sampingnya adalah mobil asing. Seorang pria paruh baya turun dari mobil merah itu. Senyumnya langsung mengembang ketika bertemu pandang dengan Irish. “Akhirnya kita bertemu, Irish-ku sayang.”“Selamat atas pembukaan butikmu. Mama akan mengajak teman-teman mama kemari. Mama yakin butikmu akan sukses,” tutur Maudy sembari menggandeng tangan Irish. “Terima masih, Ma. Kalau mama butuh gaun untuk acara apa pun, kabari aku. Aku akan menyiapkan yang terbaik,” jawab Irish seraya mengikuti langkah Maudy menelusuri butiknya yang baru saja diresmikan. Butuh waktu dua tahun hingga Irish yakin untuk kembali terjun ke dunia fashion. Sebenarnya, butik ini telah selesai dibangun sejak tahun lalu, namun karena masih banyak yang perlu dipersiapkan, peresmiannya baru dilaksanakan sekarang. Karina, Tristan, Billy, Prayoga hingga Maudy turut mempromosikan butik ini. Sedangkan Arthur sudah memesan beberapa jas untuk menghadiri beberapa acara besar, sekaligus membantu Irish promosi. Arthur juga telah merekomendasikan pakaian rancangan Irish pada beberapa kolega bisnisnya. Kini, butik Irish dipenuhi oleh teman-teman sosialita Maudy. Kejutan yang luar biasa bagi Irish. Sebab, ia tak menyang
“Kemarilah. Kenapa mengintip di sana?” tanya Arthur yang mendapati keberadaan Irish dari ekor matanya. Irish yang sedang memperhatikan gerakan tangan terampil Arthur kontan tersentak. Lelaki itu sedang menyuapi Kenneth dan Kennedy secara bergantian. Ia hanya ke toilet sebentar setelah menyiapkan makanan untuk si kembar dan anak-anaknya malah sudah disuapi oleh Arthur. “Bisa bicara sebentar?” pinta Irish pada Arthur yang sedang menyuapi Kenneth dan Kennedy di balkon penthouse. “Bicara saja. Kamu tidak perlu meminta izin.” Arthur masih sibuk mengelap mulut putra-putranya yang belepotan. Irish mengelap tangannya yang basah, lalu menyusul ke balkon. Ia duduk di samping Arthur, kemudian mengambil alih mangkuk makanan Kenneth dan menyuapi sang putra. Sedangkan Arthur berlanjut menyuapi Kennedy yang sudah tidak sabaran. “Biar aku yang menyuapi anak-anak. Kamu makan juga. Sekarang sudah siang,” ucap Arthur sembari menatap Irish sekilas. “Nanti saja. Aku masih kenyang,” jawab Irish semba
Arthur masih berbaring dengan posisi membelakangi pintu spontan menoleh ke sumber suara. Bukan suara mamanya yang terdengar, melainkan suara Irish. Dan benar-benar saja, ketika dirinya berbalik, Irish yang berdiri di depan pintu sembari membawa anak-anaknya di dalam stroller. “Ya sudah kalau kamu tidak menerima kami di sini, kami akan pergi.” Irish berpura-pura berbalik dan mendorong stroller si kembar, seolah-olah benar-benar akan pergi. Arthur spontan bangkit dan berakhir meringis karena tubuhnya masih nyeri. Irish yang hendak bermain-main dengan Arthur pun akhirnya dibuat khawatir dan langsung menghampiri lelaki itu. Lalu, membantu Arthur duduk dengan benar. “Mana yang sakit? Kenapa kamu bergerak sekaligus begitu? Apa aku harus menghubungi dokter?” berondong Irish yang tampak benar-benar khawatir. Arthur baru keluar dari rumah sakit kemarin. Lelaki itu belum benar-benar pulih. Pergerakan mendadak mungkin dapat membuat luka Arthur semakin parah. Irish hendak merogoh tasnya dan m
Tangan Maudy nyaris mendarat di wajah Irish, namun Irish lebih dulu menangkis tangan wanita paruh baya itu. Ia dapat membaca pergerakan Maudy dan tentu saja ia tak akan membiarkan itu terjadi. Meskipun saat ini dirinya memang bersalah atas kecelakaan Arthur. “Kamu mulai berani, hah?!” bentak Maudy sembari menarik tangannya yang masih dipegang oleh Irish. “Mama tidak mau menyapaku dulu? Sudah lama kita tidak bertemu.” Irish menyunggingkan senyum tipis. Ia tetap bersikap santai, berbanding terbalik dengan Maudy yang tampak sangat murka. “Mama mau minum apa? Sudah sarapan atau belum? Mau sarapan bersamaku?” tawar Irish yang sebenarnya tak memiliki apa pun untuk disuguhkan pada Maudy. Irish melakukan ini hanya untuk basa-basi saja sekaligus mencairkan suasana. Walaupun tampaknya Maudy sudah tidak mau diajak berbasa-basi lagi. Apalagi dengan banyaknya orang yang wanita paruh baya itu bawa. Ini seperti penggerebekan. Irish sudah bisa menebak jika Maudy akan bersikap seperti ini saat me
“Aku minta maaf. Dugaanku membuat rumah tangga kalian berantakan,” sesal Billy karena selama ini bersikukuh jika Arthur ingin mencelakai Irish. Billy pun tak menduga jika Elyza se licik ini sampai bisa merencanakan semuanya dengan mulus dan menjadikan Arthur sebagai kambing hitam. Billy sampai terkecoh dan mengira Arthur adalah dalang dari semuanya karena seluruh bukti mengarah pada lelaki itu. “Tidak apa-apa. Hubungan kami memang sudah berantakan sejak lama,” jawab Irish dengan senyum kaku. “Aku mau lihat buktinya. Apa saja yang dia katakan?” Irish memilih mengalihkan pembicaraan. Tak ingin memperpanjang pembahasan tentang rumah tangganya. Billy membuka tas dan menyalakan laptopnya. Ia langsung membuka file berisi bukti-bukti tentang keterlibatan Elyza dalam insiden di butik Irish. Bukan itu saja. Namun, juga beberapa insiden yang menimpa Irish. Semuanya karena perbuatan Elyza. Bahkan, orang yang menabrak Irish dan berujung menabrak Arthur hingga membuat lelaki itu lumpuh. Pemil
“Apa maksudmu?” tanya Arthur dengan kening mengerut. “Aku akan ikut denganmu.” Tanpa menunggu respon Arthur, Irish langsung masuk ke bangku bagian belakang mobil lelaki itu. Irish sudah memikirkan ini matang-matang. Ia memang ingin merawat Arthur. Meskipun Arthur tinggal bersama Maudy, ia tetap akan tinggal di tempat lelaki itu berada. Ini sebagai bentuk tanggungjawab dan ungkapan terima kasihnya pada Arthur. Barusan, Irish menelepon kakeknya dan meminta izin untuk tinggal bersama Arthur selama proses pemulihan lelaki itu. Entah sampai kapan, ia belum tahu pasti. Yang jelas, untuk saat ini ia benar-benar ingin merawat Arthur dulu hingga keadaan lelaki itu membaik. Cukup sulit mendapat izin dari Paryoga. Oleh karena itu, Irish agak lama berada di toilet saat bertelepon. Namun, pada akhirnya izin yang dirinya inginkan tetap ia dapatkan. Saat keluar dari sana, ia malah hampir tertinggal. Sedangkan dirinya tak tahu di mana tempat tinggal Arthur sekarang. “Kenapa kalian sangat tidak s
“Itu yang membuatmu di sini sekarang?” tanya Arthur sembari terkekeh pelan. Irish yang hendak menyimpan baskom di toilet spontan kembali berbalik dan melangkah ke bangsal Arthur. Ia menggeleng samar. Dirinya berada di sini bukan karena keadaan Arthur, bukan karena rasa bersalahnya. Namun, karena dirinya memang ingin berada di sini. “Bukan karena itu. Aku memang ingin merawatmu,” jawab Irish yang sudah jatuh berlutut di samping bangsal Arthur. Ia menyentuh tangan lelaki itu yang terpasang infus. Arthur mendengus pelan. “Berarti aku memang lumpuh? Kenapa diam saja? Kamu takut?”Irish mengangkat kepalanya. Membalas tatapan Arthur dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Ia dapat melihat dengan jelas kekecewaan di mata lelaki itu. Kondisi kaki lelaki itu pasti menjadi pukulan besar bagi Arthur dan akan menghambat banyak hal ke depannya. Sungguh, jika bisa bertukar posisi, Irish tak ingin Arthur menyelamatkannya hari itu. Biarlah dirinya yang celaka sebab tabrakan tersebut terjadi karena k
Saat menoleh ke belakang, Irish terbelalak melihat Arthur yang sudah membuka mata dan kini menggenggam tangannya. Ia mengerjapkan matanya, tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Namun, genggaman pada tangannya saat ini membuatnya tersadar jika ini nyata. “Apa sekarang wajahku menyeramkan?” tanya Arthur dengan suara serak dan satu alis terangkat. Irish spontan kembali melangkah ke arah Arthur dan memeluk lelaki itu. Air matanya menetes tanpa bisa dicegah. Lama-kelamaan isak tangisnya mulai terdengar. Ini benar-benar nyata, bukan bagian dari khayalannya. Bukan sekadar kelegaan yang dirinya rasakan. Perasaan menyiksa itu kini sepenuhnya hilang. “Akhirnya kamu sadar,” gumam Irish di sela isak tangisnya. Selama seminggu ini, Irish tak berhenti menyalahkan dirinya sendiri. Apalagi melihat kondisi Arthur yang tak menunjukkan perubahan signifikan. Rasanya, ia ingin bertukar posisi dengan lelaki itu. Sebab, memang seharusnya dirinya yang celaka. Arthur mengangkat tangan kirinya
“Apa ini bagian dari rencanamu juga?” gumam Billy sembari menatap Arthur yang masih memejamkan mata. Billy berhasil memaksa Irish untuk pulang dan istirahat di rumah. Sebagai gantinya, ia yang menjaga Arthur di sini. Arthur sudah dipindahkan ke ruang perawatan VVIP. Namun, hingga saat ini lelaki itu belum sadarkan diri. Dan Irish sudah berulang kali menanyakan kondisi Arthur melalui whatsapp. Billy yang baru kembali dari kantin rumah sakit langsung menarik kursi di samping bangsal Arthur. Ia mengamati wajah dan tubuh Arthur. Bukan hanya patah kaki, tangan kanan Arthur juga patah. Wajah lelaki itu penuh luka dengan kening yang diperban. “Kamu sangat bodoh kalau ini bagian dari rencanamu juga. Kamu bisa mati dan belum tentu Irish bersedia kembali padamu,” monolog Billy pada Arthur yang masih tak sadarkan diri. Arthur terlalu sering membuat skenario untuk menarik perhatian Irish. Oleh karena itu, Billy sedikit curiga jika ini adalah bagian dari rencana Arthur juga. Sebab, lelaki itu