Penjelasan pria paruh baya di sampingnya membuat Irish berkaca-kaca. Tadinya ia tidak langsung mempercayai cerita pria itu. Namun, setelah melihat semua bukti yang Prayoga bawa, akhirnya Irish percaya jika pria paruh baya itu adalah kakeknya. Ayah kandung ibunya.
Irish tidak pernah mengenal keluarga ibunya sebelumnya. Sebab, ibunya meninggal dunia saat melahirkannya. Dan yang merawatnya selama ini adalah ibu tirinya. Tak pernah ada yang menceritakan tentang keluar mendiang ibu kandungnya. Tidak ada juga yang menemuinya selama ini. “Irish, Kakek tahu kamu pasti terkejut dan belum mempercayai Kakek sepenuhnya. Tapi, Kakek tidak berbohong. Kakek mencarimu selama ini. Maaf, Kakek terlambat menemukanmu,” tutur Prayoga sembari menggenggam tangan Irish yang berada di atas meja. “Harusnya Kakek menemuimu lebih awal. Sebelum mereka membuatmu menderita. Mereka benar-benar pandai menyembunyikan kebusukan mereka di depan umum,” lanjut Prayoga dengan alis menukik tajam, menunjukkan amarah tertahan. Irish mengangkat kedua sudut bibirnya, membentuk senyum kaku. “Tidak apa-apa, Kek. Itu bukan salah Kakek. Nasibku memang harus seperti ini.” Saat ini Irish dan Prayoga sedang berada di salah satu restoran di dekat kediaman Arthur. Sebenarnya pria paruh baya itu ingin langsung mengajak Irish pergi. Namun, Irish yang tidak percaya begitu saja pun menolak. Setelah Prayoga menceritakan semuanya, barulah Irish percaya. Irish tak menyangka masih ada yang peduli padanya. Bahkan, mau repot-repot mencari keberadaannya. Di saat semua orang yang ia anggap keluarga malah membuangnya begitu saja. Seolah keberadaannya memang tak pernah diinginkan siapa pun. “Kakek tidak akan membiarkan hidupmu sengsara lagi setelah ini. Tinggallah bersama Kakek. Kakek akan melindungimu dari bajingan itu,” pinta Prayoga. Irish belum menceritakan apa pun tentang Arthur pada Prayoga. Pria paruh baya itu telah lebih dulu mencari tahu setelah menemukan identitas cucunya. Begitu mengetahui cucunya mendapat perlakuan buruk, Prayoga langsung bertindak dan hendak mengajak Irish pergi. Namun, Irish malah sudah lebih dulu diusir. “Kamu ingin berpisah darinya, ‘kan? Kakek akan membantumu. Selama Kakek masih hidup, Kakek tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu.” Prayoga menggenggam tangan Irish lebih kuat. Seolah hendak menyalurkan kekuatan secara tersirat. “Sekarang kita pulang. Kamu pasti lelah.” Setelah menghabiskan secangkir kopi yang dipesannya, Prayoga langsung mengajak Irish pergi dari sana. Irish yang khawatir Arthur menemukan keberadaannya pun langsung memilih ikut bersama Prayoga. Di sepanjang perjalanan, pria paruh baya itu kembali melanjutkan cerita tentang ibu kandung Irish. Irish hanya mendengarkan sembari melihat isi album foto masa kecil ibunya yang dibawa oleh sang kakek. Begitu sampai di kediaman Prayoga, keduanya langsung disambut oleh para pelayan yang sudah berjajar di depan pintu hingga ke bagian dalam rumah. Semuanya langsung membungkuk hormat yang mengucapkan selamat datang pada Irish. Prayoga langsung mengantar Irish ke kamar yang telah dipersiapkan untuk wanita itu. Kamar yang sangat seluas, besarnya sama seperti kamar Irish dan Arthur. Di dalam sana, semuanya sudah lengkap. Bahkan, meja rias pun sudah penuh dengan berbagai skincare dan make-up dengan merek ternama. “Ini kamarmu. Kakek harap kamu betah di sini. Kamar Kakek ada di sebelah sana. Kalau ada apa-apa, kamu langsung temui Kakek atau minta bantuan yang lain. Istirahatlah. Jangan terlalu memikirkan masalahmu, Kakek akan menyelesaikannya,” ucap Prayoga. “Terima kasih banyak, Kek. Kalau tidak bertemu Kakek, aku tidak tahu harus pergi ke mana,” jawab Irish. Jika ia kembali ke rumah ayahnya, belum tentu juga mereka akan menerimanya. Prayoga mengelus rambut Irish dan berkata, “Tidak perlu berterimakasih. Mulai sekarang kamu tidak akan sendirian lagi. Kakek akan mengurus perceraianmu secepatnya.” *** Di sisi lain, Arthur yang baru pulang mengamuk setelah mengetahui istrinya pergi dari rumah. Padahal sebelum pergi tadi, lelaki itu sudah berpesan agar semua yang bertugas hari ini memastikan Irish tetap berada di rumah hingga dirinya kembali. Namun, baru beberapa jam pergi, Arthur sudah tidak mendapati keberadaan Irish. “Kenapa tidak ada yang memberitahuku? Apa kalian semua buta sampai tidak melihat dan mencegah Irish?!” bentak Arthur pada seluruh pekerjanya yang kini berjajar di depannya. Mereka semua tahu siapa yang mengusir Irish. Namun, tidak ada yang berani mencegah karena nyonya besar sendiri yang melakukannya. Wanita paruh baya itu memiliki kuasa yang sama dengan Arthur. Tidak ada yang berani menentangnya. Mengadukan perbuatan Maudy pada Arthur sama saja seperti mengucapkan selamat tinggal pada pekerjaan mereka. Oleh karena itu, semuanya hanya tertunduk dan diam membisu. Tidak ada yang berani angkat bicara mengenai perbuatan sang nyonya besar. “Tuan,” panggil Mario—asisten Arthur, menginterupsi amukan lelaki itu. “Nyonya Maudy yang mengusir Nyonya Irish,” beber Mario berbisik pada Arthur. Ekspresi Arthur kian menggelap mendengar informasi dari asistennya. Kedua tangan lelaki itu terkepal di sisi tubuhnya hingga buku-buku jarinya memutih. “Aku tidak peduli ke mana dia pergi. Aku hanya ingin kamu membawanya kembali ke rumah ini secepatnya.” “Baik, Tuan.” Mario langsung pamit undur diri setelah itu. Arthur melenggang pergi dari sana selepas kepergian Mario. Atmosfer penuh ketegangan yang melingkupi ruangan itu perlahan menguap seiring dengan perginya Arthur. Para pelayan yang tadi berjajar langsung membubarkan diri, kembali melanjutkan pekerjaan masing-masing sebelum kembali diamuk oleh sang tuan. Kemarahan Arthur berlanjut hingga keesokan harinya ketika lelaki itu mengijakkan kaki di kantor. Siapa pun yang membuat kesalahan di depan mata lelaki itu akan diamuk habis-habisan. Hingga akhirnya, semuanya memilih menghindari sang bos besar yang sedang dalam suasana hati tidak baik. Hanya Mario yang berani mendekati Arthur, karena tugasnya memang selalu mendampingi lelaki itu. Mario membawa sebuah map di tangannya. Ia melonggarkan dasi yang terasa mencekik di lehernya sebelum mengetuk pintu ruangan Arthur. “Tuan, bolehkah saya masuk?” “Ya!” sahut Arthur dingin. “Kamu sudah menemukan Irish?” tanya Arthur tanpa basa-basi begitu Mario masuk ke ruangannya. Mario berdeham pelan. “Belum. Tapi, ada kiriman dari Nyonya Irish untuk Tuan.” Mario langsung meletakkan map yang ia bawa di atas meja Arthur. Membiarkan lelaki itu membuka isinya sendiri karena Mario pun tidak mengetahui berkas apa yang Irish kirimkan. Berkas itu dititipkan oleh seorang kurir pada resepsionis. Arthur meraih map tersebut dengan mata menyipit. Begitu dibuka, yang pertama kali terpampang adalah kata ‘SURAT GUGATAN CERAI'“Selamat atas pembukaan butikmu. Mama akan mengajak teman-teman mama kemari. Mama yakin butikmu akan sukses,” tutur Maudy sembari menggandeng tangan Irish. “Terima masih, Ma. Kalau mama butuh gaun untuk acara apa pun, kabari aku. Aku akan menyiapkan yang terbaik,” jawab Irish seraya mengikuti langkah Maudy menelusuri butiknya yang baru saja diresmikan. Butuh waktu dua tahun hingga Irish yakin untuk kembali terjun ke dunia fashion. Sebenarnya, butik ini telah selesai dibangun sejak tahun lalu, namun karena masih banyak yang perlu dipersiapkan, peresmiannya baru dilaksanakan sekarang. Karina, Tristan, Billy, Prayoga hingga Maudy turut mempromosikan butik ini. Sedangkan Arthur sudah memesan beberapa jas untuk menghadiri beberapa acara besar, sekaligus membantu Irish promosi. Arthur juga telah merekomendasikan pakaian rancangan Irish pada beberapa kolega bisnisnya. Kini, butik Irish dipenuhi oleh teman-teman sosialita Maudy. Kejutan yang luar biasa bagi Irish. Sebab, ia tak menyang
“Kemarilah. Kenapa mengintip di sana?” tanya Arthur yang mendapati keberadaan Irish dari ekor matanya. Irish yang sedang memperhatikan gerakan tangan terampil Arthur kontan tersentak. Lelaki itu sedang menyuapi Kenneth dan Kennedy secara bergantian. Ia hanya ke toilet sebentar setelah menyiapkan makanan untuk si kembar dan anak-anaknya malah sudah disuapi oleh Arthur. “Bisa bicara sebentar?” pinta Irish pada Arthur yang sedang menyuapi Kenneth dan Kennedy di balkon penthouse. “Bicara saja. Kamu tidak perlu meminta izin.” Arthur masih sibuk mengelap mulut putra-putranya yang belepotan. Irish mengelap tangannya yang basah, lalu menyusul ke balkon. Ia duduk di samping Arthur, kemudian mengambil alih mangkuk makanan Kenneth dan menyuapi sang putra. Sedangkan Arthur berlanjut menyuapi Kennedy yang sudah tidak sabaran. “Biar aku yang menyuapi anak-anak. Kamu makan juga. Sekarang sudah siang,” ucap Arthur sembari menatap Irish sekilas. “Nanti saja. Aku masih kenyang,” jawab Irish semba
Arthur masih berbaring dengan posisi membelakangi pintu spontan menoleh ke sumber suara. Bukan suara mamanya yang terdengar, melainkan suara Irish. Dan benar-benar saja, ketika dirinya berbalik, Irish yang berdiri di depan pintu sembari membawa anak-anaknya di dalam stroller. “Ya sudah kalau kamu tidak menerima kami di sini, kami akan pergi.” Irish berpura-pura berbalik dan mendorong stroller si kembar, seolah-olah benar-benar akan pergi. Arthur spontan bangkit dan berakhir meringis karena tubuhnya masih nyeri. Irish yang hendak bermain-main dengan Arthur pun akhirnya dibuat khawatir dan langsung menghampiri lelaki itu. Lalu, membantu Arthur duduk dengan benar. “Mana yang sakit? Kenapa kamu bergerak sekaligus begitu? Apa aku harus menghubungi dokter?” berondong Irish yang tampak benar-benar khawatir. Arthur baru keluar dari rumah sakit kemarin. Lelaki itu belum benar-benar pulih. Pergerakan mendadak mungkin dapat membuat luka Arthur semakin parah. Irish hendak merogoh tasnya dan m
Tangan Maudy nyaris mendarat di wajah Irish, namun Irish lebih dulu menangkis tangan wanita paruh baya itu. Ia dapat membaca pergerakan Maudy dan tentu saja ia tak akan membiarkan itu terjadi. Meskipun saat ini dirinya memang bersalah atas kecelakaan Arthur. “Kamu mulai berani, hah?!” bentak Maudy sembari menarik tangannya yang masih dipegang oleh Irish. “Mama tidak mau menyapaku dulu? Sudah lama kita tidak bertemu.” Irish menyunggingkan senyum tipis. Ia tetap bersikap santai, berbanding terbalik dengan Maudy yang tampak sangat murka. “Mama mau minum apa? Sudah sarapan atau belum? Mau sarapan bersamaku?” tawar Irish yang sebenarnya tak memiliki apa pun untuk disuguhkan pada Maudy. Irish melakukan ini hanya untuk basa-basi saja sekaligus mencairkan suasana. Walaupun tampaknya Maudy sudah tidak mau diajak berbasa-basi lagi. Apalagi dengan banyaknya orang yang wanita paruh baya itu bawa. Ini seperti penggerebekan. Irish sudah bisa menebak jika Maudy akan bersikap seperti ini saat me
“Aku minta maaf. Dugaanku membuat rumah tangga kalian berantakan,” sesal Billy karena selama ini bersikukuh jika Arthur ingin mencelakai Irish. Billy pun tak menduga jika Elyza se licik ini sampai bisa merencanakan semuanya dengan mulus dan menjadikan Arthur sebagai kambing hitam. Billy sampai terkecoh dan mengira Arthur adalah dalang dari semuanya karena seluruh bukti mengarah pada lelaki itu. “Tidak apa-apa. Hubungan kami memang sudah berantakan sejak lama,” jawab Irish dengan senyum kaku. “Aku mau lihat buktinya. Apa saja yang dia katakan?” Irish memilih mengalihkan pembicaraan. Tak ingin memperpanjang pembahasan tentang rumah tangganya. Billy membuka tas dan menyalakan laptopnya. Ia langsung membuka file berisi bukti-bukti tentang keterlibatan Elyza dalam insiden di butik Irish. Bukan itu saja. Namun, juga beberapa insiden yang menimpa Irish. Semuanya karena perbuatan Elyza. Bahkan, orang yang menabrak Irish dan berujung menabrak Arthur hingga membuat lelaki itu lumpuh. Pemil
“Apa maksudmu?” tanya Arthur dengan kening mengerut. “Aku akan ikut denganmu.” Tanpa menunggu respon Arthur, Irish langsung masuk ke bangku bagian belakang mobil lelaki itu. Irish sudah memikirkan ini matang-matang. Ia memang ingin merawat Arthur. Meskipun Arthur tinggal bersama Maudy, ia tetap akan tinggal di tempat lelaki itu berada. Ini sebagai bentuk tanggungjawab dan ungkapan terima kasihnya pada Arthur. Barusan, Irish menelepon kakeknya dan meminta izin untuk tinggal bersama Arthur selama proses pemulihan lelaki itu. Entah sampai kapan, ia belum tahu pasti. Yang jelas, untuk saat ini ia benar-benar ingin merawat Arthur dulu hingga keadaan lelaki itu membaik. Cukup sulit mendapat izin dari Paryoga. Oleh karena itu, Irish agak lama berada di toilet saat bertelepon. Namun, pada akhirnya izin yang dirinya inginkan tetap ia dapatkan. Saat keluar dari sana, ia malah hampir tertinggal. Sedangkan dirinya tak tahu di mana tempat tinggal Arthur sekarang. “Kenapa kalian sangat tidak s