"Ini nanti kalau ditanya Pak Yai bilang acara apa, Bu?"
Mas Yudha bertanya, bersiap menyambut kedatangan Pak ustadz yang akan memimpin doa."Acaranya itu, menyambut kepulangan kamu sama cucuku untuk tinggal kembali ke rumah ini.""Heh? Acara apa itu? Kamu mau masalah keluargamu diketahui orang sekampung?" Bulek Ratih membantah ucapan ibu.Aku tak peduli. Bahkan yang disebut kepulangan Mas Yudha dan sang cucu. Aku? Ah, mungkin beliau lupa, kalau aku ini ibu dari cucu yang diminta tinggal di sini.Kubiarkan saja mereka berdebat. Nanti kalau beruntung biasanya bakal nemu adegan lucu.Mbak Andin masih sibuk memasukkan kotak nasi ke dalam kantong plastik. Banyaknya kegiatan, membuatku tak busa leluasa berbicara dengannya. Mungkin nanti, kalau rumah sudah sepi."Bilang saja ini syukuran, berdoa untuk keselamatan dan kebaikan semua anggota keluarga, nggak usah ngomong kalau penyambutan atau yang lain. Malu, Mbak!"TuhAdaptasi lagi. Itulah hal yang kini coba kujalani.Hampir setahun hidup dan tinggal di lingkungan yang tenang tanpa bising kendaraan, dan kini seperti dipaksa harus membiasakan diri lagi dengan ramainya arus lalu lintas jalan raya di depan rumah.Banyaknya pabrik yang baru berdiri lah, menjadikan lonjakan arus lalu lintas sedemikian padat. Kemacetan terus terjadi sepanjang pagi hingga menjelang jam sembilan. Demikian halnya jika sore hari, mulai jam empat sore hingga menjelang Isya', baru terlihat mulai berkurang ramainya kendaraan yang melintas.Aku mencoba berdamai dengan kondisi ini. Menganggap ini takdir yang telah digariskan untukku. Pun anakku, kuharap ia nyaman dan betah tinggal di sini lagi."Bersabarlah, tak ada rumah tangga yang tak diuji." Ucapan Mbak Fatma menenangkan aku. Jika bisa, saat ini juga ingin kubawa anakku ke sini. Bukankah ini sudah satu tahun, batas waktu yang diberi oleh ibu mertua untuk membawa serta anak yang
Aku terjaga saat terdengar suara benda keras beradu dengan aspal. Bayi kecilku ikut terjingkat. Sayup-sayup kudengar ada kecelakaan. Aku menghela napas panjang. Menenangkan degup jantung yang seakan hendak lepas dari tempatnya. Tinggal di tepi jalan raya dan laka lantas, sepertinya ini memang satu paket komplit, dan aku harus bersiap dengan segala kemungkinan..Ridho Allah tergantung ridho orang tua.Aku mengaminkan sepenuhnya. Seiring berjalannya waktu, aku merasa banyak keberkahan yang terjadi di hidupku semenjak tinggal dekat ibu.Usaha online yang sempat terseok-seok, kini mulai menampakkan hasilnya. Jika saat tinggal di kontrakan aku bisa membeli baju untukku dan anak-anak, maka sekarang aku bisa membeli beberapa perhiasan untuk gadis kecilku.Sebuah rak berisi stok pakaian yang dijual online dan offline, kini melengkapi isi rumah. Satu langkah besar, karena sebelumnya, kami–aku dan
Matahari baru beranjak naik, tapi kesibukan telah terlihat di dapur Bu Elis. Wanita paruh baya itu akan mengadakan selamatan sore nanti, jadilah sibuk menyiapkan makanan, dibantu Ratih serta kedua menantunya, Andin dan Karin.Ketiga cucu Bu Elis dihandle oleh Angga. Sementara Yudha sibuk dengan toko onlinenya. Suami dari Karin itu memilih berdiam di kamar, hanya keluar sebentar, lalu kembali menenggelamkan diri dengan toko onlinenya.Bu Elis mencari kesempatan untuk berbicara dengan menantu pertamanya. Beliau pun menghampiri Andin yang sedang mengiris wortel untuk campuran mi goreng."Andin, ibu mau bicara sama kamu."Bu Elis mengambil kursi kecil lantas duduk di depan kedua menantunya.Andin menghentikan kegiatannya sejenak, melihat adik iparnya, lantas memusatkan perhatian pada sang ibu mertua. "Iya, Bu. Ada apa, ya?" tanya Andin dengan kening mengernyit. Terlihat olehnya raut wajah serius di wajah ibu mertuanya.
Beberapa Minggu kemudian … .Angga baru saja menyelesaikan makan malamnya. Gegas ia menyandang tas laptop, lantas berpamitan pada sang istri."Dek, aku mau ke rumah ibu, ya?"Andin yang masih berbaring karena menemani anaknya tidur, segera beringsut bangun. Ia terkejut melihat sang suami berpakaian rapi, menyandang tas, serta wangi. 'Mau ke mana dia malam begini? Mana rapi dan wangi lagi,' gumam Andin dalam hati, sambil memindai penampilan suaminya."Dek?" Angga memanggil sekali lagi, karena sang istri justru melamun, alih-alih langsung mengiyakan ijinnya kali ini."Eh, iya? Ke rumah ibu malam begini, Mas? Kok bawa tas segala?" tanya Andin bingung. Ia memindai penampilan suaminya sekali lagi. Tak dapat dipungkiri kalau ia merasa heran, kenapa suaminya pamit pergi semalam ini.Angga terlihat salah tingkah. Andin makin curiga."Ya, itu, ada urusan sedikit di sana, sama ibu," jawab Angga sedikit gugup, lantas meng
Ada sepasang mata lain yang melepas kepergian Angga dari kediaman Bu Elis. Ya, Karin melonjak bangun begitu mendengar suara motor Angga, lantas berdiri tegak di balik jendela kaca."Kamu terlihat lebih keren saat menggendong tas ransel, Mas," gumam Karin seorang diri."Coba kalau datang agak sorean, kan lumayan bisa main sama Dinar agak lamaan. Ini cuma sebentar, sibuk amat ngikutin maunya ibu yang mau bikin rumah. Belum tentu juga Mbak Andinnya mau diajak tinggal di sini nanti."Aku rasa bakalan sia-sia, deh, bangun rumah itu. Lihat aja entar."Karin masih bergumam panjang pendek, sampai motor Angga menghilang di kelokan jalan depan warung sang ibu."Ngapain itu, ngomong sendiri di situ?"Karin terjingkat, lantas memegangi dadanya yang berdegup kencang. Ketika berbalik badan, ia dapati sang suami berdiri di ambang pintu yang menghubungkan ruang tamu sama ruang tengah. Karin hanya nyengir kuda, lalu bergerak mendekat."N
Sementara itu, di rumah Bu Elis, beliau telah sibuk memasak sejak kemarin. Perempuan setengah abad lebih itu sibuk menyiapkan menu untuk acara selamatan Minggu pagi. Membuat bumbu, membuat ayam ungkep, dan beberapa keperluan selamatan, semua dikerjakan sendiri. Karin hanya membantu sekedarnya. Itu pun dengan wajah masam."Yang bakal punya rumah aja nggak bantuin, kenapa aku yang ikutan repot," gerutunya dalam hati.Ia bersorak gembira saat Dinar merengek minta gendong. Itu artinya akan terbebas dari tugas membantu ibu mertuanya."Udah sana, rumati dulu itu anaknya!" titah Bu Elis yang tak mau mendengar cucu kesayangannya menangis."Siap, Bu!"Senyum Karin kian lebar, lantas melangkah pergi membawa si buah hati..Menjelang jam enam pagi, para tamu undangan sudah mulai datang, termasuk pemborong dan para tukang. Bu Elis berkali-kali melihat ke ujung jalan, hendak memastikan kalau anak sulungnya akan datang dan ikut selamatan.
Andin membuang pandang ke luar jendela, di mana pondasi calon rumah untuk suaminya berada.Terngiang ucapan sang suami beberapa tahun lalu, saat ia meminta tinggal terpisah dari rumah Bu Elis."Aku sudah memutuskan, Dek. Aku mau bangun rumah, dan anak-anak kuajak. Kalau nggak kamu, ya, terserah."Hati Andin kembali mencelos teringat itu semua. Ditambah pesan dari ibu mertuanya yang ia baca beberapa saat tadi, kian menambah jumlah penolakan untuk mau tinggal di tempat itu.Ibu dari Lusi dan Dani itu merasa, bahwa pesan Bu Elis menyiratkan keinginan supaya Angga hanya datang sendiri ke rumah ini. Dan bukankah sejatinya Andin pun enggan ikut tadinya, karena badannya kurang sehat sejak kemarin?Akan tetapi, demi menghargai sang suami, ia pun memaksa ikut, sebab tak mau ada perang dunia dengan imam dalam rumah tangganya itu. Kini rasa sesal menyelusup ke dalam sanubarinya. 'Mestinya aku menolak ikut. Mestinya aku istirahat saja di rumah tadi. Untuk apa aku ada di sini, jika hadirku tak dii
"Mas, sandalku mana, ya? Kok nggak ada?" tanya Andin sambil celingukan.Baru akan naik ke atas motor, terdengar suara adzan Subuh dari masjid dekat rumah Bu Elis. "Tunggu selesai adzan, ya?" pinta Angga.Kali ini Andin setuju. Perempuan yang menggendong bocah tiga tahun itupun segera duduk di ujung teras toko ibu mertuanya. Kantong hitam yang sejak tadi ia pegang diletakkan di sampingnya. Tatapannya langsung menyorot pada pondasi rumah yang kemarin baru dibuat. "Lho, kok malah duduk di situ?" tegur Bu Elis yang baru ke luar."Nunggu adzan, Bu." Angga yang menjawab."Oh, nggak nunggu di dalam aja, Ndin?"Andin memasang senyum meski hatinya masih terluka."Makasih, Bu. Di sini saja."Bu Elis tak menjawab lagi. Suasana hening untuk beberapa saat. Suara kendaraan yang melintas masih terdengar di sela suara adzan. Tak lama kemudian, terdengar iqomah, Bu Elis sudah siap dengan mukena, hendak berangkat ke masjid setelah anak dan cucunya pulang."Sudah selesai adzannya. Kami pulang ya, Bu,"