Share

Bab 7

Author: Nisa Khair
last update Last Updated: 2022-10-21 17:00:51

Awalnya, kupikir Dinar akan rewel sebab beradaptasi dengan suasana baru di desa ini.

Nyatanya, ia justru anteng, lebih anteng dan tidurnya lebih nyenyak.

Sama sepertiku, terbawa suasana tenang di sini, membuat aku bangun dengan badan segar, sebab istirahatku tak terganggu semalaman.

"Dia capek di perjalanan, biar Ibu pijit, ya?" pinta ibu pagi tadi.

Aku mengiyakan, sebab ibu memang biasa memijit bayi tetangga jika diminta.

Ibu dengan telaten memijit seluruh badannya sebelum dimandikan pagi tadi. Setelah itu, ia tidur nyenyak hingga hampir tengah hari.

Silvi sendiri terlihat asyik mengajak adiknya bercanda, meski dijawab dengan bahasa bayi, tak mengurangi tawa di wajah kecil itu.

Ia bahkan mengajak beberapa teman sepermainan ke rumah, demi memamerkan adik kecilnya yang baru datang.

Lewat tengah hari, datang seorang kerabat jauh, membawa sebuah undangan pernikahan.

"Kebetulan ada Karin di rumah. Kakakmu mau nikah, kamu bisa datang, kan, Rin?"

"Insya Allah, Budhe. Kapan ini acaranya?" tanyaku antusias.

Lama tak bertemu dan tak mendengar kabar, tiba-tiba saja dapat kabar bahagia, tentu akan kuusahakan datang, dengan ijin Mas Yudha tentunya.

"Seminggu lagi. Datang, ya, ajak suami kamu juga," pinta beliau kemudian. Diserahkan kertas undangan padaku.

Aku hanya bisa mengiyakan, meski tak yakin kalau Mas Yudha bisa ikut, sebab pekerjaannya tentu tak bisa ditinggal lebih lama.

.

Hari telah gelap. Suara jangkrik dan hewan kecil lain mendominasi indera pendengaran kali ini.

Dua lelaki dewasa, cinta pertamaku beserta menantunya, sedang bertukar kata.

Asap yang mengepul dari bibir tipis mereka, menjadi teman setia sepanjang obrolan berlangsung.

Samar kudengar tawa mereka sesekali. Aku sendiri, terbaring di sisi kedua anakku yang telah terlelap.

Kuraih ponsel, lalu mengambil gambar kami bertiga. Aku tersenyum melihat tangkapan layar.

Tak menunggu lagi, kujadikan story W******p kali ini, selingan di antara deretan dagangan yang kupajang sebelumnya.

Selama ini, aku jarang sekali menjadikan foto keluarga sebagai story W******p. Sekalinya posting, langsung diserbu oleh kerabat yang jarang bertemu.

"Pulang kampung, Rin?"

Sebuah pesan dari Bulek Ratih, adik ibu mertua, masuk ke ponselku, mengomentari foto yang kuunggah beberapa saat tadi.

"Iya, Bulek," jawabku singkat.

"Gimana kabarnya?" tanyaku kemudian.

Di antara banyak saudara ibu, Bulek Ratih yang paling dekat denganku, juga dengan ibu. Tak jarang beliau jadi penengah, jika mengetahui kami berselisih.

Ibu sendiri seringnya patuh pada ucapan Bulek, sebab meski usianya beda jauh, tapi pemikirannya lebih obyektif. Setidaknya, itu menurut penilaianku.

"Yudha dibesarkan oleh orang tuanya dengan kasih sayang, serta air susu yang mengalir menjadi darah di tubuhnya.

Kamu yang baru datang ke hidupnya, kenapa membuat ia menjadi anak durhaka, lalu menjauhkan ia dari ibunya?"

Dahiku mengernyit seketika membaca pesan panjang yang beliau kirimkan. Ada apa ini? Kenapa seolah aku disudutkan begini?

Lalu membuat Mas Yudha durhaka, bagaimana ceritanya?

Apa ibu telah mengadu ke sana, lalu membuat pernyataan yang membuat Bulek menilaiku demikian?

"Maaf, Bulek, maksud Bulek apa?"

Tak bisa kutahan lagi jariku untuk tak bertanya langsung, meski melalui sambungan telepon.

Aku tak mau kepalaku berdenyut nyeri, sebab banyaknya pertanyaan yang tak kutemukan jawabannya saat ini.

"Maaf, Bulek, kalau soal dibesarkan dengan kasih sayang dan air susu, saya rasa tak hanya Mas Yudha, saya pun demikian," ujarku lagi.

"Ya kamu ngapain minta pulang, wong sudah sepakat buat tinggal di sini, menemani ibumu yang nggak ada temannya.

Kamu nggak lihat, ibumu nangis-nangis, sebab cucunya dibawa pergi, di rumah nggak ada temannya. Yudha juga kamu pengaruhi supaya ikut kamu.

Kamu pikir ongkos buat ke sana sedikit? Bisa habis-habisan nanti ponakanku cuma buat bolak-balik antar kamu pulang, lalu ke sini lagi, ongkos lagi."

Bulek bicara tanpa henti, tanpa jeda. Aku sampai kehabisan kata, sebab tak mengerti dengan jalan pikiran orang ini.

Nampaknya beliau telah membuat kesimpulan hanya mendengar dari satu pihak, tanpa konfirmasi ke pihak lain.

Mau kujelaskan, rasanya juga percuma, sebab ia telah meyakini pendapatnya sendiri.

"Kamu sendiri yang menyanggupi untuk tinggal bersama ibumu, kenapa tiba-tiba minta pulang? Apa kamu lupa, kamu direstui untuk menjadi keluarga kami sebab apa?" cecar Bulek lagi.

Ah, sial. Kesepakatan itu lagi yang diungkit. Tiba-tiba saja aku berharap sinyal di sini hilang biar sambungan telepon ini terputus dengan sendirinya.

"Ya, itu kan dulu. Sekarang lain, Bulek.

Tak taukah Bulek, ada banyak hal yang terjadi, tanpa Bulek ketahui, selama aku menjadi menantu di keluarga ibu mertuaku.

Ibu sendiri yang meminta saya pergi, apa Bulek tau? Apa ibu mengatakan ibu pada panjenengan? Rasanya enggak, ya, soalnya kelihatan dari apa yang Bulek katakan tadi."

"Mana mungkin ibumu melakukan itu?"

"Terserah Bulek lah. Saya hanya mengatakan yang sebenarnya, biar Bulek nggak salah sangka."

"Salah sangka gimana? Jangan mengada-ada kamu!"

"Dan lagi, kenapa bulek ikut campur urusan rumah tanggaku? Apa lagi gabut, kurang kerjaan, apa gimana?"

"Karin! Berani kamu, ya?!"

"Maaf, saya mau istirahat. Assalamu'alaikum."

Kupencet tombol off dengan kekuatan penuh. Huh, ada-ada saja. Kuletakkan ponsel di atas meja kamar dengan hati-hati. Jangan sampai ia jadi korban rasa kesal ini. Bagaimana aku mencari nafkah nanti kalau ia yang jadi sasaran?

Baru juga dua hari Mas Yudha di sini, sudah heboh sekali. Entah mengadu apa ibu sama adiknya, hingga aku dituduh macam-macam.

Lagi pula, apa salahnya mas Yudha mengeluarkan biaya untuk kepulanganku?

Bukankah dia suamiku, bertanggung jawab atasku, termasuk untuk bertemu orang tuaku yang terpisah jarak ratusan kilometer?

Satu tahun kutahankan tak pulang, sekalinya minta pulang, kenapa dipermasalahkan?

Sungguh aku tak bisa mengerti dengan jalan pikiran bulek yang selama ini kuanggap bijak.

.

Sudah jam sepuluh malam, saat Mas Yudha muncul di pintu kamar. Aku sendiri masih bergumul dengan pertanyaan yang berputar-putar di kepala.

"Istri Mas kenapa ini, kok cemberut gini mukanya?" tanyanya, sambil bergerak mendekat.

Aku harap ia tak mendengar obrolanku dengan Bulek Ratih beberapa saat tadi. Bahaya kalau sampai ia mendengar perdebatan kami.

Bukan tak mungkin ia akan meledak-ledak seperti sebelumnya. Ia selalu sensitif kalau sudah menyangkut omongan orang tentangku.

"Mas bau asap, ganti baju dulu sana," ujarku, lantas menutup hidung dan mulut dengan telapak tangan. Bau asap ini, sungguh menggangguku.

"Iya deh, iya. Entah kenapa istriku ini, sampai Mas kena imbasnya," gerutunya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Ending

    Tiga bulan kemudian ….Kalimat takbir dan tahmid tak henti terucap dari bibir wanita berjilbab merah marun usai mendengar putusan sidang. Tubuh yang terbalut gamis berwarna senada dengan jilbabnya itu tersungkur di lantai keramik yang dingin, melakukan sujud syukur.Setengah tak rela Bu Elis membiarkan Karin menyerahkan Lusi dan Dani pada ibu kandungnya. Hak asuh atas kedua anak itu mutlak diberikan kepada Andin, mengingat usia mereka yang masih balita. Rasa haru tak bisa disembunyikan oleh Andin yang didampingi oleh Bu Ida dan juga Raya, pengacara rekomendasi dari Pak Tomo untuk memenangkan kasus Andin.Angga menerima keputusan sidang dengan lapang dada. Ditatapnya wajah wanita yang kini bergelar mantan istri. Wajah yang bersimbah air mata sembari memeluk dua buah hati setelah sekian lamanya tidak berjumpa. Wanita itu terus menghujani ciuman di wajah Lusi dan Dani secara bergantian, seakan tak pernah cukup untuk mengungkapkan betapa besar tumpukan rindu y

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Jelang Ending 3

    Satu Minggu, dua Minggu, hingga lima Minggu, obrolan Bu Elis berpusat pada rencana pernikahan Angga dan Mira. Karin dan Yudha yang kebagian dengar nyaris setiap hari setiap saat, merasa gerah dan memilih tidak menanggapi pada akhirnya. Pihak keluarga sudah menegur ketika kabar perpisahan Angga dan Andin tersiar, dan secepat itu pula merencanakan pernikahan. Namun, Bu Elis seakan menutup telinga. Jaminan sertifikat sawah yang dipegang Mira membuat wanita yang selalu mengenakan banyak perhiasan itu merasa wajib menjadikan Mira sebagai menantu.Terlebih lagi, peran Mira yang membuat Angga akhirnya berpisah dengan Andin, perempuan yang notabene tidak disukai sejak awal, membuat Bu Elis semakin dekat dengan Mira, merencanakan beberapa hal menyangkut penyelesaian bangunan rumah dan toko Angga, serta lahan yang masih luas hendak dimanfaatkan untuk apa.Keberadaan Lusi dan Dani di rumahnya, membuat semangat Bu Elis naik berlipat-lipat. Melihat ketiga cucu yang tu

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Jelang Ending 2

    Di tempat lain ….Mira menyeringai melihat dua bocah kecil yang sedang asyik menonton film animasi. Kegiatan yang selalu dibatasi oleh kedua orang tuanya, kini bisa bebas dilakukan selama yang mereka inginkan. Sebuah es krim berbeda rasa, berada di tangan masing-masing anak. Sedikit belepotan, tapi, tak masalah bagi sosok berbaju biru yang pikirannya tengah berkelana membayangkan jadi pemilik tunggal lahan seluas satu hektar di tepi jalan, beserta satu petak sawah yang sudah diincar oleh kontraktor pabrik.Sebuah foto diambil, lantas dikirimkan kepada Bu Elis, wanita yang melancarkan aksinya membawa dua bocah kecil itu, tak lain untuk kepentingannya sendiri."Jaga mereka baik-baik, kami segera ke sana." Bunyi pesan yang langsung masuk sebagai jawaban, diiringi sebuah foto seorang lelaki yang tengah menyalakan sepeda motor.Mira menarik salah satu sudut bibirnya. Sebentar lagi, impiannya akan terwujud. Tinggal menunggu drama dimainkan seb

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Jelang Ending

    Ibu dan anak itu menegakkan kepala dan menatap berang padanya. Harga diri yang selama ini dijunjung tinggi merasa terluka mendengar kalimat terakhir yang meluncur dari wanita yang berdiri di ujung teras dengan wajah tenang."Kamu pikir saya miskin hingga kamu beri sedekah?!" geram Bu Elis melotot tak terima.Tangan menggenggam erat, wujud dari geramnya hati dengan jawaban dari wanita yang berdiri tegak di depannya. Tanpa sadar kalau beberapa bagian yang runcing dari perhiasan yang ia pegang menusuk-nusuk kulit."Maaf, Bu. Saya tidak pernah berpikir demikian," jawab Andin singkat, lantas memasukkan beberapa benda yang tercecer. Merapikan kembali tas yang tidak terlalu besar, menyampirkan talinya di pundak. "Saya pamit. Assalamu'alaikum."Menganggukkan kepala, lantas melangkah pergi. Bu Elis menjawab salam Andin dengan suara ketus."Wa'alaikumsalam."Bu Elis menatap kepergian menantu pertamanya dengan senyuman sinis. Lega

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Talak

    Andin terkejut ketika sampai di rumah dan mendapati Angga memberi tatapan tajam padanya. "Mas, kamu, sudah pulang? Bukannya biasanya jam setengah lima paling cepet?" tanya Andin beruntun.Lelaki yang ia tanya masih mengeraskan rahang dengan bahu naik turun. Di belakangnya, Bu Elis menarik salah satu sudut bibirnya.Andin menelisik isi rumah, berharap ia hanya melewatkan melihat anaknya yang berada di kamar saat ia pergi. Ya, dalam keputusasaan tak menemukan kedua buah hatinya, dia berharap mereka berada di salah satu ruang dalam rumah mungilnya. Ia bergegas pulang saat membuat kesimpulan sendiri, dan belum berniat memberi kabar pada suaminya karena tak mau membuat lelaki itu cemas di jam kerja. Tak dinyana kalau suaminya telah lebih dulu sampai sebelum ia berhasil menemukan anaknya."Kau sembunyikan di mana anakku?" tanya Angga penuh penekanan."Apa? Menyembunyikan?" tanya Andin tak mengerti. Tatapannya menyorot wanita paruh ba

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Hanya Titipan

    Bu Elis menuju dapur, memeriksa semua benda yang ada di sana. Wanita itu memekikkan nama menantunya."Andin! Ke sini, kamu!"Andin terjingkat, lantas beranjak ke dapur.Melihat ibu mertuanya berkacak pinggang dengan tatapan tajam, keningnya mengernyit heran."Ada apa, Bu?" tanya Andin dengan suara pelan. "Tidak ada makanan sama sekali! Kau beri makan apa cucuku?" ketus Bu Elis.Andin membulatkan mulut. Di dapurnya memang sudah tidak ada makanan selain nasi. Beberapa stok cemilan sudah dia keluarkan untuk menyambut tamunya. Dia yakin kalau yang dimaksud ibu mertuanya adalah lauk untuk teman makan nasi. Sementara telur tinggal dua biji. "Tadi anak-anak makan sama sup udang, tapi, sudah habis, Bu," jawab Andin membuat Bu Elis menelengkan kepala."Udang?"Andin mengangguk mengiyakan."Lalu nanti kalau mereka lapar lagi, kamu kasih apa?" selidik Bu Elis. Kali ini suaranya lebih pelan.And

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status