Share

Bab 7

Awalnya, kupikir Dinar akan rewel sebab beradaptasi dengan suasana baru di desa ini.

Nyatanya, ia justru anteng, lebih anteng dan tidurnya lebih nyenyak.

Sama sepertiku, terbawa suasana tenang di sini, membuat aku bangun dengan badan segar, sebab istirahatku tak terganggu semalaman.

"Dia capek di perjalanan, biar Ibu pijit, ya?" pinta ibu pagi tadi.

Aku mengiyakan, sebab ibu memang biasa memijit bayi tetangga jika diminta.

Ibu dengan telaten memijit seluruh badannya sebelum dimandikan pagi tadi. Setelah itu, ia tidur nyenyak hingga hampir tengah hari.

Silvi sendiri terlihat asyik mengajak adiknya bercanda, meski dijawab dengan bahasa bayi, tak mengurangi tawa di wajah kecil itu.

Ia bahkan mengajak beberapa teman sepermainan ke rumah, demi memamerkan adik kecilnya yang baru datang.

Lewat tengah hari, datang seorang kerabat jauh, membawa sebuah undangan pernikahan.

"Kebetulan ada Karin di rumah. Kakakmu mau nikah, kamu bisa datang, kan, Rin?"

"Insya Allah, Budhe. Kapan ini acaranya?" tanyaku antusias.

Lama tak bertemu dan tak mendengar kabar, tiba-tiba saja dapat kabar bahagia, tentu akan kuusahakan datang, dengan ijin Mas Yudha tentunya.

"Seminggu lagi. Datang, ya, ajak suami kamu juga," pinta beliau kemudian. Diserahkan kertas undangan padaku.

Aku hanya bisa mengiyakan, meski tak yakin kalau Mas Yudha bisa ikut, sebab pekerjaannya tentu tak bisa ditinggal lebih lama.

.

Hari telah gelap. Suara jangkrik dan hewan kecil lain mendominasi indera pendengaran kali ini.

Dua lelaki dewasa, cinta pertamaku beserta menantunya, sedang bertukar kata.

Asap yang mengepul dari bibir tipis mereka, menjadi teman setia sepanjang obrolan berlangsung.

Samar kudengar tawa mereka sesekali. Aku sendiri, terbaring di sisi kedua anakku yang telah terlelap.

Kuraih ponsel, lalu mengambil gambar kami bertiga. Aku tersenyum melihat tangkapan layar.

Tak menunggu lagi, kujadikan story W******p kali ini, selingan di antara deretan dagangan yang kupajang sebelumnya.

Selama ini, aku jarang sekali menjadikan foto keluarga sebagai story W******p. Sekalinya posting, langsung diserbu oleh kerabat yang jarang bertemu.

"Pulang kampung, Rin?"

Sebuah pesan dari Bulek Ratih, adik ibu mertua, masuk ke ponselku, mengomentari foto yang kuunggah beberapa saat tadi.

"Iya, Bulek," jawabku singkat.

"Gimana kabarnya?" tanyaku kemudian.

Di antara banyak saudara ibu, Bulek Ratih yang paling dekat denganku, juga dengan ibu. Tak jarang beliau jadi penengah, jika mengetahui kami berselisih.

Ibu sendiri seringnya patuh pada ucapan Bulek, sebab meski usianya beda jauh, tapi pemikirannya lebih obyektif. Setidaknya, itu menurut penilaianku.

"Yudha dibesarkan oleh orang tuanya dengan kasih sayang, serta air susu yang mengalir menjadi darah di tubuhnya.

Kamu yang baru datang ke hidupnya, kenapa membuat ia menjadi anak durhaka, lalu menjauhkan ia dari ibunya?"

Dahiku mengernyit seketika membaca pesan panjang yang beliau kirimkan. Ada apa ini? Kenapa seolah aku disudutkan begini?

Lalu membuat Mas Yudha durhaka, bagaimana ceritanya?

Apa ibu telah mengadu ke sana, lalu membuat pernyataan yang membuat Bulek menilaiku demikian?

"Maaf, Bulek, maksud Bulek apa?"

Tak bisa kutahan lagi jariku untuk tak bertanya langsung, meski melalui sambungan telepon.

Aku tak mau kepalaku berdenyut nyeri, sebab banyaknya pertanyaan yang tak kutemukan jawabannya saat ini.

"Maaf, Bulek, kalau soal dibesarkan dengan kasih sayang dan air susu, saya rasa tak hanya Mas Yudha, saya pun demikian," ujarku lagi.

"Ya kamu ngapain minta pulang, wong sudah sepakat buat tinggal di sini, menemani ibumu yang nggak ada temannya.

Kamu nggak lihat, ibumu nangis-nangis, sebab cucunya dibawa pergi, di rumah nggak ada temannya. Yudha juga kamu pengaruhi supaya ikut kamu.

Kamu pikir ongkos buat ke sana sedikit? Bisa habis-habisan nanti ponakanku cuma buat bolak-balik antar kamu pulang, lalu ke sini lagi, ongkos lagi."

Bulek bicara tanpa henti, tanpa jeda. Aku sampai kehabisan kata, sebab tak mengerti dengan jalan pikiran orang ini.

Nampaknya beliau telah membuat kesimpulan hanya mendengar dari satu pihak, tanpa konfirmasi ke pihak lain.

Mau kujelaskan, rasanya juga percuma, sebab ia telah meyakini pendapatnya sendiri.

"Kamu sendiri yang menyanggupi untuk tinggal bersama ibumu, kenapa tiba-tiba minta pulang? Apa kamu lupa, kamu direstui untuk menjadi keluarga kami sebab apa?" cecar Bulek lagi.

Ah, sial. Kesepakatan itu lagi yang diungkit. Tiba-tiba saja aku berharap sinyal di sini hilang biar sambungan telepon ini terputus dengan sendirinya.

"Ya, itu kan dulu. Sekarang lain, Bulek.

Tak taukah Bulek, ada banyak hal yang terjadi, tanpa Bulek ketahui, selama aku menjadi menantu di keluarga ibu mertuaku.

Ibu sendiri yang meminta saya pergi, apa Bulek tau? Apa ibu mengatakan ibu pada panjenengan? Rasanya enggak, ya, soalnya kelihatan dari apa yang Bulek katakan tadi."

"Mana mungkin ibumu melakukan itu?"

"Terserah Bulek lah. Saya hanya mengatakan yang sebenarnya, biar Bulek nggak salah sangka."

"Salah sangka gimana? Jangan mengada-ada kamu!"

"Dan lagi, kenapa bulek ikut campur urusan rumah tanggaku? Apa lagi gabut, kurang kerjaan, apa gimana?"

"Karin! Berani kamu, ya?!"

"Maaf, saya mau istirahat. Assalamu'alaikum."

Kupencet tombol off dengan kekuatan penuh. Huh, ada-ada saja. Kuletakkan ponsel di atas meja kamar dengan hati-hati. Jangan sampai ia jadi korban rasa kesal ini. Bagaimana aku mencari nafkah nanti kalau ia yang jadi sasaran?

Baru juga dua hari Mas Yudha di sini, sudah heboh sekali. Entah mengadu apa ibu sama adiknya, hingga aku dituduh macam-macam.

Lagi pula, apa salahnya mas Yudha mengeluarkan biaya untuk kepulanganku?

Bukankah dia suamiku, bertanggung jawab atasku, termasuk untuk bertemu orang tuaku yang terpisah jarak ratusan kilometer?

Satu tahun kutahankan tak pulang, sekalinya minta pulang, kenapa dipermasalahkan?

Sungguh aku tak bisa mengerti dengan jalan pikiran bulek yang selama ini kuanggap bijak.

.

Sudah jam sepuluh malam, saat Mas Yudha muncul di pintu kamar. Aku sendiri masih bergumul dengan pertanyaan yang berputar-putar di kepala.

"Istri Mas kenapa ini, kok cemberut gini mukanya?" tanyanya, sambil bergerak mendekat.

Aku harap ia tak mendengar obrolanku dengan Bulek Ratih beberapa saat tadi. Bahaya kalau sampai ia mendengar perdebatan kami.

Bukan tak mungkin ia akan meledak-ledak seperti sebelumnya. Ia selalu sensitif kalau sudah menyangkut omongan orang tentangku.

"Mas bau asap, ganti baju dulu sana," ujarku, lantas menutup hidung dan mulut dengan telapak tangan. Bau asap ini, sungguh menggangguku.

"Iya deh, iya. Entah kenapa istriku ini, sampai Mas kena imbasnya," gerutunya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status