Share

Bab 6 Si Menantu Pembangkang

Sepeninggal bapak, kuurus keperluan Silvi, sementara Dinar dipegang ibu.

Biasanya ibu ikut ke sawah juga, tapi kali ini beliau memilih tinggal, sebab kedatangan cucunya yang lain.

"Biar saya yang antar Silvi ke sekolah, Bu," pintaku, setelah anak sulungku siap dengan pakaian seragam dan tas sekolahnya. Ibu mengiyakan.

"Berangkat sama ibu ya, Nak?" tawarku, yang segera disambut dengan anggukan.

Kupastikan Dinar kenyang dan pulas tertidur, sebelum akhirnya aku melajukan motor, mengantar anakku ke sekolah. Hal yang selama ini belum pernah kulakukan, sebab terpisah jarak.

"Karin!"

Silvi baru memasuki halaman sekolah, aku pun baru akan menstarter sepeda motor, saat kudengar namaku dipanggil.

Bibirku melengkungkan senyum, begitu mengetahui siapa pemilik suara tadi. Tiwi, temanku SD, yang terlihat memakai seragam, seperti guru TK yang lain.

Aku bergegas turun dari motor. Tak sopan rasanya duduk di atas motor sambil berbincang, meski dengan teman lama sekali pun.

"Kapan pulang?" tanyanya, setelah berjabat tangan.

"Baru kemarin. Kamu, ngajar di sini?"

"Iya. Kamu sendiri, ngapain, tumben kelihatan?"

"Ya ngantar anakku. Itu, yang dikuncir dua itu," ujarku sambil menunjuk ke arah Silvi yang mulai main perosotan.

"Silvi, ya? Pantesan, kok mirip. Baru tau kalau itu anakmu."

"Iya, Wi. Eh, selamat ya, udah jadi Bu guru sekarang. Maaf, aku harus balik cepet," pamitku.

"Oke, hati-hati. Aku juga harus masuk, udah waktunya," jawab Tiwi, dengan senyum ramahnya.

Tak pernah menyangka sebelumnya, kalau Tiwi, temanku nyari keong di sawah dulu, kini menjadi guru TK. Tentu aku ikut senang, melihat teman sepermainan, yang lama tak terlihat, kini menjelma menjadi ibu peri bagi anak-anak didiknya, termasuk anakku.

Aku bergegas pulang, setelah memastikan Silvi bergabung dengan teman-temannya di kelas. Aku hanya perlu menjemput nanti, dua jam lagi.

"Bu, apa ada iuran sekolah yang belum dibayar?" tanyaku, begitu sampai di rumah.

Selama ini, ibu dan bapak hampir tak pernah berbicara tentang ini padaku, meski berkali kutanyakan saat bertukar kabar di telepon.

"Sudah, semua sudah beres. Tidak perlu kamu pikirkan, ya. Kalau punya uang, lebih baik ditabung. Ibu do'akan semoga kamu lekas bisa punya rumah sendiri," jawab ibu, dengan senyum terbaik. Aku mengaminkan ucapan ibu.

"Bu, terima kasih banyak, sudah mengurus Silvi dengan baik," ujarku, dengan rasa haru yang tak bisa kubendung.

"Silvi anakku, Bu, aku tak bisa berlepas tangan dengan kebutuhannya. Ini buat pegangan ibu, jangan ditolak lagi, ya," pintaku, sambil menyerahkan beberapa lembar uang.

Ibu menerima juga, meski harus dibujuk beberapa kali.

Dari Mas Yudha, aku belajar berjualan apa saja di market place. Keuntungan yang kudapat itulah, yang kugunakan untuk mengirim sejumlah uang untuk ibu, melalui kakakku.

Meski tak banyak, aku berusaha mencukupi keperluan anakku, dengan mengirimkan sejumlah uang, meski tak bisa rutin tiap bulan.

Aku akan berusaha lebih keras setelah ini, sebab kebutuhan anakku tentu semakin banyak.

Aku tak berharap banyak, pada anggaran Mas Yudha, sebab memang bukan kewajibannya menafkahi anakku.

.

Ucapan bapak terngiang-ngiang sepanjang hari. Bahwa ibu kesepian setelah kutinggal pulang ke sini.

Aku membenarkan ucapan bapak, meski sebagian sisi hatiku menyangkal.

Selain Mas Yudha, ibu memiliki Mas Angga, anak sulung beliau, yang juga sudah berkeluarga.

Sesekali Mas Angga datang berkunjung bersama istri dan kedua anaknya. Sesekali juga aku mencuri waktu, curhat dengan istri kakak iparku itu.

"Mesti banyak sabar jadi menantu ibu. Ibu baik, kok, asal bisa ngambil hati beliau," ujar Mbak Andin, suatu ketika.

Aku membenarkan ucapan Mbak Andin, karena mengalami sendiri. Di awal aku jadi menantu, semua hal yang kuinginkan, hampir selalu beliau wujudkan, termasuk wisata kuliner, hampir setiap hari kami lakukan bertiga.

Ya, hanya bertiga, karena jarak rumah Mas Angga pun tak bisa dibilang dekat, setidaknya setengah jam dengan naik motor.

Sekali waktu, pernah juga karaokean di rumah, mengajak ibu bernostalgia dengan lagu kenangan bersama almarhum bapak mertua.

Ibu terlihat bahagia, setelah menyanyikan beberapa lagu penuh penghayatan. Setidaknya, itu yang tertangkap oleh kedua mataku, kala itu.

Tak segan ibu membandingkan aku dengan Mbak Andin, yang dianggap menantu pembangkang, bahkan sejak hari pertama aku menjadi menantu di rumah itu.

Siapa sangka, aku mendapat julukan yang sama dari beliau, beberapa waktu lalu? Bahkan, dengan tegas mengusirku, meski pernah meminta supaya aku tinggal di sana, menemani beliau menghabiskan hari tua.

Mbak Andin sendiri menolak tinggal di rumah Ibu, entah sebab apa. Hingga Mas Angga menyewa rumah untuk mereka tinggali.

Jika aku dan anakku tak ada di sana, aku yakin, ibu pasti menuju rumah anak sulungnya. Mengambil hati Mbak Andin lagi, supaya mau menemani beliau tinggal.

"Kamu itu, lho, kok kuat, wong Andin aja nggak mau di situ, padahal Andin itu kan yo alus to, anaknya," ucap Budhe Harti suatu ketika.

Aku tersenyum teringat kakak iparku. Perempuan berwajah sendu, yang lebih sering memisahkan diri jika datang berkunjung, sebab sering disindir ibu.

Ibu juga tak sepenuhnya kesepian, meski tak ada kami anak-anak dan cucunya, sebab memiliki toko sembako, bertemu dengan banyak orang sepanjang toko tersebut buka, sesekali bercanda juga.

Aku hanya berharap, kelak ibu kembali bersikap manis, seperti saat awal kedatanganku.

Pun Mas Yudha, semoga bisa mengambil sikap, supaya tak terjadi lagi perseteruan antara aku dan ibu.

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status