Beranda / Rumah Tangga / Setelah Diusir Ibu Mertua / Bab 6 Si Menantu Pembangkang

Share

Bab 6 Si Menantu Pembangkang

Penulis: Nisa Khair
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-16 14:50:30

Sepeninggal bapak, kuurus keperluan Silvi, sementara Dinar dipegang ibu.

Biasanya ibu ikut ke sawah juga, tapi kali ini beliau memilih tinggal, sebab kedatangan cucunya yang lain.

"Biar saya yang antar Silvi ke sekolah, Bu," pintaku, setelah anak sulungku siap dengan pakaian seragam dan tas sekolahnya. Ibu mengiyakan.

"Berangkat sama ibu ya, Nak?" tawarku, yang segera disambut dengan anggukan.

Kupastikan Dinar kenyang dan pulas tertidur, sebelum akhirnya aku melajukan motor, mengantar anakku ke sekolah. Hal yang selama ini belum pernah kulakukan, sebab terpisah jarak.

"Karin!"

Silvi baru memasuki halaman sekolah, aku pun baru akan menstarter sepeda motor, saat kudengar namaku dipanggil.

Bibirku melengkungkan senyum, begitu mengetahui siapa pemilik suara tadi. Tiwi, temanku SD, yang terlihat memakai seragam, seperti guru TK yang lain.

Aku bergegas turun dari motor. Tak sopan rasanya duduk di atas motor sambil berbincang, meski dengan teman lama sekali pun.

"Kapan pulang?" tanyanya, setelah berjabat tangan.

"Baru kemarin. Kamu, ngajar di sini?"

"Iya. Kamu sendiri, ngapain, tumben kelihatan?"

"Ya ngantar anakku. Itu, yang dikuncir dua itu," ujarku sambil menunjuk ke arah Silvi yang mulai main perosotan.

"Silvi, ya? Pantesan, kok mirip. Baru tau kalau itu anakmu."

"Iya, Wi. Eh, selamat ya, udah jadi Bu guru sekarang. Maaf, aku harus balik cepet," pamitku.

"Oke, hati-hati. Aku juga harus masuk, udah waktunya," jawab Tiwi, dengan senyum ramahnya.

Tak pernah menyangka sebelumnya, kalau Tiwi, temanku nyari keong di sawah dulu, kini menjadi guru TK. Tentu aku ikut senang, melihat teman sepermainan, yang lama tak terlihat, kini menjelma menjadi ibu peri bagi anak-anak didiknya, termasuk anakku.

Aku bergegas pulang, setelah memastikan Silvi bergabung dengan teman-temannya di kelas. Aku hanya perlu menjemput nanti, dua jam lagi.

"Bu, apa ada iuran sekolah yang belum dibayar?" tanyaku, begitu sampai di rumah.

Selama ini, ibu dan bapak hampir tak pernah berbicara tentang ini padaku, meski berkali kutanyakan saat bertukar kabar di telepon.

"Sudah, semua sudah beres. Tidak perlu kamu pikirkan, ya. Kalau punya uang, lebih baik ditabung. Ibu do'akan semoga kamu lekas bisa punya rumah sendiri," jawab ibu, dengan senyum terbaik. Aku mengaminkan ucapan ibu.

"Bu, terima kasih banyak, sudah mengurus Silvi dengan baik," ujarku, dengan rasa haru yang tak bisa kubendung.

"Silvi anakku, Bu, aku tak bisa berlepas tangan dengan kebutuhannya. Ini buat pegangan ibu, jangan ditolak lagi, ya," pintaku, sambil menyerahkan beberapa lembar uang.

Ibu menerima juga, meski harus dibujuk beberapa kali.

Dari Mas Yudha, aku belajar berjualan apa saja di market place. Keuntungan yang kudapat itulah, yang kugunakan untuk mengirim sejumlah uang untuk ibu, melalui kakakku.

Meski tak banyak, aku berusaha mencukupi keperluan anakku, dengan mengirimkan sejumlah uang, meski tak bisa rutin tiap bulan.

Aku akan berusaha lebih keras setelah ini, sebab kebutuhan anakku tentu semakin banyak.

Aku tak berharap banyak, pada anggaran Mas Yudha, sebab memang bukan kewajibannya menafkahi anakku.

.

Ucapan bapak terngiang-ngiang sepanjang hari. Bahwa ibu kesepian setelah kutinggal pulang ke sini.

Aku membenarkan ucapan bapak, meski sebagian sisi hatiku menyangkal.

Selain Mas Yudha, ibu memiliki Mas Angga, anak sulung beliau, yang juga sudah berkeluarga.

Sesekali Mas Angga datang berkunjung bersama istri dan kedua anaknya. Sesekali juga aku mencuri waktu, curhat dengan istri kakak iparku itu.

"Mesti banyak sabar jadi menantu ibu. Ibu baik, kok, asal bisa ngambil hati beliau," ujar Mbak Andin, suatu ketika.

Aku membenarkan ucapan Mbak Andin, karena mengalami sendiri. Di awal aku jadi menantu, semua hal yang kuinginkan, hampir selalu beliau wujudkan, termasuk wisata kuliner, hampir setiap hari kami lakukan bertiga.

Ya, hanya bertiga, karena jarak rumah Mas Angga pun tak bisa dibilang dekat, setidaknya setengah jam dengan naik motor.

Sekali waktu, pernah juga karaokean di rumah, mengajak ibu bernostalgia dengan lagu kenangan bersama almarhum bapak mertua.

Ibu terlihat bahagia, setelah menyanyikan beberapa lagu penuh penghayatan. Setidaknya, itu yang tertangkap oleh kedua mataku, kala itu.

Tak segan ibu membandingkan aku dengan Mbak Andin, yang dianggap menantu pembangkang, bahkan sejak hari pertama aku menjadi menantu di rumah itu.

Siapa sangka, aku mendapat julukan yang sama dari beliau, beberapa waktu lalu? Bahkan, dengan tegas mengusirku, meski pernah meminta supaya aku tinggal di sana, menemani beliau menghabiskan hari tua.

Mbak Andin sendiri menolak tinggal di rumah Ibu, entah sebab apa. Hingga Mas Angga menyewa rumah untuk mereka tinggali.

Jika aku dan anakku tak ada di sana, aku yakin, ibu pasti menuju rumah anak sulungnya. Mengambil hati Mbak Andin lagi, supaya mau menemani beliau tinggal.

"Kamu itu, lho, kok kuat, wong Andin aja nggak mau di situ, padahal Andin itu kan yo alus to, anaknya," ucap Budhe Harti suatu ketika.

Aku tersenyum teringat kakak iparku. Perempuan berwajah sendu, yang lebih sering memisahkan diri jika datang berkunjung, sebab sering disindir ibu.

Ibu juga tak sepenuhnya kesepian, meski tak ada kami anak-anak dan cucunya, sebab memiliki toko sembako, bertemu dengan banyak orang sepanjang toko tersebut buka, sesekali bercanda juga.

Aku hanya berharap, kelak ibu kembali bersikap manis, seperti saat awal kedatanganku.

Pun Mas Yudha, semoga bisa mengambil sikap, supaya tak terjadi lagi perseteruan antara aku dan ibu.

.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Ending

    Tiga bulan kemudian ….Kalimat takbir dan tahmid tak henti terucap dari bibir wanita berjilbab merah marun usai mendengar putusan sidang. Tubuh yang terbalut gamis berwarna senada dengan jilbabnya itu tersungkur di lantai keramik yang dingin, melakukan sujud syukur.Setengah tak rela Bu Elis membiarkan Karin menyerahkan Lusi dan Dani pada ibu kandungnya. Hak asuh atas kedua anak itu mutlak diberikan kepada Andin, mengingat usia mereka yang masih balita. Rasa haru tak bisa disembunyikan oleh Andin yang didampingi oleh Bu Ida dan juga Raya, pengacara rekomendasi dari Pak Tomo untuk memenangkan kasus Andin.Angga menerima keputusan sidang dengan lapang dada. Ditatapnya wajah wanita yang kini bergelar mantan istri. Wajah yang bersimbah air mata sembari memeluk dua buah hati setelah sekian lamanya tidak berjumpa. Wanita itu terus menghujani ciuman di wajah Lusi dan Dani secara bergantian, seakan tak pernah cukup untuk mengungkapkan betapa besar tumpukan rindu y

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Jelang Ending 3

    Satu Minggu, dua Minggu, hingga lima Minggu, obrolan Bu Elis berpusat pada rencana pernikahan Angga dan Mira. Karin dan Yudha yang kebagian dengar nyaris setiap hari setiap saat, merasa gerah dan memilih tidak menanggapi pada akhirnya. Pihak keluarga sudah menegur ketika kabar perpisahan Angga dan Andin tersiar, dan secepat itu pula merencanakan pernikahan. Namun, Bu Elis seakan menutup telinga. Jaminan sertifikat sawah yang dipegang Mira membuat wanita yang selalu mengenakan banyak perhiasan itu merasa wajib menjadikan Mira sebagai menantu.Terlebih lagi, peran Mira yang membuat Angga akhirnya berpisah dengan Andin, perempuan yang notabene tidak disukai sejak awal, membuat Bu Elis semakin dekat dengan Mira, merencanakan beberapa hal menyangkut penyelesaian bangunan rumah dan toko Angga, serta lahan yang masih luas hendak dimanfaatkan untuk apa.Keberadaan Lusi dan Dani di rumahnya, membuat semangat Bu Elis naik berlipat-lipat. Melihat ketiga cucu yang tu

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Jelang Ending 2

    Di tempat lain ….Mira menyeringai melihat dua bocah kecil yang sedang asyik menonton film animasi. Kegiatan yang selalu dibatasi oleh kedua orang tuanya, kini bisa bebas dilakukan selama yang mereka inginkan. Sebuah es krim berbeda rasa, berada di tangan masing-masing anak. Sedikit belepotan, tapi, tak masalah bagi sosok berbaju biru yang pikirannya tengah berkelana membayangkan jadi pemilik tunggal lahan seluas satu hektar di tepi jalan, beserta satu petak sawah yang sudah diincar oleh kontraktor pabrik.Sebuah foto diambil, lantas dikirimkan kepada Bu Elis, wanita yang melancarkan aksinya membawa dua bocah kecil itu, tak lain untuk kepentingannya sendiri."Jaga mereka baik-baik, kami segera ke sana." Bunyi pesan yang langsung masuk sebagai jawaban, diiringi sebuah foto seorang lelaki yang tengah menyalakan sepeda motor.Mira menarik salah satu sudut bibirnya. Sebentar lagi, impiannya akan terwujud. Tinggal menunggu drama dimainkan seb

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Jelang Ending

    Ibu dan anak itu menegakkan kepala dan menatap berang padanya. Harga diri yang selama ini dijunjung tinggi merasa terluka mendengar kalimat terakhir yang meluncur dari wanita yang berdiri di ujung teras dengan wajah tenang."Kamu pikir saya miskin hingga kamu beri sedekah?!" geram Bu Elis melotot tak terima.Tangan menggenggam erat, wujud dari geramnya hati dengan jawaban dari wanita yang berdiri tegak di depannya. Tanpa sadar kalau beberapa bagian yang runcing dari perhiasan yang ia pegang menusuk-nusuk kulit."Maaf, Bu. Saya tidak pernah berpikir demikian," jawab Andin singkat, lantas memasukkan beberapa benda yang tercecer. Merapikan kembali tas yang tidak terlalu besar, menyampirkan talinya di pundak. "Saya pamit. Assalamu'alaikum."Menganggukkan kepala, lantas melangkah pergi. Bu Elis menjawab salam Andin dengan suara ketus."Wa'alaikumsalam."Bu Elis menatap kepergian menantu pertamanya dengan senyuman sinis. Lega

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Talak

    Andin terkejut ketika sampai di rumah dan mendapati Angga memberi tatapan tajam padanya. "Mas, kamu, sudah pulang? Bukannya biasanya jam setengah lima paling cepet?" tanya Andin beruntun.Lelaki yang ia tanya masih mengeraskan rahang dengan bahu naik turun. Di belakangnya, Bu Elis menarik salah satu sudut bibirnya.Andin menelisik isi rumah, berharap ia hanya melewatkan melihat anaknya yang berada di kamar saat ia pergi. Ya, dalam keputusasaan tak menemukan kedua buah hatinya, dia berharap mereka berada di salah satu ruang dalam rumah mungilnya. Ia bergegas pulang saat membuat kesimpulan sendiri, dan belum berniat memberi kabar pada suaminya karena tak mau membuat lelaki itu cemas di jam kerja. Tak dinyana kalau suaminya telah lebih dulu sampai sebelum ia berhasil menemukan anaknya."Kau sembunyikan di mana anakku?" tanya Angga penuh penekanan."Apa? Menyembunyikan?" tanya Andin tak mengerti. Tatapannya menyorot wanita paruh ba

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Hanya Titipan

    Bu Elis menuju dapur, memeriksa semua benda yang ada di sana. Wanita itu memekikkan nama menantunya."Andin! Ke sini, kamu!"Andin terjingkat, lantas beranjak ke dapur.Melihat ibu mertuanya berkacak pinggang dengan tatapan tajam, keningnya mengernyit heran."Ada apa, Bu?" tanya Andin dengan suara pelan. "Tidak ada makanan sama sekali! Kau beri makan apa cucuku?" ketus Bu Elis.Andin membulatkan mulut. Di dapurnya memang sudah tidak ada makanan selain nasi. Beberapa stok cemilan sudah dia keluarkan untuk menyambut tamunya. Dia yakin kalau yang dimaksud ibu mertuanya adalah lauk untuk teman makan nasi. Sementara telur tinggal dua biji. "Tadi anak-anak makan sama sup udang, tapi, sudah habis, Bu," jawab Andin membuat Bu Elis menelengkan kepala."Udang?"Andin mengangguk mengiyakan."Lalu nanti kalau mereka lapar lagi, kamu kasih apa?" selidik Bu Elis. Kali ini suaranya lebih pelan.And

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status