Share

Bab 9

Author: Nisa Khair
last update Huling Na-update: 2022-10-21 17:16:53

Perjalanan kali ini terasa lambat. Tak ada temanku bicara, tak ada yang kuajak bertukar kata.

Hanya foto kami bertiga menjadi pelepas rindu. Terlebih pada bayi kecilku, yang kini mulai berceloteh lebih banyak dari sebelumnya.

Ibu tak henti menanyaiku, sejak awal perjalanan, hingga saat aku tiba di rumah. Aku pun merasa jengah.

"Kamu, kok balik sendirian, Yudha? Mana anak kamu? Mana Karin? Mereka berdua baik-baik saja, kan?"

Ibu beruntun menanyaiku yang baru saja sampai. Lantas mengikuti langkah panjangku memasuki rumah.

"Sementara mereka tinggal di sana dulu, Bu," ujarku menyudahi pertanyaan ibu yang tanpa henti.

"Apa maksudmu dengan tinggal di sana? Apa cucuku tak akan kembali ke rumah ini?" tanya ibu lagi.

"Ibu, aku baru saja sampai. Tak bisakah ibu biarkan aku istirahat dulu barang sejenak?"

Kuserahkan kardus berisi oleh-oleh dari orang tua istriku. Ibu menerima, tapi tak kunjung diletakkan, kardus itu masih menggantung di udara.

Kuserahkan bobot tubuh pada dipan yang ada di ruang tengah. Pandanganku menerawang, membayangkan akan bagaimana setelah ini.

Melihat ke ruang tamu, aku merasa dejavu. Kelebat kejadian saat pertama kali kubawa Karin ke sini, tiba-tiba saja melintas dalam ingatan.

"Nah, ini minumnya. Silakan diminum dulu, Rin."

Kuletakkan nampan di meja ruang tamu dengan membawa tiga gelas berisi minuman dingin, serta beberapa makanan ringan.

"Terima kasih, Mas, tapi, sepertinya aku harus segera pulang," jawabnya yang membuatku terkesiap.

Ia baru saja berbincang dengan ibu saat aku ke dapur tadi. Lalu, kenapa tiba-tiba ia pamit pulang?

"Lho, kenapa terburu-buru, bukankah kita baru saja sampai?" tanyaku lagi.

"Benar, Mas, tapi kehadiranku di sini tak diinginkan, untuk apa berlama-lama. Maaf, Mas, aku pamit, ya. Bu, saya pamit, ya, terima kasih untuk hari ini, Bu."

Ia beranjak menuju pintu depan setelahnya.

"Karin, tunggu!" seruku berusaha mencegah kepergiannya. Tapi ia telah tak terlihat lagi. Lalu aku beralih pada ibu.

"Ibu, ada apa ini? Kenapa Karin mendadak pamit pulang? Apa yang ibu katakan padanya?"

Aku berusaha mencari penjelasan dari ibu, tapi ibu masih tak bersuara. Aku mengejar Karin yang telah sampai di sisi jalan raya, tepat di depan toko ibu.

"Karin, ada apa ini? Tolong jelaskan, kenapa kamu tiba-tiba pamit pulang?"

Aku bertanya sambil memegang kedua pundak, setelah memutar badannya.

"Tidak apa-apa. Mungkin sebaiknya aku pulang dan tidak kembali ke sini, ke rumah ini lagi. Biarkan aku pulang sendiri."

Ia menjawab sambil terisak.

"Tidak Karin, tak akan kubiarkan kamu pulang seorang diri. Tunggulah sebentar, Mas ambil motor dulu, ya, biar kuantar kamu pulang. Tunggu di sini, jangan kemana-mana."

Selesai berkata demikian, aku langsung melesat ke halaman rumah, lantas berpamitan pada ibu.

"Ayo naik," ujarku memintanya naik ke atas motor.

"Baiklah, Mas."

Ia menurut juga setelah kubujuk beberapa kali.

Sepanjang jalan, kami saling diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Bisa kulihat raut sedih di wajahnya dari kaca spion.

Dua puluh menit kemudian, kami sampai di rumah kontrakan. Rumah yang ia tinggali dengan kakaknya di kota ini.

"Tolong jelaskan padaku, ada apa sebenarnya?" tanyaku tak sabar.

Kulihat ia menghela napas panjang, berusaha meraih udara sebanyak-banyaknya ke dalam paru-paru. Lalu menghembuskannya perlahan.

"Ibumu tak menyukaiku, Mas. Ibu tak setuju jika kamu beristri seorang janda dengan satu orang putri. Ibu telah memiliki calon menantu untukmu," ujarnya dengan menatap lurus ke dalam manik mataku.

"Aku cukup tau diri, jadi kuputuskan untuk mundur," lanjutnya lagi.

"Benarkah begitu? Kalau begitu kenapa kita tidak berjuang untuk mendapatkan restunya?

Bagiku, kamulah pilihanku. Aku akan melakukan apapun asalkan bisa hidup berdampingan denganmu. Bukankah sudah kukatakan berkali-kali, aku tak memperdulikan statusmu."

"Mas, dengar ini, pernikahan itu satu kali untuk seumur hidup.

Aku pernah gagal, dan berharap itu tak terjadi pada kamu. Dan kamu tau, seumur hidup itu lama, Mas, bukan satu atau dua tahun.

Lalu, apa seumur hidupku harus kuhabiskan untuk mendapatkan restu ibumu?" jelasnya panjang lebar.

"Tidak, aku tak akan membiarkan kamu seperti itu. Kita akan mendapatkan restu ibu.

Mas janji, akan bahagiain kamu. Kamu sabar, ya, biar aku bicara sama ibu lagi nanti di rumah."

Aku pun bergegas pamit, setelah memastikan ia tenang.

"Ibu, aku sudah memilih Karin sebagai calon istri, yang berarti dia akan menjadi menantumu, Bu. Tolong restui kami," ujarku begitu sampai di rumah.

"Tapi dia janda, Nak, dan sudah ada anaknya," ujar ibu, masih keberatan dengan pilihanku.

"Bukankah sudah ibu siapkan Mira? Kuliahnya sudah selesai, tinggal wisuda. Bahkan Mira bersedia kuliah demi bisa menjadi istrimu.

Percayalah, pilihan ibu dan bapak itu yang terbaik buat masa depanmu, Nak. Mira anak yang baik, sudah akrab dengan ibu dan juga bapakmu."

Ibu mengenal Mira di pasar saat belanja kebutuhan untuk toko yang dikelolanya. Mira sering membantu membawakan belanjaan jika ibu kerepotan.

Semakin lama, ibu tertarik dengan Mira dan ingin menjadikan menantu untukku. Sayang sekali aku tak tertarik, bahkan tak acuh saat dikenalkan dengannya.

"Maaf, Bu, aku tau ibu dan bapak suka dengan pribadi Mira. Tapi, tolong hargai pilihanku, Bu. Aku mencintai Karin.

Aku tak peduli dengan statusnya. Aku hanya ingin menghabiskan sisa hidupku dengannya, dengan atau tanpa restumu, Bu."

Kedua mata ibu membeliak mendengar ucapanku.

Akulah si bungsu, yang tak bisa ditawar segala inginku. Terlihat olehku, mata ibu berkaca-kaca.

Meski berat hati, ibu akhirnya merestui, dengan syarat, kelak Karin harus mau tinggal di rumah yang sama dengannya.

Siapa sangka, restu yang beliau beri, ada batas waktunya. Di awal pernikahan, ibu terlihat begitu baik dan peduli pada Karin. Lantas kini terulang lagi, istriku memilih pergi dari rumah ini, sebab ulah ibuku.

Akan kutepati janjiku, Karin. Aku tak mau kamu menderita setelah menjadi istriku. Tunggu, ya.

"Yudha, katakan pada ibu, apa yang terjadi, kenapa kamu kembali seorang diri?"

Ibu masih mendesak demi mendapatkan jawaban. Beliau duduk di sisiku, dengan tangannya memegang lenganku. Hal yang selalu dilakukan saat ingin bicara serius denganku.

"Ada keluarga Karin yang mau nikah, Bu, jadi Karin di sana dulu sementara," jawabku apa adanya.

Terbayang lagi wajah sedihnya saat kutinggal kemarin, juga wajah anakku, yang terlelap dalam gendongannya.

"Emang kalau Karin nggak datang, saudaranya nggak jadi nikah? Enggak, kan?" cecar ibu, membuatku berang seketika.

"Maksud ibu apa, sih, Bu? Karin menghormati saudara yang mengundang, apa salahnya?"

"Ya jelas salah!" sambar ibu cepat.

"Dia itu punya suami yang harus diurusi, bukannya enak-enakan di rumah orang tuanya."

"Sudahlah, Bu. Saya capek, mau istirahat."

Gegas aku berdiri, ingin menyudahi perdebatan ini. Bisa-bisa aku lepas kendali kalau tetap berada di depan ibu yang tak mau kalah saat bicara.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Ending

    Tiga bulan kemudian ….Kalimat takbir dan tahmid tak henti terucap dari bibir wanita berjilbab merah marun usai mendengar putusan sidang. Tubuh yang terbalut gamis berwarna senada dengan jilbabnya itu tersungkur di lantai keramik yang dingin, melakukan sujud syukur.Setengah tak rela Bu Elis membiarkan Karin menyerahkan Lusi dan Dani pada ibu kandungnya. Hak asuh atas kedua anak itu mutlak diberikan kepada Andin, mengingat usia mereka yang masih balita. Rasa haru tak bisa disembunyikan oleh Andin yang didampingi oleh Bu Ida dan juga Raya, pengacara rekomendasi dari Pak Tomo untuk memenangkan kasus Andin.Angga menerima keputusan sidang dengan lapang dada. Ditatapnya wajah wanita yang kini bergelar mantan istri. Wajah yang bersimbah air mata sembari memeluk dua buah hati setelah sekian lamanya tidak berjumpa. Wanita itu terus menghujani ciuman di wajah Lusi dan Dani secara bergantian, seakan tak pernah cukup untuk mengungkapkan betapa besar tumpukan rindu y

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Jelang Ending 3

    Satu Minggu, dua Minggu, hingga lima Minggu, obrolan Bu Elis berpusat pada rencana pernikahan Angga dan Mira. Karin dan Yudha yang kebagian dengar nyaris setiap hari setiap saat, merasa gerah dan memilih tidak menanggapi pada akhirnya. Pihak keluarga sudah menegur ketika kabar perpisahan Angga dan Andin tersiar, dan secepat itu pula merencanakan pernikahan. Namun, Bu Elis seakan menutup telinga. Jaminan sertifikat sawah yang dipegang Mira membuat wanita yang selalu mengenakan banyak perhiasan itu merasa wajib menjadikan Mira sebagai menantu.Terlebih lagi, peran Mira yang membuat Angga akhirnya berpisah dengan Andin, perempuan yang notabene tidak disukai sejak awal, membuat Bu Elis semakin dekat dengan Mira, merencanakan beberapa hal menyangkut penyelesaian bangunan rumah dan toko Angga, serta lahan yang masih luas hendak dimanfaatkan untuk apa.Keberadaan Lusi dan Dani di rumahnya, membuat semangat Bu Elis naik berlipat-lipat. Melihat ketiga cucu yang tu

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Jelang Ending 2

    Di tempat lain ….Mira menyeringai melihat dua bocah kecil yang sedang asyik menonton film animasi. Kegiatan yang selalu dibatasi oleh kedua orang tuanya, kini bisa bebas dilakukan selama yang mereka inginkan. Sebuah es krim berbeda rasa, berada di tangan masing-masing anak. Sedikit belepotan, tapi, tak masalah bagi sosok berbaju biru yang pikirannya tengah berkelana membayangkan jadi pemilik tunggal lahan seluas satu hektar di tepi jalan, beserta satu petak sawah yang sudah diincar oleh kontraktor pabrik.Sebuah foto diambil, lantas dikirimkan kepada Bu Elis, wanita yang melancarkan aksinya membawa dua bocah kecil itu, tak lain untuk kepentingannya sendiri."Jaga mereka baik-baik, kami segera ke sana." Bunyi pesan yang langsung masuk sebagai jawaban, diiringi sebuah foto seorang lelaki yang tengah menyalakan sepeda motor.Mira menarik salah satu sudut bibirnya. Sebentar lagi, impiannya akan terwujud. Tinggal menunggu drama dimainkan seb

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Jelang Ending

    Ibu dan anak itu menegakkan kepala dan menatap berang padanya. Harga diri yang selama ini dijunjung tinggi merasa terluka mendengar kalimat terakhir yang meluncur dari wanita yang berdiri di ujung teras dengan wajah tenang."Kamu pikir saya miskin hingga kamu beri sedekah?!" geram Bu Elis melotot tak terima.Tangan menggenggam erat, wujud dari geramnya hati dengan jawaban dari wanita yang berdiri tegak di depannya. Tanpa sadar kalau beberapa bagian yang runcing dari perhiasan yang ia pegang menusuk-nusuk kulit."Maaf, Bu. Saya tidak pernah berpikir demikian," jawab Andin singkat, lantas memasukkan beberapa benda yang tercecer. Merapikan kembali tas yang tidak terlalu besar, menyampirkan talinya di pundak. "Saya pamit. Assalamu'alaikum."Menganggukkan kepala, lantas melangkah pergi. Bu Elis menjawab salam Andin dengan suara ketus."Wa'alaikumsalam."Bu Elis menatap kepergian menantu pertamanya dengan senyuman sinis. Lega

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Talak

    Andin terkejut ketika sampai di rumah dan mendapati Angga memberi tatapan tajam padanya. "Mas, kamu, sudah pulang? Bukannya biasanya jam setengah lima paling cepet?" tanya Andin beruntun.Lelaki yang ia tanya masih mengeraskan rahang dengan bahu naik turun. Di belakangnya, Bu Elis menarik salah satu sudut bibirnya.Andin menelisik isi rumah, berharap ia hanya melewatkan melihat anaknya yang berada di kamar saat ia pergi. Ya, dalam keputusasaan tak menemukan kedua buah hatinya, dia berharap mereka berada di salah satu ruang dalam rumah mungilnya. Ia bergegas pulang saat membuat kesimpulan sendiri, dan belum berniat memberi kabar pada suaminya karena tak mau membuat lelaki itu cemas di jam kerja. Tak dinyana kalau suaminya telah lebih dulu sampai sebelum ia berhasil menemukan anaknya."Kau sembunyikan di mana anakku?" tanya Angga penuh penekanan."Apa? Menyembunyikan?" tanya Andin tak mengerti. Tatapannya menyorot wanita paruh ba

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Hanya Titipan

    Bu Elis menuju dapur, memeriksa semua benda yang ada di sana. Wanita itu memekikkan nama menantunya."Andin! Ke sini, kamu!"Andin terjingkat, lantas beranjak ke dapur.Melihat ibu mertuanya berkacak pinggang dengan tatapan tajam, keningnya mengernyit heran."Ada apa, Bu?" tanya Andin dengan suara pelan. "Tidak ada makanan sama sekali! Kau beri makan apa cucuku?" ketus Bu Elis.Andin membulatkan mulut. Di dapurnya memang sudah tidak ada makanan selain nasi. Beberapa stok cemilan sudah dia keluarkan untuk menyambut tamunya. Dia yakin kalau yang dimaksud ibu mertuanya adalah lauk untuk teman makan nasi. Sementara telur tinggal dua biji. "Tadi anak-anak makan sama sup udang, tapi, sudah habis, Bu," jawab Andin membuat Bu Elis menelengkan kepala."Udang?"Andin mengangguk mengiyakan."Lalu nanti kalau mereka lapar lagi, kamu kasih apa?" selidik Bu Elis. Kali ini suaranya lebih pelan.And

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status