Share

Bab 9

Perjalanan kali ini terasa lambat. Tak ada temanku bicara, tak ada yang kuajak bertukar kata.

Hanya foto kami bertiga menjadi pelepas rindu. Terlebih pada bayi kecilku, yang kini mulai berceloteh lebih banyak dari sebelumnya.

Ibu tak henti menanyaiku, sejak awal perjalanan, hingga saat aku tiba di rumah. Aku pun merasa jengah.

"Kamu, kok balik sendirian, Yudha? Mana anak kamu? Mana Karin? Mereka berdua baik-baik saja, kan?"

Ibu beruntun menanyaiku yang baru saja sampai. Lantas mengikuti langkah panjangku memasuki rumah.

"Sementara mereka tinggal di sana dulu, Bu," ujarku menyudahi pertanyaan ibu yang tanpa henti.

"Apa maksudmu dengan tinggal di sana? Apa cucuku tak akan kembali ke rumah ini?" tanya ibu lagi.

"Ibu, aku baru saja sampai. Tak bisakah ibu biarkan aku istirahat dulu barang sejenak?"

Kuserahkan kardus berisi oleh-oleh dari orang tua istriku. Ibu menerima, tapi tak kunjung diletakkan, kardus itu masih menggantung di udara.

Kuserahkan bobot tubuh pada dipan yang ada di ruang tengah. Pandanganku menerawang, membayangkan akan bagaimana setelah ini.

Melihat ke ruang tamu, aku merasa dejavu. Kelebat kejadian saat pertama kali kubawa Karin ke sini, tiba-tiba saja melintas dalam ingatan.

"Nah, ini minumnya. Silakan diminum dulu, Rin."

Kuletakkan nampan di meja ruang tamu dengan membawa tiga gelas berisi minuman dingin, serta beberapa makanan ringan.

"Terima kasih, Mas, tapi, sepertinya aku harus segera pulang," jawabnya yang membuatku terkesiap.

Ia baru saja berbincang dengan ibu saat aku ke dapur tadi. Lalu, kenapa tiba-tiba ia pamit pulang?

"Lho, kenapa terburu-buru, bukankah kita baru saja sampai?" tanyaku lagi.

"Benar, Mas, tapi kehadiranku di sini tak diinginkan, untuk apa berlama-lama. Maaf, Mas, aku pamit, ya. Bu, saya pamit, ya, terima kasih untuk hari ini, Bu."

Ia beranjak menuju pintu depan setelahnya.

"Karin, tunggu!" seruku berusaha mencegah kepergiannya. Tapi ia telah tak terlihat lagi. Lalu aku beralih pada ibu.

"Ibu, ada apa ini? Kenapa Karin mendadak pamit pulang? Apa yang ibu katakan padanya?"

Aku berusaha mencari penjelasan dari ibu, tapi ibu masih tak bersuara. Aku mengejar Karin yang telah sampai di sisi jalan raya, tepat di depan toko ibu.

"Karin, ada apa ini? Tolong jelaskan, kenapa kamu tiba-tiba pamit pulang?"

Aku bertanya sambil memegang kedua pundak, setelah memutar badannya.

"Tidak apa-apa. Mungkin sebaiknya aku pulang dan tidak kembali ke sini, ke rumah ini lagi. Biarkan aku pulang sendiri."

Ia menjawab sambil terisak.

"Tidak Karin, tak akan kubiarkan kamu pulang seorang diri. Tunggulah sebentar, Mas ambil motor dulu, ya, biar kuantar kamu pulang. Tunggu di sini, jangan kemana-mana."

Selesai berkata demikian, aku langsung melesat ke halaman rumah, lantas berpamitan pada ibu.

"Ayo naik," ujarku memintanya naik ke atas motor.

"Baiklah, Mas."

Ia menurut juga setelah kubujuk beberapa kali.

Sepanjang jalan, kami saling diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Bisa kulihat raut sedih di wajahnya dari kaca spion.

Dua puluh menit kemudian, kami sampai di rumah kontrakan. Rumah yang ia tinggali dengan kakaknya di kota ini.

"Tolong jelaskan padaku, ada apa sebenarnya?" tanyaku tak sabar.

Kulihat ia menghela napas panjang, berusaha meraih udara sebanyak-banyaknya ke dalam paru-paru. Lalu menghembuskannya perlahan.

"Ibumu tak menyukaiku, Mas. Ibu tak setuju jika kamu beristri seorang janda dengan satu orang putri. Ibu telah memiliki calon menantu untukmu," ujarnya dengan menatap lurus ke dalam manik mataku.

"Aku cukup tau diri, jadi kuputuskan untuk mundur," lanjutnya lagi.

"Benarkah begitu? Kalau begitu kenapa kita tidak berjuang untuk mendapatkan restunya?

Bagiku, kamulah pilihanku. Aku akan melakukan apapun asalkan bisa hidup berdampingan denganmu. Bukankah sudah kukatakan berkali-kali, aku tak memperdulikan statusmu."

"Mas, dengar ini, pernikahan itu satu kali untuk seumur hidup.

Aku pernah gagal, dan berharap itu tak terjadi pada kamu. Dan kamu tau, seumur hidup itu lama, Mas, bukan satu atau dua tahun.

Lalu, apa seumur hidupku harus kuhabiskan untuk mendapatkan restu ibumu?" jelasnya panjang lebar.

"Tidak, aku tak akan membiarkan kamu seperti itu. Kita akan mendapatkan restu ibu.

Mas janji, akan bahagiain kamu. Kamu sabar, ya, biar aku bicara sama ibu lagi nanti di rumah."

Aku pun bergegas pamit, setelah memastikan ia tenang.

"Ibu, aku sudah memilih Karin sebagai calon istri, yang berarti dia akan menjadi menantumu, Bu. Tolong restui kami," ujarku begitu sampai di rumah.

"Tapi dia janda, Nak, dan sudah ada anaknya," ujar ibu, masih keberatan dengan pilihanku.

"Bukankah sudah ibu siapkan Mira? Kuliahnya sudah selesai, tinggal wisuda. Bahkan Mira bersedia kuliah demi bisa menjadi istrimu.

Percayalah, pilihan ibu dan bapak itu yang terbaik buat masa depanmu, Nak. Mira anak yang baik, sudah akrab dengan ibu dan juga bapakmu."

Ibu mengenal Mira di pasar saat belanja kebutuhan untuk toko yang dikelolanya. Mira sering membantu membawakan belanjaan jika ibu kerepotan.

Semakin lama, ibu tertarik dengan Mira dan ingin menjadikan menantu untukku. Sayang sekali aku tak tertarik, bahkan tak acuh saat dikenalkan dengannya.

"Maaf, Bu, aku tau ibu dan bapak suka dengan pribadi Mira. Tapi, tolong hargai pilihanku, Bu. Aku mencintai Karin.

Aku tak peduli dengan statusnya. Aku hanya ingin menghabiskan sisa hidupku dengannya, dengan atau tanpa restumu, Bu."

Kedua mata ibu membeliak mendengar ucapanku.

Akulah si bungsu, yang tak bisa ditawar segala inginku. Terlihat olehku, mata ibu berkaca-kaca.

Meski berat hati, ibu akhirnya merestui, dengan syarat, kelak Karin harus mau tinggal di rumah yang sama dengannya.

Siapa sangka, restu yang beliau beri, ada batas waktunya. Di awal pernikahan, ibu terlihat begitu baik dan peduli pada Karin. Lantas kini terulang lagi, istriku memilih pergi dari rumah ini, sebab ulah ibuku.

Akan kutepati janjiku, Karin. Aku tak mau kamu menderita setelah menjadi istriku. Tunggu, ya.

"Yudha, katakan pada ibu, apa yang terjadi, kenapa kamu kembali seorang diri?"

Ibu masih mendesak demi mendapatkan jawaban. Beliau duduk di sisiku, dengan tangannya memegang lenganku. Hal yang selalu dilakukan saat ingin bicara serius denganku.

"Ada keluarga Karin yang mau nikah, Bu, jadi Karin di sana dulu sementara," jawabku apa adanya.

Terbayang lagi wajah sedihnya saat kutinggal kemarin, juga wajah anakku, yang terlelap dalam gendongannya.

"Emang kalau Karin nggak datang, saudaranya nggak jadi nikah? Enggak, kan?" cecar ibu, membuatku berang seketika.

"Maksud ibu apa, sih, Bu? Karin menghormati saudara yang mengundang, apa salahnya?"

"Ya jelas salah!" sambar ibu cepat.

"Dia itu punya suami yang harus diurusi, bukannya enak-enakan di rumah orang tuanya."

"Sudahlah, Bu. Saya capek, mau istirahat."

Gegas aku berdiri, ingin menyudahi perdebatan ini. Bisa-bisa aku lepas kendali kalau tetap berada di depan ibu yang tak mau kalah saat bicara.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status