Share

Setelah Hujan Bulan Desember
Setelah Hujan Bulan Desember
Penulis: devarisma

Broke

Penulis: devarisma
last update Terakhir Diperbarui: 2024-06-07 17:14:10

Suara sendok bertemu piring memecahkan keheningan di ruang makan. Di sana hanya diisi oleh dua sejoli. Tidak ada pembicaraan sama sekali yang keluar dari bibir mereka. Refans berusaha menyiapkan sarapannya. Sedangkan Mahra, hanya tenggelam dalam pikirannya sendiri.

 Bagaimana dia memulai pembicaraan untuk menghangatkan suasana pagi itu. Setelah berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, Refans tidak pernah menyantap masakannya. Dia berpikir keras, apa yang sepatutnya dia tanya. Agar mendapat sambutan hangat dari sang suami.

Mahra mencuri-curi perhatian, memperhatikan wajah Refans. Dia masih tetap tampan seperti dulu. Jam tangan rolex  masih melingkar pergelangan tangannya. Jam tangan itu hadiah  dari Mahra dua tahun yang lalu. Hadiah yang dipesan langsung dari Jerman. Refans senang diberikan hadiah berupa barang-barang mewah. Tapi, ada satu yang telah berbeda. Suaminya sudah tidak pernah tersenyum untuknya lagi. Mahra rindu, segaris senyum yang merekah di bibirnya.

“Apakabar di kantor, Abang?” sepotong kalimat meloncat lembut dari lisan Mahra.

Sekilas Refans menatap istrinya. Lalu melanjutkan makan. Dia seperti tak berminat  menjawab pertanyaan tersebut. Mahra terpaku, masih menunggu jawaban Refans. Hatinya ciut, dia berpikir bahwa  pertanyaannya  kurang menarik. Dia kembali menyusun kata-kata.

“Nanti malam mau Mahra masakin apa?” Mahra kembali melontarkan beberapa kata. Tanpa menunggu jawaban Refans, Mahra terus bertanya, “ Bebek bakar, udang tumis atau sayur asam?”

Refans sejenak menghentikan sendoknya. Lalu menjawab pertanyaan istrinya, “ Suka hati kau,” hanya itu. Dia bahkan tak berminat menatap istrinya sekejap saja. Mahra gagal mengajak suaminya berbicara. Mahra terpekur mengulum sakit.

Notif pesan meuncul di layar ponsel

Refans. Laki-laki itu tergesa-gesa meminum teh daun mint kesukaannya. Jemarinya menyempatkan menyapu touchscreen. Sebuah suara menggelegar di balik telpon pintar itu.

Refans, minggu depan pulang ke rumah. Ada acara keluarga semacam syukuran di rumah Tante Mei. Kamu tidak usah bawa pulang istrimu yang mandul itu.  Buat Mama malu aja nanti, kalau orang-orang nanyain cucu.

Mahra mendengar dengan jelas  pesan suara dari mertuanya. Hatinya perih, mendengar kata-kata, ‘Mandul’ dan ‘buat Mama malu’ adalah dua kata-kata yang membuat batinnya tersayat pisau yang tumpul. Cukup sakit, dia menahan gejolak batinnya yang meronta kesakitan. Sebutir air membuat netranya mengaburkan pandangan. Entah berpuluh kali sudah mertuanya menghinanya gara-gara mandul.

“Kau dengar? Mamaku menanggung malu karena kau mandul!” bentak Refans.

Mahra tertunduk dalam. terdiam, air mata terus mengalir deras membasahi wajah putih.

“Nangis, cuma itu yang kau bisa!” Tangan Refans memukul meja makan dengan keras. Amarahnya meluap lagi. Mahra makin terisak. Ingin membela diri tapi lidahnya kelu. Dia bagai kehilangan kata-kata.

“Dasar perempuan pembawa sial!” bisik Refans lalu mendorong kepala istrinya dengan telunjuk. Mahra masih terpaku. Matanya terus basah. Tumpahan rasa yang meledak-ledak. Bahunya berguncang hebat. Hatinya sangat sakit terhadap perlakuan suaminya.

“Kau! Memang betina tak guna,” ucapnya pelan tapi menusuk ke hati yang terdalam. Telunjuk besar Refans kembali mendorong kepala Mahra hingga mundur ke belakang beberapa centi. Dia masih menatap istrinya dengan bengis.

Mahra tak bergeming, dia hanya berusaha sesabar mungkin. Dengan sikap Refans yang kasar. Dia tidak ingin menambah level amarah sang suami. Berharap dengan diam menahan perihnya ulu hati bagai dicabik-cabik paruh elang. Akan membuat Refans lekas membaik memperlakukannya seperti dulu.

“Aku bukan kupu-kupu malam yang dikutip di ujung jalan, Bang?”lirihnya dalam hati.

Lagi dan lagi Mahra hanya berujar dalam hati. Mendiskusi dengan diri sendiri. Bagaimana meladeni sikap Refans yang masih menatapnya dalam jarak yang sangat dekat. Jarak yang membuatnya bagai melebur lalu menyisakan serpihan luka.

“Kenapa diam? kau masih mau menyangkal, bahwa kau memang tak guna. Hah!” bentak Refans lagi lebih keras.

Mahra tidak bisa lagi menahan gejolak rasa kecewanya. Sebutir air bening menembus kelopak mata. Menuruni wajahnya yang putih. Dia menunduk, hendak menyembunyikan tangisnya yang telah pecah. Tapi, sia-sia, bulir bening itu telanjur mendarat di pipinya.

“Sudah empat tahun, Mahra. Orang-orang yang menikah sebaya dengan kita sudah hampir punya anak dua. Tapi, kita mana? Jika hanya untuk menemaniku tidur. Aku bisa mencari di luar sana,” sembur Refans lagi. 

“Abang, aku sudah…” ucapannya langsung terpotong.

 “Sudah apa? Sudah cukup membuat aku menyesal menikahimu, hah!” potongannya dengan cepat.

Lalu dia beranjak meninggalkannya sendirian. Dia menatap punggung sang suami yang menghilang di balik daun pintu. Raga yang dulunya memujinya, menyayangi tanpa cela. Mahra memeluk lutut. Duduk tergugu di atas ranjang yang empuk.  Hatinya pecah, berdarah. Berbagai rasa kecewa berkecamuk dalam dirinya. Bagaimana bisa dia melawan takdir. Jika di usia pernikahan sudah empat tahun tapi belum bisa memberikan suaminya keturunan. 

“Siapa aku yang bisa mempercepat takdir?” lirihnya seorang diri.

Takdir jodoh, rezeki, maut semuanya misteri Tuhan. Tidak ada yang pernah tahu kapan Tuhan mempertemukan dengan jodohnya. Memberikan mereka keturunan. Juga memberikan rezeki yang berkecukupan. Mahra hanya bisa bersabar, menghadapi suami yang semakin tak menghargainya lagi.

**

 Saat keluar dari supermarket tepat di parkiran. Dia tak sengaja mendengar obrolan seseorang berbicara lewat telepon. Mahra menoleh ke samping. Terlihat seorang lelaki gempar duduk  di dalam mobil jep dengan posisi pintu terbuka.

“Refans Nasution, pemilik perusahaan JJ Nugraha kan Bos,” ucap laki-laki itu.

Mahra semakin merapatkan telinganya ke arah laki-laki itu.

“Siap, Bos. Besok saat jam makan siang kita habisi dia. karena biasanya dia keluar jam makan siang.”

Laki-laki itu pun menutup teleponnya, lalu melajukan mobilnya.

Mahra membekap mulutnya. Yang dia dengar jelas sekali. Suaminya dalam bahaya. Dia harus segera memberi  tahunya.  Mahra langsung memutar arah. mengendarai mobil dengan laju cepat. Membelah jalan yang basah karena hujan di penghujung tahun.

Begitu tiba di depan meja resepsionis. Dua perempuan di sana mencoba menyapanya. Dia langsung berpapasan dengan asisten pribadi suaminya.

“Fani, Bapak ada?” tanya Mahra.

“Ada Bu di ruangnya,” jelas perempuan tersebut sambil tersenyum ramah.

“Sedang tidak sibuk kan?”seru Mahra lagi.

“Oh, nggak Bu, masuk aja.”  Fani mempersilahkan istri bosnya.

“Terima kasih, “ Mahra segera beranjak menuju lift.

Mahra mengetuk pintu sang suami. 

“Siapa? Silahkan masuk?” terdengar suara dari dalam.

Mahra masuk dengan raut panik melihat sang suami yang sedang duduk di kursi kebesarannya.

“Kamu?” Refans lansung bangkit dari duduknya.

“Abang Mahra ke sini ada yang ingin disampaikan,” ujar Mahra sambil hendak menyalaminya.

“Pulang sekarang aku lagi sibuk!” Refans berbicara dengan suara datar dan tegas.

“Abang dengerin Mahra dulu!” pinta Mahra.

“Pulang sana!” teriaknya sambil menunjuk ke pintu.

“Abang tolong dengarin ….”

“Keluar!” teriak Refans lebih besar.

Mahra akhirnya pun pergi dengan hati kecewa.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Setelah Hujan Bulan Desember   Pensiun Dini

    Lima tahun kemudian.Tidak terasa waktu bergulir begitu cepat. Kini anak-anak sudah tumbuh menuju dewasa. Si kembar sudah SMA menjelang tamat. Rasa-rasanya, Angga ingin segera pensiun dari pekerjaannya. Dia sudah mempercayai beberapa kerabat dekat untuk mengelola perusahaannya.“Sayang, rasanya aku di rumahnya. Pensiun lebih cepat!” ucap Angga pagi itu setelah anak-anak semua pergi sekolah. Mahra selama tidak memiliki bayi. Sudah kembali aktif menulis.“Terserah Mas! Mahra senang aja kalau Mas di rumah! Apalagi Mas sudah bekerja sejak muda. Pensiun dini lebih baik sebagai bonus kerja keras selama ini!” Mahra menghentikan pekerjaannya. Lalu duduk di sampingnya.“Kamu masih tetap cantik!” Angga menatap sang istri lebih lekat.“Mahra sudah tua, Mas! Sudah ada satu dua uban!” ujarnya tersipu.“Tapi, masih tetap cantik!” Angga menggamit tangan sang istri.“Mas juga masih gagah, orang tidak akan percaya Mas sudah menuju kepala lima!” Mahra membalas tatapan sang suami.“Karena Mas masih gant

  • Setelah Hujan Bulan Desember   Ustazah Alika

    “Total belanjaan Kakak seratus dua puluh ribu!” ucap Kasir.Alika merongong tasnya. Capek dia cari-cari dompet. “Duh kemana sih domper?” keluh Alika.“Kak?” panggil kasir. “Antriannya panjang sekali.”Dia baru sadar ada sepuluh orang sedang mengatri di belakang.“Aduh maaf bang, dompet saya tinggal! Saya transfer aja boleh?” tanya Mahrasambil menahan malu.“Tidak bisa kak, rekening toko lagi bersamalah!” ujar kasir.“Tapi, gimana bang saya nggak bawa dompet!” Alika sudah hampir menangis.Tiba-tiba seseorang meletakkan dua lembar pecahan dua ratus di sana. “Ini sekalian untuk bayaran ustazah ini!” ujar laki-laki itu dengan tenang. Sembari menunjukkan sebotol air mineral dan bisquit.“Oke!” kasir lamgsung mengerjakan tugasnya.Alika masih di sana terpaku. Mengingat sejenak sepertinya pernah jumpa. Tapi dimana? laki-laki dengan penampilan kasual nampak santai dengan celana training, baju kaos jersey dan sepatu olahraga.“Terima kasih Pak!” seru Alika cepat-cepat.“Sma-sama Ustazah!” lak

  • Setelah Hujan Bulan Desember   Potongan Karya Alika

    Bab 1Mengenal Makhluk HidupAlika merupakan siswa kelas III SD. Alika tinggal bersama Ayah dan Ibunya dan adiknya Affa. Affa masih berumur tiga tahun. Alika sangat menyayangi adik Affa.Setiap hari Alika ke sekolah dengan berjalan kaki dengan Dini dan Andi. Mereka tinggal di satu komplek Perumahan Hijau. Dini, Andi dan Alika berteman baik sejak kelas I.“Hari ini kita belajar apa?” tanya Andi sambil mengayun langkah.“Kita akan belajar tentang makhluk hidup,” sahut Alika.“Makhluk hidup itu seperti kita ini, Ka?’’ tanya Dini.“Iya, makhluk hidup seperti kita ini manusia, hewan dan tumbuhan,” jelas Alika sambil menunjuk ke arah pohon yang memayungi jalan yang mereka lewati.“Apa saja ciri-ciri makhluk hidup, Ka?” tanya Andi lagi.“Memerlukan makan dan minum, bernapas, tumbuh dan berkembang biak,” sahut Alika lagi.“Pintar sekali kamu, Ka. Tahu dari mana?” tanya Dini.“Aku baca buku, Dini. Ayah dan Ibuku selalu menghadiahkan aku buku dan mengajakku ke perpustakaan,” jawab Alika.“Nanti

  • Setelah Hujan Bulan Desember   Pengalaman Baru

    Danil sangat kikuk duduk diantara orang-orang yayasan. Dimana penampilannya sangat mencolok. Semua laki-laki di sana menggunakan peci, serta baju koko yang cukup sopan. Belum lagi yang perempuan, membuat dia menjerit seakan sedang terjebak ke dalam tempat yang sangat sulit dia dambakan.Sebelum rapat dimulai. Angga sengaja meminta Danil duduk di sampingnya.“Maaf sebelumnya, Ustaz Ustazah semua. Perkenalkan ini Danil tangan kanan saya di perusahaan. Hari ini kebtulan saya ajak ke sini, untuk mengenal dunia pendidikan lebih jauh!” jelas Angga. Membuat semua orang memperhatikan Danil dengan seksama. Laki-laki dengan postur tubuh proposional. Hitung mancung, alis tebal dan sekilas terlihat berkarisma. Buru-buru ustazah di sana menundukkan pandang. Karena spek laki-laki di depan mereka sangat memukau, bagai artis.Danil agak terkejut dengan penuturan bosnya. Apa ini cara bosnya mengenalkan dia pada ustazah di sana. Rapat berlangsung. Beberapa ustazah menyampaikan laporan mereka. Ada juga

  • Setelah Hujan Bulan Desember   Aku Percaya

    Angga pulang hampir larut. Tidak biasanya dia seperti itu. Namun, beberapa pekerjaan menjelang akhir tahun ini membuat semuanya sibuk. Apalagi dia baru memecat sekretarisnya.“Danil, tolong carikan sekretaris baru untukku! Ingat laki-laki ya!” perintahnya.“Baik, Bos. Akan segera saya dapatkan!” sahut Danil. Danil merupakan kaki tangan ANgga. Namun, dia punya jabatan yang besar di perusahaan itu.“Maafkan saya terkait Sela Bos. Saya menyesal terhadap kejadian yang menimpa Bos!” tambah Danil. Angga sedang bersiap hendak pulang.“Its Oke. Jadi kita lebih waspada ke depan!” sahut Angga. Sekali lagi dia melihat jam di pergelangan tangannya. Sudah menunjukkan jam 12 dini hari. Sudah lama dia tidak lembur selama ini.“Baik, Bos.” Danil menunggu Bosnya keluar dari ruangan.Lalu mereka berjalan beriringan untuk ke parkiran.“Danil, kalau nanti kamu bekerluarga usahakan, melindungi dan menjaga pernikahanmu. Banyak sekali wanita jalangyang mengincar kalau kita punya pekerjaan dan penghasilan y

  • Setelah Hujan Bulan Desember   Penjaga Mama

    Sela keluar dari gedung pencakar langit itu dengan berat hati. Mau gimana lagi, dia benar-benar dipecat secara tidak terhormat. Bahkan bodyguard menyeretnya dengan kasar.“Saya ingin mengambil barang-barang saya dulu!” pintanya memelas karena ada beberapa barang berharganya di sana.“Ingat hanya lima menit kamu sudah keluar dari gedung ini!” tegas bodyguard tersebut. Sela berjalan cepat menuju lift lalu ke ruangannya tepat di samping ruangan Angga, sang CEO.Saat menenteng sebuah kardus keluar dari sana. Dia berpapasan dengan kedua temannya Ani dan Dini. Bukan rasa kasihan yang ditunjukkan malah diejek habis-habisan.“Aduh Sela- sela baru setengah jam lalu, kita bilang apa. Kamu mimpi ketinggian. Kasian sekali. Padahal cita-citanya mau jadi simpanan bos!” ledek Dini.“Memang kamu itu terlalu kepedean tahu. Kamu bisa tuh, incarin om sana, tapi tidak dengan Bos Angga. Dia itu spek setia. Kamu belum lihat istrinya secantik dan sekeren apa. Dibandingkan kamu bukan apa-apa Sel!” tambah Ani

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status