Share

Awal Mula Kemarahan Amara.

Tok ...tok ....

"Mbak Amara, buka pintu cepat!"

Amara bergegas membuka pintu. Karena terburu-buru kakinya sampai menendang kaki kursi, sakit luar biasa tapi dia tak perduli, karena takut terjadi sesuatu pada Bram suaminya.

"A ... Ada apa, ada apa?"

Amara mencari keberadaan suaminya, namun hanya ada kedua adik iparnya yang menatapnya dengan pandangan aneh.

"Mbak sudah gila, Ya. Kenapa keluar dengan keadaan seperti ini? Memalukan, apa tak bisa pakai baju atau handuk, agar tak kelihatan basah semua rokmu." Amara terduduk lemas dia berlari karena kalut. Dia sedang mencuci baju tentu semua bajunya basah, teriakan adik iparnya sungguh membuatnya emosi.

Plak ... Plak ....

Kedua adik iparnya terkejut, saat merasa perih di pipi mereka. Amara memberikan masing-masing satu tamparan. "Apa tak ada otak kalian berdua? Sekolah tinggi-tinggi tapi tak beradab. Apa begini cara bertamu ke rumah orang? Kalian hampir membuatku mati karena terkejut. Apalagi yang kalian inginkan sekarang?!" pekiknya

Amara sudah tak bisa bersabar lagi. Merasa sakit di jempol kaki dan detak jantung yang masih belum normal, ditambah dengan cara kedua adik iparnya bicara membuatnya emosi. "Setan kau mbak, berani sekali menampar kami berdua. Apa tak tau kami siapa?" teriak adik bungsu Bram.

Amara menatap kedua adik iparnya. Entah kenapa dia miris mendengar ucapan kedua gadis itu, kasih sayang suaminya telah menghancurkan kedua adiknya.

"Tentu saja aku tau kalian siapa. Adik kandung mas Bram, memangnya apa lagi yang bisa diketahui tentang kalian selain itu?" Amara berkata dengan nada sinis. Dia segera duduk di lantai, lalu memijit kakinya yang mulai terasa berdenyut.

"Sudahlah percuma kami bicara denganmu. Kami hanya minta jangan serakah dengan menguasai uang mas Bram, dia masih punya tanggung jawab pada kami, jadi jangan coba mengurangi jatah kami hanya karena kau seorang istri." Amara mengangkat kepala lalu menatap kedua adik iparnya. Entah ada apa lagi kali ini, hingga mereka datang dan mulai menyerang harga dirinya.

"Memangnya kapan aku menguasai uang Abang kalian. Seharusnya bicara dengan mas Bram bukan denganku, karena uangnya tak pernah singgah ke tanganku." Amara tersenyum sinis, ternyata kedua gadis itu datang untuk bicara soal uang. Dia bisa mencium aroma pemerasan lagi.

"Kalau begitu jangan melarang mas Bram membelikan kami motor. Ingat jangan coba melarangnya." Amara tertawa dia sudah tau. Pasti ada sesuatu hingga kedua adik iparnya mau datang kerumahnya.

"Kalian minta saja pada mas Bram. Semoga dia masih bisa membelikan kalian motor itu, sebab uang gajinya tak akan cukup untuk uang DP sekalipun mau kredit."

Amara tertawa sinis, lalu memasuki rumahnya untuk melanjutkan mencuci baju. Dia malas jika melayani kedua adik iparnya itu. "Sekarang kalian pulang saja. Percuma tetap di sini, karena tak ada makanan sama sekali."

Amara segera menutup pintu sambil mengomel. Kedua adik suaminya membuat sakit kepala saja. Dia tak perduli lagi, meski kedua gadis itu mengomel dan mencaci-maki dirinya.

Amara menarik napas saat melihat cucian masih menumpuk. Cucian yang lebih banyak pakaian Bram suaminya daripada dirinya. "Kalau terus begini aku bisa gila. Lebih baik beli mesin cuci saja agar lebih mudah," batinnya.

"Ada 3 juta lagi, aku rasa lebih dari cukup untuk membeli mesin cuci." Amara melihat saldo yang tertera di buku tabungannya. Setelah itu dia menyembunyikan lagi buku itu, di bawah alas baju dalam lemari.

"Amara, apa yang kau lakukan pada adik-adikku? Apa kau tak bisa mengalah sedikit saja pada mereka?"

Brak ....

Amara mengebrak meja karena Bram yang tiba-tiba pulang dengan marah-marah, membuat emosi Amara naik lagi. "Apa kau tak bisa masuk rumah mengucap salam? Bukannya masuk seperti pencuri begini. Apa kau dan kedua adikmu tak di ajari sopan-santun?" teriak Amara.

Kemarahan wanita itu membuat Bram terkejut. Dia sampai mundur karena terkejut, perlahan dia mendekat dan menyentuh kening istrinya. "Apa yang kau lakukan, Mas? Aku sehat tak sedang sakit."

Amara melempar kain lap begitu saja. Dia tak perduli meski masakan belum siap di atas meja, dia bergegas masuk ke kamar diikuti Bram dari belakangnya.

"Aku minta maaf karena tadi sempat emosi. Baru sampai rumah ibu, sudah mendapat laporan kalau kau membuat kedua adikku marah." Mendengar penjelasan Bram bukannya tenang, justru membuat Amara semakin murka.

"Apa semua laporan adikmu langsung kau tanggapi, tanpa bertanya dulu pada orang yang mereka adukan padamu? Aku lelah dengan hidup seperti ini mas. Kau tak ada menepati satu pun janjimu padaku, untuk membuat hidupku bahagia setelah menikah denganmu."

Bram terdiam, dia tak membuka suaranya. Agar Amara bisa melampiaskan emosinya, dengan begitu kemarahan Amara akan segera mereda. "Sudahlah terserah kau saja. Aku mau istirahat, kalau mau makan masak sediri. Kalau tak mau bisa beli atau pesan online seperti biasa."

Amara menghempaskan tubuhnya dengan keras ke tempat tidur. Terlihat tubuhnya terguncang, Bram tau istrinya sedang menangis. Dia membiarkan saja agar istrinya merasa tenang. Cepat atau lambat dia pasti akan tenang meski tanpa di bujuk, sayang kali ini Bram melupakan rasa sakit yang di simpan istrinya.

Kali ini Amara sepertinya sudah mulai merasa lelah. Tekanan demi tekanan tak hanya berasal dari keluarga suaminya, tapi Bram juga mulai lalai dan mengabaikan sang istri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status