แชร์

Bayi yang Hilang

ผู้เขียน: Lina Astriani
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-10-12 16:34:30

“Arsen! Anakku… di mana bayiku?!”

Suara Dinda pecah jadi jeritan yang mengguncang dinding kamar. Ia meraih bantal kecil itu, menatap kalung berdarah yang tergeletak di atasnya seolah benda itu bisa memberinya jawaban.

Arsen langsung bergerak cepat, menutup tirai jendela dan menyalakan senter. Matanya menyapu seluruh ruangan, mencari tanda-tanda ke mana Rayhan membawa bayi itu—kalau memang dia yang melakukannya.

“Din, tenang dulu!” seru Arsen sambil membuka lemari dan memeriksa kolong tempat tidur. “Kalau dia ambil anakmu, berarti dia punya tujuan. Rayhan nggak akan bunuh bayi itu begitu aja. Dia mau kamu ngerasain ketakutan dulu.”

Dinda terduduk di lantai, tubuhnya gemetar, tangannya masih menggenggam kalung berdarah itu. “Tujuan? Arsen, itu anakku, bukan alat buat main-main! Aku nggak peduli tujuannya, aku mau dia balik!”

Suaranya pecah di antara tangis dan kemarahan.

Arsen mendekat, memegang bahunya dengan lembut tapi tegas. “Denger aku. Rayhan itu bukan orang biasa. Dia selalu puny
อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
บทที่ถูกล็อก

บทล่าสุด

  • Setelah Kamu Pilih Dia   Surat dari Bayangan

    Pagi itu, udara terasa lebih ringan. Matahari menembus tirai jendela kamar, memantulkan cahaya lembut ke wajah Dinda yang baru saja terbangun.Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia bisa tidur tanpa mimpi buruk. Tak ada bayangan di jendela. Tak ada suara langkah di luar rumah.Hanya ketenangan… yang terasa aneh tapi menenangkan.Ia menoleh ke sisi tempat tidur. Arsen sudah tidak ada di sana, tapi aroma kopi dan roti panggang samar tercium dari dapur.Senyum tipis muncul di bibir Dinda.Mungkin begini rasanya memulai hari tanpa ketakutan.Ia berdiri, berjalan perlahan ke ruang tamu. Di atas meja, ada nampan berisi sarapan sederhana dan secarik kertas kecil bertuliskan tulisan tangan Arsen:“Pergi sebentar ke kantor polisi. Jangan keluar rumah. Aku balik sebelum jam sepuluh. Sarapan yang bener ya, Din.”Dinda menggeleng sambil tersenyum. “Selalu aja kayak gini,” gumamnya kecil, lalu duduk dan mulai makan.Namun senyum itu perlahan memudar ketika matanya menangkap sesuatu di dep

  • Setelah Kamu Pilih Dia   Janji di Bawah Hujan

    Langit sore itu kelabu. Awan menggantung berat di atas langit kota, seperti menahan hujan yang siap turun kapan saja.Dinda berdiri di balkon kamar, menatap jauh ke arah jalan yang basah oleh gerimis tipis. Udara dingin menusuk kulit, tapi tidak seberapa dibanding rasa beku yang mengikat hatinya.Sudah dua hari sejak malam itu—sejak kebenaran tentang Reyza terbongkar.Dan sejak saat itu pula, Dinda merasa rumah ini bukan lagi tempat yang aman.Setiap sudutnya mengingatkan pada kebohongan, setiap bayangan seolah berbisik tentang masa lalu yang menolak pergi.Suara ketukan pelan di pintu memecah lamunannya.“Din,” suara itu lembut namun ragu.Arsen.Dinda menoleh pelan. “Masuk aja.”Pintu terbuka, dan pria itu melangkah masuk. Wajahnya lelah, rambutnya berantakan, tapi sorot matanya tetap teduh seperti biasa—meski ada sesuatu yang disembunyikan di balik keteduhan itu.“Kamu belum makan apa-apa dari pagi,” katanya sambil mendekat.“Aku nggak lapar.”“Kamu nggak bisa terus begini.”Dinda

  • Setelah Kamu Pilih Dia   Identitas yang Terungkap

    Pagi itu terasa seperti mimpi buruk yang belum berakhir. Langit masih kelabu, udara lembab, dan aroma hujan semalam masih menggantung di sekitar halaman rumah.Dinda duduk di ruang tamu, kedua tangannya menggenggam secangkir teh yang sudah dingin. Tatapannya kosong menembus jendela, tapi pikirannya entah di mana.Arsen berdiri tak jauh darinya, masih mengenakan jaket hitam yang sama seperti malam sebelumnya. Wajahnya keras, tapi sorot matanya menyimpan kelelahan yang tidak bisa ia sembunyikan.Sementara itu, Rayhan muncul dari arah dapur, membawa dua gelas air putih. Ia berjalan tenang, seolah tak terjadi apa-apa malam tadi.Namun setiap langkahnya terasa asing bagi Dinda—terlalu tenang, terlalu terkendali, seperti seseorang yang sedang berakting jadi dirinya sendiri.“Aku buatkan sarapan,” katanya sambil meletakkan gelas di meja. “Kamu belum makan sejak kemarin.”Dinda hanya mengangguk. Suaranya tercekat di tenggorokan. Ia masih mencoba mencerna kebenaran pahit yang Arsen ungkap sema

  • Setelah Kamu Pilih Dia   Luka yang Tak Tertutup

    Suara detak jam dinding terasa begitu lambat malam itu. Mungkin karena pikiranku masih belum bisa tenang setelah kejadian di rumah sakit tadi sore.Arsen belum juga kembali. Ia bilang hanya ingin keluar sebentar untuk “menenangkan diri”, tapi sudah hampir dua jam berlalu. Ponselnya pun tidak bisa dihubungi—lagi.Aku duduk di tepi ranjang sambil menggenggam gelang kecil dari kulit yang dulu pernah ia berikan padaku. “Untuk jaga-jaga kalau kamu takut sendirian,” katanya waktu itu. Tapi justru sekarang, aku merasa benda kecil ini cuma mengingatkan kalau aku memang benar-benar sendirian.Suara ketukan pintu membuatku menoleh cepat. “Masuk,” ujarku lemah.Yang muncul ternyata bukan Arsen, melainkan Rayhan. Ia membawa dua cangkir teh dan wajah yang… entah kenapa, seperti memendam sesuatu yang berat.“Aku kira kamu udah tidur,” katanya pelan sambil menaruh teh di meja kecil dekat tempat tidurku.“Mana bisa tidur kalau kepala masih penuh begini.” Aku menarik napas panjang, menatap ke luar jen

  • Setelah Kamu Pilih Dia   Dia yang Kembali dari Sungai

    Hujan masih turun deras malam itu. Dinda mematung di ruang tamu, tubuhnya menggigil, bukan karena dingin, tapi karena suara itu—suara yang selama ini cuma ia dengar dalam mimpi terburuknya.Rayhan.Arsen langsung menarik Dinda ke belakang, melindungi tubuhnya dari arah jendela. Senter kecil di tangannya bergetar pelan, cahaya putihnya menembus gelap. “Dinda, mundur. Peluk bayi kamu, jangan lepaskan.”Dinda hanya mengangguk, matanya tak lepas dari jendela yang berembun. Di sana, samar-samar, sebuah bayangan bergerak di luar. Sosok itu berdiri tegak di bawah hujan, bajunya menempel di tubuh, rambutnya menutupi sebagian wajah. Tapi matanya—dua titik gelap yang memantulkan cahaya—terlihat jelas menatap ke arah mereka.“Rayhan…” bisik Dinda dengan suara bergetar.Rayhan tersenyum samar dari luar. “Kamu masih cantik, Din. Bahkan setelah semua yang kamu lakukan.”Arsen melangkah maju, suaranya keras. “Jangan berani masuk, Rayhan! Aku laporin kamu ke polisi!”Tapi Rayhan malah tertawa pelan.

  • Setelah Kamu Pilih Dia   Pintu yang Tak Pernah Ditutup

    Hujan turun tanpa aba-aba, menimpa genting rumah dengan irama berat dan berulang. Dinda berdiri di depan pintu kamar, memandangi anaknya yang sudah tertidur di pelukan. Napas kecil itu seolah jadi satu-satunya hal yang membuatnya tetap waras. Tapi di balik suara hujan, ia bisa merasakan sesuatu—sebuah ketegangan yang seakan menembus dinding.Arsen duduk di ruang tamu, menatap layar laptop yang menampilkan gambar dari kamera keamanan. Di empat sudut rumah tampak sunyi, tapi di kamera bagian belakang… sesuatu bergerak cepat. Bayangan.Arsen menegakkan tubuhnya. Ia memperbesar tampilan, tapi bayangan itu sudah hilang. Hanya tirai yang bergoyang pelan.“Rayhan,” gumamnya rendah. “Kamu memang nggak pernah berubah. Masih suka main-main dengan rasa takut orang.”Ia berdiri, menyalakan senter kecil yang disimpan di saku, lalu berjalan ke arah dapur. Dinda yang mendengar langkahnya muncul di lorong.“Arsen?” suaranya nyaris tak terdengar.Arsen menoleh singkat. “Tetap di kamar, Din. Aku cuma m

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status