Share

Kalung Berdarah

Author: Lina Astriani
last update Huling Na-update: 2025-10-11 16:24:18

Dinda mundur dua langkah, napasnya tercekat. “A… itu maksudnya apa? Kok bisa ada bayangan di dalam?” suaranya bergetar, nyaris tak keluar.

A tidak menjawab. Ia menatap foto itu dengan rahang mengeras, lalu cepat melangkah ke setiap ruangan, memeriksa pintu dan jendela. Semuanya terkunci rapat—setidaknya dari luar.

Namun udara di rumah itu terasa aneh. Dingin, lembap, dan penuh tekanan seperti ada sesuatu yang bersembunyi. Dinda memeluk anaknya lebih erat. Setiap langkah A di lantai kayu menimbulkan bunyi berderit yang membuat bulu kuduk berdiri.

“Dia nggak mungkin masuk tanpa suara,” kata A setengah berbisik. “Kecuali dia udah ada di sini bahkan sebelum kita sadar.”

Dinda menatap ke arah lorong menuju kamar belakang—tempat yang dulu jarang ia buka sejak pindah ke rumah ini. Lorong itu gelap, dan dari sana seolah terdengar suara samar… seperti sesuatu yang bergeser perlahan.

“Jangan ke sana, A…”

A mengangkat tangan, memberi isyarat agar Dinda diam. Ia menyalakan senter kecil dari ponse
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • Setelah Kamu Pilih Dia   Janji di Bawah Hujan

    Langit sore itu kelabu. Awan menggantung berat di atas langit kota, seperti menahan hujan yang siap turun kapan saja.Dinda berdiri di balkon kamar, menatap jauh ke arah jalan yang basah oleh gerimis tipis. Udara dingin menusuk kulit, tapi tidak seberapa dibanding rasa beku yang mengikat hatinya.Sudah dua hari sejak malam itu—sejak kebenaran tentang Reyza terbongkar.Dan sejak saat itu pula, Dinda merasa rumah ini bukan lagi tempat yang aman.Setiap sudutnya mengingatkan pada kebohongan, setiap bayangan seolah berbisik tentang masa lalu yang menolak pergi.Suara ketukan pelan di pintu memecah lamunannya.“Din,” suara itu lembut namun ragu.Arsen.Dinda menoleh pelan. “Masuk aja.”Pintu terbuka, dan pria itu melangkah masuk. Wajahnya lelah, rambutnya berantakan, tapi sorot matanya tetap teduh seperti biasa—meski ada sesuatu yang disembunyikan di balik keteduhan itu.“Kamu belum makan apa-apa dari pagi,” katanya sambil mendekat.“Aku nggak lapar.”“Kamu nggak bisa terus begini.”Dinda

  • Setelah Kamu Pilih Dia   Identitas yang Terungkap

    Pagi itu terasa seperti mimpi buruk yang belum berakhir. Langit masih kelabu, udara lembab, dan aroma hujan semalam masih menggantung di sekitar halaman rumah.Dinda duduk di ruang tamu, kedua tangannya menggenggam secangkir teh yang sudah dingin. Tatapannya kosong menembus jendela, tapi pikirannya entah di mana.Arsen berdiri tak jauh darinya, masih mengenakan jaket hitam yang sama seperti malam sebelumnya. Wajahnya keras, tapi sorot matanya menyimpan kelelahan yang tidak bisa ia sembunyikan.Sementara itu, Rayhan muncul dari arah dapur, membawa dua gelas air putih. Ia berjalan tenang, seolah tak terjadi apa-apa malam tadi.Namun setiap langkahnya terasa asing bagi Dinda—terlalu tenang, terlalu terkendali, seperti seseorang yang sedang berakting jadi dirinya sendiri.“Aku buatkan sarapan,” katanya sambil meletakkan gelas di meja. “Kamu belum makan sejak kemarin.”Dinda hanya mengangguk. Suaranya tercekat di tenggorokan. Ia masih mencoba mencerna kebenaran pahit yang Arsen ungkap sema

  • Setelah Kamu Pilih Dia   Luka yang Tak Tertutup

    Suara detak jam dinding terasa begitu lambat malam itu. Mungkin karena pikiranku masih belum bisa tenang setelah kejadian di rumah sakit tadi sore.Arsen belum juga kembali. Ia bilang hanya ingin keluar sebentar untuk “menenangkan diri”, tapi sudah hampir dua jam berlalu. Ponselnya pun tidak bisa dihubungi—lagi.Aku duduk di tepi ranjang sambil menggenggam gelang kecil dari kulit yang dulu pernah ia berikan padaku. “Untuk jaga-jaga kalau kamu takut sendirian,” katanya waktu itu. Tapi justru sekarang, aku merasa benda kecil ini cuma mengingatkan kalau aku memang benar-benar sendirian.Suara ketukan pintu membuatku menoleh cepat. “Masuk,” ujarku lemah.Yang muncul ternyata bukan Arsen, melainkan Rayhan. Ia membawa dua cangkir teh dan wajah yang… entah kenapa, seperti memendam sesuatu yang berat.“Aku kira kamu udah tidur,” katanya pelan sambil menaruh teh di meja kecil dekat tempat tidurku.“Mana bisa tidur kalau kepala masih penuh begini.” Aku menarik napas panjang, menatap ke luar jen

  • Setelah Kamu Pilih Dia   Dia yang Kembali dari Sungai

    Hujan masih turun deras malam itu. Dinda mematung di ruang tamu, tubuhnya menggigil, bukan karena dingin, tapi karena suara itu—suara yang selama ini cuma ia dengar dalam mimpi terburuknya.Rayhan.Arsen langsung menarik Dinda ke belakang, melindungi tubuhnya dari arah jendela. Senter kecil di tangannya bergetar pelan, cahaya putihnya menembus gelap. “Dinda, mundur. Peluk bayi kamu, jangan lepaskan.”Dinda hanya mengangguk, matanya tak lepas dari jendela yang berembun. Di sana, samar-samar, sebuah bayangan bergerak di luar. Sosok itu berdiri tegak di bawah hujan, bajunya menempel di tubuh, rambutnya menutupi sebagian wajah. Tapi matanya—dua titik gelap yang memantulkan cahaya—terlihat jelas menatap ke arah mereka.“Rayhan…” bisik Dinda dengan suara bergetar.Rayhan tersenyum samar dari luar. “Kamu masih cantik, Din. Bahkan setelah semua yang kamu lakukan.”Arsen melangkah maju, suaranya keras. “Jangan berani masuk, Rayhan! Aku laporin kamu ke polisi!”Tapi Rayhan malah tertawa pelan.

  • Setelah Kamu Pilih Dia   Pintu yang Tak Pernah Ditutup

    Hujan turun tanpa aba-aba, menimpa genting rumah dengan irama berat dan berulang. Dinda berdiri di depan pintu kamar, memandangi anaknya yang sudah tertidur di pelukan. Napas kecil itu seolah jadi satu-satunya hal yang membuatnya tetap waras. Tapi di balik suara hujan, ia bisa merasakan sesuatu—sebuah ketegangan yang seakan menembus dinding.Arsen duduk di ruang tamu, menatap layar laptop yang menampilkan gambar dari kamera keamanan. Di empat sudut rumah tampak sunyi, tapi di kamera bagian belakang… sesuatu bergerak cepat. Bayangan.Arsen menegakkan tubuhnya. Ia memperbesar tampilan, tapi bayangan itu sudah hilang. Hanya tirai yang bergoyang pelan.“Rayhan,” gumamnya rendah. “Kamu memang nggak pernah berubah. Masih suka main-main dengan rasa takut orang.”Ia berdiri, menyalakan senter kecil yang disimpan di saku, lalu berjalan ke arah dapur. Dinda yang mendengar langkahnya muncul di lorong.“Arsen?” suaranya nyaris tak terdengar.Arsen menoleh singkat. “Tetap di kamar, Din. Aku cuma m

  • Setelah Kamu Pilih Dia   Bayangan di Balik Pintu

    Dinda tak bisa memalingkan pandangan dari foto itu. Tangannya bergetar hebat, sementara keringat dingin mulai membasahi tengkuknya. Bayangan dalam pantulan kaca itu jelas bukan kebetulan. Ia mengenal bentuk tubuh itu—cara berdirinya, bahkan siluet wajahnya yang samar dalam kegelapan. “Arsen…” bisiknya lirih, “itu Rayhan, kan?” Arsen menatap foto itu lebih dalam, lalu menatap Dinda dengan tatapan penuh perhitungan. “Aku nggak mau langsung menyimpulkan, tapi kalau iya… berarti dia udah masuk ke rumah ini tanpa kamu sadari.” “Mustahil!” seru Dinda panik. Ia menoleh ke sekeliling ruangan, seolah bayangan itu masih bersembunyi di antara dinding dan bayangan. “Semua pintu udah aku kunci malam itu! Semua!” Arsen berjalan ke jendela, memeriksa bingkainya. “Mungkin dia nggak lewat pintu.” Suaranya berat, nyaris seperti gumaman. “Dia bisa lewat ventilasi, atau mungkin… sudah di dalam sebelum kamu pulang malam itu.” Dinda menutup mulutnya, menahan jerit ketakutan yang hampir pecah. “Kamu pik

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status