Malam itu, hujan turun pelan di Jakarta. Dinda duduk bersandar di sofa kecil di sudut kamar kosnya, selimut tipis melingkari bahu, secangkir cokelat panas di tangan, dan layar ponsel menyala dengan panggilan masuk dari Rayhan.“Video call malam ini, ya?” tulis Rayhan beberapa menit sebelumnya.Dinda mengangguk pelan, lalu mengangkat panggilan. Wajah Rayhan langsung muncul di layar, sedikit buram karena koneksi, tapi tetap menenangkan seperti biasa.“Hai,” sapa Dinda pelan.“Hmm… aku kangen kamu, Din.” Rayhan menatapnya lekat, tak peduli layar hanya menampilkan sebatas wajah dan dinding krem kamar Dinda.“Ya, aku juga,” jawab Dinda lirih. “Kangen yang nggak bisa dijelasin. Kangen kamu di sebelah aku, bukan cuma di layar.”Rayhan tersenyum. “Hari ini aku sempat lewat warung kopi pinggir jalan yang biasa kita mampirin. Tiba-tiba keinget kamu suka pesen roti bakar keju cokelat dan bilang itu ‘makanan paling jujur di dunia’.”Dinda tertawa kecil. “Karena roti bakar nggak pernah pura-pura.
Sudah tiga minggu sejak Rayhan pindah ke Surabaya. Tiga minggu sejak Dinda belajar hidup kembali dengan dirinya sendiri, namun kali ini dengan rasa yang berbeda — bukan lagi kesepian, melainkan rindu yang diatur dengan kedewasaan.Pagi-pagi sekali, Dinda duduk di meja makan apartemen mereka. Di depannya ada semangkuk sereal, secangkir teh, dan laptop yang memuat email dari Rayhan yang baru dibaca ulang entah keberapa kali.Din, aku nggak pernah nyangka aku bisa sebahagia ini sekaligus serindu ini dalam waktu yang sama. Tapi aku tahu, rasa rindu ini justru bikin aku sadar: kamu adalah bagian dari rumah yang selalu aku cari.Dinda tersenyum sendiri. Ia membalas email itu semalam sebelum tidur, tapi membaca ulang membuatnya merasa lebih dekat.Hidupnya kembali ke ritme yang dulu pernah ia jalani saat sendiri — bangun, kerja, belanja kebutuhan, nonton drama sebelum tidur. Tapi kali ini, setiap momen kecil selalu disisipi satu nama: Rayhan.Kadang di tengah rapat online, ia tanpa sadar mem
Pagi itu, hujan turun rintik-rintik di luar jendela apartemen kecil Dinda dan Rayhan. Aroma kopi memenuhi ruangan, sementara suara berita pagi mengalun pelan dari televisi. Dinda duduk di sofa, menatap laptopnya yang terbuka, namun matanya kosong. Bukan karena pekerjaannya membosankan, tapi pikirannya sibuk dengan percakapan semalam.Rayhan masih di kamar, menyelesaikan sesi meeting online. Tapi bahkan dari kejauhan, Dinda bisa merasakan ada yang berbeda. Sejak Rayhan mendapatkan tawaran kerja ke luar kota, hubungan mereka terasa seperti menggantung di udara. Ada percakapan yang tertunda, ada keputusan yang menunggu di ujung diam.“Din,” suara Rayhan terdengar saat ia melangkah ke ruang tengah. Rambutnya sedikit acak-acakan, namun sorot matanya tajam.“Udah selesai?” tanya Dinda, berusaha tersenyum meski dagunya sedikit bergetar.Rayhan mengangguk. Ia duduk di samping Dinda, menatap wajah istrinya yang tampak lelah.“Aku mau ngomongin soal tawaran itu,” ucapnya akhirnya.Dinda memalin
Panggung kecil itu berdiri sederhana di sudut ruangan co-working space. Beberapa kursi sudah terisi. Di barisan depan, terlihat wajah-wajah yang Dinda kenal—teman penulis, dua sahabat lamanya dari komunitas baca, dan tentu saja, Rayhan yang duduk paling kanan dengan mata berbinar penuh semangat.Dinda menggenggam kertas catatan di tangannya. Jantungnya berdetak cepat, tapi tidak sekuat dulu saat ia masih diliputi rasa takut akan penolakan. Kini, yang ia rasakan lebih seperti gelombang hangat—tegang, tapi tenang.“Selamat datang,” ucap pembawa acara dari depan, “Hari ini, kita akan mendengar cerita dari seseorang yang menuliskan luka dan menjadikannya jembatan bagi orang lain untuk pulih.”Tepuk tangan menggema. Dinda berdiri. Melangkah pelan ke mikrofon. Di hadapannya, mata-mata yang menanti bukan untuk menghakimi, tapi untuk memahami.“Hai,” sapa Dinda lembut. “Namaku Dinda. Dan seperti banyak dari kalian di sini… aku pernah patah.”Beberapa orang tersenyum kecil. Ada yang mulai meng
Dinda sedang duduk di ayunan taman belakang rumah saat suara Rayhan terdengar dari dapur, “Kamu mau teh atau kopi sore ini?”“Teh aja,” jawab Dinda, tangannya masih sibuk memegang buku catatan kecil yang ujung-ujungnya mulai lusuh. Buku itu sudah bersamanya sejak masa-masa tergelap, dan kini kembali dibuka — bukan karena luka, tapi karena rindu akan perjalanan panjang yang telah dilewati.Beberapa halaman pertama masih penuh dengan coretan marah, patah hati, hingga tangisan diam-diam. Tapi halaman-halaman terakhir justru lembut: berisi puisi pendek, kutipan film, dan catatan kecil tentang hari-hari bersama Rayhan.Rayhan datang dengan dua cangkir teh. Ia duduk di kursi taman, menatap istrinya dengan senyum tenang.“Kamu kelihatan nostalgia,” katanya.Dinda tersenyum samar. “Iya. Aku lagi baca catatan waktu aku masih belajar berdiri sendiri lagi.”Rayhan melirik buku kecil itu. “Ada satu bagian yang belum pernah kamu ceritain ke aku. Tentang malam terakhir kamu di rumah sakit… malam wa
Dinda menatap layar laptopnya yang menampilkan naskah setengah jadi. Jari-jarinya menari pelan di atas keyboard, tapi pikirannya tak sepenuhnya ada di sana. Ia sedang mencari kata yang tepat — bukan hanya untuk menyelesaikan kalimat terakhir di bab novel barunya, tapi juga untuk mengungkapkan isi hatinya yang terus meluap sejak malam pertemuan dengan Nadya.Di sudut ruang kerja kecil itu, Rayhan muncul sambil membawa dua gelas susu hangat. “Kamu nulis apa sampai nggak kedip begitu?”Dinda tersenyum dan memutar kursi ke arahnya. “Akhir cerita.”“Cerita kamu atau ceritanya tokoh fiksi yang diam-diam kamu titipin bagian hidupmu di sana?”Dinda tertawa pelan. “Keduanya.”Rayhan duduk di sebelahnya, menatap layar yang menampilkan kutipan terakhir:“…Dan dia belajar, bahwa cinta yang tidak datang dengan luka, bukan berarti tak dalam. Terkadang, cinta yang datang setelah kehilangan, justru membawa keberanian untuk mulai dari awal.”“Bagus,” ucap Rayhan pelan.Dinda memandangnya. “Menurutmu,