Beberapa minggu setelah percakapan malam itu, kehidupan Dinda dan Rayhan kembali pada ritme yang sederhana dan penuh kedamaian. Tapi seperti biasa, hidup tak pernah benar-benar datar.Hari itu Dinda duduk sendiri di café kecil dekat tempatnya mengajar. Di depan laptop, ia mencoba menyusun modul baru untuk murid-murid kelas menulisnya. Tapi fokusnya terus terganggu.Sebuah nama muncul lagi di emailnya—Alya.Bukan permintaan maaf. Bukan juga penjelasan. Hanya kalimat pendek:“Aku berharap kamu benar-benar bahagia, Din. Maaf untuk segalanya.”Dinda membaca ulang kalimat itu beberapa kali. Tangannya berhenti di atas keyboard. Bukannya marah, ia justru merasa… kosong.Ada masa di mana nama Alya membuat dadanya sesak. Ada masa di mana ia berharap bisa mendengar permintaan maaf itu, bahkan berandai-andai jika bisa memutar ulang waktu. Tapi sekarang, semuanya terasa jauh. Seperti menonton film lama yang tak lagi menyakitkan.Ia menutup laptop, menyesap kopi yang sudah dingin, dan tersenyum ke
Pagi itu, sinar matahari menyelinap pelan di antara sela tirai jendela kamar. Dinda membuka mata perlahan. Di sebelahnya, Rayhan masih tertidur, napasnya teratur dan damai. Dinda tersenyum kecil, menyadari bahwa ini adalah salah satu pagi yang ia syukuri sepenuh hati.Ia bangkit pelan, berjinjit ke dapur, menyiapkan sarapan sederhana: roti panggang, telur mata sapi, dan teh hangat. Semuanya dilakukan tanpa terburu-buru. Sejak menikah dengan Rayhan, hari-harinya terasa lebih tenang, lebih terarah. Bukan karena semua masalah selesai, tapi karena ada seseorang yang selalu siap berjalan bersama melewati semuanya.Suara langkah kaki terdengar dari arah kamar.“Wangi banget. Kamu masak telur, ya?” suara Rayhan yang masih serak baru bangun.Dinda menoleh dan tersenyum. “Sarapan sederhana buat suami yang luar biasa.”Rayhan mendekat dan memeluknya dari belakang, menaruh dagunya di pundak Dinda. “Aku kayak mimpi tiap pagi bangun dan lihat kamu.”“Kalau mimpi, jangan bangun,” goda Dinda, tertaw
Pagi itu, aroma roti panggang dan harum kopi memenuhi dapur kecil mereka. Sinar matahari menyelinap dari celah jendela, menyentuh lembut meja makan yang sudah ditata rapi. Dinda mengenakan apron motif bunga, rambutnya diikat asal, dan wajahnya berseri—bukan karena dandanan, tapi karena ketenangan.“Roti panggangnya mau yang pakai selai stroberi atau keju?” tanya Dinda sambil menoleh ke Rayhan yang baru keluar dari kamar mandi dengan rambut masih basah.“Stroberi. Tapi asal jangan kamu kasih margarin satu blok kayak kemarin,” canda Rayhan sambil terkekeh.Dinda mendelik, lalu ikut tertawa. “Salah satu cara menguji cinta: kuat atau nggaknya ngadepin sarapan istri.”Mereka duduk berdua, menikmati sarapan sederhana itu. Tanpa obrolan rumit, hanya senyum dan gumam lagu dari radio kecil di sudut dapur. Rasanya seperti hidup perlahan kembali menemukan nadanya sendiri.Setelah mencuci piring, Dinda kembali ke ruang kerja. Di meja, naskah bukunya mulai menumpuk. Kali ini, ia tidak menulis berd
Pagi itu, sinar matahari menyelinap masuk lewat celah tirai jendela. Dinda terbangun dengan perasaan ringan. Sudah lama sekali ia tidak merasa seperti ini—tidak terburu-buru, tidak gelisah, tidak dikejar bayang-bayang dari masa lalu.Rayhan belum pulang dari dinas luar kota, tapi seperti biasa, pesan suaranya sudah menunggu di ponsel.“Selamat pagi, Din. Hari ini pasti luar biasa. Jangan lupa makan, dan jangan terlalu stres ngedit naskah, ya. Aku tahu kamu bisa, tapi kamu juga harus tahu… kamu nggak harus sendiri lagi.”Dinda tersenyum, menggenggam ponselnya sejenak sebelum melangkah ke dapur.Sambil menyiapkan sarapan, pikirannya melayang ke tawaran dari penerbit besar yang seminggu lalu datang melalui email. Mereka tertarik untuk membeli hak adaptasi bukunya menjadi serial web. Tawaran besar—yang dulu hanya mimpi, kini ada di depan mata.Tapi keputusan itu bukan hal sepele. Ia tahu, kalau naskahnya diangkat ke layar, akan lebih banyak mata yang melihat lukanya. Lebih banyak pertanya
Dinda memandang pantulan dirinya di kaca etalase toko buku. Di balik bayangan itu, ada poster besar yang menampilkan sampul bukunya yang baru saja terbit—judulnya sederhana, “Yang Datang Setelah Luka”. Tapi isinya… adalah seluruh jiwanya yang pernah hancur, perlahan ia susun kembali menjadi kisah.Sore itu, langit Jakarta berwarna keemasan. Jalanan macet seperti biasa, tapi hati Dinda tak lagi sesesak dulu. Tangannya gemetar saat memegang buku pertamanya yang baru keluar dari rak toko. Ia meraba sampulnya perlahan, seolah menyentuh bagian terdalam dari dirinya sendiri.“Gimana rasanya?” tanya Rayhan dari samping.Dinda menoleh. Matanya berkaca-kaca, tapi senyum di wajahnya tidak bisa disembunyikan. “Aneh. Kayak lihat bagian hatiku sendiri dipajang di tempat umum.”Rayhan terkekeh pelan. “Karena itu memang bagian dari hatimu, Din.”Dinda mengangguk pelan. “Tapi kali ini aku nggak takut orang tahu aku pernah jatuh, pernah kehilangan, pernah luka. Karena sekarang aku tahu… itu semua buka
Malam itu, hujan turun pelan di Jakarta. Dinda duduk bersandar di sofa kecil di sudut kamar kosnya, selimut tipis melingkari bahu, secangkir cokelat panas di tangan, dan layar ponsel menyala dengan panggilan masuk dari Rayhan.“Video call malam ini, ya?” tulis Rayhan beberapa menit sebelumnya.Dinda mengangguk pelan, lalu mengangkat panggilan. Wajah Rayhan langsung muncul di layar, sedikit buram karena koneksi, tapi tetap menenangkan seperti biasa.“Hai,” sapa Dinda pelan.“Hmm… aku kangen kamu, Din.” Rayhan menatapnya lekat, tak peduli layar hanya menampilkan sebatas wajah dan dinding krem kamar Dinda.“Ya, aku juga,” jawab Dinda lirih. “Kangen yang nggak bisa dijelasin. Kangen kamu di sebelah aku, bukan cuma di layar.”Rayhan tersenyum. “Hari ini aku sempat lewat warung kopi pinggir jalan yang biasa kita mampirin. Tiba-tiba keinget kamu suka pesen roti bakar keju cokelat dan bilang itu ‘makanan paling jujur di dunia’.”Dinda tertawa kecil. “Karena roti bakar nggak pernah pura-pura.