“Ada apa? Kok malah diam saja?” Hendrawan berdecak kesal melihat anak dan menantunya.“Begini, Pa….” Belum selesai Bara berbicara, Firda langsung menyela.“Kami mau bercerai, Pa.” Firda berkata dengan mantap. Hendrawan memegang dadanya, ucapan Firda terasa menusuk jantungnya. Ia syok, tidak menyangka kalau Firda akan berkata seperti itu. Hendrawan mencoba untuk menarik nafas panjang. Bara menjadi kasihan melihat mertuanya.“Kenapa mesti bercerai?” tanya Hendrawan.Firda terdiam.“Kamu masih selingkuh dengan Alan?” Firda tetap diam.“Jawab!” teriak Hendrawan.Bara dan Firda kaget mendengar teriakan Hendrawan. Begitu juga dengan Linda dan Malvin, mereka berdua langsung mendekati Hendrawan.“Ada apa, Pa?” tanya Linda sambil memegang tangan Hendrawan.“Tanyakan pada anakmu itu.” Hendrawan berkata dengan pelan.“Papa kenapa?” tanya Malvin, ia tampak cemas melihat papanya seperti tidak berdaya.“Ada apa, Firda? Bara?” tanya Linda sambil menatap Firda dan Bara secara bergantian.“Maafkan s
Drtt..drtt, ponsel itu masih berdering.“Diangkat nggak ya?” gumam Aira, ia bimbang melihat siapa yang menelponnya.Dering ponsel pun berhenti, Aira bisa bernafas lega. Tapi rupanya Aira hanya lega untuk sesaat. Ponsel itu pun berdering lagi. Akhirnya Aira menerima panggilan itu.“Halo,” sapa Aira.“Aira, kamu pindah kemana? Aku ke rumahmu, ternyata orang lain yang menempatinya. Pindah kok nggak bilang-bilang.” Tanpa membalas salam dari Aira, suara orang di seberang langsung nyerocos.“Maaf Mbak, memangnya Mbak ada disini?” Aira sudah paham dengan watak si penelpon.“Iya, aku dan Mas Fariz sedang ada kegiatan di kota ini. Share loc sekarang ya?”“I-iya, Mbak.” Panggilan pun diakhiri.“Waduh, gawat. Mbak Amel pasti akan banyak bertanya.” Aira merasa sangat cemas.“Bagaimanapun juga, harus aku hadapi. Tidak mungkin masalahku ini aku sembunyikan. Semangat Aira.” Aira menyemangati diri sendiri, kemudian ia mengirim lokasinya pada Amel, kakak perempuannya.Aira mengajak Kenzo untuk keluar
“Mas Fariz nggak mungkin selingkuh, apa kurangnya aku? Aku bisa merawat diri dan melayani Mas Fariz dengan baik. Mas Fariz sangat mencintaiku.” Amel berkata dengan angkuhnya. Ia tersenyum bangga, sedangkan Fariz merasa tidak enak dengan kelakuan Amel. Ia hanya tersenyum kecut.“Itulah, Mbak, yang dulu aku pikirkan tentang Mas Alan. Aku rela keluar dari kerja demi merawat Kenzo dan supaya bisa mengurus rumah tangga dengan baik. Selalu menyambutnya pulang kerja, memberikan perhatian lebih padanya, memasak yang enak-enak. Tapi nyatanya apa? Begitu ia bertemu dengan masa lalunya, semuanya langsung berubah.” “Tapi seharusnya kamu memaafkannya.” Amel masih saja menyalahkan Aira. Ia masih beranggapan kalau perceraian Aira itu karena kesalahan Aira.“Aku sudah memaafkannya dan memberinya kesempatan. Bahkan ketika ia membuatku keguguran, aku tetap memaafkannya. Tapi ketika ia berselingkuh lagi dan lagi dengan orang yang sama, bahkan sudah berkali-kali berhubungan badan, apakah aku harus tetap
“Rumah itu disewakan, uang sewanya untukku. Alhamdulillah, untuk tambahan biaya hidup kami berdua. Mas Alan memang belum memberi nafkah untuk Kenzo….”“Kamu harus memperjuangkan nafkah untuk Kenzo! Jangan keenakan dia, sudah selingkuh, melakukan penganiayaan, tidak mau menafkahi anaknya. Laki-laki seperti itu yang dulu kamu perjuangkan pada Ayah dan Ibu?” Lagi-lagi Amel nyerocos dan selalu menyalahkan Aira.“Ma, sudahlah. Jangan selalu menyalahkan Aira. Ia sudah cukup menderita hidupnya, jangan ditambahi dengan ucapan yang semakin menyakiti hatinya.” Fariz berusaha mengingatkan Amel untuk tidak menyalahkan Aira.“Pa, Alan ini harus diberi pelajaran supaya tidak meremehkan Aira. Kalau sampai aku bertemu dengannya, aku maki-maki dia!” Aira hanya diam, entah apa yang ia rasakan saat ini. Apakah ia bahagia karena Amel membelanya, walaupun tadi sempat menyalahkannya? Yang jelas, ia sudah tidak peduli dengan apa yang dipikirkan oleh Amel dan orang tuanya. Ia ingin fokus pada kehidupannya d
“Kenzo, sini sama Ayah,” kata Alan sambil mengulurkan kedua tangannya. Kenzo tampak ragu-ragu.“Peluk Ayah,” kata Aira pada Kenzo, Kenzo pun mendekati Alan dan kemudian memeluknya. Alan terharu sampai mata berkaca-kaca, ia tetap memeluk Kenzo dengan eratnya.“Kenzo sudah besar ya? Jangan nakal, nurut sama Ibu,” kata Alan sambil melepaskan pelukannya.“Kenzo sudah makan?” tanya Alan.“Sudah,” jawab Kenzo.“Sama apa?”“Sop.” Kenzo menjawab dengan singkat. Ia masih terlihat kaku di dekat Alan, karena memang sudah hampir dua bulan mereka tidak bertemu. Aira memang sengaja membatasi pertemuan dengan Alan dengan Kenzo. Waktu itu Aira dan Alan masih bersengketa di pengadilan, takutnya Alan akan berbuat nekat.“Kapan-kapan kita jalan-jalan ya?” kata Alan pada Kenzo.Kenzo bingung mau menjawab apa, ia pun menatap ibunya.“Iya, nanti Kenzo bisa jalan-jalan dengan Ayah.” Aira menjawab keraguan Kenzo, Kenzo pun mengangguk.“Aku senang melihat kalian berdua sehat. Maafkan aku belum bisa memberi y
Ciiit…. Tiba-tiba Fariz mengerem mendadak. Amel syok, untung saja ia memakai sabuk pengaman, jadi kepalanya terhindar dari benturan dengan dasbor mobil.Amel langsung menoleh ke arah Fariz, butuh mobil menepi dan berhenti. Fariz masih fokus menatap ke depan, nafasnya terengah-engah sepertinya ia sedang menahan amarah.“Pa, apa Papa mau membuat kita mati kecelakaan? Apa yang Papa pikirkan? Oh, pasti Papa memikirkan Aira kan?” Amel langsung mengomel lagi.Fariz menarik nafas panjang.“Ma, bisa nggak sih Mama itu berpikir positif, jangan selalu berpikir negatif tentang Aira. Ingat ma, ucapan itu adalah doa. Apa yang Mama ucapkan bisa saja suatu saat jadi kenyataan.” Fariz berkata dengan perlahan.“Oh, jadi Papa punya niat mendekati Aira ya? Iya?” bentak Amel.“Ma, Papa tidak pernah berpikir sedikitpun untuk menduakan Mama. Apalagi dengan mendekati Aira. Tapi Mama sudah menuduh yang enggak-enggak, seolah-olah Papa ini laki-laki hidung belang. Selama ini Papa selalu mengalah dengan segala
Pandangan mata Aira beralih ke ponsel. [Jangan takut, Mbak. Ini kemauanku sendiri bukan disuruh Mama. Aku janji nggak akan memberi tahu tempat tinggal Mbak Aira. Aku hanya ingin ngobrol-ngobrol.]Aira menghela nafas panjang membaca pesan dari Dwita.[Ok. Nanti pas libur ya?] Aira membalas pesan itu.Tak butuh waktu lama, Dwita langsung membalas pesan Aira.[Terima kasih, Mbak.]Aira pun meletakkan ponselnya di meja lagi.Vani yang dari tadi memperhatikan Aira, tidak berani bertanya. Padahal banyak pertanyaan yang ada di kepalanya. Ia ingin menghargai privasi Aira.Aira melanjutkan pekerjaannya, walaupun pikirannya menerawang kemana-mana. Tapi ia tetap berusaha untuk berkonsentrasi mengerjakan semuanya. Ia sedih karena hubungannya dengan Dwita sudah membaik, tapi malah hubungan perkawinannya dengan Alan sudah bubar. Aira hanya berharap semoga hubungannya dengan Dwita tetap baik. Apalagi ada Kenzo yang merupakan keponakan Dwita. Dwita juga terlihat sayang dengan Kenzo. Vani masih saj
“Betul katamu itu Malvin, tidak ada cinta sejati antara laki-laki beristri dan perempuan bersuami.” Terdengar suara seseorang yang tiba-tiba datang di hadapan mereka.Malvin dan Gita kaget melihat siapa yang datang.“Mas Bara?” Suara Malvin terdengar bergetar karena kaget. Orang yang dari tadi ia bicarakan sekarang berada di hadapannya.“Halo Gita! Aku sudah mendengar semua pembicaraan kalian.”Malvin dan Gita semakin gugup saja. “Kamu tahu Malvin, kenapa Gita sampai sekarang belum menikah?” tanya Bara.“Terlalu pilih-pilih laki-laki, Mas.” Malvin menjawab pertanyaan Bara.“Salah, bukan itu sebabnya. Gita itu pacaran dengan suami orang. Makanya ia tidak menikah. Dan Firda ikut-ikutan Gita, berpacaran dengan suami orang.” Wajah Bara tampak sinis memandang Gita.“Nggak mungkin Gita mau mengingatkan Firda, kelakuannya sama kok. Kamu masih berhubungan dengan Derry kan? Sadarlah, Gita, Derry itu punya istri dan dua anak. Apa kamu nggak kasihan melihat anak istri Derry?” Bara menceramahi G