Share

7. CLBK

Gleg.

Apa yang terjadi? Batin Anita. Ia tidak tahu kalau suaminya sebenarnya mantan sahabatnya. Ia tidak tahu kalau sebenarnya dirinya yang merebut Ridwan dari Rana, apa maksudnya uang yang ditransfer suaminya adalah uang Rana? Keuangan toko memburuk? 

Seketika beberapa rentetan pertanyaan muncul silih berganti, membuat dunia Anita menjadi berputar. 

***

Mobil hitam mewah itu hanya sekitar sejam membelah jalan dari Rantau ke Banjarmasin. 

Anita merasakan perutnya ingin memuntahkan isi, andai saja tidak sekuat tenaga ditahan.

"Cepat sekali jalannya, Mang. Hoek …." gerutu Anita, ketika keluar sudah dari mobil.

Mang Yuni dan Bayu tertawa dengan ocehan Anita. 

"Hoek …."

"Mama …." 

Izza duduk di kursi roda yang didorong oleh neneknya. 

Anita tersenyum, ketika melihat putrinya. Seketika mual terlupakan. 

"Ingat, bersikaplah tenang! Jangan gegabah."

Jantung Anita mencelus. "Kenapa laki-laki ini jadi tanpa jarak?" gerutu Anita dalam hati. 

"Izza …." Seperti biasa, Bayu merentangkan tangan jika  bertemu Izza. "Bagaimana ketika ditinggal mama? Izza pinter enggak?"

Izza mengangguk. 

"Pintaaar." Bayu menyentuh hidung kecil Izza. "Oh iya, nenek Izza datang, ya?"

Izza memamerkan gigi kecilnya. Bayu berdiri. Anita sudah di dekat mereka. 

"Bu, kenalkan ini, Pak Bayu. Pemilik sekaligus donatur Rumah Bahagia."

Bayu mengulurkan tangan yang langsung disambut Iroh. 

"Saya Bayu, Bu."

"Saya Iroh, neneknya Izza. Senang bisa bertemu langsung dengan Bapak. Malam tadi Izza banyak cerita tentang Bapak."

Bayu menoleh Izza, meminta penjelasan. Anak itu mengalihkan perhatiannya. Anita tersenyum tingkah mereka. 

"Kalau begitu, saya permisi, Bu." 

"Silakan."

Bayu kembali berjongkok. "Izza mau ikut ke rumah Om?" 

"Mau mau." Izza langsung merentangkan tangan. 

Bayu menggendong Izza. "Kita cari Kak Huda dulu, ya. Biar Izza ada temannya."

"Huda masuk rumah sakit," sahut Izza.

"Heh? Kenapa? Kapan masuknya?"

"Huda demam. Subuh tadi tadi Amang Udin ngantar ke rumah sakit."

"Oh, begitu. Ya sudah, kita ke rumah Om, ya."

Izza mengangguk cepat. Ia memang ingin melihat seluruh ruangan di rumah sebesar itu. 

"Kami permisi, Bu."

Bayu masuk ke dalam begitu mendapat anggukan Iroh. 

*

*

"Apa Ibu tahu hubungan Mas Ridwan menikah dengan Rana?" tanya Anita. 

Anita membawa mertuanya ke taman belakang rumah Bayu. Mereka duduk, mengelilingi meja bundar, yang dinaungi oleh sebuah payung besar.

Iroh tak langsung menjawab. 

Dari sikap mertuanya, Anita sudah tahu jawabannya.

"Apa Ibu juga tau, kalau Rana itu sebenarnya dulu pacarnya Ridwan?"

Iroh menghela napas. "Ibu tidak tahu sejauh mana hubungan mereka. Waktu itu, Ridwan memang ingin melamar Rana, tapi ibu tak merestuinya." 

Anita merasakan matanya mulai memanas. Merutuki betapa bodoh dirinya, dan membiarkan Rana terus berada di sisi mereka. 

Iroh menarik kedua tangan Anita. "Ibu tahu, ini sangat menyakitkan buatmu, tapi ingatlah semua perlakuan baik Ridwan padamu dan Izza."

Anita mengusap kasar wajahnya. "Kenyataannya dia tetap menikahi Rana dan di saat seperti ini."

Anita terisak. "Mengapa tidak ditahan sebentar saja, menunggu Izza sembuh? Mengapa di saat seperti ini?"

Anita meletakkan wajahnya di atas meja. Air matanya benar-benar tidak dibendung lagi. 

Iroh pindah ke kursi di samping Anita. "Maaf Ibu, Nak. Ibu juga terlambat mengetahuinya." 

Anita mengangkat wajahnya. "Kapan mereka menikah?"

"Sekitar dua yang lalu. Ibu juga tidak diberitahu. Nak, ibu tau, kamu sangat marah, kecewa bahkan benci. Tapi, ibu yakin, hatimu masih ada cinta untuknya.  Meski sangat sedikit, pertahankan yang sisa itu, untuk menopang kerjasama kalian demi kesembuhan Izza."

"Apa Mas Ridwan memiliki pemikiran yang sama?" bantah Anita. "Seandainya sebesar biji jagung cintanya untukku, seharusnya ia menahan diri. Bagaimanapun aku ibu dari anaknya. Anak yang setiap saat berjuang untuk bertahan hidup. Anak yang selalu menegang ketika berhadapan alat medis, tetapi ia selalu saja menurut demi menjadi kebanggaan orang tuanya."

Air mata Iroh mulai lirih. 

"Itulah yang tidak aku mengerti. Ridwan orang yang selalu bertanggung jawab. Kenapa tiba-tiba dia mendua. Ibu sendiri benar-benar tidak mengerti."

 Anita sesenggukan. Berkali-kali ia menarik napas, lalu mengeluarkan pelan. Berharap tangisnya bisa berhenti. 

"Apa ibu tau keuangan Ridwan tidak baik?"

"Apa? Ridwan tidak pernah cerita. Dari mana kamu mendengarnya?"

"Dari Rana. Katanya keuangan toko sedang buruk, dia yang membantu Ridwan bangkit."

"Dasar perempuan ular," umpat Iroh. "Kamu tau siapa Ridwan. Dia paling tidak bisa menceritakan masalahnya. Pada awal-awal kalian ke sini, dia sering ke rumah, sekadar makan atau minta cucikan pakaian. Tapi lama kelamaan, dia tidak datang lagi. Ibu datang ke rumah kalian, rumahnya terlihat bersih dan rapi. Ibu pikir, dia memang sudah bisa mandiri. Setelah sekian lama tidak melihatnya muncul, ibu..."

Ucapan Iroh terhenti. Anita melihat, seperti ada yang menyumbat pernapasan mertuanya.

"Ibu melihat Rana di dalam rumah. Ternyata selama ini, Rana yang membersihkan rumah dan menyediakan keperluan Ridwan."

Iroh mulai menangis tersedu. "Perempuan itu benar-benar ular. Dia mengambil kesempatan di kesusahan kalian. Ibu benar-benar tidak rela punya mantu dia."

Kini giliran Anita yang menyabari Iroh.  Sebenarnya hatinya lebih terluka. Suami dan sahabat khianat padanya, di saat ia sangat memerlukan dorongan semangat. 

Ia melepaskan rangkulannya, ketika ponsel di dalam tasnya berdering. Ia segera mengeluarkan dan memperhatikan layarnya. 

"Mas Ridwan." 

Iroh sesenggukan. 

"Ma, kamu di mana?" 

"Aku di Rumah Bahagia."

"Keluarlah, aku di luar."

Anita menutup speaker ponsel. Memberitahu mertuanya akan kedatangan Ridwan. 

"Teruslah lewat samping kanan Rumah Bahagia, terus ke belakang. Kami ada di belakang rumah besar." 

Panggilan langsung terputus. Tak lama, muncul Ridwan dengan napas terengah-engah. Anita melihat napas lega suaminya ketika mendapati dirinya. Sesaat kemudian, wajah Ridwan berubah saat menyadari ada ibunya. 

Ridwan mendekat. "Ibu ada di sini? Kapan berangkatnya?"

"Kemarin siang," jawab Iroh, lalu beralih ke Anita. "Kalian bicaralah baik-baik. Ibu masuk ke dalam dulu." 

Iroh berlalu tanpa menunggu jawaban putra dan menantunya itu.

Ridwan merangsek maju, ingin memeluk, tetapi Anita mundur. 

Anita menghidupkan ponsel, tapi Ridwan segera merebut dari tangannya. 

"Aku perlu bicara denganmu."

"Izza sangat merindukanmu."

"Anita … please."

"Aku tak bisa bicara dengan keadaan kepalaku mau meledak seperti ini," sahut Anita, setengah berteriak.

Ridwan maju, ingin meraih tangan Anita, tetapi lagi-lagi mundur. 

"Tolong, Yah. Jangan paksa aku. Ayah tau siapa aku. Dibanding itu, aku ingatkan lagi, kondisi Izza sedang tidak baik. Dia membutuhkan Ayah."

Ridwan menghela napas pasrah. "Baiklah."

Anita mengulurkan tangannya, meminta ponsel kembali. Ridwan menurut. 

Tak lama panggilannya sudah terjawab.

"Hallo."

"Pak, bawa Izza ke sini. Di belakang rumah Bapak."

"Bapak?"

"Ayah Izza datang."

"Baiklah kalau begitu. Tunggu sebentar."

Tanpa suara Anita duduk ke kursi. Membiarkan suaminya yang masih berdiri. Ia tau betul Ridwan pasti sangat kelelahan. Ia cuma khawatir, lahar kembali berkobar seiring mulutnya yang terbuka.

Tak lama Izza muncul dalam gendongan Bayu. 

"Ayah," teriak Izza dari kejauhan. 

Ridwan menyongsong Izza. Mengambil alih dari Bayu. 

"Anda?"

"Saya Bayu, orang yang tinggal di samping Rumah Bahagia," sahut Bayu. 

"Dia pemilik Rumah Bahagia," sela Anita. 

Ridwan termangu. Ia ingat betul, laki-laki di depannya, orang yang mampu menjinakkan Anita.

Bayu tersenyum kecil. "Kalau begitu, saya permisi dulu."

"Ayah, kenapa tidak barengan dengan ibu?"

Ridwan mencium pipi putrinya yang tembem. "Ayah menyelesaikan urusan dulu. Izza tambah berat ya. Tangan Ayah jadi pegal."

Izza tertawa. "Ayah, baru sebentar sudah pegal. Ayah payah." 

Ridwan merengut. Izza semakin tertawa. 

"Ayah ingatkan kemarin Izza ulang tahun?"

"Ayah ingat, Sayang. Mana mungkin lupa. Maaf, ayah baru bisa datang sekarang."

"Lalu, hadiahnya mana?"

Ridwan terkesiap. 

🍒

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status