Turki, negara transkontinental, satu negara seribu rasa. Negara yang penuh dengan kekontrasan, tempat bertemunya tradisi Timur dan Barat, dimana pemandangan reruntuhan dan bangunan kuno bersanding dengan dunia modern, serta kehidupan sekuler dan religius yang berjalan berdampingan. Negara yang ingin sekali Halwa kunjungi, itu makanya ia tidak menolak saat Tita mengajaknya ke negara ini, untuk merayakan ulang tahun kekasihnya, Edzhar.
Kini, nyaris tiga bulan Halwa berada di negara ini, dan sekarang adalah malam terakhirnya di negara ini. Halwa menatap ke luar jendela kamarnya, menatap nanar ke pemandangan kota Istanbul ini, yang pamornya tak kalah impresif dibandingkan dengan ibu kota Turi, Ankara. Satu-satunya kota di dunia yang berada di dua benua. Hanya dengan menaiki kapal ferry, kita sudah bisa berpindah dari Benua Asia ke Benua Eropa. "Kamu sudah siap?" tanya Victor. Halwa balik badan menghadap pria yang sudah menyelamatkannya itu, "Ya," jawabnya, lalu melangkah mundur saat Victor melangkah maju mendekatinya. Sadar akan reaksi Halwa padanya, Victor langsung menghentikan langkahnya. Bukan maksud Halwa tidak sopan dan tidak tahu terima kasih pada pria yang sudah banyak membantunya itu. Tapi sejak malam itu, Halwa menjadi takut berdekatan dengan seorang pria, siapapun pria itu, tidak terkecuali Victor. "Sebaiknya kita jalan sekarang, Edzhar sudah mulai menyebar orang-orangnya untuk mencarimu. Dia sudah tahu kalau anak yang sedang kamu kandung sekarang adalah anaknya," ujar Victor. Halwa menganggukkan kepalanya. Ia memang ingin segera keluar dari negara ini, negara impiannya yang juga menjadi mimpi buruknya. "A... Apa dia juga sudah tahu, kalau aku tidak bersalah?" tanya Halwa. "Belum... Edzhar masih beranggapan kamulah yang sudah menjebak Tita. Dan masih belum bisa memaafkanmu untuk itu," jawab Victor. Halwa menundukkan kepalanya, apakah Edzhar memang menganggap dirinya serendah itu hingga mau mencelakai sahabat baiknya demi seorang pria? Mencintai pria itu dalam diam saja sudah berat, sekarang ditambah lagi dengan tuduhan kejamnya, serta siksaan yang Halwa hadapi setiap harinya selama di dalam tahanan itu. Untungnya siksaan demi siksaan dari orang bayarannya itu membuat cinta Halwa pada Edzhar terkikis sedikit demi sedikit, dan saat pria itu memerintahkan orang kepercayaannya untuk mengembalikan Halwa ke sel, dan memerintahkan untuk terus menyiksa Halwa hingga anak yang Halwa kandung keguguran, cinta itu langsung menghilang sepenuhnya. "Apa aku bisa meninggalkan negara ini dengan selamat?" tanya Halwa lagi sambil menghapus air matanya. "Percaya saja padaku, Halwa," jawab Victor. Memangnya pilihan apalagi yang Halwa punya? Saat ini ia hanya bisa menggantungkan nasibnya pada Victor saja, semoga Victor benar-benar membawanya keluar dari negara ini dan menjauh dari Edzhar, alih-alih menyerahkan Halwa ke pria itu. "Boleh aku meminta sesuatu padamu, Vic?" "Ya." "Mulai hari ini jangan memanggilku Halwa lagi, Halwa sudah mati di rumah sakit itu," pinta Halwa pelan. "Lalu aku harus memanggilmu apa?" tanya Victor. "Kamu bisa memanggilku Aira. Itu panggilan kesayanganku untuk keluargaku. Atau terserah kamu mau memanggilku apa, selama bukan Halwa," jawab Halwa. "Baiklah kalau memang itu maumu. Orang tuamu sudah menunggumu di lombok, di kampung halaman Mamamu. Tadinya aku mau membawa kalian ke Albarracin, Spanyol. Tapi mereka bersikeras menunggumu di lombok." "Lombok tempat yang indah, mungkin Papa berpikir aku bisa menenangkan diriku di sana ... " "Tapi Edzhar akan dengan mudah menemukanmu di sana, kecuali kalau memang kamu ingin ditemukan." ujar Victor. Halwa menggelengkan kepalanya dengan cepat, "Tidak, aku tidak ingin pria itu menemukanku. Aku takut dia akan mengambil anakku." "Ya, aku mengerti. Sebaiknya kamu rundingkan lagi nanti dengan orang tuamu sesampainya kita di Lombok nanti. Mereka belum tahu jelas duduk permasalahannya. Mungkin setelah kamu menjelaskannya nanti mereka akan mengerti." "Iya, nanti aku akan menceritakan semuanya," desah Halwa sambil memeluk dirinya sendiri. Victor melihat kerapuhan Halwa di sana, wanita cantik dan ceria itu kini berubah menjadi pendiam. beberapa luka lebam masih menghiasi wajah cantiknya. Sehari-harinya Halwa hanya merenung saja, memandang ke landscape kota Istanbul dengan tatapan mata kosongnya. "Apa kamu mau menceritakan kejadian sebenarnya padaku?" tanya Victor lembut sambil duduk di sofa santai kamar itu. "Malam sebelum Tita berangkat ke kapal pesiar itu, Tita memang mengajakku untuk turut serta, tapi aku menolaknya, karena aku sedang tidak enak badan saat itu," mulai Halwa. "Tita terus saja membujukku, dengan alasan Edzhar hanya mengizinkan ia pergi kalau bersama denganku. Entah kenapa di antara teman-teman Tita, Edzhar hanya percaya padaku. Pria itu akan mengizinkan kemanapun Tita pergi asal bersama denganku," lanjutnya. "Pada akhirnya Tita menyerah membujukku, tapi sebagai gantinya aku harus setuju Tita menggunakan namaku untuk izin ke Edzhar. Dan dia menelepon Edzhar tepat di depanku. Tita berkata aku yang mengajaknya wisata malam di kapal pesiar apa namanya akupun tidak dapat mengingatnya. Awalnya Edzhar melarangnya dengan berbagai macam alasan, meskipun pada akhirnya mengizinkannya." "Kenapa Edzhar tidak menemani Tita malam itu?" "Kata Tita Edzhar sedang sibuk di kantornya, karena baru saja memenangkan tender proyek besar. Tapi Edzhar janji akan mengajak kami ke Cappadocia, dan itu lumayan menenangkan Tita hingga tidak merajuk lagi padanya." "Hanya karena itu Edzhar menuduhmu sebagai dalang kematian Tita?" tanya Victor dengan nada tidak percaya. Ia sudah mendengar cerita versi Edzhar, dan kini versi Halwa, dan keduanya sama, telepon Tita lah yang menjadi pemucu utama tuduhan Edzhar pada Halwa. Halwa mendesah pelan sebelum menjawab, "Edzhar mengira aku mencelakai Tita hanya karena ingin mendapatkan dia, konyol sekali pikirannya itu." air mata yang sejak tadi Halwa tahan pada akhirnya mengalir juga, Halwa menghapus air matanya tapi justru air mata itu mengalir lebih deras lagi, hingga akhirnya ia mengabaikannya dan melanjutkan lagi ceritanya. "Aku dan Tita lebih dari sekedar sahabat. Kami sudah seperti saudara kandung, kami sama-sama anak tunggal, hanya saja orang tuanya tidak memberikan perhatian lebih padanya, kedua orang tuanya selalu sibuk dengan urusan kantor mereka hingga mengabaikan Tita. Dan Tita justru mendapat perhatian dari orang tuaku yang sudah menganggapnya seperti anak kandung mereka sendiri. Tita sering menginap di rumahku, karena hanya berada di rumahku itu lah ia bisa merasakan kehangatan sebuah keluarga." Sesaat Halwa terdiam, ia kembali sesengukan saat teringat masa-masa yang ia habiskan dengan sahabatnya itu. Halwa tidak menyangka Tita akan pergi dengan cara seperti ini, dengan cara yang tragis, bahkan jasadnya saja tidak dapat ditemukan. "Aku sedih, Vic. Aku sangat kehilangan sahabatku itu, aku juga terpuruk saat itu. Tapi Edzhar dengan kejamnya memfitnahku sebagai dalang dari nasib naas Tita. Dia bahkan tidak mau mendengarkan penjelasanku sedikitpun. Dia bahkan ... Memperkosaku, merenggut paksa kehormatanku. Kehormatan yang seharusnya aku berikan kepada suamiku itu. Impianku untuk menikah dengan pria baik-baik kini pupus sudah," isak Halwa. Halwa tidak menceritakan siksaan yang ia alami di tahanan, karena ia sudah tidak sanggup melanjutkannya lagi. Dan sepertinya Victorpun mengerti, karena pria itu tidak bertanya lagi, ia hanya menatap penuh Halwa, seperti dapat merasakan kesedihan yang tengah Halwa rasakan.Pesta pernikahan itu di adakan di sebuah hotel bintang lima milik keluarga Covaz, yang kini berada langsung di bawah pengawasan Victorino yang mengelolanya dengan sangat baik. Tidak seperti pernikahan mereka sebelumnya, kali ini pesta pernikahan mereka di adakan secara besar-besaran, dengan semua media baik cetak, online maupun elektronik diundang untuk meliput pernikahan putra kedua dari salah satu bangsawan tertua di negara itu. Sekaligus memperkenalkan putra kedua yang selama ini disembunyikan identitasnya demi keamanannya itu kepada khalayak ramai. Juga mengumumkan kalau Victor kini akan ikut andil dalam bisnis keluarganya bersama dengan kakaknya, Victorino Duque de Neville. Pesta itu dihadiri berbagai macam kalangan, dari mulai pengusaha besar, artis dan model papan atas, hingga para pejabat tinggi yang tidak mau membuang kesempatan langka mereka untuk bertemu langsung dengan penerus ke
"Apa kamu senang, Sayang?' tanya Victor pada Lilian yang masih terus mengagumi dekorasi rofftop malam itu. "Aku jadi ingin membuat rooftop seperti ini, Vic. Kita bisa berbincang-bincang sambil menatap langit malam penuh bintang!" Lilian terlihat sumringah, dan sudah pasti Victor akan mengabulkan keinginan wanikta pujaan hatinya itu. Ia merapatkan dirinya pada Lilian saat berbisik, "Kita bisa main juga di rooftop itu, ya kan? Di tempat gterbuka seperti itu pasti rasanya akan jauh lebih nikmat lagi, karena adrenalin yang terpacu akan lebih besar." Lilian menjauhkan dirinya untuk menatap galak Victor, atau awalnya ia ingin menegur suaminya itu. Tapi alih-alih menegur Lilian malah terkikik geli karenanya, "Vic, kamu kenapa jadi seperti ini sih?" tanyanya. "Kamu tidak suka? Kamu lebih suka aku yang dulu? Aku yang mengacuhkan dan mengabaikanmu?"
Kalau pemandangan pagi hari yang disuguhkan dari rooftop hotel mereka adalah beraneka warna balon udara yang menghiasi langit, malam harinya rooftop itu menyuguhkan landscape Cappadocia yang diterangi dengan bermacam cahaya lampu dari rumah-rumah penduduk, hotel dan fasilitas umum lainnya. Mungkin jika di tempat lainnya cahaya lampu akan terlihat biasa, tapi tidak di Cappadocia yang terlihat seperti sebuah batu yang menyala karena cahaya lampu yang terpantul pada dinding-dinding yang terbuat dari batu itu. Dan entah karena setiap malam desain rooftop selalu berubah atau hanya khusus untuk malam ini saja, karena rooftop itu kini di desain dengan begitu indahnya layaknya desain sebuah pesta pernikahan, dengan banyaknya buket bunga dan taburan kelopak mawar merah di lantainya. "Apa kita salah masuk, Vic? Mungkinkah seseorang akan mengadakan pesta di sini?" tanya Lilian yang masih terus bergandengan tangan den
Meski balon udara yang mereka naiki berhenti lumayan jauh dari titik perhentian yang sang pilot rencanakan karena arah angin berubah, mereka tetap besyukur karena balon yang mereka naiki itu mendarat dengan aman. Karena menurut yang pernah Victor dengar ada balon udara yang salah landing di perkebunan seseorang hingga harus menabrak beberapa pohon, entah karena sang pilot yang kurang cakap dalam mengendalikannya, atau arah angin yang membawa balon udara itu ke arah pohon. Meski keranjang balon udara itu terlihat kokoh dan tidak akan menyebabkan masalah serius jika menabrak pohon, tapi Victor tetap waspada, dan yang pasti, Victor tidak pernah sekalipun melepas Lilian sampai balon udara yang mereka naiki itu berhasil mendarat dengan sempurna, meski beberapa kali istrinya itu berontak ingin melepaskan diri dari pelukannya. "Kamu terlalu protektif!" sungut Lilian smabil memberengut kesal. "Itu karena aku sangat mengkhawatirkanm
Meski lokasinya lumayan jauh dari Istanbul, tapi landscape yang dipenuhi dengan perbukitan uniik di sepanjang mata memandang, membuat Halwa dan Lilian tak henti-hentinya berdecak kagum. Awalnya suami-suami mereka ingin mereka naik balon udara yang berbeda, tapi Halwa dan Lilian menolaknya. Mereka ingin menikmati keeksotisan Cappadocia itu bersama-sama, membuat Edzhar dan Victor memberengut kesal karenanya. Bagaimanapun juga, jika mereka naik di balon yang sama, tidak akan ada privasi untuk mereka. Sementara Edzhar dan Victor berniat mencium istri mereka saat balon udara itu telah mencapai ketinggian. "Aku tahu yang apa yang menyebabkan kerutan dalam di keningmu itu," bisik Victor sambil melihat Lilian dan Halwa yang masih asik menikmati pucuk-pucuk pilar batu raksasa yang terlihat mempesona. JIka dilihat dari ketinggian ini, bentuknya menyerupai kerucut, persis sekali dengan rum
"Selain pintar menghindar, sekarang kamu sudah mulai pintar mengalihkan pembicaraan juga yaa ... " kekeh Edzhar saat melepaskan c1uman mereka. Halwa membuka satu-persatu kancing kemeja Edzhar, "Aku belajar banyak darimu, Ed," akunya sambil menjatuhkan kemeja suaminya itu ke lantai. "Aku masih merindukanmu ... Dan aku hanya mau kita berdua saja sekarang di kamar ini, well mungkin dengan calon anak kita juga, karena kita belum bisa membujuknhya untuk bermain di luar," lanjutnya. Halwa memekik pelan saat tiba-tiba Edzhar membopongnya, "Aku mau mulai permainan itu sekarang!" serunya. "Iya, tapi turunkan aku dulu, aku bisa jalan sendiri, Ed." "Kamu harus menghemat tenagamu untuk berjaga-jaga kalau rasa mual itu kembali lagi. Jadi biar aku isi lagi tenagamu itu dulu!" elak Edzhar. "Ak