Edzhar terbangun dengan kepala yang berdenyut nyeri, dan kedua kaki yang menjuntai ke bawah, sementara matanya menyusuri tiap sudut kamar itu, kamarnya.
Dengan jari telunjuk dan ibu jarinya, ia menekan-nekan keningnya untuk meredakan rasa nyeri di kepalanya itu, sambil mengingat-ingat kenapa ia bisa berada di dalam kamarnya, alih-alih di rumah sakit.Edzhar ingat ia terlalu banyak minum saat tengah menemani Tita di rumah sakit. Raganya memang di sana tapi jiwanya seperti tertinggal di rumah, tepatnya di dalam kamarnya.Saat itu ia begitu merindukan istrinya, rindu pada tawa dan candanya, tapi ia harus menjauhinya untuk sementara waktu, dan ternyata ia tidak bisa, karena wajah Halwa tidak mau pergi dari benaknya, ia seperti melihat wanita itu dimanapun ia berada.Ia terus minum hingga mabuk hanya untuk menghilangkan bayangan istrinya itu, tapi ternyata Tita yang mengira ia sudah sepenuhnya mabuk berusaha untuk menggodanya.Wanita itu dudu"Apa kau sudah membawa Halwa pulang?" tanya Edzhar pada Omer, supir pribadi yang ia tugaskan untuk mengantar dan menjemput Halwa. "Nyonya belum mau pulang, Tuan," jawab Omer. "Di mana kalian?" "Di Kafe favorit Nyonya, Tuan." "Ya sudah, biarkan dia menenangkan diri di sana, saya akan mengirim beberapa pengawal ke sana!" "Baik, Tuan." Edzhar mematikan sambungan teleponnya, bersamaan dengan masuknya Tita ke dalam mobil. "Aku akan menempatkanmu di salah satu Apartmentku!" seru Edzhar setelah Tita duduk di sebelahnya. "Aku tidak mau, Ed. Aku takut sendirian. Kecuali kalau kamu juga tinggal di sana menemani aku." "Jangan mimpi, Ta. Aku sudah memiliki istri sekarang!" "Kalau begitu biarkan aku tinggal di rumahmu, Ed. Aku janji sebisa mungkin aku tidak bersitatap dengan Halwa." "Aku tidak segila itu hingga menempatkan kalian da
"Untuk sementara waktu Tita akan tinggal di rumah ini," ujar Edzhar saat makan malam bersama Halwa dan Anne Neya."Apa kamu sudah gila, Ed? Apa kamu tidak memikirkan perasaan Halwa?" tanya Anne Neya."Hanya sementara waktu, anne. Sampai Tita pulih dari traumanya," jawab Edzhar lalu beralih menatap Halwa,"Kamu tidak keberatan kan, Wa?" tanyanya."Hmmm.""Jawab, Wa. Aku butuh jawabanmu bukan cuma dehamanmu," desak Edzhar.Halwa meletakkan sendoknya, ia menatap intens suaminya, menatap lekat kedua matanya, ia ingin suaminya itu mengingat perkataannya ini di sepanjang hidupnya,"Aku tidak punya hak suara lagi semenjak kamu tidak mempercayaiku, Ed. Lakukan apa yang kamu mau, ini rumahmu juga hidupmu," jawabnya sengaja menekan tiap katanya.Sambil terus menguatkan dirinya di depan pria itu, Halwa meraih serbet dan membersihkan mulutnya sebelum beralih menatap Anne Neya,"Aku permisi dulu, Anne. Sampai jumpa
Halwa memejamkan matanya ketika pintu kamar terbuka, langkah kaki Edzhar terdengar saat pria itu melangkah mondar-mandir mendekati Halwa, lalu menjauh lagi, begitu seterusnya hingga terdengar helaan nafas panjang sebelum pria itu duduk di sisi tempat tidur."Aku tahu kamu hanya berpura-pura tidur saja, Wa. Bangunlah, ada yang ingin aku bicarakan denganmu!" serunya."Katakan saja, aku mendengarnya. Yang aku tutup hanya mataku bukan telingaku," sahut Halwa tanpa membuka kedua matanya."Aku tahu kamu kecewa karena aku membawa kembali Tita ke rumah ini, tapi aku tidak punya pilihan, Wa. Karena dia masih takut sendirian, dan traumanya belum hilang."Detik berlalu menjadi menit, tapi Halwa masih juga terdiam, kedua matanya tetap terpejam, hanya dadanya saja yang terlihat bergerak naik turun dengan cepat saat ia menarik dan membuang nafasnya, wanita itu tengah menahan dirinya untuk tidak meluapkan kekecewaannya.Merasa Halwa tidak akan merespon
"A ... Aku tidak berbohong, aku memiliki bukti!" sangkal pria itu sambil merogoh saku celananya, lalu menyerahkan dua lembar foto pada Edzhar.Mata Edzhar membulat saat melihat pria itu yang mengenakan pakaian sipir tengah menggagahi Halwa, mata tajamnya beralih menatap Halwa,"Jadi perkataanmu saat di rumah sakit dulu benar, Wa? Kamu berc1nta dengan sipir ini hanya demi makanan?" tanyanya, suaranya sedingin wajahnya.Halwa tahu ini semua hanyalah sebuah rekayasa yang terstruktur dan sistematis, untuk memisahkan dirinya dan Edzhar. Seharusnya ia menyangkalnya, ya kan?Tapi tidak. Setelah sahabatnya itu kembali ia telah ditimpa oleh fitnahan demi fitnahan, dan suaminya itu lebih mempercayai wanita itu daripada istrinya sendiri.Dan sekarang saatnya ... Saatnya Halwa untuk memutuskan masa depannya. Mungkin inilah cara Tuhan untuk membuatnya terbebas dari Edzhar, suami yang tidak mempercayai istrinya sendiri. Tapi sebelum
"Sebaiknya anda melihat ini, Tuan!" seru Max sambil mengulurkan ponsel ke arah Victor."Nanti saja, Max. Aku harus segera menyelesaikan ini untuk rapat besok dengan The Group!" balas Victor tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar laptopnya."Ini tentang Nona Aira, Tuan."Tidak sampai satu detik kemudian ponsel sudah beralih ke tangan Victor. Sambil melihat foto di ponselnya pria itu dengan cepat berdiri dari tempat duduknya,"Aya!" pekiknya.Victor terus melihat satu-persatu foto Halwa yang berdarah-darah, hingga ke bagian pesan singkat dari pengirim foto itu,'Untuk sekarang, wanita ini masih hidup, tapi tidak lagi kalau sampai malam nanti anda belum datang menemuinya di rumah sakit X. Ini peringatan untuk anda! Dalam waktu satu minggu bawa pergi wanita ini dari Turki, atau dia tidak akan seberuntung hari ini!'"Max! Tunda kegiatan saya selama satu bulan kedepan! Dan segera siapkan jet pribadi, kita ke Istanbul sekara
"Apakah Tita yang menyuruhmu melakukan itu?" tanya Halwa pada pria yang mengaku sipir tadi setelah mereka keluar dari pagar tinggi rumah Edzhar. Alih-alih menjawab, pria itu langsung menarik Halwa dan mendorongnya masuk ke dalam mobil yang terparkir tidak jauh dari rumah Edzhar. Sudah ada tiga orang pria asing di dalam mobil itu, dua di depan dan satu dikursi tengah, yang langsung menggeser posisi duduknya saat Halwa masuk, sementara pria yang mengaku sipir tadi duduk di sisi satunya lagi, mengapit Halwa di antara mereka. "Mau apalagi kalian? Bilang Tita aku sudah melepaskan Edzhar untuknya, apalagi yang dia inginkan dariku sekarang?" tanya Halwa. "Nyawamu!" jawab pria yang duduk di sampingnya itu. Pria itu memalingkan wajahnya ke arah Halwa, senyum sinis terukir di wajah pria itu yang terlihat tampan dengan rahang yang tegas khas pria Italia, bukan ketampanan sempurna bak para dewa di Yunani.
Victor menatap nanar ke bayi perempuan yang sudah tidak bernyawa itu, bayi dengan warna kulit yang sama dengan bayi laki-laki yang berada di kamar Halwa tadi. Ia menyentuh pipi mungil bayi itu yang mulai terasa sedingin es. Kaku, pipi bayi ini tidak kenyal seperti halnhya pipi bayi laki-laki tadi.Vanessa ...Nama yang cantik, tapi hidupnya tidak secantik namanya, bayi malang ini hanya dapat melihat dunia ini kurang dari satu jam saja."Bayi ini memiliki berat badan yang rendah, juga daya tahan tubuhnya yang lemah. Mungkinkah ibunya mengalami banyak tekanan selama mengandung anak ini, Tuan?" tanya dokter itu.Victor tidak mau menjawab pertanyaan dokter itu. Ia memilih diam sambil terus menatap Vanessa. Yah, bayi ini telah menjadi korban dari sikap keras kepala sahabatnya, Edzhar. Seandainya saja pria itu lebih percaya pada Halwa alih-alih Tita, mungkin bayi mungil ini masih hidup saat ini."Saya akan mengubur bayi ini di Spanyol
"Mengatasi trauma akibat kehilangan seseorang apalagi kehilangan anaknya sendiri itu butuh proses, yang membutuhkan waktu tidak sebentar, tergantung individunya masing-masing. Saat ini Nona Halwa sedang berada dalam tahap penolakan, ia tengah berusaha untuk bertahan dari rasa sakit emosional, dengan cara menolak menerima kenyataan bahwa putrinya telah tiada," jelas psikolog yang menangani Halwa.Tiga hari sudah berlalu sejak Victor berhasil memindahkan Halwa dan bayinya ke rumah sakit ini, bukan hal yang mudah tapi berkat orang yang tepat, mereka berhasil sampai di Spanyol tanpa menemui hambatan. Kedua orang tua Halwa pun sudah sampai ke negara ini, dan Victor langsung meminta hapus track record penerbangan mereka, supaya Edzhar atau siapapun tidak dapat melacaknya.Karena menurut info dari orang suruhan Max, saat ini Edzhar tengah berusaha menemukan Halwa, bahkan sampai menyuruh asisten pribadinya ke Jakarta untuk menjemput orang tua Halwa, yang untungn
Halwa terjaga dari tidurnya saat sayup-sayup terdengar suara tangisan anak kecil, membuatnya seketika itu juga terjaga sepenuhnya.Ia merasa lega saat melihat Edson masih ada, dan dadanya berdegup kencang saat tahu Vanessa tidak ada di sisi satunya lagi.Dengan cepat Halwa melompat turun, lalu menghidupkan lampu kamarnya. Perutnya terasa mencelos saat ia melihat Vanessa yang tengah duduk di samping pintu kamar sambil memeluk kedua lututnya tempat wajahnya menempel, membuat rambut panjangnya menutupi sebagian kakinya."Vanes ... " panggil Halwa dengan lembut sambil mendekati putrinya itu.Tapi Vanessa menghindar saat Halwa menyentuhnya,"Anne bohong ... Baba bohong ... " isaknya tanpa mengangkat kepalanya dari lututnya.Halwa merasakan hujaman menyakitkan di hatinya saat putrinya bukan hanya tidak mau ia sentuh, tapi juga tengah marah padanya.Ia tahu, saat ini Vanessa pasti sedang kecewa, karena Babanya tidak kunjung dat
"Amma ... Poppa!!" teriak Edson, anak itu langsung lari keluar villa saat melihat Halwa dan Victor yang baru saja turun dari mobil.Victor bergegas menghampiri Edson ketika langkah anak itu terhenti saat melihat Halwa yang kembali berpaling ke dalam mobil untuk menuntun Vanessa turun."Edson, Dedek Vanessa sudah datang, ayo sambut dia!" seru Victor.Untuk sesaat, baik Edson maupun Vanessa saling bertukar pandang, sebelum akhirnya Edson yang terlebih dahulu menghampirinya,"Dede Vanes udah sembuh?" tanya Edson.Vanessa mengangguk, lalu melepaskan tangannya dari Halwa, "Kak Eson?" tanyanya.Lalu tiba-tiba Edson memeluk adikknya itu dengan erat, "Iya ... " jawabnya.Halwa memandang penuh haru ke arah Vanessa dan Edson yang telah terpisah selama tiga tahun itu. Delapan bulan mereka selalu bersama di dalam kandungan Halwa, yang terpisah beberapa saat setelah dilahirkan karena tangan-tangan jahat yang memisahkan mer
"Kamu bicarakan dulu berdua sama Edzhar, yaa ... " bujuk Victor setelah menceritakan niat Edzhar tadi."Tapi, Vic ... ""Ay ... Bagaimanapun juga kalian harus tetap membahas masalah pengasuhan Edson dan Vanessa. Daripada terus menundanya lebih baik kalian selesaikan sekarang, biar kalian sama-sama enak."Halwa mendesah pelan, ia melirik Edzhar yang tengah berbincang serius dengan anne Neya, sementara Vanessa sedang disuapi suster Mia."Aku takut Edzhar akan membujukku lagi seperti semalam, Vic.""Ya, Edzhar sudah mengatakannya padaku. Dan kamu tenang saja, niatnya sudah bulat untuk tidak mengusik hubungan kita, dan bersedia menyerahkan hak asuh penuh anak-anak padamu.""Benarkah?" tanya Halwa, dan Victor menganggukkan kepalanya tanpa keraguan sedikitpun."Baiklah aku percaya padamu.," ujarnya.Setelah matanya bertemu mata dengan Edzhar, lewat isyarat matanya, Halwa meminta pria itu untuk ikut ke balkon bersamany
"Apa yang ingin kau bicarakan, Ed?" tanya Victor sesampainya mereka di Balkon.Sahabatnya itu terlihat sangat kacau, tidak Edzhar yang selama ini ia kenal, yang selalu terlihat rapi dan penuh percaya diri. Malam ini, pria itu jauh lebih kacau dari saat di Villa tadi.Kedua tangan Edzhar berpegangan pada pagar balkon, sementara matanya menatap nanar ke arah Menara Eiffel, yang menampakkan cahaya warna-warni. Efek jingga keemasan yang sangat indah terlihat dari tigaratus tigapuluh enam lampu sorot natrium yang dipasang di struktur menara itu.Ya, itulah Paris ... Terlihat jauh lebih indah dan romantis saat malam hari. Romantis bagi mereka yang sedang dimabuk cinta, tapi terasa hampa bagi Edzhar, pria yang akan menyerahkan dua orang wanita yang paling ia cintai itu pada sahabatnya, Victor."Ed ... " panggil Victor lagi.Dengan enggan Edzhar mengalihkan perhatiannya dari icon Paris itu ke sahabatnya, ia menguatkan dirinya saat mengatakan deng
"Bisa kita bicara di kamarmu, Neya?" tanya mommy Rycca.Anne Neya melirik sekilas Edzhar yang masih termenung di balkon sambil melihat icon Paris itu, sebelum akhirnya mengangguk."Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanyanya setelah menutup pintu kamarnya."Aku yang telah membocorkan pertunangan Halwa denganputraku pada Edzhar," aku mommy Rycca sambil duduk salah satu sofa santai yang berada di dalam kamar itu.Sambil mengerutkan keningnya, anne Neya bergegas menghampiri dan duduk di sofa sebelahnya,"Jadi kamu yang mengirim pesan itu? Kenapa?" tanyanya lagi.Mommy Rycca mengurut keningnya sambil menyandarkan punggungnya di sofa, ia pun masih tidak habis pikir dengan tindakan impulsifnya itu,"Entahlah ... " hanya itu jawaban yang keluar dari mulutnya."Jangan bilang kamu sebenarnya tidak merestui hubungan putramu dengan Halwa?" tebak anne Neya sambil menyipitkan kedua matanya.Melihat sahabatnya yang tida
Kontak skin to skin, dan dekapan lembut Halwa itu memiliki efek psikologis menenangkan, dan memberikan rasa nyaman pada Vanessa, hingga putrinya itu pun tidur dengan sangat nyenyaknya.Ibu dan anak itu sama-sama tertidur lelap hingga Halwa terbangun karena sentuhan tangan lembut seseorang di pipinya,"Anne ... " sapa Vanessa saat Halwa membuka kedua matanya.Selama ini Vanessa hanya bisa melihat foto-foto Halwa yang terpajang di rumahnya saja. Dan saat bisa melihat Annenya itu secara langsung, membuat anak itu terlihat ragu-ragu, antara Halwa nyata ada atau hanya ia bermimpi seperti biasanya saja.Kedua bola matanya seketika berkaca-kaca saat melihat senyum hangat Halwa,"Hai, cantik ... " sapa Halwa dengan suara parau, dan seketika itu juga tangis Vanessa pecah,"Anne ... Anne ... " isaknya sambil memeluk erat Halwa, seolah-olah takut kalau ia melepasnya Halwa akan kembali menghilang."Iya, Sayang. Ini Anne ... " ujar
Edzhar menahan pintu kamar tempat Vanessa tertidur, dengan plester kompres demam yang menempel pada keningnya. Dengan langkah pelan dan kedua mata yang sudah dibanjiri air matanya itu, Halwa mendekati putrinya yang entah kenapa terlihat rapuh itu,"Vanessa ... " gumamnya lirih.Halwa nangis sesengukan sambil berlutut di samping tempat tidur Vanessa, tangannya yang gemetar meraih tangan mungil putrinya itu, yang terlihat jauh lebih kecil dari tangan putranya, Edson."Vanessa, putriku ... " desahnya sambil menciumi punggung tangan putrinya itu yang masih terasa hangat.Ia menempelkannya di pipinya, merasakan hawa panas yang mengalir dari telapak tangan Vanessa ke pipinya. Sementara tangan lainnya membelai lembut rambut putrinya itu.Tadi di sepanjang jalan Halwa sudah menyiapkan dirinya untuk tidak nangis, untuk terus terlihat kuat saat bertemu dengan putrinya nanti. Karena seorang anak bisa merasakan juga kesedihan ibunya, terutama anak ba
"Membicarakan apa? Menjelaskan apa?" tanya Halwa bingung."Vanessamu dan Edzhar masih hidup, Ay ... "Halwa mengerutkan keningny, ia merasa sangat bingung, luar biasa bingung. Ia menatap penuh mata tunangannya itu,"Vic, jangan becanda ini tidak lucu!" keluhnya.Meski bibirnya mengeluarkan keluhan itu, jantungnya mulai berdebar dengan sangat cepat selama ia menunggu balasan dari tunangannya itu."Apa aku terlihat tengah becanda, Ay? Apa aku pernah becanda jika menyangkut orang yang aku kasihi? Yang kamu sayangi?" tanya Victor dengan nada lembut, tidak sedikitpun ia marah dengan kecurigaan Halwa padanya.Halwa menggelengkan kepalanya, ia munduru beberapa langkah ke belakangnya,"Itu tidak mungkin ... Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri vanessaku itu sudah tidak bernapas, Vic!" sangkalnya, ia menangkup mulutnya dengan kedua mata yang membola,"Itu tidak mungkin ... " lanjutnya, air mata mulai membasahi kedua
"Poppa ... Aku punya dedek!" pekiknya dengan riang dan Victor mengangguk, ia pun menghapus air mata di sudut matanya. Ia dan juga sahabatnya yang lain, sama terharunya saat melihat pertemuan ayah dan anak itu yang mengharu biru. Edson kembali ,mengalihkan perhatiannya ke Edzhar, "Jadi kapan aku bisa ketemu sama dedek Vanessa?" tanyanya dengan nada tidak sabar. "Secepatnya ... " jawab Edzhar. Ia tidak bisa menjanjikan kapannya, karena ia juga belum tahu Halwa bersedia bertemu dengannya atau tidak. Tapi seandainya pun Halwa tidak mau bertemu dengannya, ia akan tetap mempertemukan Edson dengan saudarinya, meski putranya itu tidak mengetahui kalau Vanessa adalah adik kandungnya. Edzhar mengangkat dan menggendong Edson, lalu beralih menatap Victor, "Apa Halwa bersedia bicara denganku?" tanyanya. "Satu-satu, Ed. Membawa Edson padamu saja sudah membuatku d