Masuk
Bab 1
Dia benar-benar datang!Bahkan Bima sendiri yang mengajakku untuk mendampinginya menjemput Inara di bandara.
Perempuan bertubuh tinggi semampai itu masih tetap cantik seperti dua tahun yang lalu, saat ia pergi tepat di hari kelima setelah pernikahan kami.
Perempuan itu melambai ke arah kami, bahkan Bima yang terlihat begitu antusias tanpa sadar menggerakkan kakinya lebih cepat menyongsong Inara, tanpa peduli aku yang kerepotan harus mengimbangi langkah-langkah lebarnya.
Dan... mereka berpelukan tepat di hadapanku.
Tampaknya mereka lupa menyadari jika adegan itu dipertontonkan di hadapan seorang istri.
Ah, ya, Bima tidak pernah menganggapku sebagai istri, tetapi mungkin hanya teman tidur atau pembantu yang mengurus keperluannya dari A sampai Z.
Pernikahan kami merasa berat sebelah. Di samping melalui perjodohan dan perjanjian antara dua perusahaan, hanya aku yang mencintai Bima, sementara Bima, cintanya habis untuk Inara yang sayangnya menolak untuk dinikahi lantaran ingin melanjutkan pendidikannya lebih dulu di negara impiannya.
"Terima kasih sudah menjaga Bima selama ini, Ratih." Kalimat yang sangat manis meluncur dari mulut Inara dan sekaligus menghujamku hingga ke dasar hati.
Apa dia tidak tahu, jika kedatangannya kali ini sudah menghancurkan biduk rumah tangga kami rapuh dari dalam?
Ah, ya, lagi-lagi aku dihempaskan oleh kenyataan, jika memang semuanya sudah perjanjian. Bima menikahiku hanya karena ingin menyenangkan neneknya yang menganggapku seperti seorang cucu.
Ada campur tangan Oma Trisna, satu-satunya orang yang paling berpengaruh di dalam keluarga besar Chandrawinata di balik pernikahan kami.
Keluarga Chandrawinata memiliki hubungan yang sangat dekat dengan keluarga Pramudita. Aku, Ratih Anjarwati Pramudita menikah dengan Adhyaksa Bima Sakti Candrawinata, karena faktor kedekatan itu dan hubungan bisnis yang sudah terjalin sejak lama. Aku pun mengenal Bima sejak kecil dan tahu bagaimana hubungan Bima dengan Inara.
Inara, gadis cantik yang terobsesi untuk melanjutkan pendidikannya di luar negeri, karena dia memang gadis yang cerdas, dan Inara mengerti jika bea siswa itu tidak akan pernah datang dua kali.
"Aku menjaganya untuk diriku sendiri, tidak ada kaitannya denganmu, Inara." Aku tersenyum tipis, lalu memegang tangan Bima yang membuat pria itu seketika menoleh, mungkin lantaran merasa aneh dengan ucapanku.
"Kamu tidak mengucapkan selamat atas kedatangan Inara, Ratih?"
"Dia sudah selesai dengan pendidikannya. Aku tahu Inara gadis yang cerdas. Jadi untuk apa mengucapkan selamat? Dia telah tiba di hadapan kita dengan selamat," ucapku diplomatis. Aku membiarkan Bima dan Inara berjalan bergandengan, mengabaikanku yang berdiri di belakang, mirip seperti pembantu saja, apalagi pakaian yang kukenakan pun tidaklah sama seperti Inara. Aku tidak pernah bisa merubah cara berpakaian, yang mungkin oleh Bima terlihat kuno, karena mengenakan gamis dengan jilbab yang menjuntai menutup dadaku.
Dan lagi-lagi Bima yang menyetir sendiri meminta Inara untuk duduk di sampingnya, alih-alih memintaku untuk duduk di depan seperti biasanya. Padahal aku adalah sang nyonya, aku istrinya.
"Apa waktu dua tahun ini tidak bisa merubah semuanya, Mas? Cerita kamu dan Inara itu sebenarnya sudah selesai, jadi tidak seharusnya diperpanjang sampai ada jilid dua segala." Aku menatap interaksi sepasang manusia itu dengan tatapan miris, ah kurang tepat sepertinya. Lebih miris dengan nasibku sendiri.
Aku merutuki diriku sendiri yang mau saja menikah dengan Bima, karena aku berpikir mungkin Bima akan cepat melupakan Inara yang jauh di sana. Bukankah kata orang, LDR bisa dapat dengan mudah merubah perasaan pelakunya?
"Apakah aku dengan mudahnya bisa kalah?" Aku menggigit bibirku, lalu menyandarkan punggungku di sandaran jok yang empuk.
Akhirnya kami tiba di sebuah restoran. Bima sengaja memilih VIP room, karena pasti ia ingin lebih leluasa bercengkrama. Aku pun turut menyertai mereka di ruangan itu, meski rasanya seperti obat nyamuk saja. Kehadiranku seperti tidak ada artinya. Tak ada penghargaan sedikitpun atas posisiku sebagai istrinya Bima, bahkan Inara hanya melempar senyum kepadaku, meski entah kenapa senyumnya seperti terasa sangat misterius
"Happy anniversary yang ke-2, Ratih. Apa kamu ingat hari ini tanggal berapa?" ucap Bima tiba-tiba. Dia mengalihkan tatapanku yang semula tertuju pada jendela ruangan ini, jendela yang terbuat dari kaca. Aku sengaja membuka gorden, sehingga pemandangan luar terlihat indah apalagi VIP room ini terletak di lantai dua restoran.
"Tentu saja. Aku bahkan sudah menyiapkan kue di rumah, tetapi aku lupa menyerahkannya kepadamu karena kita buru-buru pergi menjemput Inara." Seutas harap muncul begitu saja saat menyadari jika ternyata Bima mengingat tanggal pernikahan kami.
"Sebenarnya itu tidak perlu, karena Oma sudah menyiapkan semuanya untuk kita malam ini. Tapi sebelumnya, ada yang ingin ku sampaikan kepadamu, Ratih. Dan aku harap kamu bisa mengerti...."
"Ya, katakan saja. Apa kamu ingin konsep acaranya di rubah sedikit, tidak mengikuti kemauan Oma seratus persen?" Suaraku bergetar. Aku bahkan mengambil ponsel dari dalam tasku, siap-siap untuk menghubungi Oma jika ternyata nanti acaranya akan berubah sedikit.
"Iya bener. Mengingat Inara yang sudah kembali, maka melalui acara itu, aku ingin mengumumkan perceraian kita, sekaligus memperkenalkan Inara sebagai tunanganku...."
"Tunangan?! Secepat itu?" Tubuhku tiba-tiba saja lemas. Aku tahu, Bima akan menyingkirkanku setelah Inara kembali, tapi aku tidak menyangka jika prosesnya akan secepat ini, di saat aku belum memiliki nafas dan strategi untuk mempertahankan rumah tangga kami. Seketika mataku berkunang-kunang, tetapi tanganku tetap mencengkram erat ponsel secepat itu.
"Kamu mau tunggu berapa lama, Ratih? Seharusnya kamu sadar. Hari ini aku sudah datang dan kamu harus menyerahkan Bima kepadaku. Kami saling mencintai dan seharusnya kami menikah sejak dulu. Seharusnya yang menikah dua tahun yang lalu itu aku, tapi berhubung beasiswa itu tidak datang dua kali, aku lebih memilih meminta kepada Bima untuk menikahimu karena kebetulan Oma Trisna memang menyukaimu. Masa gitu saja kamu nggak paham?" Lagi-lagi tutur katanya lemah lembut dan penuh percaya diri. Namun ucapannya begitu menohok, bahkan membuatku seperti sesak nafas.
"Cerita kamu dan Bima sudah selesai. Yang ada sekarang adalah ceritaku dengan Mas Bima. Kamu jangan mempermainkan yang namanya pernikahan, Inara. Bagaimanapun juga, aku dan Mas Bima sudah menikah dan kamu hanya orang lain baginya."
"Siapa bilang?! Apa kamu terlalu percaya diri jika semuanya akan berakhir ketika kita menikah?! Apakah kamu lupa dengan ucapanku waktu itu? Apa kamu terlalu bodoh, sehingga mengira jika kami sudah kehilangan kontak selama ini?!" Suara laki-laki itu berapi-api.
Namun seolah menemukan kekuatan, aku malah mengangkat wajah.
"Apa aku perlu adukan semua ini kepada Oma, biar dia tahu jika cucunya yang tampan dan selalu ia banggakan ini begitu mudah mempermainkan sebuah pernikahan?" ancamku tanpa pikir panjang.
"Dan kamu tahu, Mas, perceraian di kalangan keluarga kita itu sangat dibenci, karena suami istri yang bercerai itu seperti seorang pecundang, mereka itu orang-orang yang telah gagal mengatasi permasalahan dalam rumah tangga. Kamu ingat itu, Mas?!"
Bab 8Beruntung ada sipir yang lewat, sehingga wanita berseragam itu menegakkan tubuhku, lalu membimbingku menuju klinik."Biar diperiksa dulu ya, Bu. Ini Ibu Ratih yang kemarin positif hamil saat diperiksa dokter Syifa, kan?" ujarnya ramah.Aku mengangguk dan berkata, "benar, Bu. Saya nggak tahu jika sedang hamil, karena mungkin terlalu stres dengan drama rumah tangga kami yang tak berkesudahan. Ibu tentu tahu apa alasannya yang membuat saya berakhir di tempat seperti ini.""Iya Bu, saya mengerti." Pegangannya di pundakku membuat tubuhku terasa lebih ringan untuk melangkah. "Hanya sayangnya saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya hanya seseorang yang ditugaskan untuk melayani para tahanan disini."Kemudian diapun berujar, "tapi Ibu tenang saja. Saya akan berusaha melayani Ibu sebaik mungkin. Mungkin tempat ini tidaklah cocok untuk ibu, tetapi saya berharap Ibu bisa betah tinggal di sini, meskipun saya pribadi menginginkan jika Ibu segera keluar. Saya tahu Ibu orang baik.""Dari mana Ib
Bab 7"Kamu pikir, kamu akan mendapatkan kebebasan dengan mudah?!' Pria itu malah tertawa lebar sembari menatap wajahku, ucapan yang membuatku sangat terkejut."Itu yang kamu janjikan!" Aku menunjuk map yang sekarang berada di tangan Inara."Kamu ingat, siapa yang sudah melaporkan kamu ke polisi soal tindakan tidak menyenangkan yang mengakibatkan hilangnya nyawa Oma? Apakah itu aku?" lanjutnya. Kedua sejoli itu seketika berpandangan, lalu bertukar senyum, meski akhirnya Inara memegang tangan Bima."Tidak sepantasnya kamu bilang seperti itu, Mas," ujar Inara lemah lembut, dan sedikit melirik kepadaku. "Bagaimanapun dia adalah istrimu, dan anak yang dikandungnya adalah anakmu. Seorang ayah tidak mungkin membiarkan ibu dari buah hatinya berada di penjara, bukan?!""Apa sekarang kamu berubah pikiran, Inara sayang?" Pria itu berujar. Lembut sekali nada bicaranya.Aku tidak tahu apa arti kesepakatan yang dimaksud oleh Bima, tetapi aku yakin Bima dan Inara itu sama saja. Kalaupun Inara terli
Bab 6Aku berlari menuju kamar mandi karena tak tahan dengan gejolak di dalam perutku. Entah kenapa bau badan Bima begitu menyengat. Padahal selama ini aku merasa baik-baik saja. Tidak ada riwayat penyakit maag yang parah, walaupun kadang makanku tidak teratur lantaran sering stres menghadapi sikap Bima, apalagi sejak rencana kepulangan Inara, yang berakhir dengan pertemuan kami di bandara waktu itu. Aku mengeluarkan seluruh isi perutku, sampai akhirnya yang tersisa cuma air saja.Tubuhku lemas, lunglai seluruh persendianku. Seorang sipir menangkap tubuhku yang limbung, lalu berkata, "mari kita ke klinik. Sepertinya kamu sedang kurang sehat.""Terima kasih, Bu," sahutku lirih.Wanita berseragam itu membimbingku berjalan menuju sebuah ruangan yang disebut dengan klinik. Seorang dokter jaga muncul dari ruang dalam dan mengisyaratkan kepadaku untuk berbaring.Dia mengukur denyut nadi tensi kemudian meminta izin untuk menyingkap pakaian yang sedang aku kenakan."Sudah berapa lama bu Rat
Bab 5"Suami Anda mungkin yang membuat keputusan itu, lalu mengumumkannya di hadapan para tamu undangan di acara anniversary pernikahan kalian yang kedua, tetapi bagaimanapun Anda adalah akar dari segala masalah ini yang membuat nenek mertua Anda akhirnya meninggal dunia lantaran syok dengan keputusan suami Anda. Wajar jika semua orang menyalahkan anda, karena mereka akan berpikiran Anda merupakan istri yang tidak becus. Sudah tahu nenek mertua anda memiliki riwayat penyakit jantung dan sedang dalam proses pengobatan, kenapa tidak bisa mengontrol suami Anda agar tidak mengumumkan perceraian di hadapan neneknya?" Tatapan pria di hadapanku ini seolah mengulitiku hidup-hidup. Dia bertindak sebagai penyidik, tetapi dari caranya menyelidiki kasus ini, membuat kesan seolah sedang menghakimiku.Kenapa semua orang menyalahkanku, sementara segala sesuatu yang terjadi di luar kontrol?Bagaimana mungkin aku bisa mengontrol seseorang yang cintanya sudah habis untuk cinta dan kekasih pertamanya?
Bab 4"Oma Trisna meninggal dunia?!" Bibirku bergetar. Tubuh yang lemas dan rasanya tulang-tulangku mau copot. "Aku sangat menyayangi Oma. Aku nggak menyangka kejadiannya sampai begini. Aku turut berduka cita, Ma." Hanya itu kalimat yang bisa aku ucapkan."Begitu mudahnya kamu bilang!" Tapi perempuan setengah dua itu malah melotot kepadaku. "Begitu mudahnya kamu bilang seperti itu, tidak menyadari kesalahanmu sendiri! Andai kamu bisa menjadi istri yang baik, Bima tidak perlu menceraikanmu dan mengumumkan perceraian itu di hadapan Mama Trisna. Aku sudah bilang jika kamu bukan wanita yang baik, tetapi Mama selalu bersikeras untuk menjodohkan kamu dengan Bima. Benar-benar perempuan pembawa sial!" Lagi-lagi ia memakiku.Tamparan itu membuat kepalaku pusing, dan secara alami tiba-tiba saja perutku mengalami mual. Aku buru-buru menutup mulutku dan mengusap perutku secara refleks untuk meredakan rasa tak nyaman."Aku tidak tahu apa-apa, Ma. Mas Bima sendiri yang mengumumkan perceraian. Aku
Bab 3"Oma...." Aku menjerit pertama kali saat menyadari jika Oma Trisna sudah terkulai di kursi rodanya. Aku buru-buru merengkuh tubuh itu, tetapi belum sempat menyentuh Oma Trisna, tubuhku sudah terjungkal lebih dulu, jatuh ke lantai. "Apa-apaan kamu?! Lelucon macam apa ini?! Ini pasti gara-gara kamu! Kamu yang memang nggak becus sebagai istri, sampai Bima menceraikan kamu!" Alih-alih merangkul, justru pria yang seharusnya menjadi cinta pertamaku itu malah menyalahkan. Aliando, papaku mendaratkan tamparan keras disusul dengan tamparan lain, tetapi tidak terlalu keras, karena berasal dari seorang wanita yang berdiri di samping pria itu.Dialah Atika, ibu tiriku."Cepat berlutut, bilang kepada Bima jika kamu minta maaf dan meminta rujuk kembali!" teriak Atika marah.Perempuan itu menyeretku ke arah Bima yang terlihat malah berbincang dengan Inara, tanpa perduli dengan neneknya yang sudah dibawa pergi dari tempat itu. Untung saja tim medis siap siaga, sehingga perempuan tua itu bisa







