Share

Bab 13. Sudah Jatuh Tertimpa Tangga.

πŸ’—πŸ’—πŸ’—

Malam kian larut, mataku masih enggan terpejam. Kepalaku sungguh terasa berat, pusing di seluruh bagiannya. 

Suara-suara semalam, dan siang perlahan terngiang. Bayangan tiap kejadian berputar kembali dalam ingatan.

"Saya ... legowo yang mulia, saya bersedia berpisah dari istri saya!" jawab Mas Harto siang itu dengan suara lirih, seperti ada keraguan di dalam kalimatnya. Tapi, aku sangat lega mendengar kata-kata Mas Harto. Seperti ada rantai yang terlepas dari kakiku.

Sebuah rasa kelegaan terlepas, dengan sebuah senyuman dari bibirku. Namun di dalam hati, tetap ada rasa kosong dan sakit saat ia mengucapkan kesediaannya untuk berpisah.

Saat Hakim Ketua menutup sidang dengan ketukan palu beberapa kali, semua orang yang hadir berdiri dari duduknya bersiap meninggalkan ruang sidang.

Aku melirik lelaki yang duduk di kursi  sebelahku, lalu berdiri lebih dulu beranjak meninggalkan ruang sidang. Mas Harto masih terdiam di kursinya, alisnya bertaut. Seperti sedang berpikir

"Ning," panggilnya dengan suara lirih.

"Hem," kataku lalu berbalik dan menoleh padanya. 

Sejenak kami terdiam, saling pandang tanpa kata. Sama, rasa itu masih kurasakan dari sorot matanya.  Akankah cinta yang kami pupuk selama dua puluh tahun lebih masih mengakar dalam hati masing-masing?

Rasaku tetap untukmu, Mas. Dulu, kemarin, sekarang entah sampai kapan. Namamu masih terukir di hati, aku tak pernah membenci. Namun aku lelah untuk semua tragedi.

"Ayo, Buk," panggil Anton yang menungguku di dekat pintu. Suaranya mengalihkan pandanganku dari wajah Mas Harto.

"Duluan, Mas!" pamitku padanya.

Aku berpaling dari wajah itu, bersiap melangkah pulang. Ingin rasanya meraih dan mencium punggung tangannya, tapi ...

"Maaf …. " Satu kata lirih terucap dari bibir Mas Harto, suara yang mungkin Anton pun  tak mendengarnya.

Kembali aku menoleh pada sosok itu, sorot matanya sayu. Ada pecahan kaca yang akan terjatuh, runtuh. Menyesalkah ia sekarang?

Nasi sudah menjadi bubur, proses perceraian kami akan memasuki sidang ke tiga. Sudah terlalu jauh jika ingin kembali, sudah banyak kesempatan kuberikan agar ia berubah sebelumnya. Tak mungkin proses sidang berhenti hanya dengan kata maaf.

πŸ’—πŸ’—πŸ’—

"Sidang ditunda sampai tanggal 16 Juni 2020, demikian sidang kemarin ditutup." Masih terngiang kata terakhir Hakim Ketua sebelum mengetuk palu, beberapa hari lagi menunggu sidang berikutnya, sidang ke tiga.

Aku tak sabar, ingin segera menyelesaikan proses perceraianku. Lelah harus bolak balik ke Pengadilan Agama. Selain tenaga, waktu juga uang yang ikut terkuras. 

Keuanganku mulai menipis, untuk membayar uang panjar, juga hal-hal kecil seperti fotocopy dan lainnya. Sementara aku sudah tak bekerja, tak ada yang menafkahi. Kedua anak-anakku juga sudah berkeluarga, tak mungkin menambah beban mereka. 

Sifat mandiri yang kumiliki membuatku malu jika harus menggantungkan hidup apalagi meminta bantuan orang lain. Dalam suatu kesempatan, saat aku menghadiri acara pengajian hari minggu pagi, Sang Ustaz berceramah tentang manusia yang paling baik menurut Nabi Muhammad Saw.

"Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia," ucapnya.

"Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: β€œSebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni," jelasnya kemudian.

Setidaknya, jika tidak dapat berbuat baik ataupun bermanfaat bagi manusia lain, janganlah membebani, apalagi membuat luka hatinya. Itu kesimpulan yang kuambil dari kata-kata Pak Ustaz saat itu.

Hari ini badanku sudah lebih terasa ringan, 

aku akan berjalan menuju rumah kakak perempuanku, mengambil dompet berisi uang yang kutitipkan padanya.

"Mbakyu, Mbakyu, " panggilku beberapa kali di depan pintu.

"Masuk, Ning …." Dari arah dapur kakak perempuanku muncul, mempersilakan aku masuk.

"Gimana keadaanmu? perceraianmu, Lancar?" tanyanya mengawali percakapan. 

"Kepala, Ning sering sakit, badan juga lemes Mbak belakangan ini. Capek bolak-balik pengadilan ngurus perceraian," paparku padanya.

"Anu, Mbak kedatanganku hari ini mau ngambil uang pensiun yang kutitipkan sama mbak," kataku lagi.

"Owallah, sebentar." Mbak Widuri masuk ke kamar. Beberapa saat kemudian dia kembali membawa dompet hitam yang kutitipkan dulu.

Aku meraih dompet yang diulurkan oleh Mbak Widuri. Saat kugenggam dompet, terasa berbeda. "Loh, Mbak kok beda? Kok tipisan?" selorohku, ada rasa curiga juga tanya berseliweran di kepala.

"Yo buka en, kalo gak percaya?" tukasnya padaku.

Segera aku membuka dompet itu, kutarik resleting panjangnya. Kuambil plastik hitam yang membungkus uang di dalamnya. Beberapa kali menghitung, hasilnya tetap. Berkurang satu gepok uang, segepoknya berisi empat juta.

"Loh, Mbak, kurang segepok uangnya," pekikku. Antara kaget dan curiga membuat nada bicaraku meninggi.

"Lha, Mbak gak tau apa-apa lo, Ning," elaknya.

"Mbak, gak buka-buka dompetmu. Itu masih sama saat kamu nitip dulu," jelasnya dengan nada yang tenang dan raut wajah tak bersalah seperti biasanya.

"Uangmu lo masih banyak, setelah renovasi rumah. Mbak, malah curiga. Kamu belum bayar hutang sama, Mbak?" tuduhnya padaku.

"Loh, Mbak masak lupa? Ning, udah bayar Mbak. Malah Dewi tak kasih sangu lima puluh ribu setelah membantu menghitung uang buat bayar hutangku sama Mbak waktu itu," jelasku pada, Mbak Widuri.

"Wi, Dewi,  sini dulu, nak," panggilku pada keponakan perempuan, anak ke tiga Mbak Widuri.

"Iya, Bu Ning," jawabnya setengah berteriak dari dalam kamar.

Seorang remaja dengan perawakan tinggi, kurus berambut ikal keluar dari dalam kamar menuju sofa tempat kami duduk.

"Kamu inget gak, waktu bantuin, Bu Ning menghitung uang buat bayar hutang ke ibukmu waktu itu? Jangan bohong, jangan bela siapa-siapa, jujur Wi," pintaku pada Dewi.

Dewi menatap ke arahku, lalu Ibunya, beberapa kali mengalihkan pandangan, seperti bingung akan menjawab apa.

"Iya, Buk. Bu Ning, udah bayar hutangnya," jelas Dewi pada ibunya beberapa saat kemudian.

"Lha trus ini, uangku kemana? hilang satu gepok?" tanyaku pada kakak perempuanku, Dewi hanya diam melihatku kebingungan.

"Yo ndak tau, " jawab Mbak Widuri enteng.

"Kalau gak percaya, sana tanya orang pintar. Siapa pelakunya?" tantang Mbak Widuri, padaku. 

'Ya, Allah … cobaan apalagi ini?' Dadaku rasanya sesak, menerima kenyataan ini. Uang yang kutitipkan pada kakakku sendiri hilang. Kepalaku semakin berdenyut rasanya, aku pamit pulang pada mereka.

Berjalan gontai menuju rumahku, badan serasa lemas, kehilangan kekuatan. Belum selesai proses persidangan status rumah tanggaku, kini bertambah masalah hilangnya uang yang kusimpan di rumah Mbak Widuri, kakakku sendiri entah bagaimana caranya. 

Air mata menetes di pipi, hidup yang kujalani sudah terasa berat diselingkuhi suami sendiri. Kini ditambah uang yang hilang. Kenapa Tuhan memberikan cobaan bertubi-tubi? Apakah ia ingin menguji kesabaranku? Buliran bening itu menuruni pipi, isakkan tertahan dalam dada.

Masalah uang sangatlah sensitif, apalagi jika menyangkut keluarga. Aku tak ingin menaruh curiga pada keluarga sendiri, namun rasa penasaran tetap mengarah pada Mbak Widuri dan keluarganya. Karena disanalah uangku hilang.

πŸ’—πŸ’—πŸ’—

Tak ingin menaruh curiga pada siapapun, aku mencoba bertanya pada orang pintar. Ditemani Aini, keponakanku, sore itu kami menuju rumah Mbah Nyoto, dukun yang mumpuni untuk menebak barang hilang.

Rumahnya sederhana dan rapi, pada ruang tamu tak tertangkap mata barang-barang klenik khas perdukunan. Mungkin Mbah Nyoto menyimpannya di dalam kamar khusus.

Mata Mbah Nyoto terpejam, sesekali mulutnya terlihat komat-kamit. Tidak berapa lama matanya terbuka. 

"Orang yang mengambilnya adalah, orang yang punya rumah," katanya beberapa saat kemudian.

πŸ’”πŸ’”πŸ’”

Bersambung…

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status