๐๐๐
Roda motor Anton berhenti di halaman parkir yang cukup sesak, banyak kendaraan terparkir lebih dulu. Anton menengok ke kiri dan kanan, mencari celah memasukkan motornya.
"Sini, Mas!" Seorang Bapak tua melambai pada Anton, mengenakan topi, peluit dan jaket berwarna hijau.
Anton menurut dan mengarahkan motornya menuju tempat di sebelah bapak yang melambai itu. Anton merogoh selembar uang pecahan dua ribu, diberikannya pada Bapak tadi.
"Ibuk, masuk dulu. Kamu tunggu disini aja!" Kulepas helm di kepala. Anton meraih dan menggantungkannya pada tangkai spion motor.
Kudorong pintu kaca, aroma pengharum ruangan disamping mesin pendingin udara langsung terhirup indera penciuman. Rasa gerah di jalanan sirna saat memasuki ruangan ini.
Siang yang terik, tak menyurutkan langkah orang-orang yang datang setelahku. Beberapa orang membuka pintu masuk tadi dengan keringat bercucuran. Mengambil kertas berisi nomor antrean, lalu duduk.
Aku duduk di kursi besi menunggu antrean. Cukup banyak orang yang datang hari ini. Dingin ruangan menyejukkan kepala juga tubuh yang sedari pagi tegang mengurus pengajuan surat perceraian.
"Antrean nomor lima puluh-tujuh."
Kutatap kertas antrean di tangan, nomor yang sama. Segera aku berdiri menuju loket.
"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" ucap pegawai cantik di depanku. Suaranya terdengar sangat ramah, senyuman merekah selalu terlihat di bibirnya.
"Saya mau bayar ini," Kusodorkan secarik kertas.
Perempuan itu mengambil kertas yang kuberikan, membaca dan mengalihkan pandangannya pada layar monitor komputer. Tangannya cekatan mengetik pada papan hurufnya.
Kubuka dompet mengambil lembaran uang seratus ribuan, yang telah kusiapkan dari rumah. Kemudian mencoba menghitungnya lagi.
"Ini, Mbak uangnya." Kuserahkan lembaran uang tadi. Masih berdiri mematung di depan loket. Kuamati perempuan tadi memasukkan lembaran uang yang kuberikan pada sebuah mesin penghitung otomatis. Hanya butuh beberapa detik.
"Ini slip bukti pembayarannya, Ibu." tanganku terulur, mengambil secarik kertas yang disodorkan perempuan cantik itu.
"Terimakasih," ucapku lalu beranjak pergi, menuju pintu keluar.
"Sudah, Bu?" Anton yang menungguku di luar Bank, berdiri dari duduknya.
Aku menghampiri Anton, dan tersenyum. Ada kelegaan dalam hati karena satu langkah mengurus perceraianku terlewati.
"Sudah, Nak, ayo kita pulang," kataku
"Besok balik lagi ke Pengadilan Agama, Bu?" tanya Anton, sambil menyodorkan helm. Kuambil helm di tangannya, lalu memakainya di kepala perlahan.
"Iya, besok balik lagi. Nyerahin bukti pembayaran," kataku
Jalan selalu padat, ramai oleh hilir mudik kendaraan. Entah mengapa, hatiku terasa sepi dan kosong. Ada satu tempat yang ditinggalkan penghuninya.
Belum berapa lama, mataku menangkap motor matic merah yang biasa dikendarai Mas Harto. Melaju di depan kami, berjarak sekitar lima meter.
Ia membonceng seseorang di jok belakang. Seorang perempuan dengan rambut tergerai sebahu, memeluk pinggangnya, mesra.
"Buk, itu kayak motornya Bapak?" ucap Anton.
Aku diam, tak merespon kata-kata Anton. Sedari tadi mata sudah menonton mereka berboncengan. Ada rasa marah, panas di dada.
Jadi ini alasan Mas Harto tak datang di sidang pertama tadi? ia sibuk berpacaran dengan wanita selingkuhannya. Apa sidang perceraian kami tak berarti baginya, sehingga dia tak datang?
Anton menambah kecepatan kuda besi kami, akan menyalip kendaraan Mas Harto. Sesampai di sebelah kendaraan Bapaknya, Anton mengurangi kecepatan motor.
Anton membuka kaca helm, menatap ke arah Bapaknya sebentar, ditekannya tombol klakson. Lalu melaju cepat meninggalkan kendaraan Bapaknya.
๐๐๐
"Ibuk kenapa?" Anton yang baru datang melangkah ke dalam kamar, mengetahui aku masih berselimut ia mendekat.
Aku hanya diam, bibirku terasa berat untuk berucap. Sejak tadi malam tiba-tiba kepalaku terasa sangat pusing. Badan lemas tak bisa digerakkan.
"Ibuk, kayaknya gak enak badan, Nak," jawabku lirih. Berusaha sekuat tenaga, menggerakkan bibir untuk menjawab pertanyaan Anton.
"Mana Slip pembayaran uang panjar sidang perceraian, biar Anton berikan ke Pengadilan Agama sendiri sini?" Anton menawarkan akan mengembalikan bukti pembayaran sendiri.
Kukeluarkan tangan kanan dari selimut, menunjuk tas diatas meja. Mengerti akan petunjukku, Anton bergegas menuju tas yang kutunjuk. Merogoh dan mencari slip yang dimaksud.
"Ini, Bu?" Anton kembali mendekat, ia menunjukan kertas putih bukti slip pembayaran uang panjar perceraianku.
Aku mengangguk pelan, mata seakan-akan berat untuk dibuka.
"Anton berangkat ke Pengadilan Agama dulu." Diraihnya punggung telapak tangan kananku. Kemudian bibirnya mencium takzim tangan keriputku.
Sejak sepulang dari Pengadilan kemarin siang, badanku terasa sakit semua persendian lemas, detak di dada juga tak beraturan. Pada malam harinya, kepala seakan-akan berdenyut pusing sekali.
Hari ini biarlah Anton yang pergi ke Pengadilan agama sendiri, hanya menyerahkan bukti pembayaran lalu pulang. Aku tinggal menunggu surat panggilan sidang selanjutnya datang, mungkin dalam beberapa hari.
๐๐๐
Kembali, kakiku menginjak ruang tunggu di Pengadilan Agama kota Kediri. Anton selalu menemaniku. Masih setengah jam lagi sebelum acara sidang ke dua dimulai.
Derap langkah sepatu terdengar semakin mendekat, tak lama kemudian pintu dibuka perlahan. Mas Harto datang, memakai kemaja motif kotak-kotak dipadukan jaket dan celana jeans. Ia tampak masih setampan dulu, namun rasa di dalam hatiku, entah.
"Ibu Hening, dan Bapak Harto ditunggu kehadirannya di ruang sidang." Seorang lelaki memanggilku dan Mas Harto untuk memasuki ruang sidang.
Aku dan Anton melangkah menuju ruang sidang. Anton kemudian duduk memperhatikan jalannya sidang di kursi penonton. Sidang ini tertutup untuk umum, hanya dihadiri orang-orang yang bersangkutan saja.
Mas Harto dan aku duduk bersebelahan, menghadap para hakim di meja hijau yang memanjang itu. Kembali Hakim ketua membuka jalannya sidang, memberi salam dan kata sambutan, lalu mengetuk palu beberapa kali. Menandakan sidang dibuka kembali.
Seorang perempuan membacakan nomor laporan sidang perceraian hari ini, dengan namaku sebagai penggugat dan Mas Harto sebagai pihak tergugat.
Ketua Hakim menyerahkan kepada Hakim anggota satu untuk mengemukakan laporannya.
Perempuan setengah baya dengan jilbab hitam senada dengan seragamnya menatapku dan Mas Harto bergantian.
"Saudari penggugat dan tergugat saya sarankan untuk berdamai saja, demi keutuhan rumah tangga dan kebaikan anak-anak kalian," ucap perempuan yang disebut hakim anggota satu tersebut.
Setelah mendengarkan laporan dari Hakim Anggota satu, Hakim Ketua memberikan kesempatan kepada seorang laki-laki muda di sebelah kirinya untuk menyampaikan laporannya.
"Berdasarkan dari laporan para mediator, saudari penggugat dan tergugat tidak bisa di damaikan," ucap Hakim Anggota dua membacakan laporannya.
"Sidang dinyatakan tertutup untuk umum," kata Hakim Ketua, lalu mengetuk kembali palu beberapa kali.
"Saudari penggugat apa anda tetap dengan tuntutan anda, atau akan memperbaikinya?" Pak Hakim Ketua menatap ke arahku, menunggu jawaban.
"Sa-saya tetap pada keputusan saya Yang Mulia," jawabku terbata. Tak ingin berdamai, ataupun rujuk kembali dengan Mas Harto.
Hakim Ketua mengalihkan pandangannya pada Mas Harto.
"Saudara tergugat anda akan menyampaikan pendapat anda secara lisan atau tertulis?"
"Secara lisan Yang Mulia," jawab Mas Harto.
"Silahkan menyampaikan pendapat anda," ucap Hakim Ketua.
Mas Harto diam sejenak, ia menunduk kemudian menatap Hakim Ketua.
"Saya ... legowo yang mulia, saya bersedia berpisah dari istri saya!" Suaranya lirih, seperti ada keraguan di dalam kalimatnya. Tapi, aku sangat lega mendengar kata-kata Mas Harto.
Ada kelegaan terlepas, dengan sebuah senyuman dari bibirku. Namun di dalam hati, tetap ada rasa kosong dan sakit saat ia mengucapkan kesediaannya untuk berpisah.
Sidang ke tiga ditunda sampai tanggal 16 Juni 2020, demikian sidang hari ini kita akhiri.
Hakim Ketua meraih palu di sebelah tangan kanannya lalu mengetuk sebanyak tiga kali.
๐๐๐
Bersambungโฆ
๐๐๐ Harto ingin bertemu dengan Siti Kalyra, wanita yang beberapa bulan ini dekat dan selalu dalam pikirannya. Seakan-akan sosok wanita itu di depan mata, tersenyum dan memanggil-manggil Harto. Kuda besi tunggangan Harto berjalan perlahan menuju rumah Kalyra. Di sebuah warung kecil tepi area persawahan, ia melihat beberapa temannya sedang duduk mengobrol. Lama tak bersua dengan teman-temannya ia membelokkan stang motor. "Hei, guk!" Setengah berteriak seorang laki-laki yang sedang duduk di depan warung mengangkat tangannya menyapa. Saat motor telah terparkir sempurna, Harto segera berjalan menuju mereka, menyalami. "Kemana aj
๐๐๐Tut … tut … tut!Terdengar benda pipih yang ditempelkan di telinganya terputus dari sambungan telepon. Dilemparkannya benda pipih itu di atas kasur.[Gimana, Mas? Akta rumahnya ketemu?] Tulis Kalyra pada layar pesan itu.Tak berapa lama gawai Kalyra kembali berbunyi.[Belum.] Setelah membaca satu kata yang tertulis wajah Kalyra terlihat memerah. Menahan amarah."Dasar, lelaki bodoh!" umpatnya."Masak suruh cari barang-barang berharga saja tidak bisa. Bisa rugi aku kalau tidak mendapatkan apa-apa darinya."
๐๐๐"Bapak akan tinggal di rumah ini sementara waktu, kasihan kalau rumah ini dibiarkan kosong tak berpenghuni," jawab Harto. Senyumnya mengembang, terlihat senang.Entah sebenarnya apa dan bagaimana isi hati juga otak dari Harto. Setelah tertangkap basah berduaan dengan seorang perempuan hingga dibawa ke balai desa, ia juga berbuat onar beberapa kali pada tengah malam, mengamuk dan mengancam Hening hingga ketakutan, hingga akhirnya Hening sakit-sakitan.Surat cerai telah turun beberapa bulan sebelum Hening mengembuskan napas terakhir. Surat itu telah memutus hubungan antara Hening dan Harto, ia sudah tak berhak atas rumah itu. Seharus
๐๐๐"Pak, anterin Ibuk beli mas-masan di pasar," pinta Hening beberapa hari setelah menerima uang pensiun dari pabrik tempatnya bekerja."Disimpan di Bank aja, Buk!" usul Harto ketika itu.Mata Harto menatap tajam istrinya.Melihat suaminya tidak menyetujui pemikirannya, Hening mengurungkan niatnya pergi ke pasar untuk membeli perhiasan.Hening yang sudah mandi dan bersiap mengambil bedak di meja rias, terdiam mendengar kata-kata tegas suaminya yang seperti memberi perintah. Terlihat tidak setuju jika akan membeli perhiasan.Ditaruhnya kembali benda bulat dengan kaca itu, tak jadi disapukan beda
๐๐๐Takdir adalah misteri, ketetapan Tuhan yang harus dijalani tanpa kita tahu pasti kapan akan pergi atau kembali.Pada akhirnya semua manusia akan kembali. Mengakhiri perjalanannya di dunia ini. Siap atau tidak, bersedia atau menolak. Semua akan terjadi bila masanya.Napas Hening telah berhenti, sore tadi ia telah dikebumikan. Bunga berwarna-warni bertaburan di atas gundukan tanah merah itu. Sesuatu yang berbeda, ada setangkai mawar merah tergeletak di antara bunga setaman itu.Aini memetiknya ketika berjalan menuju pekuburan tadi. Tering
๐๐๐Aini mematikan panggilan, menaruh gawai pada saku celananya. Ia mendekat pada Nur Laila, mengelus-elus pundak sepupunya yang terlihat bergetar hebat.Kehilangan selalu menyakitkan terlepas siap ataupun tidak. Kematian tetap menjadi sesuatu yang menakutkan bagi setiap orang.Dua orang perempuan berbaju putih itu maju, melaksanakan prosesi pembersihan pada tubuh Hening yang mulai dingin.Anton, Nur Laila, dan Aini menepi memberi kesempatan pada mereka untuk melaksanakan tugas."Benar kata Kakaknya Ahmad jika Ibuk, kuat dan mampu bertahan melewati hari ini ia akan sembuh, namun jika tidak siang selepas duhur, sebelum asar Ibuk, akan