Share

Bab. 8 Kehamilan Kedua.

πŸ’–πŸ’–πŸ’–

"Rezeki takkan tertukar, cukup kita terus bersabar. Rezeki tak perlu dicari, bila masanya akan datang sendiri. Rezeki mengalir deras bagi orang-orang yang selalu bekerja keras, rezeki takkan terputus bagi mereka yang memberi dengan tulus." Semua kata-kata Simbok masih terngiang di telinga selama perjalanan menuju rumah.

Dalam perjalanan pulang menuju rumah, kueratkan pelukan pada pinggang Mas Harto. Antara ragu, juga senang menerima kehamilanku ini. Bagaimana nasib Anton yang masih kecil dan adiknya nanti, jika sekarang saja aku tak bisa sehari penuh merawat dan mengurusi Anton.

"Selamat ya, hasilnya positif, Ibu sedang hamil," kata-kata Dokter Ida masih terngiang di telingaku. Untuk beberapa detik aku diam tanpa kata saat itu. 

Kehamilan pertama membuatku sedikit trauma, jahitan di punggung dan di atas pusar Anton nyata membekas di ingatan. Bagaimana lelahnya berjuang dengan sekuat tenaga untuk melahirkan. 

Bagaimana senyum bahagia kami tiba-tiba hilang, menjadi wajah penuh iba karena Anton kecil lahir dengan luka. Betapa menyedihkan mendengar bayi kecil itu menangis tanpa henti karena kesakitan.

Juga jumlah biaya yang tak sedikit, yang harus kami keluarkan untuk membayar bidan juga pada pihak Rumah sakit untuk operasi menjahit  luka Anton. Untung hanya semalam menginap di rumah sakit saat itu.

Sanggupkah aku merawat dua orang balita sekaligus, sambil tetap bekerja? Duh Gusti, berilah kekuatan padaku untuk tetap kuat menjalani hari demi anak-anakku nanti.

"Dah sampai, Dek!" Suara Mas Harto membuyarkan lamunanku. Kulepas tangan yang melingkar di pinggangnya, lalu segera turun dari boncengan. Membuka pintu, kemudian berjalan menuju kamar, akan mengganti seragam kerja.

"Kamu beneran hamil lagi, Dek?" Tanya Mas Harto yang membuntuti langkahku dari belakang. Nada suaranya antara tak percaya juga senang mendengar berita ini.

"Iya, Mas," jawabku pelan, tanpa memandang wajahnya. Ada rasa yang entah di dalam dada, sulit untuk kujelaskan. 

"Aku mau ambil Anton di tempat Simbok dulu," pamitku pada Mas Harto, setelah selesai berganti baju. 

Kutinggalkan Mas Harto yang masih duduk di pinggir ranjang. Rasa pusing yang kurasakan sedari pagi hilang, setelah pergi berobat ke Dokter Ida. Hasil pemeriksaan yang membuatku kaget, ternyata hamil lagi, sungguh tak kusangka. 

Ah, Tuhan kenapa Engkau sebaik ini padaku. Memberi rezeki yang tak dapat kutolak. Bagaimana ini, apa yang harus kulakukan? Dengan dua balita sekaligus Simbok akan kewalahan untuk mengurusnya. Mengurus Anton yang sedang aktif-aktifnya saja membuat dia kelelahan.

"Ning, ngapain duduk disitu? kok udah pulang kerja?" Suara Simbok membuyarkan lamunanku, segera aku berdiri melangkah masuk menuju dapur. 

"A-anu, Ning tadi izin setengah hari kerja. Sakit, kepala rasanya pusing, badan lemas. Sekalian langsung periksa ke dokter, ternyata …."

Aku menghentikan kata-kata, memindai wajah penuh guratan itu. Uban tumbuh merata di rambutnya. Di usia yang sudah renta, haruskah aku menambah bebannya? Tapi jika aku berhenti bekerja, bagaimana masa depan anak-anakku nanti? 

Cukupkah pendapatan Mas Harto untuk memenuhi kehidupan kami, jika ia jarang bekerja, masih bersikap seperti anak muda yang doyan kumpul dan mabuk-mabukkan.

"Sakit apa kata dokter tadi?" tanya Simbok.

"Ning, hamil lagi …," lirih kuberucap, kepalaku menunduk. Tak tega menatap sorot tanya Simbok. 

"Alhamdulilah, itu rezeki harus disyukuri. Kok mukamu malah kelihatan sedih gitu?" kata Simbok.

"Ning sungkan, gak enak sama Mbok. Menyusahkan terus," jelasku padanya. Panas menjalar di mataku, ada sesuatu yang akan meleleh tumpah.

"Maaf, ya, Mbok …," tambahku kemudian.

Perempuan yang melahirkanku itu memandangku haru, lalu ia tersenyum. 

"Hust, kamu ini ngomong apa? Mbok senang bisa membantu merawat anakmu. Anakmu berarti cucu, darah daging Mbok juga," Ia berkata sambil memasukkan botol susu, dan perkakas Anton lainnya ke dalam tas perlengkapan khusus saat dititipkan.

"Makasih ya, Mbok," ucapku dengan seulas senyuman. Aku berjanji di dalam hati, akan membahagiakan Simbok sebisa mungkin. Menukar keikhlasannya merawat Anton, dengan kerja kerasku nanti. Amiin, semoga Tuhan selalu memberi kesehatan dan umur panjang padanya untuk selalu menemaniku.

πŸ’žπŸ’žπŸ’ž

Usia bukanlah patokan kedewasaan seseorang, seiring berjalannya waktu sifat seseorang akan berubah, semakin baik atau sebaliknya. Bagaimana kita menghabiskan masa muda akan menentukan keadaan kita di hari tua dan keadaan kita menjelang ajal nanti.

Hatiku terasa sangat sedih, melihat kepala keluarga, imam yang seharusnya menuntun keluarganya, malah sering dituntun orang untuk pulang.

Mas Harto terkulai tak sadarkan diri di tepi jalan, seorang tetangga berbaik hati mengantarnya pulang hari ini. Entah ada apa dengannya? Apa yang sedang dipikirkannya hingga mabuk, tak sadarkan diri seperti itu.

"Ning … Ning …." Ia meracau tak jelas memanggil namaku. Bau alkohol tercium dari mulutnya. 

Seharusnya ia berusaha lebih giat mencari uang, mempersiapkan dana untuk kelahiran anak kedua kami nanti. Bukan semakin sering mabuk-mabukan seperti ini.

Lingkungan yang tak baik, juga ikut mempengaruhi sifat seseorang. Dulu sifat pemabuknya tak separah ini, tapi belakangan semakin menjadi. Dalam sebulan bisa dua kali ia pulang tak sadarkan diri.

"Gak enak sama teman," jawabnya ketika aku bertanya kenapa ia minum kala itu.

Ia pergi menghadiri suatu hajatan di desa sebelah, lalu pulang dalam keadaan mabuk. 

Walaupun jarang menghadiri tausiyah di masjid, aku sering mendengarkannya lewat siaran televisi, meresapi makna yang terkandung. Pernah kudengar suatu hadis mengatakan.

Dari Abu Musa radhiyallahu β€˜anhu, bahwa Nabi shallallahu β€˜alaihi wasallam bersabda:

β€œPerumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhori & Muslim).

Berteman dengan orang baik, kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik. Sebaliknya berteman dengan orang yang tidak baik, walaupun tidak menjadi pribadi sejelek mereka, namun tetap saja orang memandang kita dengan buruk karena berteman dengan orang yang tidak baik.

Memilih teman juga berarti memilih jalan hidup kita. Karena seorang teman mencerminkan kepribadian kita.

πŸ’žπŸ’žπŸ’ž

Saat kita mencintai seseorang, semua salah bahkan kekurangannya tampak sempurna. Aku tak tahu seberapa dalam rasa cinta ini, namun yang kutahu ia adalah bapak dari anak-anakku. Orang yang akan menemaniku hingga akhir usia.

"Mas, bangun sudah subuh." Kutepuk pelan pipinya.

"Hemm …, " jawabnya. Matanya masih terpejam. 

"Ning, berangkat kerja dulu. Nasi sudah matang, cucian tinggal dijemur. Jangan lupa antar Anton ke rumah Simbok, kalau Mas, mau keluar nanti," pamitku padanya tak lupa mengecup pipinya. Entah ia merasakannya atau tidak.

Aku berjalan perlahan, agar Anton tak terbangun. Perutku makin membesar, seragam sudah tak muat kupakai lagi. Beruntung perusahaan memberikan izin untuk memakai baju rumah di masa kehamilan akhir ini.

Bismillah, aku siap menjemput rezekimu hari ini Tuhan. Berikan kelancaran dan kesehatan selama aku bekerja, demi kedua buah hatiku ini, amiin.

Bersambung…

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status