Share

Aroma Parfum

"Ma, usu!" Bocah yang baru disapih itu, mengangsurkan botol susunya yang kosong ke arahku.

Aku tersenyum gemas, melihat pipinya yang semakin hari semakin gembul.

"Ara mau susu?" Kinara langsung mengangguk. "Tunggu sebentar ya, Mama bikin dulu susunya!" 

Aku pun langsung bergegas ke dapur untuk membuatkannya susu, setelahnya kembali ke kamar, dan memberikan padanya.

Begitu menerima dot yang sudah terisi penuh, Ara langsung berguling ke atas ranjang dan meminum susunya sampai tertidur. Tak ingin menyiakan waktu, aku pun gegas ke dapur, tugasku bertambah karena tidak boleh memasak nasi menggunakan megic com. 

Saat ini aku tengah sibuk di halaman belakang, memulai rutinitas baru. Ternyata, untuk memasak nasi dengan menggunakan tungku tidak semudah yang dibayangkan.

Tidak lama kemudian. Dari dalam, aku mendengar Mama terbatuk-batuk, sambil berteriak memanggilku.

"Hanin ... Apa yang kamu lakukan?" tanya Mama, langkahnya mendekat ke arah belakang dimana aku berada.

"Asap apa ini? Apa rumah kita kebakaran?" Mama mengibas-ngibaskan tangannya berusaha menghalau asapnya yang menghalangi pandangan.

"Tidak, Ma. Ini asap dari tungku yang kubuat," jawabku sembari meniup tumpukan kayu di dalam tungku. "Mulai sekarang aku akan memasak nasinya di sini."

Kepulan asapnya mulai menipis seiring dengan api yang mulai menyala. Dari sini, aku bisa melihat Mama yang berdiri di ambang pintu dengan ekpresi terkejut, matanya membulat tak percaya.

"Apa kamu sudah tidak wa ras? Ini bukan lagi zaman batu, kenapa tidak masak nasinya di atas kompor saja?"

"Kalau menggunakan kompor, akan boros gas, Ma. Bukannya kita lagi berhemat?"

"Sudah! lupakan saja gaya berhematmu itu! Kamu mau nyiksa Mama dengan asap masakanmu itu? Cepat matikan apinya asapnya bikin Mama sesak!" ucap Mama menunjuk ke arah tungku yang mulai menyala.

"Tapi, Ma?"

"Udah gak ada tapi-tapian, kamu mau melawan Mama?"

Aku menggeleng dan mematikan apinya. Syukurlah aku bisa kembali waras kalau pekerjaan tidak bertambah. Sementara, Mama kembali masuk.

Aku menarik napas dalam, kejadian akhir-akhir ini membuatku menguras emosi. Selama ini aku diam tapi, tidak juga mengubah apapun. Jadi, mulai sekarang lebih baik aku bersikap bagaimana seharusnya saja.

Usai membereskan tungku, aku kembali ke dalam untuk memasak seperti mana biasanya. Tapi, aku lupa kalau belum beli sayur. Jadi, terpaksa aku harus ke warung sayur yang jaraknya sekitar lima rumah dari tempat kami tinggal.

"Ma, Hanin keluar dulu ya! Titip Kinara sebentar!" ucapku saat hendak keluar dan melihat Mama yang tengah nonton televisi di ruang tamu.

"Emm," jawab Mama singkat. "Eh mau kemana kamu?" tanyanya kemudian.

"Mau ke warung sayur Bi Jum, Ma!"

"Jangan lupa beli dagingnya, jangan masak seperti kemarin," tegas Mama.

"Terus masalah Mama nyuruh aku hemat gimana?"

"Udalah lupakan saja! Anggap saja Mama salah ngomong," jelas Mama.

Selama tinggal serumah baru kali ini aku mendengar Mama berkata begitu. Sepertinya mereka benar-benar tidak sanggup kalau hanya makan seadanya apa lagi kalau makan nasi pake garam.

"Baik, Ma." Aku pun lekas bergegas pergi ke warung Bi Jum membeli beberapa jenis sayur untuk masak hari ini.

Setelah pulang aku melihat Kinara sudah bangun dan tengah bermain sama Mama di teras depan. Kuakui Mama memang cukup sayang pada cucu perempuan satu-satunya itu.

"Oma, ihat itu Mama udah ulang?" ucap Kinara girang dengan bahasa cadelnya. Tangannya menunjuk ke arahku yang tengah berjalan ke arah mereka.

Dia bidadariku, pelipur lara kala hati berkecamuk oleh emosi. 

"Udah, Ara main sama Oma saja, biar Mamanya masak dulu. Ara mau es krim gak?"

"Mau Oma," jawab Kinara senang.

Akhirnya Mama dan Kinara pun pergi ke luar. Meski pun Mama terlihat galak, di sisi lain aku melihat kalau dia tulus menyanyangi Kinara. Ya bagaimana pun Kinara anaknya Mas Elang.

Aku pun langsung ke dapur, dan memasak untuk makan siang. Rencananya aku akan masak sayur sup, goreng ayam tepung dan sambal kentang goreng.

Setelah berkutat di dapur hampir dua jam akhirnya selesai juga.

***

"Nah gitu dong Mbak, masaknya kayak gini. Jangan kayak kemarin." Iza berkata senang saat melihat menu makan siang yang sudah terhidang di atas meja.

"Iya, kemarin 'kan kita lagi hemat. Anggap saja latihan kalau sewaktu-waktu kita gak punya apa-apa," jawabku sambil menuangkan air ke dalam gelas.

"Maksudnya Mbak Hanin doain kita biar hidup susah?"

"Bukan gitu juga. Tapi, 'kan kita gak tahu kehidupan kita kedepannya," terangku.

"Mbak aja yang hidupnya susah. Aku mau ogah," jawab Iza sambil mengambil goreng ayamnya.

"Ada apa sih ribut-ribut?" Mama datang dari arah ruang tamu sambil menggandeng tangan Kinara. Sejak pagi tadi bocah itu begitu betah, bahkan tidur di kamar Mama.

"Ate mau ayam oleng," ucap Kinara melihat Iza memagang ayam goreng di tangannya.

"Oh Ara mau ayamnya, nih!" Iza langsung memberika ayam goreng yang ada ditangannya.

Meski sikap mereka kadang suka terlihat keterlaluan. Tapi, aku merasa lega saat melihat mereka baik ke pada Ara.

Kami pun makan siang bersama. Mama terlihat begitu lahap.

"Kedepannya kamu masaknya seperti biasa! Jangan aneh-aneh lagi!" ucap Mama. "Tapi, meski begitu kamu jangan senang dulu begitu Elang gajian tetap Mama yang pegang uang," sambung Mama.

"Atur saja sama, Mama," balasku santai. Mama belum tahu saja pengeluaran selama ini, biar saja sesekali dia yang mengurusnya biar tahu.

"Harusnya memang begitu, aku ini, 'kan Mamanya, perempuan yang sudah melahirkan dan membesarkannya dengan kasih sayang."

"Iya, Ma. Aku juga tidak melarang Mas Elang untuk berbakti sama Mama. Bahkan demi bakti Mas Elang aku rela untuk tidak nyicil rumah atau ngontrak agar bisa tetap tinggal dan merawat Mama," terangku.

Mendengar itu wajah Mama terlihat tak suka. Tapi, apa yang kukatakan memang benar adanya. Selama ini, saat Mama atau Iza bersikap tak baik aku hanya diam. Tapi, diamku juga tidak membuat mereka mengerti. Aku tidak bermaksud untuk melawan, hanya  mengatakan yang sebenarnya.

***

Usai Salat Isya aku merebahkan diri ke atas tempat tidur, meski sudah terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah terkadang rasanya menguras tenaga kalau badan lagi tidak fit.

Aku memandangi wajah Kinara yang sudah mulai terlelap sambil minum susu. Aku pun tanpa sadar ikut terpejam, hingga sebuah sebuah deru mobil yang memasuki halaman memaksaku untuk terbangun.

Mas Elang baru saja pulang, aku menyambutnya seperti biasa mengambil tas kerja dan bertanya apakah dia ingin makan atau mandi dulu.

"Mas mau mandi aja dulu, gerah," jawab mas Elang.

"Kalau gitu aku akan masak dulu airnya! Apa sekalian Mas mau dibuatin kopi?" tanyaku.

Mas Elang hanya mengangguk, dan berlalu ke kamar untuk mengganti pakaian. Sementara aku langsung pergi ke dapur.

Usai memanaskan air dan membuat kopi, aku lekas memindahkannya ke bak mandi.

"Mas air untuk mandinya udah siap!" ucapku ke Mas Elang yang tengah tiduran sambil memainkan ponsel.

"Ah iya." Mas Elang pun langsung bangkit, dan melangkah ke kamar mandi.

Begitu Mas Elang masuk ke kamar mandi aku langsung memunguti pakaian kerja yang ia biarkan tergeletak di atas lantai begitu saja. Bukan hal baru bagiku melihat pemandangan ini.

Namun, begitu mengambil baju Mas Elang aku mencium aroma parfum perempuan.

"Wangi parfum siapa ini, rasanya aku tidak punya aroma parfum seperti ini?" Aku berdialog dengan pikiran sendiri, bertanya-tanya milik siapakah aroma parfum ini, dan kenapa bisa melekat pada baju Mas Elang?

Aku langsung menggeleng pelan, sembari beristigfar. Bagaimana mungkin aku bisa mencurigai suamiku sendiri, dia sibuk mencari nafkah dan bertemu banyak orang. Tapi, aroma ini benar-benar mengusik pikiranku, mungkinkah?

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status