Share

Bab 3

Aditya terlihat terburu-buru menuju lantai sepuluh Big Land. Staf yang melihat tingkahnya, terheran-heran. Mau gimana lagi, kalau dia marah, bisa jadi aku kehilangan pekerjaan, gumamnya.

“Mana dokumen yang aku perintahkan kemarin?” tanya Rakha, membelalak. “Dokumen?” tanya Aditya, bingung. “Ehm, kalau kamu tidak mampu bekerja profesional, mending kamu tidur di rumah!!!” ucap Rakha, dongkol.

“Tunggu dulu Bos. Dokumen yang mana?”

Rakha menarik napas panjang. “Dokumen yang diserahkan om Dimas tentang proyek Big Land yang harus aku pelajari. Jangan bilang, kamu hilangkan?!”

Aditya terdiam. Dia tampak berpikir.

“Oh itu. Aku ingat, aku singgah di toilet dan aku letakkan di meja tak jauh dari ruang rapat. Kalau gak salah, di depan ruangan Direktur Keuangan.”

“Jadi?”

“Oke. Aku ambil sekarang!”

Berurusan dengan  pria menakutkan itu memang sebuah pilihan buruk. Aditya terus saja berbicara sendiri, sambil berjalan menuju ruangan Direktur Keuangan.

“Selamat siang, Pak?” sapa Asti, mendapati Aditya terhenti di depan ruangan Direktur Keuangan. Pria itu lantas berbalik ke meja sekretaris.

Aditya Utama, batin Asti, membaca id card yang tergantung di leher jenjang pria itu.

Aditya terdiam. Dia berubah kaku, mendapati Asti berada tepat di hadapannya. Tanpa kedip, matanya terus menatap wajah Asti. “Pak?” Pria itu masih bergeming. “Pak Aditya?!” Asti sekali lagi mencoba menyadarkan Aditya yang masih saja diam. Wanita itu berbalik salah tingkah, dengan tatapan pria itu yang terus menerus.

Ya Tuhan, wanita ini. Mengapa jantungku, tiba-tiba berdetak tak karuan seperti ini? gumamnya, seraya memegang dada kirinya.

Kenapa dia bisa tahu namaku?

“Pak Aditya!!!” Asti mengeraskan suaranya. Barulah pria itu keluar dari lamunannya. “Iya, ya,” ucap Aditya, dengan melebarkan senyumannya.

Ada apa dengan pria ini?

“Aku ajak makan siang, boleh?” Asti kembali tersentak. “Ini, Pak?” jawab Asti menunjuk beberapa dokumen di tangannya. “Biar aku yang izin ke atasan kamu, gimana?” sambung pria itu.

Tanpa menunggu jawaban Asti, Aditya lantas masuk ke ruangan Direktur Keuangan. Tak lama, pria itu sudah kembali dengan wajah sumringah. “Ayo,” ajaknya.

“Tapi, Pak—“

Aditya mengambil tas wanita itu, dan meneruskan langkahnya. Tanpa menghiraukan sikap Asti yang masih terpaku, kaget, dengan situasi yang sedang terjadi.

Beberapa langkah menjauh, Aditya menoleh dan mendapati Asti masih terdiam di tempatnya. Dia pun kembali melambaikan tangannya. Akhirnya Asti, mendekat dan berjalan mengikutinya, dengan perasaan tak tentu.

Di dalam mobil, Asti masih terlihat canggung. Dia mengambil ponsel, dan mulai mengetik pesan.

Asti : Bu, saya mohon izin.

Indah : Nikmati makan siang kamu.

Asti : Baik Bu.

Asti menarik napas panjang. Dia belum memahami sepenuhnya apa yang terjadi padanya. Baru bertemu dengan Aditya, dan kini, dia harus bersama dengan pria itu.

Di sisi berbeda, Aditya terus tersenyum manis. Dengan ujung mata, terus mencari celah menatap Asti. Bunyi ponsel tiba-tiba meramaikan kecanggungan. Mata Aditya melotot mendapati panggilan telepon. Rakha? Tidak bisa sedikit saja membuatku tenang, ya?  gumamnya.

“Halo, Bos?” ucap Adit, mengangkat telepon. “Kamu di mana?” tanya Rakha.

“Aku izin makan siang dulu ya. Boleh, kan?”

“Dokumen dari om Dimas?”

“Iya, dari makan siang, aku langsung bawa ke kantor.”

“Makan siang? Tumben banget?”

“Ya, improvisasi boleh, kan?”

“Ha? Ya sudah, ingat jam istirahat hanya satu jam!”

“Ya elah, iya iya!” Sambungan telepon pun berakhir. Tampak wajah Adit, kesal dengan kalimat Rakha.

Tumben banget monster itu jadi pengertian, Aditya membatin.

Asti masih saja memasang wajah bingung. Mobil pun berhenti di sebuah restoran.

“Ayo,” ajak Aditya dengan senyuman yang begitu mekar. Sebaliknya, senyuman Asti masih saja sangat dipaksakan. Baru kali ini, dia meninggalkan kantor bersama seorang pria.

Selama empat tahun bekerja di Big Land, dia menghabiskan waktunya mengurusi makan siang Indah, atasannya. Sejak masih di bagian Akuntansi, sampai Indah dipromosikan menjadi Direktur Keuangan. Asti terus setia menjadi sekretaris, yang sangat diandalkan. Tidak berada di kantor saat makan siang, terasa aneh buatnya.

Aditya bersikap begitu manis, menarik kursi, dan mempersilakan Asti duduk. “Terima kasih, Pak,” ucap Asti, makin canggung. Perasaan aneh bercampur, entah apa yang harus dia lakukan. Sikap tak biasa Aditya, benar-benar mengusiknya.

Aditya terus saja tersenyum, masih dengan senyuman yang sama. Ya Tuhanku, ada apa ini? guman Asti, tidak tenang. Dia terus saja menggoyang-goyangkan kakinya.

Pelayan datang bersama buku menu di tangannya. Aditya serius membaca dan melihat menu, sedangkan Asti masih bersama kebingungannya.

“Mas, aku pesan ini, ya?” Aditya tampak menunjuk satu menu makanan dan satu minuman. “Asti?” Aditya berbalik menatap Asti. “Apa saja, Pak?”

Aditya tertawa. “Gak ada menu apa saja.” Asti makin canggung. “Aku samain aja?” jelas Aditya.

“Iya Pak,” jawab Asti, dengan senyuman yang ditarik.

Pelayan berlalu setelah Aditya menyelesaikan pesanannya.

Ehm,” Aditya tampak ingin memuai obrolan. Namun sikapnya jelas grogi. Asti memberikan respons yang sama. Masih tersenyum, dipaksakan.

Lama dalam hening, suasana kembali jeda oleh kedatangan pelayan bersama makanan, minuman yang sebelumnya telah di pesan. Akhirnya berlanjut makan siang. Tak lama, suasana kembali seperti di awal tadi.

Setelah Aditya mendapati Asti telah menyelesaikan makan siangnya, Aditya akhirnya menemukan keberanian memulai obrolan. “Asti sudah lama dengan mbak Indah?” Akhirnya pria itu mendapatkan kalimat pembuka. “Iya Pak, sudah lama.”

Suasana kembali canggung.

Ya Tuhan, jantungku, benar-benar tidak bisa kuajak kompromi.

“Pak Aditya, tidak apa-apa?” tanya Asti, mendapati sikap Adit yang gelisah. “Iya, gak apa-apa. Ehm, gak tau, aku merasa grogi banget bertemu kamu.”

Kembali, kalimat Aditya membuat Asti salah tingkah. Dia kembali menelan ludah. Jantungnya pun, berdebar tak jelas.

Suasana berbeda tampak di Big Land lantai sepuluh ruangan Direktur Keuangan dan di Tower Electrics Mahakarya­ ruangan Pimpinan.

“Aku merasa aneh, tanpa Asti di siang ini,” ujar Indah. Pikiran yang sama juga menghampiri Rakha, di tempat yang berbeda.

“Baru kali ini, aku merasa kehilangan Aditya,” gumam Rakha, sambil tersenyum memikirkan sahabatnya itu.

Kembali ke makan siang pertama Aditya dan Asti.

“Asti, boleh aku bertanya sesuatu?” Aditya kembali memulai kalimatnya. “Iya Pak, silakan.”

“Kamu udah punya calon suami?”

Lagi, Asti dibuat tersentak. Senyumannya kembali tertarik, “Belum ada, Pak.”

“Kalau begitu, boleh dong, ya?”

“Boleh apa Pak?” Asti merasa jantungnya makin berdetak cepat. “Kalau aku melamar kamu?” sambung Aditya.

“Melamar?!!” sahut Asti, kaget. “Iya, aku melamar kamu?”

“Pak Aditya, sadar?”

“Iya, aku sadar.”

Asti kembali berusaha tenang, dengan tetap bersama senyuman yang begitu sulit dirangkai.

“Pak, kita baru bertemu sejam yang lalu, kemudian makan siang….” Asti mengambil jeda. “Terlalu cepat Pak, maaf.”

Aditya memberikan senyuman yang berbeda. Senyuman kecewa, atas jawaban Asti. “Tapi, sesuatu yang baik kan, sebaiknya di segerakan?”

“Iya Pak, benar. Tapi terburu-buru juga bukan sesuatu yang baik.”

Aditya menopang dagu kanan dengan tangan kanan sambil menatap Asti, terus tersenyum. Yang jelas membuat Asti kembali salah tingkah, dan membuang pandangannya ke arah yang berbeda.

“Kenapa ya, kok aku baru bertemu kamu sekarang? Aku baru tahu, di Big Land, ada wanita semanis kamu.”

Lagi, Asti tidak bisa lagi menyembunyikan wajahnya yang memerah, malu. Dia tertunduk, berusaha menahan senyum.

Aditya masih terus menatap Asti, dengan senyuman tanpa henti.

“Pak,” ucap Asti, sambil menunjukkan waktu di jam tangannya. Aditya menarik napas, kecewa. “Ternyata sejam terlalu singkat.”

Asti beranjak lebih dahulu, diikuti Aditya. Mereka lantas meninggalkan ruangan itu, menuju parkiran.

Apakah aku jatuh cinta? Aditya terus membatin, mempertanyakan jantungnya yang terus saja berdetak lebih cepat. Apakah benar, ada cinta pandangan pertama?     

Suasana perjalanan kembali tanpa suara.

Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing. Aditya terus saja tersenyum sendiri, sedangkan Asti masih diselimuti kebingungan dengan situasi yang baru saja ditemuinya.

Sampai di Big Land, pria itu mengantarkan Asti sampai di ruangannya, dan dia mengambil dokumen yang tertinggal tadi, dan segera berlalu.

“Asti, gimana?” Senyuman Indah menyambut kedatangan Asti. Rona wajah memerah, Asti berusaha tampak stabil, “Iya Bu.”

“Kok iya?” Indah tertawa, melihat tingkah Asti yang justru canggung. “Ibu Indah sudah makan siang?”

“Belum. Gak tahu, saya gak selera makan sendiri.”

“Saya siapkan ya Bu. Ibu harus makan siang.”

Indah menggangguk.

Tanpa kalimat lanjutan, Asti pun berlalu, segera menyiapkan makan siang untuk atasannya itu.

“Saya memang sudah bergantung padamu, Asti. Saya tidak tahu, akan seperti apa nantinya, jika kamu tidak lagi di sini,” sadar Indah, melihat perhatian Asti yang tidak pernah pudar.

Beberapa menit berlalu, Asti sudah kembali bersama beberapa menu makan siang untuk atasannya. Dia langsung menyajikannya di atas meja besar yang biasa digunakan untuk rapat.

Indah mengambil tempat, dan segera menyantap makanan yang tampak lezat itu. Melihat tingkah Asti, Indah tersenyum.

Ehm, ada yang lagi jatuh cinta?” tebak Indah, mendapati Asti tersenyum sendiri. Asti tersentak. “Eh, gak Bu.”

Indah tersenyum lebar. “Kalau menurut saya, pak Aditya itu calon suami yang ideal buat kamu.”

“Ha?” Asti kembali dibuat kaget. Dia kembali menarik napas panjang.

Bagaimana bisa, ibu Indah bisa tahu, pak Aditya tadi melamar aku?

“Kamu tidak usah kaget begitu. Saya cuma nebak kok,” sambung Indah, masih tersenyum melihat tingkah Asti.

“Bu Indah, boleh saya bertanya sesuatu?”

“Iya, silakan.”

“Apakah wajar, apabila seorang pria langsung mengatakan kata serius, di pertemuan pertama?”

Indah kembali tersenyum, akhirnya membuat wajah Asti kembali memerah. “Kalau menurut saya, itu wajar tapi tidak biasa.”

“Maksud Ibu, tidak biasa?”

Indah meletakkan sendok. Pertanyaan Asti terdengar lebih serius.

“Banyak pria yang mengatakan suka pada seorang wanita, tapi mereka butuh waktu yang panjang untuk bisa berani mengatakan kata ‘serius’. Itu maksud saya, tidak biasa. Jika pak Aditya bersikap sebaliknya dari hal yang biasa, berarti dia pria yang unik. Layak kamu pertimbangkan.”

“Jujur Bu, saya kadang kurang percaya dengan cinta pada pandangan pertama,” sahut Asti.

Indah mengubah posisi duduknya. Dia sudah menyelesaikan makan siangnya. Dia mendekat ke posisi Asti, yang sebelumnya sedikit jauh.

“Cinta pada pandangan pertama. Ehm, ya sebagian orang berpikiran seperti kamu. Tapi selebihnya ada juga yang percaya, bahwa itulah cinta sejati.”

“Jadi apa yang saya harus lakukan sekarang, Bu?”

Indah tertawa, kemudian melanjutkan, “Dijalani saja. Emangnya gimana tanggapan kamu tentang pak Aditya?”

“Ya, dia pria yang menarik Bu,” jawab Asti, ragu. “Jalani saja. Itu menurut saya.”

“Bu, apakah saya bisa minta tolong?”

“Apa itu?”

“Saya meminta pertimbangan Ibu tentang pak Aditya. Saya sepenuhnya menerima, bagaimanapun pendapat Ibu.”

Ekspresi Indah berubah serius. “Asti, kamu yang akan jalani. Kamu keliru kalau berpandangan seperti itu.”

“Saya tidak punya siapa pun selain ibu yang melahirkan, dan Ibu Indah sebagai orang terdekat saya,” ujar Asti, matanya berkaca-kaca.

Indah menarik napas panjang. “Baiklah, saya akan membantu sebisa saya.”

“Terima kasih, Bu.”

Asti berbalik dan segera meninggalkan ruangan Indah, sekaligus membersihkan peralatan makan yang masih terpajang di meja.

“Asti, bagaimana kamu bisa mempercayakan hal ini, pada seseorang yang berulang kali gagal?” Indah kembali berbicara dengan dirinya sendiri. Dia berusaha stabil dan kembali fokus pada dokumen yang menumpuk di hadapannya.

----

Aditya tiba di ruangan Rakha, beserta dokumen yang baru saja dibawanya dari Big Land. Rakha tampak duduk di meja kerjanya, tatapannya serius.

Namun, di sisi lain, Aditya memasang ekpresi kontra, senyumannya masih bertahan di sana. Dia tak lagi terpengaruh dengan sikap Rakha yang memandang tajam ke arahnya.

Dokumen itu langsung dia serahkan tanpa satu kalimat pun. Dia lantas duduk di hadapan Rakha. Tanpa kalimat pembuka, Aditya langsung membahas hal yang berbeda.

“Menikah?!” Rakha seketika terhentak, dengan ucapan Aditya. “Iya, aku merasa sudah berada di waktu terbaik merencanakan pernikahan”.

Dokumen yang dipegangnya, tak sadar terlepas dan terjatuh di lantai. “Kamu baik-baik saja, kan? Kamu tidak mabuk?” tanya Rakha, panik.

Aditya tersenyum. “Aku sadar, Rakha. Selama ini, aku tidak memikirkan pernikahan, karena memang aku belum menemukan seseorang yang membuatku percaya diri mengatakan ‘siap’.”

“Jadi, kamu sudah menemukan orangnya?” sambung Rakha. “Kayaknya sih gitu.”

Rakha menarik napas panjang. Pria yang biasanya cerewet dan menentang kelakukan Aditya, tiba-tiba lebih tenang mendengar keputusan sahabatnya itu.

“Siapa sih?” tanya Rakha, pelan. “Aku menemuinya di Big Land.”

“Ha? Big Land?”

Jangan-jangan wanita itu? pikir Rakha.

“Iya. Selama ini aku tidak percaya, cinta pada pandangan pertama. Tapi aku harus jujur, aku benar-benar jatuh cinta padanya.”

Rakha seperti tidak percaya dengan apa yang didengarnya. “Bagaimana kamu bi—“

“Aku jatuh cinta, benar-benar jatuh cinta,” sambung Aditya.

Kamu sudah gila Aditya! Bagaimana mungkin kamu jatuh cinta pada wanita seperti itu. Kasar, ceroboh!

“Aku sudah melamarnya.”

Rakha membuka matanya lebar-lebar. Tak percaya apa yang kembali didengarnya. “Kamu kayaknya perlu ke psikiater. Baru saja bilang jatuh cinta, sekarang sudah melamar!!!”

Aditya terus saja tersenyum. Dia abai pada ucapan Rakha. “Senyumannya benar-benar membuatku susah melupakannya, keramahannya. Aku benar-benar menyesal, mengapa baru sekarang aku mengenalnya.”

“Gila kamu!!!” Rakha tak sanggup lagi mendengar ocehan sahabatnya. Dia pun berlalu meninggalkan ruangan Aditya.

Aditya terdiam sendiri.

Senyuman tidak lepas dari wajah manisnya yang dihiasi kumis dan jenggot tipis. Parasnya sangat berbeda jauh dengan Rakha. Pria ini memiliki mata sipit, wajah sedikit tirus dan senyumannya selalu terlihat tulus.

“Bagimana mungkin pertemuan pertama, membuatku langsung yakin untuk melamarnya? Apakah memang aku sudah gila?” ucapnya, lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status