Share

Bab 4

Sore tiba. Indah singgah di sebuah Coffee Shop, tak jauh dari kantornya. Sebuah senyuman hangat, menyambutnya setelah masuk ke dalam bangunan mungil berwarna hijau putih itu.

Seorang wanita seusianya mendekat dan langsung memeluknya. “Makasih udah datang,” ujarnya, tersenyum manis. “Haruslah, Don. Kita juga udah lama gak ngopi bareng, kan?” jawab Indah, lantas duduk. “Aku sediakan dulu minuman kamu, ya?” sambung Dona.

Indah memberi respons, menggangguk. Dia lantas memperhatikan suasana tempat itu. Enak dan sangat nyaman.

Tak lama, Dona sudah hadir bersama secangkir hot americano. “Ini salah satu menu terbaik kami di sini. Semoga kamu suka,” ujar Dona sambil meletakkan minuman itu di hadapan Indah.

Tanpa jawaban, Indah lebih dulu mencium aroma dari minuman hangat itu. “Ehm, harum banget.”

Dona mempersilakan Indah untuk lanjut mengesap. Indah pun, pelahan meneguk minuman itu.

“Salah satu kopi terbaik yang pernah aku cicipi,” puji Indah. “Ini jujur kan, bukan gombal?” tanya Dona.

Indah terkekeh. “Aku tidak akan melangitkanmu, dengan kebohongan, Don.”         

Dona kembali tersenyum. “Gimana kabar kamu? Sehat-sehat aja, kan?” sambung Dona. “Seperti yang kamu lihat, Don. Aku sehat, alhamdulillah,” jawab Indah.

“Kamu kelihatan sedikit kurus?” sambung Dona.

Indah menghela napas. “Beberapa hari ini, aku hanya kangen banget dengan almarhum bapak,” ucap Indah, matanya berkaca-kaca.

Dona dengan sigap langsung mengenggam tangan sahabatnya itu, menguatkan. Tanpa bahasa, Dona terus menenangkan Indah dengan sikapnya.

“Setelah kepergian bapak, aku merasa langkahku makin berat,” lanjutnya, dengan suara bergetar.

“Aku dengar, kamu udah pindah ke apartemen?” tanya Dona.

“Iya. Aku minta mbak Desi dan mas Danu yang pindah ke rumah menemani ibu.”

“Kamu merasa berat, karena kesepian?” tebak Dona. “Ya, mungkin itu salah satunya.”

“Kalau gitu, sering-sering main ke tempat aku, ya. Setidaknya kamu punya teman ngobrol. Aku siap 24 jam, hadir untuk sahabatku yang istimewa ini.”

Indah, tertawa. “Istimewa, kayak martabak aja.”       

Dona pun tersenyum. “Kabar kantor, baik-baik saja?” lanjut Dona.

Lagi, Indah menarik napas panjang.

“Ada masalah?” tebak Dona.

“Ya, bisa dibilang begitu.”

“Maksud kamu?”

“Pak Dimas akan meninggalkan Jakarta untuk sementara. Selama beliau tidak di tempat, dia digantikan keponakan beliau. Di awal perjumpaan, aku merasa tidak cocok dengan pria itu.”

“Aku baru menemukan seorang Indah yang pesimistis seperti ini. Yang aku tahu, kamu seseorang yang mudah menyesuaikan diri. Sangat kompeten dengan pekerjaan kamu sekarang. Jadi, masalahnya apa?” sebut Dona.

“Karakter, Don.”

“Itu kan bisa diatasi dengan penyesuaian diri.”

“Aku merasa,  itu tidak akan mudah.”

“Indah, sahabatku. Yang membuat berat, jelas adalah pikiranmu. Kamu sudah bekerja lebih dari sepuluh tahun. Semua badai sudah kamu lalui. Aku pikir ini hanya bagian kecil dari badai yang mudah kamu taklukkan.”

“Entahlah.”

Dona kembali hanya tersenyum.

“Syifa kok gak kelihatan?” lanjut Indah.

“Aku minta dia langsung balik ke apartemen saja, setelah dari sekolah.”

“Oh ya. Kamu belum cerita, kenapa kamu beralih ke bisnis ini? Meninggalkan karier impian kamu?” sambung Indah.

“Syifa beranjak dewasa. Aku hanya ingin banyak waktu bersamanya. Kamu kan tahu, dunia kantor jelas membuatku nyaris tidak punya waktu di rumah.

“Setelah  mempertimbangkan kembali, aku punya pengalaman bekerja di Coffee Shop saat kuliah dulu. Aku punya pengalaman di sini. Jadi aku berani mencoba, dan sejauh ini aku sangat nyaman.”

“Kamu sendiri mengelola bisnis ini?”

Ehm….”

Ehm?” tanya Indah, penasaran. Dona malah tersenyum, malu. Membuat Indah merasa ada yang aneh dengan sikap sahabatnya itu.

“Aku udah pernah cerita, tentang atasan aku dulu, kan?”

Indah menggeleng. “Ada yang belum aku ketahui?”

Dona malah salah tingkah. Indah langsung memegang tangan sahabatnya itu. “Don, apa yang sebenarnya tidak aku ketahui?”

Ehm, beliau yang bantu aku di sini,” ucap Dona, pelan.       

Indah tersenyum. Dia menopang dagunya dengan tangan kiri. Mencoba menelisik sesuatu yang belum diungkapkan Dona.

Melihat tingkah Indah, Dona menyerah. “Iya, aku dan beliau dekat, saat ini.”

“Ganteng, gak?”

Dona tertawa. “Ya begitulah.”

Ehm, kamu juga suka sama dia?” tanya Indah, dengan senyuman menggoda. “Ya....”

“Haa, jawabannya standar banget.” Indah menampakkan wajah kecewa. “Kamu nginap di tempat aku ya, malam ini. Aku mau cerita.”

“Siap, bos!!!” jawab Indah, penuh semangat. Indah terus menatap wajah sahabatnya itu.

Aku selalu percaya, ada kesempatan ke dua untukmu. Aku percaya, ada cinta sejati, yang menunggumu, setelah perjuangan tak pernah lelahmu.

“Aku balik dulu, ya. Malam nanti aku ke tempat kamu,” ucap Indah, pamit, memeluk dan mengecup pipi sahabatnya itu. “Oke,” jawab Dona, menemani Indah menuju pintu keluar.

Setelah Indah berlalu, tampak seorang pria menyapa Dona dari parkiran. Dona menyambut dengan senyuman, tetap berdiri di depan pintu masuk.

“Siapa yang datang?” tanya pria itu. “Indah, Mas ingat, kan?” sahut Dona. “Iya, sahabat kamu, kan?”

“Iya Mas, jika saja tadi bisa bertemu, aku mau kenalin Mas Yusuf.”

Maybe, next time. Tinggal atur waktunya aja.”

“Masuk, Mas.” Pria itu lantas mengikuti Dona, masuk ke dalam bangunan Liebe Box.

Tampak Dona langsung menyiapkan secangkir black coffee, dan segera menghidangkannya di depan pria tadi.

“Gimana, Don?”      

“Apanya, Mas?”

Pria itu kembali tersenyum. “Yang kita bicarakan tiga hari yang lalu.”

Dona memberikan respons, senyuman yang sedikit ditarik. “Bisa aku diberi waktu lagi, Mas? Kalau Mas Yusuf tidak keberatan.”

“Iya gak apa-apa. Aku mengerti kok,” jawabnya bersama senyuman yang sangat hangat. “Bagaimana kabar kafe, semuanya lancar?” sambung Yusuf.

Alhamdulillah, semuanya lancar, Mas. Terima kasih, atas semua bantuan Mas Yusuf, sehingga impianku untuk Liebe bisa terkabul.”

“Seperti yang aku katakan sama kamu sejak awal. Aku akan berusaha hadir, dan membuktikan bahwa aku memang sangat serius. Aku ingin bertumbuh dan menggenggam tanganmu, selamanya. Hanya kamu dan Syifa.”

Raut wajah Dona seketika tampak mendung. Kalimat Yusuf begitu mengharukan baginya. Perjalanan hidup yang tidak mudah, dan Tuhan menghadirkan cinta, yang selama hidup tidak pernah menyapanya.

----

Malam tiba.

Indah benar-benar datang ke apartemen Dona. “Liebe tutup jam berapa?” tanya Indah, beberapa saat setelah tiba di tempat itu.

“Tutup jam sepuluh, tapi aku balik jam delapan. Gak enak pulang larut malam.”

“Iya, ngapain juga kamu selalu ada di sana. Kan kamu sudah punya karyawan yang bisa kamu percaya.” 

“Sesuai niat awal aku. Aku akan sepenuhnya bekerja di Liebe, bukan hanya sebagai simbol. Aku ingin merasakan menjadi barista, jadi pelayan. Agar aku bisa memahami seluruh karyawan aku, lebih menghargai pekerjaan mereka.”

“Sejauh itu kamu pikirkan, ya?”

“Iya, harus. Membuka usaha, jelas kita punya tanggung jawab moral kepada mereka yang bekerja pada kita. Karena merekalah bisnis ini akan berkembang atau hancur.”

Indah tersenyum, bangga pada sahabatnya itu.

“Kamu udah makan malam?” tanya Dona. “Udah kok Don, kamu gak usah ribet. Aku ke sini bukan untuk makan!”

Dona terkekeh. “Kamu ya, aku cuma nanya apa sudah makan, jawabannya panjang banget. Janganlah terlalu serius Indah.”

“Syifa udah tidur?” tanya Indah.

Putri Dona itu tiba-tiba melintas di ruang tamu.

“Tuh,” tunjuk Dona. “Tante Indah,” sapa Syifa, mendekat kemudian mencium punggung tangan Indah.

“Apa kabar, Sayang? Kamu tambah cantik aja,” ujar Indah.  

Syifa tersenyum.

“Ya siapa dulu dong, Mamanya,” sahut Dona sambil terkekeh. Indah menyambut dengan tawa yang sama.

“Tante Indah juga tambah cantik,” sambung Syifa.

Kalimat yang seketika membuat ekspresi Indah berubah. Dia malah menatap Dona.

Dona yang mendapati sikap Indah, akhirnya kembali tertawa keras. “Kamu kenapa? Kaget banget dipuji cantik?” tanya Dona.

Indah masih memasang wajah heran, dan berucap, “Aku udah lama gak dipuji Don,” jawabnya disertai tawa lebar.

Tawa Dona makin keras.

Syifa pun akhirnya tidak bisa menahan tawa. Remaja itu lantas kembali ke kamar, meninggalkan ke dua wanita itu.

“Kamu ya, bisa juga tertawa lebar begitu,” lanjut Dona. “Aku jujur kaget banget, mendengar kalimat Syifa. Aku baru sadar, putri kamu itu sudah remaja. Yang berarti aku udah….” Kalimatnya terhenti.

Berbalik, ekspresi Dona berubah. Dia merasa ada yang salah dengan kalimat Indah.

“Kamu kenapa?” tanya Dona, melihat Indah yang tiba-tiba terdiam. Dona menarik bibirnya, ingin tersenyum tapi terasa berat.

Indah tersenyum. “Aku bahagia Don, kamu jangan khawatir.”

Suasana riang yang beberapa saat sebelumnya mendominasi, kini berganti dengan kesenduan.

“Wajah kamu jangan seperti itu. Aku seperti merasa dihakimi, kalau kamu bersikap seperti aku ini tidak menerima takdirku. Aku bahagia dengan apa yang ada saat ini. Kamu jangan khawatir, ya,” pinta Indah, tersenyum dan memegang tangan sahabatnya itu.

“Kamu harus tahu, aku sudah jauh lebih menerima takdir ini. Seperti yang pernah kamu katakan padaku, hari esok akan selalu lebih indah. Takdirku akan lebih indah, seperti namaku,” ungkap Indah.   

Dona menggangguk, mencoba tersenyum.

“Aku bahagia saat ini, karena seluruh rahasia kehidupan pelahan terkuak lebih awal. Jadi aku bisa menikmati sedihnya lebih cepat. Sehingga aku bisa menikmati hidup yang nyata, lebih cepat juga.”

“Maksud kamu, rahasia kehidupan?” tanya Dona.

Dona menatap Indah, serius. Dia menebak, rahasia besar apa yang belum diceritakan sahabatnya itu.

“Tiga bulan setelah kepergian bapak, ibu baru menceritakan rahasia keluarga kami yang sudah ditutupi selama tiga puluh tahun.”

Hening.

Indah meneguk air putih yang disajikan sedari tadi oleh Dona.

“Aku dan mbak Desi, ternyata tidak lahir dari rahim sama,” ucap Indah, lemah. “Apa? Kamu yakin?” Dona tersentak.

“Iya, itulah kenyataannya.”

“Jadi?”

“Aku anak angkat, Don.”

“Apa?!!!” Dona kembali tercengang.

“Tapi, aku tidak menyesali apa pun. Aku bahagia. Karena sepanjang hidupku, aku mendapatkan kasih sayang sempurna dari bapak, ibu dan mbak Desi. Adakah keluarga yang lebih baik dari mereka?”

Dona tidak mampu menahan tangis. Bulir-bulir air itu terus mengalir deras membasahi pipinya. Sedangkan Indah justru sangat tegar.

“Bagaimana aku sangat dekat dengan bapak. Ibu yang sangat menyayangiku. Mbak Desi yang tidak berjarak sedikit pun. Hidupku sangat sempurna, Don.”

Dona berusaha mengendalikan diri. Dia menarik napas panjang, menstabilkan perasaannya.

“Orang tua kamu?” tanya Dona.

“Sudah meninggal dunia.”   

Sesak itu benar-benar menguasai Dona. Pipinya kembali basah.

“Dona, sudahlah. Kita sudah menjalani perjalanan yang sangat panjang. Sekarang bukan lagi saatnya bersedih,” ucap Indah, sambil menghapus titik-titik air yang terus membasahi pipi sahabatnya itu.

“Indah, aku benar-benar syok. Aku tidak menyangka, kamu seperti aku. Aku merasa bersalah dengan kalimat-kalimatku dulu. Bahwa kamu lebih beruntung,” ujar Dona, suaranya masih bergetar.

Indah menarik napas panjang, dan mengembuskannya penuh kelapangan. Dia tersenyum, dan menggenggam tangan Dona. “Bukti syukur kita adalah terus menjalani hidup dengan bahagia, ya,” sambung Indah. Dona menggangguk dan memeluk sahabatnya itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status