Sore tiba. Indah singgah di sebuah Coffee Shop, tak jauh dari kantornya. Sebuah senyuman hangat, menyambutnya setelah masuk ke dalam bangunan mungil berwarna hijau putih itu.
Seorang wanita seusianya mendekat dan langsung memeluknya. “Makasih udah datang,” ujarnya, tersenyum manis. “Haruslah, Don. Kita juga udah lama gak ngopi bareng, kan?” jawab Indah, lantas duduk. “Aku sediakan dulu minuman kamu, ya?” sambung Dona.
Indah memberi respons, menggangguk. Dia lantas memperhatikan suasana tempat itu. Enak dan sangat nyaman.
Tak lama, Dona sudah hadir bersama secangkir hot americano. “Ini salah satu menu terbaik kami di sini. Semoga kamu suka,” ujar Dona sambil meletakkan minuman itu di hadapan Indah.
Tanpa jawaban, Indah lebih dulu mencium aroma dari minuman hangat itu. “Ehm, harum banget.”
Dona mempersilakan Indah untuk lanjut mengesap. Indah pun, pelahan meneguk minuman itu.
“Salah satu kopi terbaik yang pernah aku cicipi,” puji Indah. “Ini jujur kan, bukan gombal?” tanya Dona.
Indah terkekeh. “Aku tidak akan melangitkanmu, dengan kebohongan, Don.”
Dona kembali tersenyum. “Gimana kabar kamu? Sehat-sehat aja, kan?” sambung Dona. “Seperti yang kamu lihat, Don. Aku sehat, alhamdulillah,” jawab Indah.
“Kamu kelihatan sedikit kurus?” sambung Dona.
Indah menghela napas. “Beberapa hari ini, aku hanya kangen banget dengan almarhum bapak,” ucap Indah, matanya berkaca-kaca.
Dona dengan sigap langsung mengenggam tangan sahabatnya itu, menguatkan. Tanpa bahasa, Dona terus menenangkan Indah dengan sikapnya.
“Setelah kepergian bapak, aku merasa langkahku makin berat,” lanjutnya, dengan suara bergetar.
“Aku dengar, kamu udah pindah ke apartemen?” tanya Dona.
“Iya. Aku minta mbak Desi dan mas Danu yang pindah ke rumah menemani ibu.”
“Kamu merasa berat, karena kesepian?” tebak Dona. “Ya, mungkin itu salah satunya.”
“Kalau gitu, sering-sering main ke tempat aku, ya. Setidaknya kamu punya teman ngobrol. Aku siap 24 jam, hadir untuk sahabatku yang istimewa ini.”
Indah, tertawa. “Istimewa, kayak martabak aja.”
Dona pun tersenyum. “Kabar kantor, baik-baik saja?” lanjut Dona.
Lagi, Indah menarik napas panjang.
“Ada masalah?” tebak Dona.
“Ya, bisa dibilang begitu.”
“Maksud kamu?”
“Pak Dimas akan meninggalkan Jakarta untuk sementara. Selama beliau tidak di tempat, dia digantikan keponakan beliau. Di awal perjumpaan, aku merasa tidak cocok dengan pria itu.”
“Aku baru menemukan seorang Indah yang pesimistis seperti ini. Yang aku tahu, kamu seseorang yang mudah menyesuaikan diri. Sangat kompeten dengan pekerjaan kamu sekarang. Jadi, masalahnya apa?” sebut Dona.
“Karakter, Don.”
“Itu kan bisa diatasi dengan penyesuaian diri.”
“Aku merasa, itu tidak akan mudah.”
“Indah, sahabatku. Yang membuat berat, jelas adalah pikiranmu. Kamu sudah bekerja lebih dari sepuluh tahun. Semua badai sudah kamu lalui. Aku pikir ini hanya bagian kecil dari badai yang mudah kamu taklukkan.”
“Entahlah.”
Dona kembali hanya tersenyum.
“Syifa kok gak kelihatan?” lanjut Indah.
“Aku minta dia langsung balik ke apartemen saja, setelah dari sekolah.”
“Oh ya. Kamu belum cerita, kenapa kamu beralih ke bisnis ini? Meninggalkan karier impian kamu?” sambung Indah.
“Syifa beranjak dewasa. Aku hanya ingin banyak waktu bersamanya. Kamu kan tahu, dunia kantor jelas membuatku nyaris tidak punya waktu di rumah.
“Setelah mempertimbangkan kembali, aku punya pengalaman bekerja di Coffee Shop saat kuliah dulu. Aku punya pengalaman di sini. Jadi aku berani mencoba, dan sejauh ini aku sangat nyaman.”
“Kamu sendiri mengelola bisnis ini?”
“Ehm….”
“Ehm?” tanya Indah, penasaran. Dona malah tersenyum, malu. Membuat Indah merasa ada yang aneh dengan sikap sahabatnya itu.
“Aku udah pernah cerita, tentang atasan aku dulu, kan?”
Indah menggeleng. “Ada yang belum aku ketahui?”
Dona malah salah tingkah. Indah langsung memegang tangan sahabatnya itu. “Don, apa yang sebenarnya tidak aku ketahui?”
“Ehm, beliau yang bantu aku di sini,” ucap Dona, pelan.
Indah tersenyum. Dia menopang dagunya dengan tangan kiri. Mencoba menelisik sesuatu yang belum diungkapkan Dona.
Melihat tingkah Indah, Dona menyerah. “Iya, aku dan beliau dekat, saat ini.”
“Ganteng, gak?”
Dona tertawa. “Ya begitulah.”
“Ehm, kamu juga suka sama dia?” tanya Indah, dengan senyuman menggoda. “Ya....”
“Haa, jawabannya standar banget.” Indah menampakkan wajah kecewa. “Kamu nginap di tempat aku ya, malam ini. Aku mau cerita.”
“Siap, bos!!!” jawab Indah, penuh semangat. Indah terus menatap wajah sahabatnya itu.
Aku selalu percaya, ada kesempatan ke dua untukmu. Aku percaya, ada cinta sejati, yang menunggumu, setelah perjuangan tak pernah lelahmu.
“Aku balik dulu, ya. Malam nanti aku ke tempat kamu,” ucap Indah, pamit, memeluk dan mengecup pipi sahabatnya itu. “Oke,” jawab Dona, menemani Indah menuju pintu keluar.
Setelah Indah berlalu, tampak seorang pria menyapa Dona dari parkiran. Dona menyambut dengan senyuman, tetap berdiri di depan pintu masuk.
“Siapa yang datang?” tanya pria itu. “Indah, Mas ingat, kan?” sahut Dona. “Iya, sahabat kamu, kan?”
“Iya Mas, jika saja tadi bisa bertemu, aku mau kenalin Mas Yusuf.”
“Maybe, next time. Tinggal atur waktunya aja.”
“Masuk, Mas.” Pria itu lantas mengikuti Dona, masuk ke dalam bangunan Liebe Box.
Tampak Dona langsung menyiapkan secangkir black coffee, dan segera menghidangkannya di depan pria tadi.
“Gimana, Don?”
“Apanya, Mas?”
Pria itu kembali tersenyum. “Yang kita bicarakan tiga hari yang lalu.”
Dona memberikan respons, senyuman yang sedikit ditarik. “Bisa aku diberi waktu lagi, Mas? Kalau Mas Yusuf tidak keberatan.”
“Iya gak apa-apa. Aku mengerti kok,” jawabnya bersama senyuman yang sangat hangat. “Bagaimana kabar kafe, semuanya lancar?” sambung Yusuf.
“Alhamdulillah, semuanya lancar, Mas. Terima kasih, atas semua bantuan Mas Yusuf, sehingga impianku untuk Liebe bisa terkabul.”
“Seperti yang aku katakan sama kamu sejak awal. Aku akan berusaha hadir, dan membuktikan bahwa aku memang sangat serius. Aku ingin bertumbuh dan menggenggam tanganmu, selamanya. Hanya kamu dan Syifa.”
Raut wajah Dona seketika tampak mendung. Kalimat Yusuf begitu mengharukan baginya. Perjalanan hidup yang tidak mudah, dan Tuhan menghadirkan cinta, yang selama hidup tidak pernah menyapanya.
----
Malam tiba.
Indah benar-benar datang ke apartemen Dona. “Liebe tutup jam berapa?” tanya Indah, beberapa saat setelah tiba di tempat itu.
“Tutup jam sepuluh, tapi aku balik jam delapan. Gak enak pulang larut malam.”
“Iya, ngapain juga kamu selalu ada di sana. Kan kamu sudah punya karyawan yang bisa kamu percaya.”
“Sesuai niat awal aku. Aku akan sepenuhnya bekerja di Liebe, bukan hanya sebagai simbol. Aku ingin merasakan menjadi barista, jadi pelayan. Agar aku bisa memahami seluruh karyawan aku, lebih menghargai pekerjaan mereka.”
“Sejauh itu kamu pikirkan, ya?”
“Iya, harus. Membuka usaha, jelas kita punya tanggung jawab moral kepada mereka yang bekerja pada kita. Karena merekalah bisnis ini akan berkembang atau hancur.”
Indah tersenyum, bangga pada sahabatnya itu.
“Kamu udah makan malam?” tanya Dona. “Udah kok Don, kamu gak usah ribet. Aku ke sini bukan untuk makan!”
Dona terkekeh. “Kamu ya, aku cuma nanya apa sudah makan, jawabannya panjang banget. Janganlah terlalu serius Indah.”
“Syifa udah tidur?” tanya Indah.
Putri Dona itu tiba-tiba melintas di ruang tamu.
“Tuh,” tunjuk Dona. “Tante Indah,” sapa Syifa, mendekat kemudian mencium punggung tangan Indah.
“Apa kabar, Sayang? Kamu tambah cantik aja,” ujar Indah.
Syifa tersenyum.
“Ya siapa dulu dong, Mamanya,” sahut Dona sambil terkekeh. Indah menyambut dengan tawa yang sama.
“Tante Indah juga tambah cantik,” sambung Syifa.
Kalimat yang seketika membuat ekspresi Indah berubah. Dia malah menatap Dona.
Dona yang mendapati sikap Indah, akhirnya kembali tertawa keras. “Kamu kenapa? Kaget banget dipuji cantik?” tanya Dona.
Indah masih memasang wajah heran, dan berucap, “Aku udah lama gak dipuji Don,” jawabnya disertai tawa lebar.
Tawa Dona makin keras.
Syifa pun akhirnya tidak bisa menahan tawa. Remaja itu lantas kembali ke kamar, meninggalkan ke dua wanita itu.
“Kamu ya, bisa juga tertawa lebar begitu,” lanjut Dona. “Aku jujur kaget banget, mendengar kalimat Syifa. Aku baru sadar, putri kamu itu sudah remaja. Yang berarti aku udah….” Kalimatnya terhenti.
Berbalik, ekspresi Dona berubah. Dia merasa ada yang salah dengan kalimat Indah.
“Kamu kenapa?” tanya Dona, melihat Indah yang tiba-tiba terdiam. Dona menarik bibirnya, ingin tersenyum tapi terasa berat.
Indah tersenyum. “Aku bahagia Don, kamu jangan khawatir.”
Suasana riang yang beberapa saat sebelumnya mendominasi, kini berganti dengan kesenduan.
“Wajah kamu jangan seperti itu. Aku seperti merasa dihakimi, kalau kamu bersikap seperti aku ini tidak menerima takdirku. Aku bahagia dengan apa yang ada saat ini. Kamu jangan khawatir, ya,” pinta Indah, tersenyum dan memegang tangan sahabatnya itu.
“Kamu harus tahu, aku sudah jauh lebih menerima takdir ini. Seperti yang pernah kamu katakan padaku, hari esok akan selalu lebih indah. Takdirku akan lebih indah, seperti namaku,” ungkap Indah.
Dona menggangguk, mencoba tersenyum.
“Aku bahagia saat ini, karena seluruh rahasia kehidupan pelahan terkuak lebih awal. Jadi aku bisa menikmati sedihnya lebih cepat. Sehingga aku bisa menikmati hidup yang nyata, lebih cepat juga.”
“Maksud kamu, rahasia kehidupan?” tanya Dona.
Dona menatap Indah, serius. Dia menebak, rahasia besar apa yang belum diceritakan sahabatnya itu.
“Tiga bulan setelah kepergian bapak, ibu baru menceritakan rahasia keluarga kami yang sudah ditutupi selama tiga puluh tahun.”
Hening.
Indah meneguk air putih yang disajikan sedari tadi oleh Dona.
“Aku dan mbak Desi, ternyata tidak lahir dari rahim sama,” ucap Indah, lemah. “Apa? Kamu yakin?” Dona tersentak.
“Iya, itulah kenyataannya.”
“Jadi?”
“Aku anak angkat, Don.”
“Apa?!!!” Dona kembali tercengang.
“Tapi, aku tidak menyesali apa pun. Aku bahagia. Karena sepanjang hidupku, aku mendapatkan kasih sayang sempurna dari bapak, ibu dan mbak Desi. Adakah keluarga yang lebih baik dari mereka?”
Dona tidak mampu menahan tangis. Bulir-bulir air itu terus mengalir deras membasahi pipinya. Sedangkan Indah justru sangat tegar.
“Bagaimana aku sangat dekat dengan bapak. Ibu yang sangat menyayangiku. Mbak Desi yang tidak berjarak sedikit pun. Hidupku sangat sempurna, Don.”
Dona berusaha mengendalikan diri. Dia menarik napas panjang, menstabilkan perasaannya.
“Orang tua kamu?” tanya Dona.
“Sudah meninggal dunia.”
Sesak itu benar-benar menguasai Dona. Pipinya kembali basah.
“Dona, sudahlah. Kita sudah menjalani perjalanan yang sangat panjang. Sekarang bukan lagi saatnya bersedih,” ucap Indah, sambil menghapus titik-titik air yang terus membasahi pipi sahabatnya itu.
“Indah, aku benar-benar syok. Aku tidak menyangka, kamu seperti aku. Aku merasa bersalah dengan kalimat-kalimatku dulu. Bahwa kamu lebih beruntung,” ujar Dona, suaranya masih bergetar.
Indah menarik napas panjang, dan mengembuskannya penuh kelapangan. Dia tersenyum, dan menggenggam tangan Dona. “Bukti syukur kita adalah terus menjalani hidup dengan bahagia, ya,” sambung Indah. Dona menggangguk dan memeluk sahabatnya itu.
Suasana haru belum beranjak dari percakapan Indah dan Dona. Keheningan tercipta, sembari ke dua wanita itu menenangkan diri.“Oke, cukup dari aku,” sambung Indah, dengan senyuman hangatnya, menguatkan. “Aku seperti kehilangan semangat untuk bercerita,” ujar Dona.“Gak ada alasan, kamu wajib cerita. Aku ke sini udah penasaran banget. Iya Don, ya?” pinta Indah.Dona tersenyum. Dia memulai cerita.“Namanya Yusuf Abdullah. Kami satu divisi sebelumnya, sebelum dia jadi pimpinan di divisi kami.”Indah terlihat mendengar, serius.“Aduh gimana mulainya?”“Lho kan udah mulai?”“Aku bingung, mau cerita yang mana.”“Cerita semua. Jangan ada yang ditutup-tutupi!” ujar Indah, memaksa.“Ya, oke. Awalnya, aku tidak terlalu sadar akan kehadirannya. Karena, kamu kan tahu, saat itu aku fokus membangun karier, mengurus Syifa. Kehadiran pria, sama sekali jauh dari rute jalanku. Sampai akhirnya, aku ngobrol dengan atasanku saat itu. Yang kebetulan dekat banget dengan aku, Mbak Nia.“Dia menceritakan, mas
Jam menunjukkan pukul delapan malam, saat Asti berjalan menyusuri lobby Big Land. “Asti, saya duluan ya. Kamu gak apa-apa balik sendiri?” tanya Indah, setelah membuka kaca mobilnya. “Iya Bu, gak apa-apa.” “Hati-hati ya.” Indah pun berlalu. Asti melepas Indah dengan senyumannya. Sejak Indah pindah ke apartemen, dia tak lagi mengajak Asti bersamanya saat berangkat dan pulang dari kantor. Arah kediaman Asti sekarang tidak lagi searah dengan apartemen atasannya itu. Indah, masihlah sosok yang sama dengan Indah yang ditemui Asti beberapa tahun lalu. Wanita tiga puluh lima tahun, yang memiliki hati yang lapang, hati yang tulus, dan sangat perhatian. Asti berjalan ke luar gerbang, sambil menunggu ojek online yang telah dipesannya. “Alhamdulillah,” ucap Asti, setelah meyakini, motor hijau yang mendekat adalah ojek online yang dipesannya. “Astagfirullah!!!” Asti tersentak, sebuah mobil tiba-tiba berhenti di hadapannya. Ojol yang ditunggunya, terpaksa b
Di depan ruangan rapat, tampak beberapa pria, anggota dewan direksi masih sibuk berbicara satu sama lain, “Kenapa sih, pak Dimas harus memilih pria itu? Kamu tidak dengar, bagaimana sifatnya yang angkuh?” tanya salah satu anggota Direksi. “Iya, seharusnya mbak Indah yang menggantikan pak Dimas. Dia sangat kompeten, terbuka akan saran, dan komunikasinya selalu baik dengan seluruh staf dan Direksi,” sahut anggota lainnya. Ada apa ini? batin Aditya. Dia melihat Rakha berdiri tepat di belakang ke dua pria yang sedang membicarakan dirinya. Melihat keberadaan Aditya, Rakha seketika pergi dari tempat itu. “Masalah lagi,” ungkap Aditya, mendapati ekspresi Rakha yang menahan emosi. Hari ini, Rakha dan Aditya mulai berkantor di Big Land. Melewati meja kerja Asti, Aditya tak lupa menyapa dengan senyumannya. Namun Asti memberikan respons datar. Rakha yang mendapati sikap manis Aditya, menyeringai. “Menebar pesona di mana-mana. Yang ada kamu seperti pria murahan!” ucapnya, kesal. “Apa?” tany
Dalam kondisi yang tertekan, Indah dikagetkan dering ponselnya. “Apa?!” jawab Indah, setelah menerima panggilan dari ponselnya. Asti seketika ikut panik, melihat ekpresi kaget Indah. Indah menutup telepon, dan segera melangkah keluar ruangannya. Dia berlari kecil dan memasuki ruangan bertuliskan Public Relations Devision. “Ada apa ini?” tanya Indah. “Memo dari pak Rakha, Bu,” jawab wanita di hadapannya, dan menyerahkan selembar dokumen. Wanita itu adalah staf Divisi PR. Indah membaca selembar dokumen yang diserahkan wanita itu. Sejenak Indah terpaku. “Bagaimana mungkin ini disebut keputusan, tanpa ada rapat bersama?” “Pak Rakha, minta saat ini juga di eksekusi, Bu.” Tanpa jawaban, Indah langsung keluar dari ruangan tersebut, masih memegang selembar kertas yang dibacanya tadi. Dia tampak berjalan menuju ruang Pimpinan. “Bisa dijelaskan maksud memo ini, Pak Rakha?” ucap Indah, setelah berada di hadapan R
Memenuhi janji pada Aditya, Asti benar-benar menemani pria itu makan malam. Aditya tampak menjemput Asti di lobby Big Land. “Pak, boleh kita makan malam di sekitar pasar malam saja?” pinta Asti. “Boleh. Di sana kebetulan ada restoran langganan kami sekeluarga.” Asti tersenyum. “Oh ya. Kamu gak usah panggil Pak, Pak. Emangnya di kantor?” “Jadi, saya harus manggil apa, Pak?” “Tuh, Pak lagi. Panggil ‘Mas’ saja. Supaya lebih dekat kesannya.” Asti menarik bibir, tersenyum. Dia menghela napas. “Baik, Mas.” “Gitu dong.” Aditya menyalakan mobil dan segera meninggalkan halaman Big Land. Beberapa saat menelusuri jalan, akhirnya mereka tiba. “Ayo Asti,” ajak Aditya. “Ehm, Pak?” “Kok Pak lagi. Kita kan sudah sepakat?” Asti salah tingkah. Lidahnya begitu berat. “Iya, Mas.” “Gitu kan lebih enak. Iya ada apa, ada yang ingin kamu sampaikan?” “Boleh gak, untuk m
Pagi yang tak biasa. Indah terlihat ada di rumah sakit. Dia sedang berbicara dengan Asti. “Terima kasih ya. Kamu langsung ke kantor saja. Saya sudah menghubungi pak Aditya. Hari ini saya menemani ibu dulu.” “Baik, Mbak.” Asti pun melangkah meninggalkan Indah yang masih berdiri di lobby rumah sakit. Semalam, dia dikagetkan kabar ibunya dibawa ke rumah sakit. Wanita paruh baya itu menderita mag yang cukup serius. Sejak tinggal di apartemen, Indah sudah jarang menemui ibundanya. Kondisi yang membuatnya merasa sangat bersalah pada ibu yang membesarkannya dengan kasih sayang utuh. Walaupun kenyataan menegaskan bahwa tak ada ikatan darah antara mereka. Dari jarak yang tak begitu jauh, tampak kakaknya, Desi melangkah ke arahnya. Semakin dekat, makin jelas, rona kesedihan terpancar di wajah Desi. Dia langsung memeluk adiknya itu, erat. “Makasih kamu sudah menemani ibu semalam.” “Mbak Desi kok ngomong gitu?” “Maaf,” sa
Menikmati masa cuti, membawa suasana berbeda bagi Indah. Dia tampak menikmati kebersamaan bersama Dona dan karyawan Liebe Box. Tak ada rasa canggung, yang ada suasana penuh kehangatan. “Bagaimana kesannya beberapa hari ini, menjadi bagian dari Liebe Box?” tanya Dona, saat mereka berdua bersantai di lantai dua, ruang kantor Liebe Box. “Keseruannya sulit aku gambarkan, Don. Aku kini menyadari alasanmu memilih di sini. Aku sangat menikmati segalanya.” “Ehm, kalau gitu, kami membuka pintu selebar-lebarnya, jika suatu hari nanti, kamu benar-benar bisa bergabung dengan kami. Terasa terhormat bisa mendapatkan seorang Manajer andal seperti kamu. Jelas, Liebe Box punya masa depan yang mengagumkan.” Indah menghela napas. “Jujur, beberapa waktu terakhir, aku pun mulai merasakan kejenuhan dengan aktivitasku di Big Land. Tapi aku tidak bisa meninggalkannya di saat-saat seperti ini. Aku ingin menciptakan
Suasana Big Land pagi ini, kembali gaduh. Lagi, seluruh anggota Direksi berkumpul di ruang rapat, dan Rakha menjadi pusat perhatian. Direktur Marketing tampak berdiri dan meletakkan beberapa koran di hadapan Rakha. Seperti biasa, Rakha tetap bersikap dingin. “Pimpinan Tower Electrics Mahakarya dan Big Land tampak mabuk-mabukkan di klab malam,” ucap salah satu anggota Direksi. Yang kemudian di sambung anggota lainnya. “Apakah Pak Rakha punya penjelasan atas berita ini?” “Ini memang benar, apa yang perlu saya jelaskan?” sahut Rakha, masih dengan sikap cueknya. “Ini jelas masalah bagi kredibilitas Big Land. Anda mungkin bebas berbuat sesuka hati, selama di Tower Electrics, tapi ingat, anda sekarang bagian dari Big Land. Anda perlu tahu, nama besar Big Land, kami tidak dapatkan dengan mudah. Jadi tolong berhati-hati bersikap!” Salah satu anggota Direksi tampak mulai menaikkan volume su