Meninggalkan kantor Big Land, Aditya dan Rakha kembali ke kantor Tower Electrics Mahakarya. Wajah Rakha masih terlihat dingin. Adit sesekali melirik ke arah pria yang ada di sampingnya itu.
“Kamu kenapa lirik-lirik begitu?” Rakha menyadari sikap Aditya yang terus memperhatikannya.
“Aku yang ingin bertanya, kamu kenapa? Mood kamu berantakan banget hari ini. Iya sih, setiap hari memang kamu begini, tapi terlihat lebih dingin hari ini!”
Rakha langsung melotot. Aditya terdiam dan kembali fokus pada kendaraan yang dikemudikannya.
“Ternyata di Big Land, banyak cewek-cewek cantik ya? Menyesal aku, baru ke sana hari ini.”
Adit terus saja mengoceh, sedangkan pria di sebelahnya masih diam tak peduli. Mendapati sikap Rakha yang membisu, Aditya akhirnya diam.
Ha, aku selalu saja sulit menemukan kalimat yang pas saat ngobrol dengan dia. Entah makhluk seperti apa yang bisa menaklukkan hati bekunya itu, batin Adit.
Mobil yang dikendarai keduanya terhenti, setelah lampu lalu lintas memberikan isyaratnya. Mata sendu Rakha, sejenak beralih pada langkah seorang ayah dan anak lelakinya menyebrang jalan. Wajah dingin yang sedari tadi terhias, berubah pilu.
Sejengkal kenangan, tiba-tiba menyapanya.
“Nak, seorang pria harus selalu tampil keren, cerdas, sempurna dan pastinya setia.”
“Emang kenapa, Pa?”
“Ya karena kamu akan menjadi pemimpin masa depan. Pemimpin dalam keluarga. Dan kamu harus pastikan, di mana pun kamu berada, kamu wajib selalu sempurna.”
Rakha remaja, masih bingung dengan ucapan ayahnya. “Kenapa sempurna? Karena wibawamu hanya akan terpancar dalam kesempurnaan itu.”
“Berengsek!!!”
“Kha? Rakha?!!!” suara keras Adit, mengagetkan Rakha. Dia akhirnya terbangun dari perjalanan kembali ke masa lalu.
“Kamu kenapa? Kamu baik-baik saja, kan?” Aditya mulai panik dengan keadaan Rakha yang tidak jua kembali normal.
“Aku baik. Kita langsung ke kantor saja.”
Aditya tidak menjawab.
Dia kembali fokus pada kendaraannya. Giliran Aditya yang tiba-tiba teringat cerita Ibunda Rakha beberapa tahun yang lalu. Apakah kondisi ini yang di maksud tante Rosa?
Kendaraan mereka akhirnya memasuki halaman Tower Electrics Mahakarya. Rakha berjalan penuh percaya diri seperti biasa, diikuti Aditya.
“Nilam, ada tamu untuk saya?” tanya Rakha sesampainya di depan ruangannya. “Iya, Pak. Pak Cakra sudah menunggu.”
Tanpa respons, Rakha langsung meninggalkan meja sekretarisnya itu. “Pak Rakha selalu ya begitu. Cuek, menggemaskan,” ujar Rani. “Iya, sekaligus menyebalkan!” sahut Nilam.
Di kantor, Rakha punya dua sekretaris cantik, Nilam dan Rani. Namun dia lebih nyaman didampingi oleh Aditya. Yang sebelumnya menjabat Manajer Pemasaran. Namun, akhirnya menjadi sekretaris dan asisten pribadi Rakha, jangan lupa, sopir pribadi.
“Cakra,” sapa Rakha bersama senyuman, pada kolega bisnisnya itu. “Akhirnya, sebelum aku bosan, kamu sudah datang. Aku udah mau siap-siap balik,” respons Cakra.
Rakha duduk tepat di hadapan Cakra.
“Gimana? Cakra Tunggal jadi, ikut akuisisi perusahaan Singapura itu?” tanya Rakha. “Ya itu, aku mau minta pertimbangan kamu. Mau aku pungkiri ya tetap aku akui, dalam bisnis ini, kamu berada di level yang berbeda.”
“Pengakuan itu tidak bisa aku ingkari,” sahut Rakha, kembali dengan kepercayaan diri tingkat dewanya. Cakra tampak sangat mengenali rekannya itu. Dia pun hanya tersenyum melihat tingkah Rakha.
“Coba aku baca proposalnya. Aku pelajari dulu!”
Cakra menyerahkan dokumen yang sejak tadi bertengger di atas meja, di hadapannya. Rakha menerima dan tampak antusias, langsung membaca.
“Gimana kabar kamu dengan Alexa?” sambung Cakra. Rakha mengangkat alis kanannya. “Baik.”
“Aku kebetulan bertemu dia kemarin. Dan kamu pasti tahu, apa yang dia katakan.”
“Ada apa?” tanya Rakha, masih fokus pada dokumen di sementara dibacanya. “Dia bilang, apa teman kamu yang bernama Rakha itu, memang gak tertarik sama cewek?”
Cakra tidak bisa menahan tawanya. Dia terkekeh sendiri, sedang Rakha justru menatap aneh ke arahnya.
Melihat reaksi Rakha, Cakra kembali mengendalikan dirinya.
“Kamu ya? Memang kamu sedingin ini? Seperti lemari beku berjalan!”
Ucapan Cakra makin membuat Rakha menatapnya lebih dekat.
“Oke, oke. Aduh, memang benar kata Aditya, kamu memang makhluk aneh.”
Rakha meletakkan dokumen yang dibacanya, kembali di meja. Dia menatap Cakra, serius.
“Aku tidak perlu terlihat normal di hadapan siapa pun. Apalagi di depan wanita-wanita yang jelas hanya mengincar ketenaran bersamaku. Untuk apa? Aku tidak butuh naik level. Karena aku jelas sudah di level tertinggi. Benar, kan?”
“Iya, iya. Kamu benar, Bapak Rakha Langit Ahmad.”
Rakha melipat ke dua tangannya, di depan dada. Dia tampaknya berada dalam zona sangat serius.
“Oke kita kembali ke masalah akuisisi. Gimana pendapat kamu?” lanjut Cakra. “Proyek ini cukup menarik,” ucap Rakha.
“Tapi, perusahaan ini nyaris bangkrut. Mereka bahkan tidak punya aset sama sekali saat ini,” sambung Cakra.
“Mereka punya nama besar. Itu jelas penting untuk bisnis.”
“Aku lebih melihat dari sisi berbeda, Kha. Perusahaan ini memiliki banyak masalah. Konflik internal mereka rumit. Kasus korupsi petingginya, membuatku sedikit mempertimbangkan proses akuisisi ini,” jelas Cakra.
“Perusahaan ini cukup bersejarah di Singapura. Mereka punya brand kuat di sana, bahkan di kawasan Asia. Persoalan mereka ini adalah kesalahan memilih person di posisi paling seksi, Direktur Keuangan. Tapi selebihnya, menurut aku, kamu tidak akan rugi jika kamu ambil alih perusahaan ini.”
Cakra terdiam, tampak berpikir.
“Berarti aku hanya beli nama besar doang?” tanya Cakra. Rakha tersenyum, sinis. “Kamu memangnya sudah berapa lama di bisnis ini? Mentalmu itu tempe banget!”
Cakra merespons dengan tawa lebarnya. “Jika saja aku tidak memahami karakter kamu yang kasar kayak gitu, aku sudah buka baju dan kita berantem!”
Rakha ikut tertawa, tapi dengan tawa mengejek.
Direktur Keuangan? Mengapa aku tiba-tiba mengingat wanita itu?
“Hei?!” Cakra menyadari tingkah Rakha yang tiba-tiba diam. “Oke, sudah beres kan?” tanya Rakha.
“Kamu, ya. Emangnya aku gak boleh di sini?”
“Ya, gak boleh, kalau gak ada yang penting. Waktuku hanya habis untuk hal-hal yang penting!!” Lagi, Cakra hanya tersenyum. “Ya, ya. Aku pamit,” ucap Cakra, meninggalkan ruangan Rakha.
“Direktur Keuangan? Ini patut aku evaluasi. Big Land punya brand yang kuat dan seingatku, mereka salah satu perusahaan dengan omzet terbesar beberapa tahun ini. Tapi aku lihat, gak ada yang berubah. Aku yakin pasti ada yang salah!!!” gumam Rakha.
“Bos, ada email dari om Dimas nih. Rekap transaksi bulanan Big Land satu tahun terakhir untuk kamu dipelajari.”
Rakha bangun dari lamunan, setelah kedatangan Aditya di ruangannya.
“Kenapa ya, kalau aku mendengar nama perusahaan itu, aku bawaannya selalu mau emosi?” ujar Rakha.
Aditya menghela napas. “Ini, ada apalagi? Sejak di kantor om Dimas, kamu memang emosi terus?”
“Itu, wanita yang dikenalkan om Dimas tadi. Siapa lagi namanya?”
“Oh, itu. Kamu kepikiran?” Aditya menimpali dengan tersenyum sendiri. Rakha kembali melotot, membuat Aditya kembali diam, tanpa ekspresi.
“Indah,” lanjut Aditya. Rakha kembali terdiam.
Ya Tuhanku, bisa-bisa aku jadi gila, jika terus menghadapi pria ini.
“Kamu tahu, wanita yang aku maksud pagi tadi?”
Aditya tercengang, menggeleng. “Dia!”
“Indah?” Aditya memperjelas. “Iya!”
Aditya malah tersenyum, tanpa bisa dia tahan. Namun, seperti biasa, tatapan tajam Rakha, membuatnya diam.
Rakha kembali hidup tanpa suara. Aditya pun, hanya bisa duduk terpaku menatap heran. Jika sahabatnya itu banyak diam, jelas sesuatu yang buruk sedang terjadi.
“Baru kali ini, ada wanita yang berani menatap tajam padaku. Berani-beraninya dia!!”
Aditya kembali menghela napas. Seperti biasa, pria yang bernama Rakha itu, selalu saja mempersulit dirinya sendiri.
Apa pun selalu saja masalah buat kamu. Lebih baik kamu mati saja, gumam Aditya.
“Kamu bilang apa?” tanya Rakha, menyempitkan sudut matanya. “Gak, aku tidak bilang apa-apa.” Aditya merasa aneh, Rakha bisa merespons apa yang dia pikirkan.
Dasar pria aneh!
Tatapan enam orang itu terbuka lebar. Pria-pria itu menelan ludah, serentak. Kalimat Indah seperti menghentikan detak jam dinding Liebe Box. Terasa tidak ada kehidupan. Semuanya berubah kaku. Pria-pria itu lanjut menatap serius Rakha. Mereka tampak menunggu jawaban pria itu. Dona terus tersenyum. Dia pun tidak menyangka, Indah akan menjadi wanita penuh percaya diri hari ini. Belum lagi, Indah dan Rakha punya masa lalu yang tidak baik. “Tidak usah dijawab sekarang!” jelas Indah. “Aduh!” Sikap rekan-rekannya serentak kecewa. Mereka ingin mendengarkan langsung jawaban Rakha, namun kalimat Indah membuyarkan harapan mereka. Giliran Yusuf yang menatap serius Dona. Dona yang mendapati tatapan yang begitu dalam, mulai berpikir maksud tatapan itu. Dona akhirnya mengerti. Dia tersenyum lagi. “Ada yang cemburu, ya?” ucapnya, sambil tersenyum. Yusuf tidak merespons. Dia masih menatap Dona, menunggu jawaban atas tata
Pukul delapan malam, Aditya ditemani Asti sudah terlihat di apartemen Indah. Berselang tak begitu lama, Rakha pun tampak sudah hadir. “Terima kasih atas kehadirannya semua, malam ini. Perlu aku perjelas, ini dokumen-dokumen yang harus diselesaikan dalam dua hari ini,” ungkap Indah menunjuk tumpukan proposal proyek yang sedari pagi membebani pikirannya. Rakha menoleh ke Aditya. “Apakah kamu siap, Bung?” tanyanya. “Pasti!” sahut Aditya, penuh semangat. “Tunggu, tunggu,” sela Asti. “Bapak-bapak perlu tahu dulu, informasi apa yang kami butuhkan. Agar hasilnya bisa dipahami lebih mudah dan keputusan yang diambil bisa adil untuk semua.” “Serius banget sih, Sayang,” goda Aditya, menarik Asti dalam pelukannya. Rakha dan Indah yang mendapati sikap Aditya, hanya bisa tersenyum, geli. “Ehm, gak kenal tempat ya,” singgung Rakha. “Hanya depan kalian berdua. Makanya, segera punya pasangan,” ujar Aditya. Lagi, menggoda Rakha dan Indah.
Asti berdiri terpaku, setelah mendapati sosok di depan pintu. Aditya menyusul istrinya. “Mama,” ujar Aditya, terkejut. Asti tak kalah kaget. Bertemu dengan ibu suaminya selalu menghadirkan ketegangan, yang membuat lidahnya kaku. Tidak tahu menempatkan diri. Aditya yang paham, langsung menggandeng tangan istrinya. “Masuk, Ma,” pinta Aditya, bersikap santun. Dewi melangkah masuk ke dalam apartemen anaknya. Sorot matanya tak seperti biasa. Dia terlihat lelah, wajahnya tidak sesempurna biasanya. Hening. Asti menuju dapur menyiapkan minuman. “Mama, apa kabar?” Aditya memecah sunyi. “Mama, baik. Sehat. Kamu dan Asti apa kabar?” sambung Dewi. “Baik, Ma,” jawab Aditya. Tak berselang lama, Asti sudah kembali dengan secangkir teh hangat. Dihidangkannya dan duduk di samping suaminya. “Mama ke sini….” Dewi menghentikan kalimatnya. Terdengar berat setiap kata yang diucapkannya. “Sering-seringlah main ke rum
Indah berdiri membatu. Wajahnya tak sanggup memandang pria yang terlihat begitu lemah di hadapannya. “Masuk, Indah,” pinta Dimas. Dimas lantas duduk di sofa, diikuti Indah dan Adrian. “Adrian sudah cerita beberapa hari yang lalu, bahwa kamu datang mencari saya. Tapi, seperti yang Adrian sudah sampaikan, saya lagi berduka. Hidup saya kehilangan gairah sejak ibu pergi untuk selama-lamanya,” lanjut Dimas, matanya berkaca-kaca. Ingatan tentang sang istri kembali membawa keharuan yang tak berjeda. Kasih sayangnya yang utuh, tampak dari roman wajah dan matanya yang tak kunjung melahirkan cahaya, seperti yang biasa bersamanya. Indah tak lagi bisa menahan diri. Air matanya kembali mengalir, pelan. Napasnya sesak. Serasa seluruh ruang dalam dadanya tertutup tanpa cela. “P-pak, saya turut berduka cita….” Perasaan Indah berkecamuk duka. Dia tidak mampu mengangkat wajahnya. Dia terus menunduk, tak berani menatap Dimas. “Iya. Inilah keh
Tyas masih terpaku di hadapan Asti dan Aditya. Pembicaraan tentang restu orangtuanya pada pernikahan Aditya dan Asti, belum juga menemui titik terang. “Aku akan menuruti permintaan mama, Mbak. Beliau mengusirku dari rumah. Dan meminta aku tidak lagi menampakkan wajah di hadapannya. Aku patuh pada itu, Mbak!” jelas Aditya. “Tapi, papa kurang sehat, Dit. Dia ingin ketemu kamu dan istri kamu. Cobalah rendahkan gengsimu sedikit. Mbak mohon,” pinta Tyas. Aditya tidak menjawab. Dia mengalihkan pandangannya, mengelus-ngelus kakinya yang perbannya telah dilepas. Menurut dokter hanya butuh beberapa treatment lagi, Aditya sudah bisa keluar dari rumah sakit. “Apakah mama pernah mengatakan, dia menyesal atas sikap dan ucapannya tentang Asti?” sambung Aditya, mencari kepastian. Tyas terpaku. Dia tidak bisa memberikan kejelasan, karena semua hanya sekedar dugaannya saat ini. “Tuh kan. Mbak pun tidak bisa memastikan penerimaan mama. Aku t
Hendra duduk bersama Rizal di ruangannya. Terlihat sangat serius. “Apakah semua akan baik-baik saja?” tanyanya. “Aku akan mengupayakan, Indah tidak mendengar semua percakapan kita tadi, Pak,” sahut Rizal. “Jangan sampai COO beralih darimu. Jika Indah tak jadi bergabung dan dia kembali ke Big Land, semua selesai. Kamu pun kehilangan posisimu!” jelas Hendra. Pria itu berlalu dan meninggalkan Rizal di ruangannya. “Huff. Kenapa dia harus mendengar semuanya!” sesalnya pada dirinya sendiri. Rizal tampak berpikir. “Apakah mbak Intan, bisa kembali jadi penolongku sekarang?” gumamnya. --- Liebe Box Dona kembali menatap Indah dari jauh. Kembali, Indah duduk termenung sendiri di pojok ruangan Liebe Box. Menikmati suasana lebih sunyi Liebe Box di sore yang tak biasa. Dona mengambil secangkir kopi hitam dari Romi. Membawanya ke meja Indah. “Apakah kamu keberatan jika aku bergabung?” tanya Dona, menunggu jawaban. “Dud