"Perhiasan itu sudah kukembalikan lagi pada Mama," ucap Embun.
"Dikembalikan? Kamu tuh bodoh sekali, Embun. Kenapa kamu kembalikan? Itu kan hadiah. Kalau kamu gak mau menerimanya, kasi saja ke Ibu. Biar Ibu yang menyimpannya. Ambil lagi dari Mama-mu! Dan berikan ke Ibu!" ucap Bu Retno, mertua Embun.Embun menggeleng pelan. Tak habis pikir dengan jalan pikiran sang mertua. Padahal Bu Retno tak berhak sama sekali atas perhiasan itu."Maaf, Bu. Kalau pun perhiasan itu ada padaku, aku tak mungkin memberikannya ke Ibu. Itu bukan hak Ibu!" Embun mencoba memberi pengertian pada mertuanya. Tapi itu seperti mengganggu macan tidur. Tentu saja Bu Retno akan murka."Kenapa kamu makin berani sama Ibu, huh? Sudah merasa hebat? Hamil aja kagak, sudah berani nasehatin orang tua."Sesak yang dirasakan Embun saat ini. Terlalu banyak kata-kata menyakitkan yang dilontarkan Bu Retno padanya. Siapa yang tak ingin memiliki keturunan? Semua wanita pasti mendambakan menjadi seorang Ibu. Mengandung dan melahirkan anaknya ke bumi. Tapi jika Tuhan belum berkehendak itu terjadi, apa yang bisa Embun lakukan? Hanya menunggu dan berusaha."Kenapa bengong? Sekarang telepon Mama-mu! Minta perhiasan itu kembali!" Bu Retno membentak Embun."Tidak. Aku gak mau, Bu. Itu bukan hak Ibu. Sebaiknya Ibu pulang saja jika ke sini hanya ingin memaksa dan menghinaku."Embun mengusir mertuanya secara halus. Dalam hati dia terus meminta maaf pada Tuhan dan mertuanya karena telah berkata yang tak menyenangkan. Tapi Embun juga manusia biasa yang punya perasaan. Mana mungkin dia tak marah jika terus direndahkan.Plak! Satu tamparan didaratkan pada pipi Embun."Kurang ajar. Siapa kamu sampai berani mengusirku, huh? Awas, ya! Kuadukan kelakuanmu ini sama Bumi."Bu Retno meninggalkan kontrakan milik Embun dengan hati mendidih. Sedangkan Embun hanya terdiam sambil memegangi pipinya yang mulai merah.Panggilan telepon dari mamanya hingga tak dihiraukan oleh Embun. Dia masih shock. Mencoba menenangkan diri tapi dadanya masih terasa sesak. Belum pernah dia merasakan direndahkan seperti ini.Dulu, Embun dan Bumi menikah karena dijodohkan. Tapi mereka sudah saling memiliki rasa semenjak pertama kali bertemu. Keluarga tentu sangat senang. Hanya Bu Retno yang tak begitu suka melihat hubungan Embun dan Bumi. Tapi apa boleh buat, saat itu ayah mertua Embun masih hidup dan Bu Retno tak memiliki kuasa untuk menentang perjodohan ini. Tapi setelah Pak Basuki, mertua Embun itu meninggalkan dunia ini, sifat asli Bu Retno mulai keluar. Dia semakin nyata mengibarkan bendera perang pada menantunya ini.TriiingTriiingTriiingDeringan telepon kembali terdengar. Kali ini dari Bumi. Awalnya Embun ragu menerimanya, tapi setelah menenangkan diri, dia pun memutuskan untuk menerima panggilan itu."Halo, Mas," ucap Embun senormal mungkin. Dia tak ingin Bumi tahu kalau Embun sempat menangis."Halo, Dek. Tadi Ibu datang ke sana?"Huft. Embun menghela nafas pelan. Dia sangat yakin kalau sang mertua sudah mengadukan dengan berlebihan perihal perbuatannya barusan. Bumi pasti kecewa dengan Embun."Iya, Mas.""Maafkan Ibu, ya, Dek."Tak seperti dugaan Embun, Bumi justru meminta maaf padanya."Maafkan Ibu karena telah berani menyakitimu. Mas sudah mengirimkan uang yang Ibu minta agar tak mengganggu kita lagi.""Sepuluh juta, Mas?" tanya Embun lagi."Emm … Hanya lima juta kok, Sayang. Tadi Mas berhasil membujuk Ibu untuk menurunkan harganya."Embun mengelus dada. Sampai seperti ini suaminya mengemis untuk gajinya sendiri. Embun dan Bumi seperti tak berhak pada hasil jerih payahnya sendiri. Dia tak bebas menggunakan gajinya sendiri. Bu Retno telah menguasai semuanya.—---------------"Sudah dapat duitnya, Bu? Mas Bumi sudah transfer?" tanya Bastian, adik bungsu Bumi."Sudah. Tapi hanya lima juta. Buat apa lima juta ini? Paling besok sudah habis."Bu Retno merebahkan dirinya di sofa ruang tamu. Dia masih kesal dengan perlakuan Embun terhadapnya. Ditambah lagi, Bumi yang hanya mengirimkan ia uang sebesar lima juta rupiah, bukan sepuluh juta rupiah."Apa? Cuma lima juta? Gimana aku bisa ambil motor baru dengan uang segitu?" Bastian merengut. Impian membeli motor baru, sepertinya tak bisa terlaksana untuk saat ini."Uang pensiunan Bapak bulan ini juga habis untuk bayar hutang dan arisan Ibu." Bastian kembali mengeluh. Bu Retno yang mendengar ucapan anaknya pun kembali menegakkan tubuhnya."Kamu nyalahin Ibu? Ya, sudah … kamu saja yang minta sama Bumi!""Alaaah, malas. Palingan aku dikasi ceramah lagi sama Mas Bumi."Bastian, adik bungsu Bumi yang berusia 22 tahun itu, saat ini masih menganggur. Padahal Bumi sempat menawarkan kerjaan dan biaya kuliah padanya, tapi Bastian tak mau. Dia hanya hobi bermain game dan mengajak kekasihnya jalan-jalan. Tentu hanya mengandalkan uang pensiunan ayahnya dan juga setoran bulanan dari Bumi."Loh, Ibu mau kemana?" tanya Bastian saat Bu Retno mengangkat tubuhnya dan melangkahkan kaki keluar rumah."Cari angin. Sumpek di rumah terus.""Minta uang, Bu. Bastian mau nongkrong.""Nih!" Bu Retno melempar lima lembar uang berwarna merah ke arah Bastian. Begitu mudahnya ia mengeluarkan uang pada anak bungsunya. Padahal itu hasil memeras anaknya yang lain.Bu Retno lantas menuju warung makan yang ada di depan rumahnya. Warung Mpok Sari. Itulah plang nama yang tertempel di depan warung itu."Mpok, nasinya satu, ya!" ucap Bu Retno pada pemilik warung."Kamu gak masak lagi, No?""Ehem …." jawab Bu Retno sambil mengunyah kerupuk udang yang ia ambil dari warung."Ya, kamu jangan bebanin Bumi terus lah! Dia kan sudah punya keluarga juga. Memangnya anakmu yang lain gak pada ngirim uang? Bella? Bara? Gak ngirim uang? Atau Bastian kek suruh kerja juga! Dia kan sudah gede."Mpok Sari, pemilik warung itu menyebut nama anak-anak Bu Retno satu per-satu. Ia mencoba menyadarkan Bu Retno kalau perbuatannya selama ini yang terus mengandalkan Bumi untuk memenuhi kebutuhannya adalah salah."Udah lah, Mpok! Jangan ceramah!" ucap Bu Retno dengan mimik wajah kesal."Halo … ada apa nih? Kok ada bau-bau pertengkaran." Seseorang datang ke warung Mpok Sari. Dia adalah Bu Lely, salah satu teman arisan Bu Retno."Gak tau nih, Mpok Sari. Demen banget nyeramahin orang. Aku tuh lagi kesel sama menantuku, Lel," ucap Bu Retno. Siap memulai ghibah."Ada apa, tuh?" Bu Lely merespon. Senang mendapatkan bahan gosip yang baru. "Si mandul itu malah mengusirku tadi," ucap Bu Retno."Ihh berani banget. Aku sudah duga kalau menantumu itu tak sopan. Berani banget dia?" Bu Lely seakan menyiramkan bensin pada api yang menyala. Semakin berkobar."Iya, 'kan? Berani banget kan si Embun?" Bu Retno senang mendapat dukungan.Beberapa menit kemudian, pengunjung warung Mpok Sari semakin banyak. Mereka adalah kumpulan ibu-ibu yang senang bergosip. Mereka kini ikut mendengarkan cerita Bu Retno tentang menantunya itu. Ada yang memihak Bu Retno, dan ada juga yang justru merasa simpati pada Embun."Loh, waktu Bumi belum bekerja, bukannya Embun yang membiayai kebutuhan kalian? Bahkan Embun juga lebih banyak keluar duit saat menikah dengan Bumi. Kok sekarang kamu malah menjelekkan menantumu itu dengan mengatakan dia mandul dan benalu?" celetuk salah satu orang di kelompok itu.Sebenarnya, semua orang sudah tahu kalau Bu Retno selama ini hanya memeras anak dan menantunya. Dia enggan mencari kerja atau memanfaatkan pensiunan suaminya dengan sebaik-baiknya. Tentu banyak yang tidak suka dengan sifatnya. Angkuh dan congkak telah mendarah daging dalam diri Bu Retno.“Anton ….”Di dalam ambulance, Mirah masih bisa memanggil nama Anton. Beruntung ipar lelakinya itu ikut mendampingi di dalam mobil ambulance.“Iya, Mbak. Kenapa?”“Eee … eee”Susah bagi Mirah untuk berucap di saat kondisi seperti ini. Tubuhnya benar-benar lemah. Nafasnya pun mulai tersengal-sengal.“Kenapa, Mbak? Mbak mau ngomong apa?”Anton mendekatkan diri dan mencondongkan telinganya ke dekat bibir Mirah. Berusaha mendengar kata yang mungkin akan lemah dan tersapu suara sirine ambulance.“Waktu Mbak gak lama lagi.”“Mbak, gak boleh ngomong gitu! Sebentar lagi kita sampai rumah sakit. Mbak harus kuat! Tahan, sebentar lagi! Katanya Mbak mau ketemu Rinai, anak kami. Ayo semangatkan dirimu! Nanti kalau Mbak sembuh, Laras dan Rinai pasti senang melihatmu.”Mirah yang mendengar semua itu, hanya bisa mengeluarkan air mata. Di dalam hati kecilnya, dia ingin sekali bertemu dengan orang-orang yang disebutkan oleh Anton barusan, tetapi kekuatannya mulai melemah. Tubuhnya tak sekuat dulu. Dia
“Kita omongin di dalam aja, yuk! Malu kalau dilihat tetangga.”“Gak … aku gak mau masuk ke dalam. Aku ke sini cuma mau bertemu Mbak Mirah. Lagipula, tak ada tetangga lain di sini.”Walaupun Anton menolak, Dahlia tetap melancarkan jurusnya. Memaksa Anton untuk masuk ke rumahnya. Pada akhirnya lelaki itu pun setuju demi menemukan titik terang tentang keberadaan kakak iparnya.“Duduk dulu! Biar aku buatin minum!” Dahlia pergi ke dapur. Dia hendak membuatkan minum dengan tangannya sendiri untuk Anton. Sedangkan sang tamu dibiarkan duduk di ruang tamu ditemani tatapan anggota keluarganya yang lain. Iya. Siang itu, para lelaki tak berada di rumah. Hanya ada kumpulan wanita beserta anak-anak di rumah itu. Walaupun begitu, Anton merasa risih akan keberadaan mereka. Ditambah dengan tatapan misterius dari setiap orang yang ada di rumah itu.“Ini minumnya. Silahkan diminum!”Dahlia datang membawa nampan berisi secangkir teh serta biskuit. Membuyarkan perhatian Anton yang sempat tertuju pada tat
“Mas … Mas Parna! Cepat ke sini!”Dahlia berusaha melepaskan diri sembari terus berteriak memanggil sang suami. Dari arah belakang, kini muncul sesosok pria yang Mirah kenal. Dia adalah Parna, suami dari Dahlia.“Loh … loh, kenapa ini, Li?”“Tolong aku, Mas! Aduh … tolong aku! Jangan diem aja.”Setelah diberi titah, lelaki bernama Parna baru mau bergerak. Dia berusaha memisahkan sang istri dengan tetangganya itu. Karena genggaman Mirah cukup kuat di rambut Dahlia, Parna terpaksa sedikit melakukan ke-ke-ra-san.“Aduuuh, Mas. Sakit.”Dahlia akhirnya berhasil dipisahkan dengan Mirah. Wanita itu memegang kepalanya yang terasa nyeri. Sedangkan lawannya terlihat jatuh ke tanah akibat dorongan dari Parna.“Tuh, kan, Mas. Rambutku acak-acakan. Ini semua, gara-gara wanita itu!”Dahlia menunjuk ke arah Mirah yang masih terduduk di halaman rumah.“Cepat bawa dia ke dalam rumah!”“Loh, kamu mau ngapain dia, Li?” Parna penasaran. Tapi sang istri tetap memberi perintah sambil berlalu—-masuk ke dala
Satu tahun kemudian“Oh baik ... baik, Paman. Nanti saya kabarin ke Mbak Mirah.”Anton menekuk wajahnya setelah mendapat telepon dari seseorang. Apa yang kiranya dikabarkan oleh seseorang di seberang sana?“Mas … ini kopinya.”Laras datang sembari membawa secangkir kopi untuk sang suami. Dia heran melihat reaksi sang suami yang hanya mengangguk tanpa melihat ke arahnya. Tak biasanya Anton bersikap seperti ini pada Laras. Pria itu hanya sibuk memainkan ponselnya.“Mas ….”Melihat keanehan yang ada pada sang suami Laras pun ikut duduk di samping Anton.“Iya, Sayang?” jawab Anton tanpa melirik sedikitpun pada Laras.“Mas … kamu lagi nelpon siapa?”“Aku mau nelpon Mbak Laras, Sayang.”“Laras? Aku dong?”Anton menghentikan kegiatannya sejenak setelah mendengar jawaban istrinya. Dia langsung menatap Laras dan tersenyum.“Maaf, Sayang. Maksud aku Mbak Mirah. Tadi ada tetangga desa yang ngabarin aku kalau Dahlia membuat ulah.”“Hah? Kenapa lagi dia, Mas?”“Dia mau menjual rumah Mbak Mirah.”“
“Gimana, Ton? Apa kamu juga setuju dengan keputusan Mbak?”Mirah meminta saran dari adik iparnya itu. Ia ingin menyerahkan rumahnya dirawat oleh Bi Ningsih. Mirah sudah memutuskan untuk bekerja di sebuah panti sosial. Dia mendapat tawaran pekerjaan itu dari orang baik hati yang iba akan nasib Mirah. Wanita malang itu memang harus selalu berinteraksi dengan orang banyak agar kejiwaannya tak kembali kambuh. Lagipula, di panti itu, Mirah akan mendapat banyak teman sekaligus pendampingan, ceramah, pelatihan, untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan kuat mental. Ibaratnya, sekali mendayung dua pulau terlampaui. Mirah akan bekerja sekaligus memulihkan kondisinya di tempat itu.“Memangnya Mbak sudah yakin ingin pindah dari desa ini?” tanya Anton.Mirah mengangguk dan tersenyum.“Iya, Ton. Aku gak bisa hidup sendirian di desa ini. Aku kesepian. Lebih baik, Mbak menerima tawaran dari teman Mbak itu.”“Tapi Mbak bisa kok ikut aku ke kota. Lagipula, keluarga Mas Bumi kan keluarga Mbak juga. Me
(Oke, Bi. Besok saya pulang ke desa. Untuk malam ini, tolong bujuk Mbak Mirah untuk pulang ke rumahnya, ya.)“Iya, Ton. Salam buat Laras, ya. Semoga Ibu dan bayinya sehat-sehat. Selamat kalian sudah resmi menjadi orang tua.”(Iya, Bi. Terima kasih ucapan dan doanya.)Ningsih memutus sambungan telepon dengan Anton. Kemudian dia beralih kembali pada Mirah. Istri mendiang Bara itu, masih anteng duduk di teras rumah Laras. Dia menunggu kabar dari si empunya rumah.“Gimana, Bi? Apa Laras dan Anton sudah mau pulang?”“Anton baru bisa datang besok siang, Mir. Gak apa-apa, ‘kan? Kita tunggu dia besok, ya.”“Yaaah … jadi aku gak bisa ketemu mereka hari ini? Apa gak bisa dibujuk saja biar pulang hari ini juga, Bi? Ada yang mau aku bicarakan ke meraka. Penting.”“Sepertinya gak bisa, Mir. Laras baru saja melahirkan. Tentunya Anton sedang mendampingi anak dan istrinya kini.”“Apa? Laras sudah melahirkan, Bi?”Mata Mirah berkaca-kaca. Terlihat raut kebahagiaan yang terpancar di wajahnya. Dia terus