Share

Hilang

Sudah dua hari ini Bumi tak menjawab telepon dari ibunya. Dia tahu kalau sang ibu akan terus menuntutnya membiayai pernikahan Bastian. Terakhir kali Bumi menerima panggilan telepon dari Bu Retno, dia diminta menyediakan uang sebesar 100 juta rupiah untuk biaya pernikahan. Tentu Bastian tak punya uang sebanyak itu. Kalau pun mengambil pinjaman di bank, dia ragu bisa membayarnya kalau gajinya saja habis untuk setoran bulanan pada keluarganya di rumah.

"Mas, kamu kenapa? Sejak pulang dari rumah Ibu, kamu kelihatan murung terus. Sudah gak marah sama aku, 'kan?" Embun menghampiri suaminya yang sedang merenung di teras depan.

Bumi lantas menyuruh Embun untuk duduk di sampingnya. Pria itu terus mengelus lembut perut sang istri. Senyumnya merekah. Hanya anak yang ada di rahim Embun yang bisa membuatnya tersenyum.

"Ada apa, Mas? Katakan! Apa Mas bertengkar dengan Bastian?" tanya Embun, mencoba menebak apa yang terjadi.

"Tidak, Dek. Sebenarnya Mas malu menceritakan semua ini ke kamu."

"Memangnya ada apa, sih?"

"Keluargaku banyak masalah. Terkadang juga merembet ke kamu. Aku malu padamu. Keluargaku tak sehangat keluargamu," ucap Bumi dengan wajah murung.

"Kok ngomong gitu? Kita hadapin sama-sama, Mas! Ayo cerita!" Embun terus mendesak suaminya untuk bercerita.

"Bastian menghamili pacarnya. Dia harus bertanggung jawab dan menikahi wanitanya. Tapi Mas pusing karena terus dituntut membiayai pernikahannya. 100 juta, Dek. Darimana Mas punya uang sebanyak itu?" Akhirnya Bumi berkeluh-kesah pada istrinya.

Embun menghela nafas panjang. Masalah di keluarga suami tak jauh-jauh soal uang. Buruk sekali nasib Bumi. Dia harus pontang-panting bekerja, dan uangnya selalu habis tak bersisa. Dia tak punya barang atas namanya. Bahkan kendaraan yang dia pakai hanya lah motor, itu pun motor milik Embun. Teman-temannya di kantor sudah memiliki mobil atau rumah. Tapi Bumi tak memiliki satupun dari itu.

Embun merasa iba dengan suaminya. Selalu murung dan seakan kehilangan sebagian semangat hidupnya. Hanya calon anak mereka yang mampu membuat dia tersenyum lepas.

—-----------------

"Gimana, Bu? Ada uangnya?"

Bu Retno mendatangi kediaman orang tua Embun. Pak Salim dan Bu Nadine yang merupakan orang tua Embun, merasa heran dengan kedatangan besannya yang mendadak.

"Untuk apa uangnya itu, Bu?" tanya Pak Salim.

"Em … gimana, ya, ngomongnya. Banyak kebutuhan yang saya punya, Pak. Dan dekat ini, anak saya, Bastian, mau menikah. Saya tak punya pegangan uang sepeser pun. Seorang janda seperti saya yang ditinggali empat orang anak di dunia ini, sangat berat bagi saya." Bu Retno mengiba.

"Tapi, anak-anak Ibu kan sudah besar dan pada berkeluarga. Memangnya mereka masih memberatkan Ibu soal finansial? Mungkin hanya Bastian saja yang masih perlu dibiayai. Seusia dia juga seharusnya sudah bisa mencari kerja. Apalagi, sudah mau meminang anak orang." Bu Nadine kini ikut buka suara.

Wajah Bu Retno seketika berubah masam. Ia benar-benar kesal diceramahi oleh Bu Nadine. Tapi ia harus tetap tersenyum demi rencana yang sudah disusun.

"Iya, Bu. Tapi mau gimana lagi, Bastian punya sedikit kekurangan. Sejak kecil dia susah diatur oleh orang lain. Kalau nanti dia bekerja, saya takut dia dibentak dan disuruh-suruh oleh bosnya," ucap Bu Retno. Tetap dengan senyum di bibirnya.

Dunia kerja memang seperti itu. Jika tak ingin diperintah oleh orang lain, buat lah usaha sendiri. Uang tak akan datang bagi orang-orang yang enggan berusaha dan selalu mencari alasan.

"Jadi gimana, Pak ... Bu? Uangnya ada?" Kembali Bu Retno menanyakan perihal uang 100 juta yang ingin ia pinjam dari orang tua Embun.

Pak Salim dan Bu Nadine kini saling menatap. Namun, akhirnya Pak Salim mengangguk. Seolah memberi isyarat pada istrinya untuk mengambil uang yang tersimpan di kamarnya.

Sesaat kemudian, Bu Nadine kembali ke ruang tamu dengan amplop cokelat di tangannya. Bu Retno sangat senang melihat amplop itu. Ia sudah bisa membayangkan mandi uang di atas kasur.

"Ini, Bu!" Bu Nadine menyerahkan amplop cokelat itu. Gegas diambil oleh Bu Retno. Namun, sesaat kemudian, Bu Retno menautkan alis. Tak mungkin uang seratus juta setipis ini. Seperti tak tahu malu, Ibunda Bumi itu langsung membuka amplop dan menghitung uang di dalamnya di hadapan orang tua Embun.

"Kok cuma lima juta, Pak ... Bu? Saya kan mintanya 100 juta. Ini kurangnya banyak sekali." Tak terasa, nada bicara Bu Retno mulai meninggi.

"Maaf, Bu. Kami hanya punya uang pegangan sebesar itu. Tak perlu dikembalikan! Kami sudah ikhlas. Hitung-hitung membantu Ibu dan juga pernikahan Bastian," ucap Bu Nadine dengan hati-hati.

"Ya, sudah. Makasi. Tapi lain kali, kalau ada orang yang mau minjem uang, kasi saja sesuai jumlah yang diminta! Jangan tiba-tiba mengiyakan, tapi jumlah uangnya kurang. Itu namanya memberi harapan palsu. Permisi. Saya pulang dulu."

Orang tua Embun menggelengkan kepala. Mereka tak menyangka kalau Bu Retno bisa bicara tak sopan seperti itu. Bukannya merasa senang karena dibantu, tapi ia justru menasehati orang tua Embun perihal uang yang dipinjamkan.

"Mau nelpon siapa, Ma?" tanya Pak Salim pada istrinya.

"Aku mau nelpon Embun, Pa," ucap Bu Nadine sambil terus mengutak-atik ponsel.

"Sudah, Ma! Jangan bikin Embun pusing! Putri kita lagi hamil. Jangan menambah beban pikirannya." Pak Salim tak setuju istrinya mengadu pada Embun.

"Enggak, Pa. Mama gak akan menambah beban pikiran Embun. Mama hanya ingin putri kita berhati-hati."

Tak peduli dengan nasehat suaminya, Bu Nadine tetap menelpon anak satu-satunya itu.

Tuuuut

Tuuuut

Tuuuut

Tersambung. Bu Nadine menunggu dengan sabar.

"Halo, Ma." Terdengar suara Embun dari seberang sana.

"Halo, Sayang. Gimana kabarmu dan cucu Mama?" Bu Nadine berbasa-basi. Embun pun menjawab pertanyaan ibunya dengan riang. Setelah dirasa cukup, Bu Nadine pun beralih ke topik utama.

"Sayang, perhiasan yang Mama dan Papa hadiahkan, masih kamu simpan?" tanya Bu Nadine.

"Oh … masih kok, Ma. Kenapa? Mama perlu perhiasan itu?"

Benar. Satu set perhiasan yang diberikan oleh orang tuanya, masih tersimpan rapi di kamar Embun. Tempo hari, dia berbohong pada mertuanya kalau perhiasan itu sudah dikembalikan pada orang tuanya.

"Oh, bukan, Sayang. Itu hak kamu. Tak ada yang boleh merampasnya. Sekalipun itu mertuamu," ucap Bu Nadine penuh penekanan. Dari seberang telepon, terdengar suara Papa Embun yang menyuruh Bu Nadine mematikan teleponnya.

"Memangnya ada apa, sih, Ma?"

Bu Nadine menceritakan semua yang terjadi. Ia sangat kesal dengan besannya. Tersinggung dan sakit hati.

"Ma, maafin Ibu, ya. Mama dan Papa jadi ikut kena imbasnya," ucap Embun. Dia merasa tak enak hati karena sering melibatkan orang tuanya ke dalam masalah keluarga suami.

"Tak apa, Sayang. Mama cuma minta kamu simpan baik-baik perhiasan yang kami berikan. Coba dicek lagi, Sayang!"

Embun mengikuti saran ibunya dan langsung pergi ke kamar untuk melihat perhiasan yang selama ini dia simpan baik-baik. Tapi ternyata ….

"Ma, perhiasan Embun hilang. Gak ada. Gimana ini, Ma?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status