Share

bab empat

Tepat adzan magrib saat akhirnya membelokkan mobil di tempat pengisian bahan bakar. Jean masih saja menutup matanya, bajunya sudah berganti dengan kaos polos dan celana panjang saat akan berangkat tadi.

"Aku antar ke kamar mandi dulu sebelum shalat." Baru saja aku akan melepaskan sabuk pengamannya, namun dia seolah tau dan terlebih dahulu melepasnya. Jean bergegas akan membuka pintu mobil. Aku masih memandanginya saat akhirnya dia juga berbalik arah memandangku, ya pintu mobil belum ku buka kunci otomatisnya, kali ini aku tersenyum mengejek kearahnya.

Ku buka pintu disebelahku kemudian bergegas keluar membukakan pintu untuknya. "Hati-hati istriku." Ucapku mengedipkan mata kearahnya, dia hanya memandang tak berekspresi.

Jean beranjak, memberi isyarat kepadaku untuk membuka bagasi mobil dan langsung kuturuti perintahnya. Dia mengambil sebuah totebag terpisah yang sengaja disiapkan untuk perlengkapan shalatnya. Begitu pula aku, mengambil sarung yang kemudian segera menutup bagasi dan langsung membututinya.

"Sudah lama sekali kita tidak shalat berjamaah."

"Memang tidak pernah sama sekali." Timpalinya, dia duduk didepan mushola tempat ini, meluruskan kakinya dan bersandar pada dinding. Dulu Jean berulang kali memintaku untuk shalat bersamanya namun banyak alasan selalu ku berikan. "Aku sudah terbiasa shalat sendiri. Kamu duluan saja."

Memfikirkan penolakan yang terus dilakukan Jean kepadaku. Mungkin memang seperti ini yang dirasakan Jean pula, mempunyai suami yang tak pernah menganggapnya bahkan memintanya bercerai saat dia sedang hamil.

"Mau kemana?" Tanyaku saat dia beranjak lagi. Jean tak menjawab memilih melanjutkan langkahnya menuju toilet disamping musholla ini. Akupun bergegas membututinya

"Ini toilet perempuan mas." Dia mendelikkan matanya kearahku, ya memang aku tau simbol gambar perempuan yang tertera diatas pintu toilet tersebut.

"Aku takut terjadi apa-apa denganmu." Dia hanya memutar bola matanya dan langsung menutup pintu dengan sedikit keras.

Merasa sangat lama, kudekatkan daun telingaku pada pintu. Suara air kran sangat keras. "Jean, kamu baik-baik saja?" Mulai menggedor pintu, namun kerasnya suara air dari kran seakan menghalangi suara lainnya. "Jean!" Aku mulai panik. Disini suasana mulai ramai oleh para pengguna jalan yang sekedar mampir entah untuk shalat maghrib atau hanya ketoilet. Sekuat tenaga menyembunyikan kepanikanku diantara para wanita yang mulai mendatangi area toilet khusus perempuan ini.

Hingga akhirnya Jean membuka pintunya, melap bibirnya menggunakan ujung baju atasnya. Wajahnya terlihat semakin pucat. "Kamu muntah lagi?" Dia mengangguk, gegas kutuntun dia menuju tempat semula.

"Apakah masih lama?" Jean mengedarkan pandangan pada sekitar. "Aku ingin segera berbaring." Lanjutnya, aku paham sekarang mungkin dia kelelahan mengingat jarak tempuh dari rumah tadi lumayan sangat lama.

"Baiklah, kita cari hotel terdekat." Kini Jean menurut, aku menggandengnya kearah mobil, memapaskan dudukannya agar sedikit lebih nyaman nantinya. "Kita shalat sekalian disana saja." Kuletakkan totebag berisi perlengkapan shalatnya dan beserta sarungku kejok bangku belakang.

Sebelum melanjutkan perjalanan ini, terlebih dahulu ku buka ponsel dan mulai menjelajah tentang hotel sekitar. Sempat pula menanyainya tentang tempat yang mungkin dia inginkan namun masih saja Jean lebih memilih untuk diam saja.

Setelah memutuskan tempat yang sesuai, kulajukan mobil kembali menuju tempat sesuai rute yang ditunjukkan oleh g****e diponselku. Seharusnya dari tadi aku memikirkan untuk membooking dahulu penginapan dan tak harus mencari seperti ini dahulu.

*

"Double bed saja." Pinta Jean saat kami sudah sampai di depan meja resepsionis. Aku menoleh kearahnya dan menggeleng, dan dia menjawab dengan mengangguk. "Kalau tidak pesankan satu kamar lagi untukku." Pintanya.

Yah apa boleh buat, aku menuruti saja permintaannya. Seharusnya bukan masalah besar, apalagi kita terbiasa tidur dikamar terpisah. Namun, situasi dan kondisi perasaanku sejak semalam sudah berbeda.

Jean meletakkan tas kecilnya diatas meja. Langsung melepaskan lelah diatas kasur yang terpisah dengan kasur sebelahnya. Dimeja nampak teh dan pemanas air elektrik, akupun dengan gegas menyalakan mesin pemanasnya, menyiapkan gelas yang sudah kulap dengan tisu terlebih dahulu dan kuisi dengan gula dan teh celup yang sudah tersedia.

Sedang menunggu air matang, membereskan koper kedalam lemari yang juga menjadi salah satu fasilitas dikamar ini.

Aku melirik kearah Jean, sepertinya dia sudah tertidur dan kuputuskan untuk meninggalkan dia sementara membersihkan diri saja.

Semua selesai, aku sudah berganti lagi dengan baju koko dan sarung siap untuk shalat yang sudah tertunda dari tadi sebelum waktunya berganti. Masih kulihat Jean tertidur, biarlah dia menjama' shalatnya nanti karena memang tak tega membangunkannya.

Berjaga-jaga saat Jean bangun nanti, sudah kusiapkan teh panas untuk sekedar memulihkan tenaganya.

"Mas, katanya mau shalat bareng?" Ucapnya kala aku menyelesaikan salam dirakaat terakhirku. Jean sudah duduk dikursi yang berada tak jauh dariku. Aku menoleh kearahnya.

"Bukannya tadi nolak?" Aku menghampirinya namun Jean memilih untuk masuk kekamar mandi. Sungguh aku tak paham, kenapa Jean bisa sangat sulit dipahami sekarang.

Seraya menunggunya, aku menyiapkan mukenanya dan membentangkan sajadah tepat dibelakang sajadahku tadi.

Dia sudah keluar, berganti pakaian daster mini seperti sebelum berangkat tadi. "Shalat maghrib dulu, habis itu nunggu isya dan kita barengan." Dan untuk kesekian kalinya Jean tak menaanggapi ucapanku.

Aku masih menunggunya dengan duduk dikursi yang diduduki Jean tadi. Mungkin sepuluh menit lagi sudah masuk waktu Isya'.

Jean sudah selesai, tapi sepertinya masih fokus untuk berdoa. Aku berpindah tempat duduk beralaskan sajadah menghadapnya, menunggui dia selesai bercurah kepada penciptaNya.

"Jean, mau dipesankan makanan apa? W

Biar nanti selesai Isya nggak harus nunggu lama buat makan." Aku bertanya kala Jean menurunkan tangannya.

"Aku ingin lontong tahu " Jean kini menatapku, mata kita saling beradu pandang. Sepertinya dia kini tengah mengerjaiku. Bagaimana mungkin mencari makanan tersebut disebuah wilayah pesisir laut seperti disini.

Aku meraih ponsel yang tergeletak dimeja. Mengabaikan banyak notif pesan dan panggilan yang masuk dari tadi kemudian kuketikkan pesan diaplikasi pencari driver tesebut sesuai dengan permintaan wanita yang ada dihadapanku ini.

Isya berkumandang, kami berdua memilih terdiam mendengar setiap alunan suara dari sang muadzin. Aku masih mengamati Jean, wanita yang dua tahun lalu mengusik kesendirianku lalu dengan mudahnya aku menerima tawaran perjodohan dari mama.

"Ini pertama kalinya aku menjadi imam shalat untukmu. Mungkin akan banyak salahnya juga." Aku berucap bersamaan dengan selesainya iqomah. Hotel ini memang terletak tak jauh dari masjid Agung kota, jadi sangat jelas suara adzan yang berkumandang sampai kesini.

"Setidaknya ada kenangan baik sebelum kita berpisah. Dan nantinya aku bisa menceritakan pada anakku, bahwa ibu dan ayahnya pernah berjamaah walau hanya sekali. Karena yang aku ingat selama menikah tidak ada sekalipun kenangan yang baik untuk aku ceritakan."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status