Tepat adzan magrib saat akhirnya membelokkan mobil di tempat pengisian bahan bakar. Jean masih saja menutup matanya, bajunya sudah berganti dengan kaos polos dan celana panjang saat akan berangkat tadi.
"Aku antar ke kamar mandi dulu sebelum shalat." Baru saja aku akan melepaskan sabuk pengamannya, namun dia seolah tau dan terlebih dahulu melepasnya. Jean bergegas akan membuka pintu mobil. Aku masih memandanginya saat akhirnya dia juga berbalik arah memandangku, ya pintu mobil belum ku buka kunci otomatisnya, kali ini aku tersenyum mengejek kearahnya. Ku buka pintu disebelahku kemudian bergegas keluar membukakan pintu untuknya. "Hati-hati istriku." Ucapku mengedipkan mata kearahnya, dia hanya memandang tak berekspresi. Jean beranjak, memberi isyarat kepadaku untuk membuka bagasi mobil dan langsung kuturuti perintahnya. Dia mengambil sebuah totebag terpisah yang sengaja disiapkan untuk perlengkapan shalatnya. Begitu pula aku, mengambil sarung yang kemudian segera menutup bagasi dan langsung membututinya. "Sudah lama sekali kita tidak shalat berjamaah." "Memang tidak pernah sama sekali." Timpalinya, dia duduk didepan mushola tempat ini, meluruskan kakinya dan bersandar pada dinding. Dulu Jean berulang kali memintaku untuk shalat bersamanya namun banyak alasan selalu ku berikan. "Aku sudah terbiasa shalat sendiri. Kamu duluan saja." Memfikirkan penolakan yang terus dilakukan Jean kepadaku. Mungkin memang seperti ini yang dirasakan Jean pula, mempunyai suami yang tak pernah menganggapnya bahkan memintanya bercerai saat dia sedang hamil. "Mau kemana?" Tanyaku saat dia beranjak lagi. Jean tak menjawab memilih melanjutkan langkahnya menuju toilet disamping musholla ini. Akupun bergegas membututinya "Ini toilet perempuan mas." Dia mendelikkan matanya kearahku, ya memang aku tau simbol gambar perempuan yang tertera diatas pintu toilet tersebut. "Aku takut terjadi apa-apa denganmu." Dia hanya memutar bola matanya dan langsung menutup pintu dengan sedikit keras. Merasa sangat lama, kudekatkan daun telingaku pada pintu. Suara air kran sangat keras. "Jean, kamu baik-baik saja?" Mulai menggedor pintu, namun kerasnya suara air dari kran seakan menghalangi suara lainnya. "Jean!" Aku mulai panik. Disini suasana mulai ramai oleh para pengguna jalan yang sekedar mampir entah untuk shalat maghrib atau hanya ketoilet. Sekuat tenaga menyembunyikan kepanikanku diantara para wanita yang mulai mendatangi area toilet khusus perempuan ini. Hingga akhirnya Jean membuka pintunya, melap bibirnya menggunakan ujung baju atasnya. Wajahnya terlihat semakin pucat. "Kamu muntah lagi?" Dia mengangguk, gegas kutuntun dia menuju tempat semula. "Apakah masih lama?" Jean mengedarkan pandangan pada sekitar. "Aku ingin segera berbaring." Lanjutnya, aku paham sekarang mungkin dia kelelahan mengingat jarak tempuh dari rumah tadi lumayan sangat lama. "Baiklah, kita cari hotel terdekat." Kini Jean menurut, aku menggandengnya kearah mobil, memapaskan dudukannya agar sedikit lebih nyaman nantinya. "Kita shalat sekalian disana saja." Kuletakkan totebag berisi perlengkapan shalatnya dan beserta sarungku kejok bangku belakang. Sebelum melanjutkan perjalanan ini, terlebih dahulu ku buka ponsel dan mulai menjelajah tentang hotel sekitar. Sempat pula menanyainya tentang tempat yang mungkin dia inginkan namun masih saja Jean lebih memilih untuk diam saja. Setelah memutuskan tempat yang sesuai, kulajukan mobil kembali menuju tempat sesuai rute yang ditunjukkan oleh g****e diponselku. Seharusnya dari tadi aku memikirkan untuk membooking dahulu penginapan dan tak harus mencari seperti ini dahulu.* "Double bed saja." Pinta Jean saat kami sudah sampai di depan meja resepsionis. Aku menoleh kearahnya dan menggeleng, dan dia menjawab dengan mengangguk. "Kalau tidak pesankan satu kamar lagi untukku." Pintanya. Yah apa boleh buat, aku menuruti saja permintaannya. Seharusnya bukan masalah besar, apalagi kita terbiasa tidur dikamar terpisah. Namun, situasi dan kondisi perasaanku sejak semalam sudah berbeda. Jean meletakkan tas kecilnya diatas meja. Langsung melepaskan lelah diatas kasur yang terpisah dengan kasur sebelahnya. Dimeja nampak teh dan pemanas air elektrik, akupun dengan gegas menyalakan mesin pemanasnya, menyiapkan gelas yang sudah kulap dengan tisu terlebih dahulu dan kuisi dengan gula dan teh celup yang sudah tersedia. Sedang menunggu air matang, membereskan koper kedalam lemari yang juga menjadi salah satu fasilitas dikamar ini.Aku melirik kearah Jean, sepertinya dia sudah tertidur dan kuputuskan untuk meninggalkan dia sementara membersihkan diri saja. Semua selesai, aku sudah berganti lagi dengan baju koko dan sarung siap untuk shalat yang sudah tertunda dari tadi sebelum waktunya berganti. Masih kulihat Jean tertidur, biarlah dia menjama' shalatnya nanti karena memang tak tega membangunkannya. Berjaga-jaga saat Jean bangun nanti, sudah kusiapkan teh panas untuk sekedar memulihkan tenaganya. "Mas, katanya mau shalat bareng?" Ucapnya kala aku menyelesaikan salam dirakaat terakhirku. Jean sudah duduk dikursi yang berada tak jauh dariku. Aku menoleh kearahnya. "Bukannya tadi nolak?" Aku menghampirinya namun Jean memilih untuk masuk kekamar mandi. Sungguh aku tak paham, kenapa Jean bisa sangat sulit dipahami sekarang. Seraya menunggunya, aku menyiapkan mukenanya dan membentangkan sajadah tepat dibelakang sajadahku tadi. Dia sudah keluar, berganti pakaian daster mini seperti sebelum berangkat tadi. "Shalat maghrib dulu, habis itu nunggu isya dan kita barengan." Dan untuk kesekian kalinya Jean tak menaanggapi ucapanku. Aku masih menunggunya dengan duduk dikursi yang diduduki Jean tadi. Mungkin sepuluh menit lagi sudah masuk waktu Isya'.Jean sudah selesai, tapi sepertinya masih fokus untuk berdoa. Aku berpindah tempat duduk beralaskan sajadah menghadapnya, menunggui dia selesai bercurah kepada penciptaNya. "Jean, mau dipesankan makanan apa? WBiar nanti selesai Isya nggak harus nunggu lama buat makan." Aku bertanya kala Jean menurunkan tangannya. "Aku ingin lontong tahu " Jean kini menatapku, mata kita saling beradu pandang. Sepertinya dia kini tengah mengerjaiku. Bagaimana mungkin mencari makanan tersebut disebuah wilayah pesisir laut seperti disini. Aku meraih ponsel yang tergeletak dimeja. Mengabaikan banyak notif pesan dan panggilan yang masuk dari tadi kemudian kuketikkan pesan diaplikasi pencari driver tesebut sesuai dengan permintaan wanita yang ada dihadapanku ini. Isya berkumandang, kami berdua memilih terdiam mendengar setiap alunan suara dari sang muadzin. Aku masih mengamati Jean, wanita yang dua tahun lalu mengusik kesendirianku lalu dengan mudahnya aku menerima tawaran perjodohan dari mama. "Ini pertama kalinya aku menjadi imam shalat untukmu. Mungkin akan banyak salahnya juga." Aku berucap bersamaan dengan selesainya iqomah. Hotel ini memang terletak tak jauh dari masjid Agung kota, jadi sangat jelas suara adzan yang berkumandang sampai kesini. "Setidaknya ada kenangan baik sebelum kita berpisah. Dan nantinya aku bisa menceritakan pada anakku, bahwa ibu dan ayahnya pernah berjamaah walau hanya sekali. Karena yang aku ingat selama menikah tidak ada sekalipun kenangan yang baik untuk aku ceritakan."Aku membalikkan tubuhku agar tidak merasakan api cemburu lagi. Aku ingin meninggalkan mereka berdua pergi sejenak, karena kini aku justru merasakan tenggorokanku yang kering. Nyatanya aku tak seberani itu menanggung resiko. Bukankah lebih baik memberi waktu pada mereka saja.Melihat mereka membuatku kehilangan kepercayaan diri. Mungkin, Jean akan merasa lebih baik saat mengobrol dengan teman lamanya.Kuambil sebotol air yang berada di dalam lemari pendingin dan menuangkannya di gelas, meneguknya hingga tandas. Padahal niatku pulang untuk bisa mengobrol serius dengan Jean tapi sepertinya masa lalu masih jadi pemenangnya. Tanpa terasa aku justru tertawa merutuki kebodohanku. Tahu begini, lebih baik aku tetap dikantor saja atau lebih baik pergi ke kafe Aditya."Mas Gara?" Mbok Wati terlihat kaget. Aku lantas tersenyum kearahnya. "Mbak Jean...""Itu puddingnya? Bisa mbok suguhkan sebagian untuk tamu Jean juga." Mbok Wati menurut dan bergegas
Sejak pertengkaran kami, aku, mulai menahan diri untuk menunjukkan perhatianku kepada Jean. Setiap kali melihatnya, hatiku merasa sakit. Jean juga masih tetap saja, dia tidak mau berbicara denganku. Kami seperti dua orang asing yang tinggal di bawah satu atap. Malam itu, saat makan malam bersama, Jean malah memilih untuk makan di kamar. Aku hanya bisa menatapnya pergi, membawa piring makanannya. Hatiku merasa berat. Kami biasanya selalu makan bersama, sekalipun hanya saling diam tapi setidaknya tak harus seperti ini. Namun sekarang, semuanya berubah. Aku merindukan kebiasaan yang sebelumnya, kebersamaan yang biasa ku nikmati walaupun mungkin tidak untuk Jean. Namun, aku tahu bahwa aku harus memberi Jean ruang untuk sendiri kali ini. Mungkin pula dia membutuhkan waktu untuk merenung dan menenangkan pikirannya. Meski begitu, aku tidak bisa menahan kekhawatiran dan rasa sakit di hatiku. Aku merindukan Jean, merindukan suara tawanya, merindukan senyumnya.
Tanpa terasa tiga hari sudah berlalu sekalipun Jean masih belum diperbolehkan pulang. Keadaanya juga cukup membaik. Bahkan nafsu makannya bertambah dibandingkan hari sebelumnya. Jean sudah bisa kutinggal untuk kemudian kutitipkan dirawat mbok Wati dirumah sakit. Mbok Wati yang paham situasipun, tak berhenti memberi kabar setiap perkembangan Jean. Karena aku tak mungkin mendapatkan kabar langsung dari Jean. Aku kembali fokus menatap layar laptop dan berkas-berkas yang harus aku tanda tangani. Berkali-kali menghela nafasku karena lelah, beberapa hari ini aku selalu tidur di rumah sakit untuk menunggui Jean, walaupun masih sering bersikap acuh dan ketus padaku. Bukan Segara yang akan menyerah hanya hal seperti ini. Karena bagaimanapun caranya, melunakkan Jean adalah tujuan utamaku saat ini. Suara nada dering yang menggema di seluruh penjuru ruangan membuatku langsung mengalihkan pandangan menuju ke layar ponselku, di sana tertera nama Nama. Aku pun langsu
Tubuhku mematung saat melihat foto tersebut. Bagaimana bisa, Morgan mendapatkan informasi pengajuan talak yang sempat diurus lawyerku beberapa waktu lalu. Lantas aku segera membenarkan dudukku dan tetap berusaha bersikap tenang. Jadi, ini alasannya pulang ke Indonesia? Artinya Morgan memang masih menyimpan rasa pada Jean? "Hanya seumur dua tahun, dan anda sudah memutuskan hal ini? Harusnya dari awal anda menyerah saja. Jadi tak oerlu menyakiti perasaannya." Raut Morgan terlihat memerah. Mungkin dia memang menyimpan amarah untuk diluapkan padaku. Kini giliranku yang menyimpulkan senyum. "Anda jelas melupakan bahwa talak ini tak mungkin dilanjutkan karena Jean sedang hamil? Perlukah saya perjelas siapa bapaknya?" Morgan terdiam. Tangannya melemah dan meletakkan ponselnya dimeja. Aku masih mencoba tenang dengan menunjukkan sikap yang tak peduli. Padahal hatiku tengah bergemuruh karena menahan gejolak yang entah apa ini namanya, antara malu dan ke
Saat sedang sibuk dengan pikiranku sendiri. Merasakan getaran di kantong celanaku, tidak berjarak lama dari setelah itu terdengar suara dering ponsel. Aku merogoh saku celanaku dan mendapati nomor Mbok Wati yang sedang menghubungiku.Suatu kebetulan yang sangat jarang terjadi. Dengan segera aku mengangkat telepon itu dengan menekan tombol hijau di layar ponselku. Lantas mendekatkan ponselku pada daun telinga.“Iya Mbok ada apa?”“Mas … i … ini Mas.”Aku mendengar suara Mbok Wati yang sepertinya sedang panik. “Ada apa sih Mbok Kok suaranya gitu?”“Ini loh, Mas. Mbak Jean, tadi mbak Jean pingsan di swalayan. Tadi kan kami pergi belanja ke swalayan, Ini beneran loh mas kalau mbak Jean sendiri yang pengen ikut. Padahal kan saya udah bilang jangan, soalnya muka dia itu kayaknya pucet gitu loh. Pas lagi milih-milih barang belanjaan tiba-tiba pingsan.”Aku yang mendapatkan kabar tersebut langsung bertanya sekarang Mbok Wati dan j
Pagi hari yang cerah namun tidak dengan suasana hatiku saat ini. Duduk di kursi kebanggaanku yang berada di ruang kerja, seraya menatap layar laptopku. Pasalnya hari ini sama sekali tak bisa membuatku fokus kerja karena nyatanya mengajak Jean ke pantai pun sama sekali tidak meluluhkan hatinya.Padahal aku sudah mencari review rumah makan dengan pemandangan paling banyak di ulas. Kenapa meluluhkan hati Jean jadi sesulit ini? Aku menghela nafasku dan menopang dagu ku. Apalagi yang harus aku lakukan supaya Jean luluh?Aku memijit pangkal hidungku seraya membaca file yang masuk ke dalam email perusahaan. Hingga akhirnya mendengar suara pintu ruanganku yang diketuk. Membuatku memcingkan mata dan mencoba menerka tentang siapa yang datang. Karena seingatky semua berkas sudah tertumpuk di meja ini.Saat masih diam menebak hingga lupa untuk mempersilahkan orang di balik pintu itu untuk masuk. Namun saat tersadar dari lamunanku, terlihat handle pintu itu
Brak!Sedikit terkejut saat asik melamun, justru mendengar suara pintu yang terbuka pelan. Kutatap ke arah sumber suara, udah ada Jean yang malah berkacak pinggang. Aku bingung, istriku ini kenapa?“Katanya mau pulang?” tanyanya dengan mengerucutkan bibirnya. Ah, sungguh menggemaskan dia ini. Membuatku ingin mencubit bibirnya.“Berapa lama aku harus menunggumu menepati janji kali ini, mas?"Aku beranjak dari dudukku. Dan di sini lah aku sekarang, duduk dengan mengendarai mobil. Kami sedang melakukan perjalanan untuk pulang. Tetap berusaha menatap fokus ke arah jalanan, sesekali kulirik istriku yang hanya diam membisu.“Kamu kenapa, Jean? Semenjak pulang dari grand launching kok diem aja?”Pertanyaanku sama sekali tidak dijawab oleh Jean. Kulihat dia yang hanya melirik ke arahku sekilas dan kembali menatap ke arah luar jendela. Aku pun terdiam dan kembali memfokuskan diriku untuk mengemudikan mobil.Hingga aku
Kulihat tubuh istriku yang menegang saat melihat pria itu. Morgan, pria yang sudah lama tidak pernah kujumpai. “Je …,” panggilku yang membuat Jean langsung mengalihkan tatapannya ke arahku. “Ya?” sahutnya menanggapiku dengan keterkejutan yang disembunyikan.Aku tak membalas sahutan dari Jean karena bingung, situasi kali ini benar-benar membuatku merasa aneh. Jean masih menatap podium yang di sana berdiri Morgan, aku tak menyangka saja jika aku bisa bertemu dengan Morgan di saat seperti ini. Aku tak bisa membaca raut wajah yang ditunjukkan Jean saat menatap podium. Kurasakan dadaku yang sesak, apa aku tengah cemburu? Jelas iya aku cemburu. Bagaimana tidak? Istriku menatap sosok pria lain yang sedang berdiri di sana, bahkan dapat kulihat kedua mata Jean yang tidak berkedip sedikit pun. Sungguh, Jean seperti menancapkan ribuan jarum pentul di dalam hatiku. Aku menghela nafas seraya menyandarkan punggungku di kursi yang terasa k
Aku yang melihat Jean seperti itupun lantas langsung merengkuh tangannya, “Kita berangkat sekarang tuan putri!" Jelas sekali ingin menghindari percakapan yang mulai sensitif ini, lagian aku dan Jean sudah siap untuk berangkat sekarang. Alih-alih menerima sentuhan tanganku, Jean justru menampiknya dengan kasar.“Kalau dulu ucapanmu ini akan terdengar manis, entah kenapa sekarang justru memuakkan."Ucap Jean walaupun dengan nada lirih dan langsung melangkahkan kedua kakinya untuk pergi meninggalkanku. Aku menatap punggung Jean yang mulai menjauh, dulu Jean tak pernah bersikap kasar seperti ini. Membuatku meneguk saliva dengan kasar, dan mulai mengikuti langkah kaki Jean.Kami berdua menuju ke arah mobil yang sedang terparkir. Niat hati ingin membukakan pintu mobil agar Jean bisa masuk ke dalam, tapi belum juga gerakanku itu terlaksana Jean sudah terlebih dahulu mengangkat suaranya.“Aku bisa sendiri, Mas. Tidak perlu bersikap semanis ini.”