Share

bab tiga

"Jean, suamimu sedang berbicara denganmu." Sosok didepanku kini berbalik arah menghadapku. Tak ada jawaban atau bantahan lagi darinya, "Kamu terus mendiamkanku seharian." Aku sedikit melunak, namun Jean tetap tak bersuara

Aku menghampirinya, duduk berlutut didepannya namun dia tetap tak menghiraukannya. "Jangan begini, rasanya gak enak." Aku meraih kedua tangannya, sempat kudengar helaan nafas berat dari sosok berbau wangi shampo didepanku ini. "Maafkan aku."

"Iya." Hanya begitu, kemudian melepaskan tanganku. Jean beranjak menuju lemarinya, mengambil salah satu dari tumpukannya kemudian masuk kembali kedalam kamar mandi.

Sungguh, belum ada sehari Jean mendiamkanku aku sudah kelabakan seperti ini. Bagaimana bila nantinya aku resmi berpisah dengannya? Namun bukankah dari awal aku memang sudah menginginkan perpisahan ini? Aku bahkan tidak pernah sebimbang ini.

Jean selesai, mengenakan daster mini yang memang biasa ia kenakan dirumah. Kali ini aku memilih untuk pergi kekamarku sendiri, mengambil koper kecil diatas lemari kemudian memilih beberapa baju dan perlengkapan yang biasa ku bawa ketika dinas diluar kota.

Masih ada sisa ruang dalam koper, tapi aku memilih untuk menutup sekenanya lalu kembali lagi ke kamar Jean.

"Mau aku siapkan atau kamu siapkan sendiri?" Aku bertanya, meletakkan koper yang belum tertutup sempurna itu diatas tempat tidurnya. Jean nampak mengerutkan keningnya. "Baiklah, biar aku saja." Aku menghampiri lemari bajunya.

"Apa lagi mas?" Jean menghentikanku. "Mas ingin mengusirku?" Sakit sekali mendengar pertanyaan Jean barusan, aku menggeleng, meraih pundaknya agar sejajar menghadapku.

"Aku juga jenuh dengan situasi rumah ini, bawa beberapa baju gantimu dan masukkan kedalam koper itu."

"Mas..." Aku langsung membalikkan badannya memberi kode agar bergegas menuruti perintahku barusan.

"Sudahlah, aku tidak akan menerima penolakanmu. Atau apa perlu aku yang menggantikanmu baju dan menggendongmu kemobil nanti?"

"Baiklah kita berlibur hari ini, anggap saja sebelum bercerai." Ucapnya seraya memilih beberapa baju kemudian dia masukkan kedalam koperku. Kembali rasa sakit teriris mendengar ucapannya barusan. "Keluarlah dulu, aku ingin ganti baju." Perintahnya, tangannya ia tunjukkan pada pintu. Setidaknya aku bisa kembali mendengar suaranya lagi hari ini.

Aku menuruti saja permintannya, keluar dari dalam kamarnya. Kali ini aku masuk lagi kekamarku berganti pakaian santai kaos polos atasan hitam dengan celana pendek diatas lutut berwarna cream. Aku tau, Jean pernah memujiku ketika memakai ini. Sengaja kupakai kembali untuk menarik perhatiannya.

"Sudah siap?" Aku bertanya pada sosok yang baru saja keluar dari kamarnya. Memakai terusan pendek diatas lutut dengan bagian dadanya yang begitu rendah. "Tidak, cepat ganti pakaianmu!" Perintahku, aku menariknya kembali masuk kekamar. Tak ada jawaban darinya tapi bisa kulihat wajahnya terlihat masam. "Bagaimana mungkin aku membiarkan istriku berpakaian seperti ini saat keluar"

"Biasanya kamu tak pernah memperdulikan pakaian apa yang kukenakan. Kenapa sekarang secerewet ini?"

"Oke, biar aku yang menggantikan pakaianmu." Aku beranjak menuju lemarinya, memilih pakaian sekenanya hingga hampir semua isinya berserakan. Jean hanya terpaku dibelakangku, tanpa mencegah atau melarangku. Kali ini aku sadar, bahkan pakaian seperti apa yang biasa dikenakannyapun memang luput dari perhatianku.

"Tak apa mas, aku bisa membereskan semuanya." Tangannya mulai memunguti pakaian yang berserakan dilantai. Kubalikkan badan melihat keseliling, sangat berantakan.

"Jean, maafkan aku." Ucap maafku untuk yang kesekian. Jean tak menggubrisku, masih sibuk menata baju-baju yang ku bongkar dari lemarinya. Begitupun aku, dengan cepat ikut membantunya membereskan kekacauan yang sudah kubuat. Aku merutuki kebodohanku, padahal baru saja keadaan mulai sedikit mencair kembali.

*

Tak ada obrolan sepanjang perjalanan ini. Jean nampak sangat fokus pada kaca disebelahnya yang jelas menampakkan pemandangannya. Aku meraih tangannya meletakkannya di pangkuanku dan menggenggamnya erat. Dia sempat berusaha melepaskannya dan sebaliknya aku juga tetap menahannya.

Aku meliriknya dari kaca spion depan, bahkan saat aku memaksanya menggenggam tangannyapun dia tak menoleh kearahku. Apakah sedingin ini aku kemarin terhadapnya? Apakah begini pula sakitnya yang ia rasakan sebelumnya?

"Jean, dari semalam aku belum mendengar ceritamu sama sekali." Aku masih berusaha

"Tak ada yang bisa kuceritakan lagi." Dia menjawab singkat, tetap tak menoleh kearahku. Kembali aku meliriknya, kali ini dia merubah posisinya. Sedikit menata kepalanya keatas dan menutup matanya, mungkin dia mengantuk.

Hampir lima belas menit setelahnya saat dengkuran halus terdengar darinya. Aku menghentikan laju mobil kepinggir jalan raya. Membenarkan kursi penumpang disebelahku dengan harapan tidurnya tak terganggu dan merasa nyaman. Sandarannya kuluruskan kebelakang, kemudian meraih jaket dikursi belakang dan secepatnya menjadikannya penutup tubuh bagian atas wanita disebelahku

Kutatap lekat wajah lelapnya. Bukankah seharusnya aku merayakan perpisahan ini. Tapi kenapa kebimbangan seakan semakin nampak. Secepat ini Tuhan mempermainkan perasaanku.

"Kenapa berhenti?" Jean berucap dengan mata yang masih tertutup. Aku menyibakkan pelan helaian rambut yang menutupi sebagian wajahnya.

Tanpa menjawabanya kembali melajukan mobil. Aku sangat lemah sejak semalam, melihatnya saja jantungku sudah sangat berdetak. Bahkan ada rasa puas saat dia mau bersuara lagi didepanku.

"Kamu lapar?" Tanyaku setelah kesunyian kembali mengiringi perjalanan ini. Dia hanya menggeleng, padahal matanya masih tertutup. "Kamu hanya makan bubur ayam. Mau dibelikan apa? Kali ini aku akan menuruti permintaanmu."

"Serius semua kemauanku?" Aku mengangguk, menyimpulkan senyum kearahnya. "Antarkan aku pulang."

"Setelah liburan, kita akan pulang kerumahmu."

"Bukan kita, hanya aku saja." Aku mencoba mengabaikan ucapannya. Saat ini mengalah dalam obrolan dengannya mungkin lebih baik. Jean memang terbiasa meminta izin walaupun aku tak pernah menanggapinya. Bahkan dia seringkali memintaku memilihkan warna pemoles bibirnya sekalipun aku akan menjawabnya dengan malas. Kemudian memintaku menuntaskan pembayaran belanja onllinenya dan berakhir dengan senyum kemenangan darinya.

"Pengen makan seafood?" Tawarku padanya, kita hampir sampai pada tujuan dilihat dari mulai banyaknya para penjual ikan berjejer walau hari semakin sore menjelang malam.

"Mas, kamu bahkan lupa kalau aku alergi seafood." Jean mencibir, tersenyum entah berarti mengejekku. Hari ini sudah berapakali dia menghancurkan mentalku secara halus.

"Oke, kamu ingin makan apa?" Aku masih berusaha menutupi rasa malu dengan segera mungkin bertanya suatu hal yang entah sudah terlontar berapa kalinya. Kembali Jean hanya menjawab dengan menggelengkan kepalanya.

Aku menghentikan mobil ini lagi, pada sebuah pinggir jalan yang menampakan kemerlipnya lampu diujung kota sana. "Jean, setidaknya fikirkan untuk anak kita." Aku berusaha merendahkan suaraku.

"Terserah" kali ini dia bangun, membenarkan posisi sandaran jok seperti sedia kala. Yah, jawaban yang sering digunakan jokes tersebut akhirnya menimpaku juga. "Terserah kamu mau cari makan apa." Dia melemparkan jaketku kejok kursi belakang. Mungkin bila posisiku masih hari kemaren, aku bisa saja memarahinya namun kembali ingat bahwa kali ini keadaan sudah berbalik seratus delapan puluh derajat. Bukan lagi Jean yang mendekatiku, tapi aku yang tak bisa dia jauhi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status