"Jean, suamimu sedang berbicara denganmu." Sosok didepanku kini berbalik arah menghadapku. Tak ada jawaban atau bantahan lagi darinya, "Kamu terus mendiamkanku seharian." Aku sedikit melunak, namun Jean tetap tak bersuara
Aku menghampirinya, duduk berlutut didepannya namun dia tetap tak menghiraukannya. "Jangan begini, rasanya gak enak." Aku meraih kedua tangannya, sempat kudengar helaan nafas berat dari sosok berbau wangi shampo didepanku ini. "Maafkan aku." "Iya." Hanya begitu, kemudian melepaskan tanganku. Jean beranjak menuju lemarinya, mengambil salah satu dari tumpukannya kemudian masuk kembali kedalam kamar mandi. Sungguh, belum ada sehari Jean mendiamkanku aku sudah kelabakan seperti ini. Bagaimana bila nantinya aku resmi berpisah dengannya? Namun bukankah dari awal aku memang sudah menginginkan perpisahan ini? Aku bahkan tidak pernah sebimbang ini. Jean selesai, mengenakan daster mini yang memang biasa ia kenakan dirumah. Kali ini aku memilih untuk pergi kekamarku sendiri, mengambil koper kecil diatas lemari kemudian memilih beberapa baju dan perlengkapan yang biasa ku bawa ketika dinas diluar kota. Masih ada sisa ruang dalam koper, tapi aku memilih untuk menutup sekenanya lalu kembali lagi ke kamar Jean. "Mau aku siapkan atau kamu siapkan sendiri?" Aku bertanya, meletakkan koper yang belum tertutup sempurna itu diatas tempat tidurnya. Jean nampak mengerutkan keningnya. "Baiklah, biar aku saja." Aku menghampiri lemari bajunya. "Apa lagi mas?" Jean menghentikanku. "Mas ingin mengusirku?" Sakit sekali mendengar pertanyaan Jean barusan, aku menggeleng, meraih pundaknya agar sejajar menghadapku. "Aku juga jenuh dengan situasi rumah ini, bawa beberapa baju gantimu dan masukkan kedalam koper itu." "Mas..." Aku langsung membalikkan badannya memberi kode agar bergegas menuruti perintahku barusan. "Sudahlah, aku tidak akan menerima penolakanmu. Atau apa perlu aku yang menggantikanmu baju dan menggendongmu kemobil nanti?" "Baiklah kita berlibur hari ini, anggap saja sebelum bercerai." Ucapnya seraya memilih beberapa baju kemudian dia masukkan kedalam koperku. Kembali rasa sakit teriris mendengar ucapannya barusan. "Keluarlah dulu, aku ingin ganti baju." Perintahnya, tangannya ia tunjukkan pada pintu. Setidaknya aku bisa kembali mendengar suaranya lagi hari ini. Aku menuruti saja permintannya, keluar dari dalam kamarnya. Kali ini aku masuk lagi kekamarku berganti pakaian santai kaos polos atasan hitam dengan celana pendek diatas lutut berwarna cream. Aku tau, Jean pernah memujiku ketika memakai ini. Sengaja kupakai kembali untuk menarik perhatiannya. "Sudah siap?" Aku bertanya pada sosok yang baru saja keluar dari kamarnya. Memakai terusan pendek diatas lutut dengan bagian dadanya yang begitu rendah. "Tidak, cepat ganti pakaianmu!" Perintahku, aku menariknya kembali masuk kekamar. Tak ada jawaban darinya tapi bisa kulihat wajahnya terlihat masam. "Bagaimana mungkin aku membiarkan istriku berpakaian seperti ini saat keluar" "Biasanya kamu tak pernah memperdulikan pakaian apa yang kukenakan. Kenapa sekarang secerewet ini?" "Oke, biar aku yang menggantikan pakaianmu." Aku beranjak menuju lemarinya, memilih pakaian sekenanya hingga hampir semua isinya berserakan. Jean hanya terpaku dibelakangku, tanpa mencegah atau melarangku. Kali ini aku sadar, bahkan pakaian seperti apa yang biasa dikenakannyapun memang luput dari perhatianku. "Tak apa mas, aku bisa membereskan semuanya." Tangannya mulai memunguti pakaian yang berserakan dilantai. Kubalikkan badan melihat keseliling, sangat berantakan. "Jean, maafkan aku." Ucap maafku untuk yang kesekian. Jean tak menggubrisku, masih sibuk menata baju-baju yang ku bongkar dari lemarinya. Begitupun aku, dengan cepat ikut membantunya membereskan kekacauan yang sudah kubuat. Aku merutuki kebodohanku, padahal baru saja keadaan mulai sedikit mencair kembali.* Tak ada obrolan sepanjang perjalanan ini. Jean nampak sangat fokus pada kaca disebelahnya yang jelas menampakkan pemandangannya. Aku meraih tangannya meletakkannya di pangkuanku dan menggenggamnya erat. Dia sempat berusaha melepaskannya dan sebaliknya aku juga tetap menahannya. Aku meliriknya dari kaca spion depan, bahkan saat aku memaksanya menggenggam tangannyapun dia tak menoleh kearahku. Apakah sedingin ini aku kemarin terhadapnya? Apakah begini pula sakitnya yang ia rasakan sebelumnya? "Jean, dari semalam aku belum mendengar ceritamu sama sekali." Aku masih berusaha "Tak ada yang bisa kuceritakan lagi." Dia menjawab singkat, tetap tak menoleh kearahku. Kembali aku meliriknya, kali ini dia merubah posisinya. Sedikit menata kepalanya keatas dan menutup matanya, mungkin dia mengantuk. Hampir lima belas menit setelahnya saat dengkuran halus terdengar darinya. Aku menghentikan laju mobil kepinggir jalan raya. Membenarkan kursi penumpang disebelahku dengan harapan tidurnya tak terganggu dan merasa nyaman. Sandarannya kuluruskan kebelakang, kemudian meraih jaket dikursi belakang dan secepatnya menjadikannya penutup tubuh bagian atas wanita disebelahku Kutatap lekat wajah lelapnya. Bukankah seharusnya aku merayakan perpisahan ini. Tapi kenapa kebimbangan seakan semakin nampak. Secepat ini Tuhan mempermainkan perasaanku. "Kenapa berhenti?" Jean berucap dengan mata yang masih tertutup. Aku menyibakkan pelan helaian rambut yang menutupi sebagian wajahnya. Tanpa menjawabanya kembali melajukan mobil. Aku sangat lemah sejak semalam, melihatnya saja jantungku sudah sangat berdetak. Bahkan ada rasa puas saat dia mau bersuara lagi didepanku. "Kamu lapar?" Tanyaku setelah kesunyian kembali mengiringi perjalanan ini. Dia hanya menggeleng, padahal matanya masih tertutup. "Kamu hanya makan bubur ayam. Mau dibelikan apa? Kali ini aku akan menuruti permintaanmu." "Serius semua kemauanku?" Aku mengangguk, menyimpulkan senyum kearahnya. "Antarkan aku pulang." "Setelah liburan, kita akan pulang kerumahmu." "Bukan kita, hanya aku saja." Aku mencoba mengabaikan ucapannya. Saat ini mengalah dalam obrolan dengannya mungkin lebih baik. Jean memang terbiasa meminta izin walaupun aku tak pernah menanggapinya. Bahkan dia seringkali memintaku memilihkan warna pemoles bibirnya sekalipun aku akan menjawabnya dengan malas. Kemudian memintaku menuntaskan pembayaran belanja onllinenya dan berakhir dengan senyum kemenangan darinya. "Pengen makan seafood?" Tawarku padanya, kita hampir sampai pada tujuan dilihat dari mulai banyaknya para penjual ikan berjejer walau hari semakin sore menjelang malam. "Mas, kamu bahkan lupa kalau aku alergi seafood." Jean mencibir, tersenyum entah berarti mengejekku. Hari ini sudah berapakali dia menghancurkan mentalku secara halus. "Oke, kamu ingin makan apa?" Aku masih berusaha menutupi rasa malu dengan segera mungkin bertanya suatu hal yang entah sudah terlontar berapa kalinya. Kembali Jean hanya menjawab dengan menggelengkan kepalanya. Aku menghentikan mobil ini lagi, pada sebuah pinggir jalan yang menampakan kemerlipnya lampu diujung kota sana. "Jean, setidaknya fikirkan untuk anak kita." Aku berusaha merendahkan suaraku. "Terserah" kali ini dia bangun, membenarkan posisi sandaran jok seperti sedia kala. Yah, jawaban yang sering digunakan jokes tersebut akhirnya menimpaku juga. "Terserah kamu mau cari makan apa." Dia melemparkan jaketku kejok kursi belakang. Mungkin bila posisiku masih hari kemaren, aku bisa saja memarahinya namun kembali ingat bahwa kali ini keadaan sudah berbalik seratus delapan puluh derajat. Bukan lagi Jean yang mendekatiku, tapi aku yang tak bisa dia jauhi.Tepat adzan magrib saat akhirnya membelokkan mobil di tempat pengisian bahan bakar. Jean masih saja menutup matanya, bajunya sudah berganti dengan kaos polos dan celana panjang saat akan berangkat tadi. "Aku antar ke kamar mandi dulu sebelum shalat." Baru saja aku akan melepaskan sabuk pengamannya, namun dia seolah tau dan terlebih dahulu melepasnya. Jean bergegas akan membuka pintu mobil. Aku masih memandanginya saat akhirnya dia juga berbalik arah memandangku, ya pintu mobil belum ku buka kunci otomatisnya, kali ini aku tersenyum mengejek kearahnya. Ku buka pintu disebelahku kemudian bergegas keluar membukakan pintu untuknya. "Hati-hati istriku." Ucapku mengedipkan mata kearahnya, dia hanya memandang tak berekspresi. Jean beranjak, memberi isyarat kepadaku untuk membuka bagasi mobil dan langsung kuturuti perintahnya. Dia mengambil sebuah totebag terpisah yang sengaja disiapkan untuk perlengkapan shalatnya. Begitu pula aku, mengambil sarung yang kemudian sege
Setelah selesai berjamaah, seorang driver yang sudah menyelesaikan pesananku mengabari sudah menunggu didepan. "Maaf ya mas. Pasti tadi kesusahan mencari pesanan saya." Aku berucap bebarengan dengan sekantong kresek yang diberikan driver tersebut kepadaku. "Carinya gampang mas, antrinya itulo yang butuh waktu lama." Pria yang mungkin seumuranku tersebut tertawa, aku memberikan uang beserta tips untuknya. "Saya kira tidak akan menemukan makanan ini disini mas. Istri saya sedang hamil dan hanya mau makan ini katanya." Aku bernafas lega, mengintip makanan dalam kotak yang lengkap dengan jus tomat permintaannya. "Namanya orang hamil mas, sabar aja. Sebagai suami emang tugasnya nurutin ngidamnya istri biar dunia baik-baik saja." Akupun ikut tertawa, kemudian pria ini pamit untuk pergi begitupun aku yang segera kembali kekamar. Jean terlihat duduk dikursi, menyeduh teh panas yang kusiapkan tadi mungkin sudah dingin. Rambutnya dia ikat keatas, tanganny
Seusai makan Jean meminta untuk langsung kembali kehotel, tak lagi ada obrolan diantara kita setelahnya.Langsung saja kududuki kursi empuk yang terletak dipojok ruangan ini, mengamati setiap gerak geriknya sejak kembali kesini. Sudah berganti pakaian lagi dengan daster mininya, sudah selesai pula membersihkan diri dari kamar mandi kemudian duduk dikursi menghadap kaca, mengeluarkan pouch kecil yang ternyata berisi banyak sekali kebutuhan skincarenya."Sesibuk inikah kamu setiap mau tidur?" Kali ini biarlah aku yang berusaha membuat suasana diantara kita mencair. Jean hanya mengangguk, dan aku masih memikirkan topik apalagi yang akan kubahas kali ini.Baiklah, giliranku yang harus membersih diri. Akupun berganti pakaian menggunakan kaos pendek dan boxer pendek pula. Kali ini langsung merebahkan diri ke salah satu bed. Jean nampaknya sudah menyelesaikan ritualnya, memilih lampu dalam mode tidur dan ikut berbaring namun berada di bed seberangku.Jean sungguh tak memperdulikanku, segera
"Aku ingin bercerai." Ucapku seraya melemparkan map ke meja dihadapannya. Jean, wanita yang sudah dua tahun ini berstatus menjadi istriku. "Jean, bukankah dari awal aku sudah katakan bahwa pernikahan ini tidak akan bertahan lama?" Aku beralih duduk dihadapannya namun dia masih diam tak bergemim , matanya menatap map yang masih diatas meja. Wanita didepanku ini biasanya akan cerewet, sesekali menjawab setiap perdebatanku dan akan ia akhiri dengan senyum simpul pertanda tak peduli. "Jean!" Aku mulai menaikkan nada suaraku. Jean tak seperti biasanya, dia hanya diam tanpa membantah ataupun menjawab permintaanku kali ini. Dua tahun hidup dengannya tidak banyak hal yang kita lakukan bersama, bahkan akupun tak ingin tau kegiatan apa saja yang dia lakukan setiap harinya. Sebaliknya, dia akan mencecarku banyak pertanyaan tentang hal tak penting yang kemudian akan aku jawab dengan nada tinggi untuk berhenti, dia selalu menganggu. Tapi hanya dia timpali dengam senyuman. "Baik
Sejak kembali masuk kedalam kamar Jean. Nampak dia masih berbaring tetap menghadap samping dengan selimut tertutup sampai dadanya. "Perlu kumatikan pendinginnya?" Entah sudah berapa pertanyaan yang terlontar dariku sejak tadi namun tak sekalipun dia menjawab selain dengan gelengan kepala. Ternyata begini rasanya bertanya tapi diacuhkan, sedangkan hampir setiap hari aku tak menghiraukan semua ucapan dari Jean. Aku bisa mendengar suara klakson mobil hinga berisiknya gerbang yang terbuka, pastilah mama sudah datang dengan supirnya. Bergegas aku keluar kamar ini menghampiri wanita setengah baya yang sudah nampak memasuki pintu utama. "Kenapa Jean?" Mata tua itu melotot seperti sudah siap keluar dari tempatnya. "Ini pasti ulahmu kan? Mama sudah katakan jangan gegabah, sudah mending dapat istri baik begitu masih aja kurang." Kemarin aku memang sempat datang kerumah mama sebelum akhirnya mengurusi semua berkas gugatan yang akan kudaftarkan ke pengadilan Agama.