Segara Abimanyu, dipaksa menikah dengan seorang gadis pilihan orangtuanya ialah Jeana Aurora. Jean dengan pembawaanya yang ceria meletakkan semua kehidupannya untuk berusaha menjadi seorang istri yang layak untuk Segara, namun berbeda dengan nya yang menganggap pernikahan ini hanyalah suatu keformalitasan yang bisa diakhiri kapan saja. Dua tahun menjalani pernikahan, hingga kabar kehamilan yang belum sempat Jean sampaikan kepada suaminya namun Segara sudah lebih dulu memintanya untuk menandatangani surat permohonan cerai. Keadaan berubah saat perasaan Jean pada Segara sudah mulai pudar bersamaan rasa sakit yang sudah ditorehkan oleh suaminya tersebut. Jean mulai menjauh dan menunjukkan sikap tak peduli lagi. Hingga Segara dengan segala caranya berusaha memikat kembali istrinya untuk kembali kepangkuannya. bagaimanakah kelanjutan pernikahan Jean? apakah dia akan tetap melabuhkan hati pada pernikahan yang sedari awal sudah ditolak oleh Segara, atau justru memilih membalikkan arah pada mlasalalunya?
View More"Aku ingin bercerai." ucapku seraya melemparkan map ke meja dihadapannya. Jean, wanita yang sudah dua tahun ini berstatus menjadi istriku. "Jean, bukankah dari awal aku sudah katakan bahwa pernikahan ini tidak akan bertahan lama?" Aku beralih duduk dihadapannya namun dia masih diam tak bergemim , matanya menatap map yang masih diatas meja. Wanita didepanku ini biasanya akan cerewet, sesekali menjawab setiap perdebatanku dan akan ia akhiri dengan senyum simpul pertanda tak peduli. "Jean!" Aku mulai menaikkan nada suaraku.
Jean tak seperti biasanya, dia hanya diam tanpa membantah ataupun menjawab permintaanku kali ini. Dua tahun hidup dengannya tidak banyak hal yang kita lakukan bersama, bahkan akupun tak ingin tau kegiatan apa saja yang dia lakukan setiap harinya. Sebaliknya, dia akan mencecarku banyak pertanyaan tentang hal tak penting yang kemudian akan aku jawab dengan nada tinggi untuk berhenti, dia selalu menganggu. Tapi hanya dia timpali dengam senyuman. "Baiklah." dia berjalan gontai kekamarnya. Ya, sejak menikah kami memang memutuskan untuk mempunyai kamar sendiri-sendiri. Namun sesekali aku akan pergi kekamarnya sekedar meminta hakku sebagai suaminya dan sebaliknya memang tak ada paksaan darinya untuk memberikan kewajibannya sebagai istri. Sesaat kemudian dia kembali meletakkan sebuah bungkus kecil disebelah map yang kulempar tadi. Aku mengambil benda pipih itu, garis merah dua yang terlihat jelas. Aku tau ini adalah alat tes kehamilan menunjukkan bahwa wanita dihadapanku ini tengah hamil. Kini giliranku tercekat, menatapnya tajam. Kini dia mulai bergerak, mengambil map dan membukanya pelan kemudian tangannya mulai terarah untuk menandatanganinya. "Ada lagi mas?" Dia meletakkan kembali seperti sebelumnya. Aku menggeleng tanpa berucap sepatah katapun lalu dia kembali kekamarnya hingga terdengar suara kunci dari dalamnya. Melirik jam didinding, memang sudah sangat malam tapi masih belum mau beranjak dari sini. Aku sendiri tak bisa memastikan perasaan apa yang harusnya kurasakan saat ini, seharusnya seorang suami akan bahagia mendapati kabar istrinya hamil kemudian memeluknya dan mengekspresikan kebahagiaan mereka dengan banyak hal. Kali ini aku yang tak bisa lagi berfikir jernih mulai mengetuk pintunya, sangat lama tak ada jawaban darinya. "Aku tau kamu belum tidur, Jean!" Teriakku. "Aku bisa saja masuk menggunakan kunci cadangan atau memilih untuk mendobrak pintu ini." Aku masih berusaha. Jean membukanya, lalu kembali masuk kedalam berbaring dibalik selimut dan aku mengamatinya dari sini. Biasanya dia akan membuka pintu dengan tersenyum menggoda seolah tau bahwa aku datang hanya ingin menuntut kewajibannya. Aku menutup lagi pintunya, menghampirinya yang tidur menghadap samping. Melupakan kejadian barusan kemudian ikut berbaring disampingnya dan memeluknya dari belakang. * Ketika akhirnya mataku terasa berat harus dipaksakan terbuka oleh paparan sinar matahari berasal dari jendela yang tirainya terbuka. Mengedarkan pandangan sekejap, Jean sudah tidak lagi disebelahku. Biasanya dia akan membangunkanku saat subuh dengan handuk yang sudah melilit dikepalanya namun kali ini tak lagi. Kita hanya berdua selama dua tahun ini, dirumah yang kubeli dari hasil kerja kerasku. Aku sengaja mengajaknya pindah kesini walau mama memaksa untuk ditemani. Tidak mungkin aku bisa menahan diri seolah menjadi pasangan suami istri yang saling menyayangi setiap harinya didepan orang tuaku. Dari dalam kamar mandi kamar ini terdengar suara kran air yang menyala kecil, bergegas aku masuk kedalamnya yang memang tak dikunci. Kebiasaan buruk Jean memang tak pernah mengunci kamar mandi ketika didalamnya. "Jean." Aku menghampirinya, mengelus pelan tengkuk lehernya. Ya, dia tengah membungkuk didepan wastafel. Rambutnya yang terurai ku ikat dengan karet rambut yang kutemukan disebelahnya. "Mau kubuatkan teh hangat?" Tanyaku yang hanya di jawab gelengan olehnya, tangannya mengusap bibir tipisnya lalu menutup kran air didepannya. Tak ada suara darinya, bila sebelumnya dia akan dengan riang mengatakan sesuatu hal yang sangat tidak penting atau sesekali bersenandung yang akan tetap dia lanjutkan padahal aku sudah menyuruhnya berhenti. Setelah dia kembali berbaring ditempat tidurnya, aku membenarkan selimutnya yang tak dia hiraukan sama sekali, aneh rasanya. Aku beranjak kedapur, Jean terbiasa memasakan banyak menu disini. Dengan semangatnya sudah memasukkan kotak bekal kedalam tas kerjaku dan terkadang membuatku kesal. Ini kali pertamanya sejak aku menikah, menyeduh teh sendiri karena Jean sudah akan menyiapkan semua kebutuhanku walau aku memintanya tak perlu. Jean memang sangat keras kepala. Kembali kekamar Jean, meletakkan secangkir teh panas dimeja sebelahnya. "Jean, minumlah dulu." Aku duduk disampingnya tapi dia tetap menutup matanya. "Minumlah." Sedikit memaksa dan Jean tetap mengacuhkanku. Ponselku berdering dari sofa depan kamar Jean, aku melupakan benda itu semalaman. Kali ini aku yang mengacuhkan panggilan tersebut. "Setidaknya angkatlah, aku sangat pusing mendengarnya." Sejak semalam akhirnya mendengar suaranya lagi. Entah kali ini tanpa banyak pertimbangan menuruti perintahnya bergegas mengambil ponsel yang tergeletak diatas map yang semalam sudah ditandatangani Jean. "Segara, ini sudah jam berapa? Kenapa kamu tidak masuk kerja?" Teriak suara tegas dari seberang. Sebagai anak tunggal aku memang tak perlu memikirkan karir diluar sana. "Pa, Jean tak bisa kutinggal." Aku sangat tau, kedua orang tuaku akan sangat menuruti permintaanku bila berkenaan dengan perempuan yang masih kulihat berbaring ditempatnya. "Kamu tidak sedang menjadikan Jean alasan kan?" Kali ini papa yang meninggikan suaranya. "Kalau tidak, suruh mama datang kesini sajalah." Hingga akhirnya aku menutup telepon bersamaan dengan kesanggupan papa untuk meminta mama datang kesini. Belum ada sepuluh menit sejak papa telepon tadi kali ini ponselku berdering dan memang sesuai tebakanku, panggilan dari mama. "Jean kenapa? Kamu apakan dia Gara?" "Mama datang kerumah bawakan sarapan untuk Gara sekalian." Pintaku, tanpa banyak mengobrol akupun juga segera mematikan sambungannya. Hingga pandangaku kembali pada map diatas meja. Entahlah bagaimana dan akan kuapakan selanjutnya barang ini. Aku menuju kamarku membawa map ini, memasukkannya kelaci meja kerjaku. Seketika pandangan berhenti pada satu bingkai foto yang sengaja Jean letakkan diatas meja kerjaku. "Kenapa ada foto karikatur pernikahan kita? Tanyaku sepulangnya dari kantor saat itu. Jean hanya tersenyum tetap sibuk menyiapkan makan malam. "Kamu yang meletakkanya?" "Lucu sekali bukan?" Tak habis fikir dengannya. Begitulah dia akan selalu tersenyum tak pernah menanggapi amarahku setiap waktu. "Kalau foto itu hilang, akan kudenda kamu satu milyar." Aku hanya mencibir, bagaimana mungkin aku menanggapinya. Entah sudah berapa kali aku memindahkan foto itu di laci, namun tetap akan berubah tempat kesemula setiap harinya. Jean memang tak peduli bahkan ketika terang-terangan aku mengecewakannya. Kupandangi lekat foto yang sudah beralih ditanganku. Senyum Jean sama persis seperti setiap hari kulihat, namun sejak semalam bukan hanya senyumnya yang menghilang bahkan memandang wajahnya saja dia seperti tak memberi kesempatan. Ada rasa teriris yang tak bisa diungkapkan kali ini. Haruskah aku melanjutkan proses perceraian ini? Tapi bagaimana dengan nasib anak kami kelak?Aku membalikkan tubuhku agar tidak merasakan api cemburu lagi. Aku ingin meninggalkan mereka berdua pergi sejenak, karena kini aku justru merasakan tenggorokanku yang kering. Nyatanya aku tak seberani itu menanggung resiko. Bukankah lebih baik memberi waktu pada mereka saja.Melihat mereka membuatku kehilangan kepercayaan diri. Mungkin, Jean akan merasa lebih baik saat mengobrol dengan teman lamanya.Kuambil sebotol air yang berada di dalam lemari pendingin dan menuangkannya di gelas, meneguknya hingga tandas. Padahal niatku pulang untuk bisa mengobrol serius dengan Jean tapi sepertinya masa lalu masih jadi pemenangnya. Tanpa terasa aku justru tertawa merutuki kebodohanku. Tahu begini, lebih baik aku tetap dikantor saja atau lebih baik pergi ke kafe Aditya."Mas Gara?" Mbok Wati terlihat kaget. Aku lantas tersenyum kearahnya. "Mbak Jean...""Itu puddingnya? Bisa mbok suguhkan sebagian untuk tamu Jean juga." Mbok Wati menurut dan bergegas
Sejak pertengkaran kami, aku, mulai menahan diri untuk menunjukkan perhatianku kepada Jean. Setiap kali melihatnya, hatiku merasa sakit. Jean juga masih tetap saja, dia tidak mau berbicara denganku. Kami seperti dua orang asing yang tinggal di bawah satu atap. Malam itu, saat makan malam bersama, Jean malah memilih untuk makan di kamar. Aku hanya bisa menatapnya pergi, membawa piring makanannya. Hatiku merasa berat. Kami biasanya selalu makan bersama, sekalipun hanya saling diam tapi setidaknya tak harus seperti ini. Namun sekarang, semuanya berubah. Aku merindukan kebiasaan yang sebelumnya, kebersamaan yang biasa ku nikmati walaupun mungkin tidak untuk Jean. Namun, aku tahu bahwa aku harus memberi Jean ruang untuk sendiri kali ini. Mungkin pula dia membutuhkan waktu untuk merenung dan menenangkan pikirannya. Meski begitu, aku tidak bisa menahan kekhawatiran dan rasa sakit di hatiku. Aku merindukan Jean, merindukan suara tawanya, merindukan senyumnya.
Tanpa terasa tiga hari sudah berlalu sekalipun Jean masih belum diperbolehkan pulang. Keadaanya juga cukup membaik. Bahkan nafsu makannya bertambah dibandingkan hari sebelumnya. Jean sudah bisa kutinggal untuk kemudian kutitipkan dirawat mbok Wati dirumah sakit. Mbok Wati yang paham situasipun, tak berhenti memberi kabar setiap perkembangan Jean. Karena aku tak mungkin mendapatkan kabar langsung dari Jean. Aku kembali fokus menatap layar laptop dan berkas-berkas yang harus aku tanda tangani. Berkali-kali menghela nafasku karena lelah, beberapa hari ini aku selalu tidur di rumah sakit untuk menunggui Jean, walaupun masih sering bersikap acuh dan ketus padaku. Bukan Segara yang akan menyerah hanya hal seperti ini. Karena bagaimanapun caranya, melunakkan Jean adalah tujuan utamaku saat ini. Suara nada dering yang menggema di seluruh penjuru ruangan membuatku langsung mengalihkan pandangan menuju ke layar ponselku, di sana tertera nama Nama. Aku pun langsu
Tubuhku mematung saat melihat foto tersebut. Bagaimana bisa, Morgan mendapatkan informasi pengajuan talak yang sempat diurus lawyerku beberapa waktu lalu. Lantas aku segera membenarkan dudukku dan tetap berusaha bersikap tenang. Jadi, ini alasannya pulang ke Indonesia? Artinya Morgan memang masih menyimpan rasa pada Jean? "Hanya seumur dua tahun, dan anda sudah memutuskan hal ini? Harusnya dari awal anda menyerah saja. Jadi tak oerlu menyakiti perasaannya." Raut Morgan terlihat memerah. Mungkin dia memang menyimpan amarah untuk diluapkan padaku. Kini giliranku yang menyimpulkan senyum. "Anda jelas melupakan bahwa talak ini tak mungkin dilanjutkan karena Jean sedang hamil? Perlukah saya perjelas siapa bapaknya?" Morgan terdiam. Tangannya melemah dan meletakkan ponselnya dimeja. Aku masih mencoba tenang dengan menunjukkan sikap yang tak peduli. Padahal hatiku tengah bergemuruh karena menahan gejolak yang entah apa ini namanya, antara malu dan ke
Saat sedang sibuk dengan pikiranku sendiri. Merasakan getaran di kantong celanaku, tidak berjarak lama dari setelah itu terdengar suara dering ponsel. Aku merogoh saku celanaku dan mendapati nomor Mbok Wati yang sedang menghubungiku.Suatu kebetulan yang sangat jarang terjadi. Dengan segera aku mengangkat telepon itu dengan menekan tombol hijau di layar ponselku. Lantas mendekatkan ponselku pada daun telinga.“Iya Mbok ada apa?”“Mas … i … ini Mas.”Aku mendengar suara Mbok Wati yang sepertinya sedang panik. “Ada apa sih Mbok Kok suaranya gitu?”“Ini loh, Mas. Mbak Jean, tadi mbak Jean pingsan di swalayan. Tadi kan kami pergi belanja ke swalayan, Ini beneran loh mas kalau mbak Jean sendiri yang pengen ikut. Padahal kan saya udah bilang jangan, soalnya muka dia itu kayaknya pucet gitu loh. Pas lagi milih-milih barang belanjaan tiba-tiba pingsan.”Aku yang mendapatkan kabar tersebut langsung bertanya sekarang Mbok Wati dan j
Pagi hari yang cerah namun tidak dengan suasana hatiku saat ini. Duduk di kursi kebanggaanku yang berada di ruang kerja, seraya menatap layar laptopku. Pasalnya hari ini sama sekali tak bisa membuatku fokus kerja karena nyatanya mengajak Jean ke pantai pun sama sekali tidak meluluhkan hatinya.Padahal aku sudah mencari review rumah makan dengan pemandangan paling banyak di ulas. Kenapa meluluhkan hati Jean jadi sesulit ini? Aku menghela nafasku dan menopang dagu ku. Apalagi yang harus aku lakukan supaya Jean luluh?Aku memijit pangkal hidungku seraya membaca file yang masuk ke dalam email perusahaan. Hingga akhirnya mendengar suara pintu ruanganku yang diketuk. Membuatku memcingkan mata dan mencoba menerka tentang siapa yang datang. Karena seingatky semua berkas sudah tertumpuk di meja ini.Saat masih diam menebak hingga lupa untuk mempersilahkan orang di balik pintu itu untuk masuk. Namun saat tersadar dari lamunanku, terlihat handle pintu itu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments