Setelah selesai berjamaah, seorang driver yang sudah menyelesaikan pesananku mengabari sudah menunggu didepan.
"Maaf ya mas. Pasti tadi kesusahan mencari pesanan saya." Aku berucap bebarengan dengan sekantong kresek yang diberikan driver tersebut kepadaku. "Carinya gampang mas, antrinya itulo yang butuh waktu lama." Pria yang mungkin seumuranku tersebut tertawa, aku memberikan uang beserta tips untuknya. "Saya kira tidak akan menemukan makanan ini disini mas. Istri saya sedang hamil dan hanya mau makan ini katanya." Aku bernafas lega, mengintip makanan dalam kotak yang lengkap dengan jus tomat permintaannya. "Namanya orang hamil mas, sabar aja. Sebagai suami emang tugasnya nurutin ngidamnya istri biar dunia baik-baik saja." Akupun ikut tertawa, kemudian pria ini pamit untuk pergi begitupun aku yang segera kembali kekamar. Jean terlihat duduk dikursi, menyeduh teh panas yang kusiapkan tadi mungkin sudah dingin. Rambutnya dia ikat keatas, tangannya sibuk menscroll ponsel. "Tidak ada alasan lagi untuk menolak makan." Aku mendekatinya, mengeluarkan kotak dari kantong kresek, membuka tutupnya dan memapaskannya tepat dihadapan Jean. "Setelah lama sekali sejak terakhir makan ini " mendengarnya membuatku mengerutkan alis. "Kamu pernah kesini?" Dia mengangguk. "Sudah berapa kali?" "Sangat sering sampai aku lupa menghitungnya." Jean nampak bersemangat memakannya, aku masih berdiri disebelahnya memperhatikannya melahap suapan demi suapan. "Mas Gara gak makan?" Dia menoleh kearahku, aku menggeleng. "Setelah ini aku bisa pergi mencari makan diluar saja." Aku memang sangat ingin sekedar mencari angin malam ini. "Kamu bisa beristirahat saja disini." Jangan ditanya, ingin sekali juga mengajak Jean tapi kuurungkan karena mungkin penolakannya yang akhirnya kudapatkan. "Engga, aku ikut aja. Disini seram kalau sendirian." Kusimpulkan senyum masih memandanginya. Aku berpindah kekasur, menselonjorkan badanku yang ternyata terasa sangat nikmat ini. Masih menunggu Jean makan dan membalas beberapa pesan yang berkaitan dengan pekerjaan. Sebelum berangkat tadi aku masih sempat mengabari mama akan mengajak Jean berlibur, aku sudah janji pada Jean untuk mengantarnya mengunjungi rumahnya setelah dari sini. Mungkin beberapa hari sampai moodnya kembali baik. Jean sangat sering memintaku untuk mengajaknya berlibur, namun tetap saja tak pernah kuhiraukan. Bahkan acara bulan madu pengantin baru otomatis terlewatkan karena aku beralasan sibuk bekerja padahal papa sudah memberikanku waktu dan dengan senang hati menawari banyak pilihan tempat yang sekiranya ingin aku kunjungi pada waktu itu. Dalam waktu dua tahun kehidupan pernikahan kami memang sangat monoton, aku hanya akan bangun pagi, duduk diantara menu yang sudah disiapkannya kemudian berangkat bekerja, mengulur waktu untuk pulang dan saat malam ternyata Jean masih menungguku hingga kadang tertidur diruang tamu lalu dia akan terbangun karena suara pintu yang kubuka. Kalau ditanya, adakah wanita yang kucintai saat itu tentu akan kujawab dialah Rianti, gadis cantik yang merupakan teman sejak kuliahku. Memutuskan untuk pindah keluar negeri untuk melanjutkan karirnya sebagai seorang model. Jean tau itu, bahkan setelah menikah secara terang-terangan aku membawanya pulang tanpa memperdulikan bagaimana perasaanya saat itu. Aku dan Rianti kandas bukan karena pernikahan ini, tapi karena sebuah hubungan gelapnya dengan lelaki lebih tua itu terungkap. Rasanya sudah sangat malas sekali membahas wanita tersebut. Namun keputusan bodohku untuk menceraikan Jean kemarin tak lepas dari karena kejenuhanku sendiri. Merasa bahwa hubungan yang sia-sia bila dilanjutkan namun kali ini aku menyadari telah salah langkah. Bukannya memperbaiki malah memutuskan diakhiri. Kembali memandangi Jean, dia masih sibuk menscroll ponselnya dan melanjutkan makannya. "Aku sudah selesai mas. Ayoh!" Ajaknya setelah membereskan sisa makannya. Entah kenapa sekarang rasanya melihat Jean sangat menarik tidak seperti hari-hari sebelumnya. "Kamu ganti pakaian dulu." Jean menggeleng. Mengambil kunci mobilku dan akan bergegas keluar dari kamar. Aku langsung menahannya, menarik tangannya mendekat hingga tak ada cela antara kita berdua. "Diluar dingin, cepet ganti baju dulu." Kali ini cukup ampuh, dia mengambil sweaternya yang tadi telah ku masukkan kelemari kamar hotel ini, lalu celana panjang yang sudah tergantung di hanger juga diakenakan lagi, sangat berantakan dandanannha kini. Mungkin lebih baik ketimbang membiarkannya keluar dengan hanya menggunakan baju titpisnya tadi. Jean tak banyak bicara, biasanya aku yang sangat ingin dia diam walau sehari saja nyatanya tidak, seharian ini dia mendiamkanku dan keadaan hatikupun ikut buruk. Begitupun saat aku menyalakan musik yang jelas sangat bukan kesukaannya dia tak lagi melontarkan protesnya. Mungkinkah Jeanku sedang membalas dendam? Tak lagi meminta persetujuannya. Langsung menghentikan mobil disebuah warung lesehan nasi goreng. Dari baunya tercium sangat lezat menggugah selera. "Mau makan lagi" aku bertanya, namun Jeam hanya dia memaku memandangi tempat penjual makan tersebut. Aku mencoba melepaskan sabuk pengamannya namun dia masih diam tak meolak. Selanjutnya aku turun lalu membukakan pintu mobil ini agar Jean juga ikut turun. Dia berjalan gontai mengikutiku. Aku memberi kode kepada Jean untuk duduk dilesehan beralas tikar yang sudah terpasang didepan ruko yang telah tutup m. "Mbak cantik, makin cantik saja." Ibu penjual yang belum terlalu tua itu menyapa Jean, "Kapan lalu koko kesini juga, katanya mbak cantik lagi isi ya?" Jean tersenyum namun dipaksakan, aku masih belum paham apa yang dibicarakan mereka "Kemarin padahal mau saya buatkan pesanan yang seperti biasanya lho, nasi goreng spesial dengan telur ceplok setengah matang kesukaan mbaknya. Tapi kata kokonya orang hamil muda tidak boleh makan yang mentah-mentah begitu." Jean tersenyum tapi bibirnya dia gigit seakan menahan sesuatu untuk diluapkan. "Sama siapanya mbak?" "Suami saya bu." Jawab Jean sedikit ragu, aku bisa melihat dia melirik kearahku kemudian kembali fokus pada ibu ini. Sejurus kemudian bisa dilihat, sang ibu yang merubah ekspresinya kaget, menutup mulutnya menghentikan sesaat kesibukannya mencatat pesananku "Loh mbak saya kira isi itu nikahnya sama koko, saya minta maaf ya." Ibu tersebut beranjak, setelah selesai mencatat menu yang kupesan. "Jean?" Aku merubah posisi ke depannya. Menatapnya yang hanya diam memainkan sendok didalam air jeruk hangatnya. "Sepertinya tempat ini memang sering kamu kunjungi, sampai penjual nasi gorengpun akrab denganmu." Jean menatapku, tanpa kubertanya dia sudah paham kebingunganku. Nampak sekali dia menghela nafasnya berat. Sekarang ini banyak sekali pertanyaan tentang pernyataan ibu penjual barusan, tapi nyatanya Jean sedang tidak ingin membahasnya terlihat dari sikapnya yang langsung membuang muka ketika aku menatapnya tajam. Aku mencoba menahan diri. Setidaknya aku tidak ingin merusak suasana yang sudah mencair sejak semalam. Melupakan rasa lapar karena menyadari bahwa kali ini mungkin aku kembali salah strategi, seharusnya tak membawanya kesini. Ketempat yang ternyata menyimpan banyak kenangan Jean dan seseorang yang dipanggil koko tersebut.Seusai makan Jean meminta untuk langsung kembali kehotel, tak lagi ada obrolan diantara kita setelahnya.Langsung saja kududuki kursi empuk yang terletak dipojok ruangan ini, mengamati setiap gerak geriknya sejak kembali kesini. Sudah berganti pakaian lagi dengan daster mininya, sudah selesai pula membersihkan diri dari kamar mandi kemudian duduk dikursi menghadap kaca, mengeluarkan pouch kecil yang ternyata berisi banyak sekali kebutuhan skincarenya."Sesibuk inikah kamu setiap mau tidur?" Kali ini biarlah aku yang berusaha membuat suasana diantara kita mencair. Jean hanya mengangguk, dan aku masih memikirkan topik apalagi yang akan kubahas kali ini.Baiklah, giliranku yang harus membersih diri. Akupun berganti pakaian menggunakan kaos pendek dan boxer pendek pula. Kali ini langsung merebahkan diri ke salah satu bed. Jean nampaknya sudah menyelesaikan ritualnya, memilih lampu dalam mode tidur dan ikut berbaring namun berada di bed seberangku.Jean sungguh tak memperdulikanku, segera
"Aku ingin bercerai." Ucapku seraya melemparkan map ke meja dihadapannya. Jean, wanita yang sudah dua tahun ini berstatus menjadi istriku. "Jean, bukankah dari awal aku sudah katakan bahwa pernikahan ini tidak akan bertahan lama?" Aku beralih duduk dihadapannya namun dia masih diam tak bergemim , matanya menatap map yang masih diatas meja. Wanita didepanku ini biasanya akan cerewet, sesekali menjawab setiap perdebatanku dan akan ia akhiri dengan senyum simpul pertanda tak peduli. "Jean!" Aku mulai menaikkan nada suaraku. Jean tak seperti biasanya, dia hanya diam tanpa membantah ataupun menjawab permintaanku kali ini. Dua tahun hidup dengannya tidak banyak hal yang kita lakukan bersama, bahkan akupun tak ingin tau kegiatan apa saja yang dia lakukan setiap harinya. Sebaliknya, dia akan mencecarku banyak pertanyaan tentang hal tak penting yang kemudian akan aku jawab dengan nada tinggi untuk berhenti, dia selalu menganggu. Tapi hanya dia timpali dengam senyuman. "Baik
Sejak kembali masuk kedalam kamar Jean. Nampak dia masih berbaring tetap menghadap samping dengan selimut tertutup sampai dadanya. "Perlu kumatikan pendinginnya?" Entah sudah berapa pertanyaan yang terlontar dariku sejak tadi namun tak sekalipun dia menjawab selain dengan gelengan kepala. Ternyata begini rasanya bertanya tapi diacuhkan, sedangkan hampir setiap hari aku tak menghiraukan semua ucapan dari Jean. Aku bisa mendengar suara klakson mobil hinga berisiknya gerbang yang terbuka, pastilah mama sudah datang dengan supirnya. Bergegas aku keluar kamar ini menghampiri wanita setengah baya yang sudah nampak memasuki pintu utama. "Kenapa Jean?" Mata tua itu melotot seperti sudah siap keluar dari tempatnya. "Ini pasti ulahmu kan? Mama sudah katakan jangan gegabah, sudah mending dapat istri baik begitu masih aja kurang." Kemarin aku memang sempat datang kerumah mama sebelum akhirnya mengurusi semua berkas gugatan yang akan kudaftarkan ke pengadilan Agama.
"Jean, suamimu sedang berbicara denganmu." Sosok didepanku kini berbalik arah menghadapku. Tak ada jawaban atau bantahan lagi darinya, "Kamu terus mendiamkanku seharian." Aku sedikit melunak, namun Jean tetap tak bersuara Aku menghampirinya, duduk berlutut didepannya namun dia tetap tak menghiraukannya. "Jangan begini, rasanya gak enak." Aku meraih kedua tangannya, sempat kudengar helaan nafas berat dari sosok berbau wangi shampo didepanku ini. "Maafkan aku." "Iya." Hanya begitu, kemudian melepaskan tanganku. Jean beranjak menuju lemarinya, mengambil salah satu dari tumpukannya kemudian masuk kembali kedalam kamar mandi. Sungguh, belum ada sehari Jean mendiamkanku aku sudah kelabakan seperti ini. Bagaimana bila nantinya aku resmi berpisah dengannya? Namun bukankah dari awal aku memang sudah menginginkan perpisahan ini? Aku bahkan tidak pernah sebimbang ini. Jean selesai, mengenakan daster mini yang memang biasa ia kenakan dirumah. Kali ini aku memilih untu
Tepat adzan magrib saat akhirnya membelokkan mobil di tempat pengisian bahan bakar. Jean masih saja menutup matanya, bajunya sudah berganti dengan kaos polos dan celana panjang saat akan berangkat tadi. "Aku antar ke kamar mandi dulu sebelum shalat." Baru saja aku akan melepaskan sabuk pengamannya, namun dia seolah tau dan terlebih dahulu melepasnya. Jean bergegas akan membuka pintu mobil. Aku masih memandanginya saat akhirnya dia juga berbalik arah memandangku, ya pintu mobil belum ku buka kunci otomatisnya, kali ini aku tersenyum mengejek kearahnya. Ku buka pintu disebelahku kemudian bergegas keluar membukakan pintu untuknya. "Hati-hati istriku." Ucapku mengedipkan mata kearahnya, dia hanya memandang tak berekspresi. Jean beranjak, memberi isyarat kepadaku untuk membuka bagasi mobil dan langsung kuturuti perintahnya. Dia mengambil sebuah totebag terpisah yang sengaja disiapkan untuk perlengkapan shalatnya. Begitu pula aku, mengambil sarung yang kemudian sege