Share

bab lima

Author: Piki Chan
last update Last Updated: 2022-11-18 07:37:17

Setelah selesai berjamaah, seorang driver yang sudah menyelesaikan pesananku mengabari sudah menunggu didepan.

"Maaf ya mas. Pasti tadi kesusahan mencari pesanan saya." Aku berucap bebarengan dengan sekantong kresek yang diberikan driver tersebut kepadaku.

"Carinya gampang mas, antrinya itulo yang butuh waktu lama." Pria yang mungkin seumuranku tersebut tertawa, aku memberikan uang beserta tips untuknya.

"Saya kira tidak akan menemukan makanan ini disini mas. Istri saya sedang hamil dan hanya mau makan ini katanya." Aku bernafas lega, mengintip makanan dalam kotak yang lengkap dengan jus tomat permintaannya.

"Namanya orang hamil mas, sabar aja. Sebagai suami emang tugasnya nurutin ngidamnya istri biar dunia baik-baik saja." Akupun ikut tertawa, kemudian pria ini pamit untuk pergi begitupun aku yang segera kembali kekamar.

Jean terlihat duduk dikursi, menyeduh teh panas yang kusiapkan tadi mungkin sudah dingin. Rambutnya dia ikat keatas, tangannya sibuk menscroll ponsel.

"Tidak ada alasan lagi untuk menolak makan." Aku mendekatinya, mengeluarkan kotak dari kantong kresek, membuka tutupnya dan memapaskannya tepat dihadapan Jean.

"Setelah lama sekali sejak terakhir makan ini " mendengarnya membuatku mengerutkan alis.

"Kamu pernah kesini?" Dia mengangguk. "Sudah berapa kali?"

"Sangat sering sampai aku lupa menghitungnya." Jean nampak bersemangat memakannya, aku masih berdiri disebelahnya memperhatikannya melahap suapan demi suapan. "Mas Gara gak makan?" Dia menoleh kearahku, aku menggeleng.

"Setelah ini aku bisa pergi mencari makan diluar saja." Aku memang sangat ingin sekedar mencari angin malam ini. "Kamu bisa beristirahat saja disini." Jangan ditanya, ingin sekali juga mengajak Jean tapi kuurungkan karena mungkin penolakannya yang akhirnya kudapatkan.

"Engga, aku ikut aja. Disini seram kalau sendirian." Kusimpulkan senyum masih memandanginya.

Aku berpindah kekasur, menselonjorkan badanku yang ternyata terasa sangat nikmat ini. Masih menunggu Jean makan dan membalas beberapa pesan yang berkaitan dengan pekerjaan.

Sebelum berangkat tadi aku masih sempat mengabari mama akan mengajak Jean berlibur, aku sudah janji pada Jean untuk mengantarnya mengunjungi rumahnya setelah dari sini. Mungkin beberapa hari sampai moodnya kembali baik.

Jean sangat sering memintaku untuk mengajaknya berlibur, namun tetap saja tak pernah kuhiraukan. Bahkan acara bulan madu pengantin baru otomatis terlewatkan karena aku beralasan sibuk bekerja padahal papa sudah memberikanku waktu dan dengan senang hati menawari banyak pilihan tempat yang sekiranya ingin aku kunjungi pada waktu itu.

Dalam waktu dua tahun kehidupan pernikahan kami memang sangat monoton, aku hanya akan bangun pagi, duduk diantara menu yang sudah disiapkannya kemudian berangkat bekerja, mengulur waktu untuk pulang dan saat malam ternyata Jean masih menungguku hingga kadang tertidur diruang tamu lalu dia akan terbangun karena suara pintu yang kubuka.

Kalau ditanya, adakah wanita yang kucintai saat itu tentu akan kujawab dialah Rianti, gadis cantik yang merupakan teman sejak kuliahku. Memutuskan untuk pindah keluar negeri untuk melanjutkan karirnya sebagai seorang model.

Jean tau itu, bahkan setelah menikah secara terang-terangan aku membawanya pulang tanpa memperdulikan bagaimana perasaanya saat itu. Aku dan Rianti kandas bukan karena pernikahan ini, tapi karena sebuah hubungan gelapnya dengan lelaki lebih tua itu terungkap. Rasanya sudah sangat malas sekali membahas wanita tersebut.

Namun keputusan bodohku untuk menceraikan Jean kemarin tak lepas dari karena kejenuhanku sendiri. Merasa bahwa hubungan yang sia-sia bila dilanjutkan namun kali ini aku menyadari telah salah langkah. Bukannya memperbaiki malah memutuskan diakhiri.

Kembali memandangi Jean, dia masih sibuk menscroll ponselnya dan melanjutkan makannya.

"Aku sudah selesai mas. Ayoh!" Ajaknya setelah membereskan sisa makannya. Entah kenapa sekarang rasanya melihat Jean sangat menarik tidak seperti hari-hari sebelumnya.

"Kamu ganti pakaian dulu." Jean menggeleng. Mengambil kunci mobilku dan akan bergegas keluar dari kamar. Aku langsung menahannya, menarik tangannya mendekat hingga tak ada cela antara kita berdua. "Diluar dingin, cepet ganti baju dulu." Kali ini cukup ampuh, dia mengambil sweaternya yang tadi telah ku masukkan kelemari kamar hotel ini, lalu celana panjang yang sudah tergantung di hanger juga diakenakan lagi, sangat berantakan dandanannha kini. Mungkin lebih baik ketimbang membiarkannya keluar dengan hanya menggunakan baju titpisnya tadi.

Jean tak banyak bicara, biasanya aku yang sangat ingin dia diam walau sehari saja nyatanya tidak, seharian ini dia mendiamkanku dan keadaan hatikupun ikut buruk. Begitupun saat aku menyalakan musik yang jelas sangat bukan kesukaannya dia tak lagi melontarkan protesnya. Mungkinkah Jeanku sedang membalas dendam?

Tak lagi meminta persetujuannya. Langsung menghentikan mobil disebuah warung lesehan nasi goreng. Dari baunya tercium sangat lezat menggugah selera.

"Mau makan lagi" aku bertanya, namun Jeam hanya dia memaku memandangi tempat penjual makan tersebut. Aku mencoba melepaskan sabuk pengamannya namun dia masih diam tak meolak.

Selanjutnya aku turun lalu membukakan pintu mobil ini agar Jean juga ikut turun. Dia berjalan gontai mengikutiku. Aku memberi kode kepada Jean untuk duduk dilesehan beralas tikar yang sudah terpasang didepan ruko yang telah tutup m.

"Mbak cantik, makin cantik saja." Ibu penjual yang belum terlalu tua itu menyapa Jean, "Kapan lalu koko kesini juga, katanya mbak cantik lagi isi ya?" Jean tersenyum namun dipaksakan, aku masih belum paham apa yang dibicarakan mereka "Kemarin padahal mau saya buatkan pesanan yang seperti biasanya lho, nasi goreng spesial dengan telur ceplok setengah matang kesukaan mbaknya. Tapi kata kokonya orang hamil muda tidak boleh makan yang mentah-mentah begitu." Jean tersenyum tapi bibirnya dia gigit seakan menahan sesuatu untuk diluapkan. "Sama siapanya mbak?"

"Suami saya bu." Jawab Jean sedikit ragu, aku bisa melihat dia melirik kearahku kemudian kembali fokus pada ibu ini. Sejurus kemudian bisa dilihat, sang ibu yang merubah ekspresinya kaget, menutup mulutnya menghentikan sesaat kesibukannya mencatat pesananku

"Loh mbak saya kira isi itu nikahnya sama koko, saya minta maaf ya." Ibu tersebut beranjak, setelah selesai mencatat menu yang kupesan.

"Jean?" Aku merubah posisi ke depannya. Menatapnya yang hanya diam memainkan sendok didalam air jeruk hangatnya. "Sepertinya tempat ini memang sering kamu kunjungi, sampai penjual nasi gorengpun akrab denganmu."

Jean menatapku, tanpa kubertanya dia sudah paham kebingunganku. Nampak sekali dia menghela nafasnya berat. Sekarang ini banyak sekali pertanyaan tentang pernyataan ibu penjual barusan, tapi nyatanya Jean sedang tidak ingin membahasnya terlihat dari sikapnya yang langsung membuang muka ketika aku menatapnya tajam.

Aku mencoba menahan diri. Setidaknya aku tidak ingin merusak suasana yang sudah mencair sejak semalam. Melupakan rasa lapar karena menyadari bahwa kali ini mungkin aku kembali salah strategi, seharusnya tak membawanya kesini. Ketempat yang ternyata menyimpan banyak kenangan Jean dan seseorang yang dipanggil koko tersebut.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Susi Dayanti
lanjut Thor ...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Seusai Ikrar Talak   dua dua

    Aku membalikkan tubuhku agar tidak merasakan api cemburu lagi. Aku ingin meninggalkan mereka berdua pergi sejenak, karena kini aku justru merasakan tenggorokanku yang kering. Nyatanya aku tak seberani itu menanggung resiko. Bukankah lebih baik memberi waktu pada mereka saja.Melihat mereka membuatku kehilangan kepercayaan diri. Mungkin, Jean akan merasa lebih baik saat mengobrol dengan teman lamanya.Kuambil sebotol air yang berada di dalam lemari pendingin dan menuangkannya di gelas, meneguknya hingga tandas. Padahal niatku pulang untuk bisa mengobrol serius dengan Jean tapi sepertinya masa lalu masih jadi pemenangnya. Tanpa terasa aku justru tertawa merutuki kebodohanku. Tahu begini, lebih baik aku tetap dikantor saja atau lebih baik pergi ke kafe Aditya."Mas Gara?" Mbok Wati terlihat kaget. Aku lantas tersenyum kearahnya. "Mbak Jean...""Itu puddingnya? Bisa mbok suguhkan sebagian untuk tamu Jean juga." Mbok Wati menurut dan bergegas

  • Seusai Ikrar Talak   dua satu

    Sejak pertengkaran kami, aku, mulai menahan diri untuk menunjukkan perhatianku kepada Jean. Setiap kali melihatnya, hatiku merasa sakit. Jean juga masih tetap saja, dia tidak mau berbicara denganku. Kami seperti dua orang asing yang tinggal di bawah satu atap. Malam itu, saat makan malam bersama, Jean malah memilih untuk makan di kamar. Aku hanya bisa menatapnya pergi, membawa piring makanannya. Hatiku merasa berat. Kami biasanya selalu makan bersama, sekalipun hanya saling diam tapi setidaknya tak harus seperti ini. Namun sekarang, semuanya berubah. Aku merindukan kebiasaan yang sebelumnya, kebersamaan yang biasa ku nikmati walaupun mungkin tidak untuk Jean. Namun, aku tahu bahwa aku harus memberi Jean ruang untuk sendiri kali ini. Mungkin pula dia membutuhkan waktu untuk merenung dan menenangkan pikirannya. Meski begitu, aku tidak bisa menahan kekhawatiran dan rasa sakit di hatiku. Aku merindukan Jean, merindukan suara tawanya, merindukan senyumnya.

  • Seusai Ikrar Talak   dua puluh

    Tanpa terasa tiga hari sudah berlalu sekalipun Jean masih belum diperbolehkan pulang. Keadaanya juga cukup membaik. Bahkan nafsu makannya bertambah dibandingkan hari sebelumnya. Jean sudah bisa kutinggal untuk kemudian kutitipkan dirawat mbok Wati dirumah sakit. Mbok Wati yang paham situasipun, tak berhenti memberi kabar setiap perkembangan Jean. Karena aku tak mungkin mendapatkan kabar langsung dari Jean. Aku kembali fokus menatap layar laptop dan berkas-berkas yang harus aku tanda tangani. Berkali-kali menghela nafasku karena lelah, beberapa hari ini aku selalu tidur di rumah sakit untuk menunggui Jean, walaupun masih sering bersikap acuh dan ketus padaku. Bukan Segara yang akan menyerah hanya hal seperti ini. Karena bagaimanapun caranya, melunakkan Jean adalah tujuan utamaku saat ini. Suara nada dering yang menggema di seluruh penjuru ruangan membuatku langsung mengalihkan pandangan menuju ke layar ponselku, di sana tertera nama Nama. Aku pun langsu

  • Seusai Ikrar Talak   sembilan belas

    Tubuhku mematung saat melihat foto tersebut. Bagaimana bisa, Morgan mendapatkan informasi pengajuan talak yang sempat diurus lawyerku beberapa waktu lalu. Lantas aku segera membenarkan dudukku dan tetap berusaha bersikap tenang. Jadi, ini alasannya pulang ke Indonesia? Artinya Morgan memang masih menyimpan rasa pada Jean? "Hanya seumur dua tahun, dan anda sudah memutuskan hal ini? Harusnya dari awal anda menyerah saja. Jadi tak oerlu menyakiti perasaannya." Raut Morgan terlihat memerah. Mungkin dia memang menyimpan amarah untuk diluapkan padaku. Kini giliranku yang menyimpulkan senyum. "Anda jelas melupakan bahwa talak ini tak mungkin dilanjutkan karena Jean sedang hamil? Perlukah saya perjelas siapa bapaknya?" Morgan terdiam. Tangannya melemah dan meletakkan ponselnya dimeja. Aku masih mencoba tenang dengan menunjukkan sikap yang tak peduli. Padahal hatiku tengah bergemuruh karena menahan gejolak yang entah apa ini namanya, antara malu dan ke

  • Seusai Ikrar Talak   delapan belas

    Saat sedang sibuk dengan pikiranku sendiri. Merasakan getaran di kantong celanaku, tidak berjarak lama dari setelah itu terdengar suara dering ponsel. Aku merogoh saku celanaku dan mendapati nomor Mbok Wati yang sedang menghubungiku.Suatu kebetulan yang sangat jarang terjadi. Dengan segera aku mengangkat telepon itu dengan menekan tombol hijau di layar ponselku. Lantas mendekatkan ponselku pada daun telinga.“Iya Mbok ada apa?”“Mas … i … ini Mas.”Aku mendengar suara Mbok Wati yang sepertinya sedang panik. “Ada apa sih Mbok Kok suaranya gitu?”“Ini loh, Mas. Mbak Jean, tadi mbak Jean pingsan di swalayan. Tadi kan kami pergi belanja ke swalayan, Ini beneran loh mas kalau mbak Jean sendiri yang pengen ikut. Padahal kan saya udah bilang jangan, soalnya muka dia itu kayaknya pucet gitu loh. Pas lagi milih-milih barang belanjaan tiba-tiba pingsan.”Aku yang mendapatkan kabar tersebut langsung bertanya sekarang Mbok Wati dan j

  • Seusai Ikrar Talak   tujuh belas

    Pagi hari yang cerah namun tidak dengan suasana hatiku saat ini. Duduk di kursi kebanggaanku yang berada di ruang kerja, seraya menatap layar laptopku. Pasalnya hari ini sama sekali tak bisa membuatku fokus kerja karena nyatanya mengajak Jean ke pantai pun sama sekali tidak meluluhkan hatinya.Padahal aku sudah mencari review rumah makan dengan pemandangan paling banyak di ulas. Kenapa meluluhkan hati Jean jadi sesulit ini? Aku menghela nafasku dan menopang dagu ku. Apalagi yang harus aku lakukan supaya Jean luluh?Aku memijit pangkal hidungku seraya membaca file yang masuk ke dalam email perusahaan. Hingga akhirnya mendengar suara pintu ruanganku yang diketuk. Membuatku memcingkan mata dan mencoba menerka tentang siapa yang datang. Karena seingatky semua berkas sudah tertumpuk di meja ini.Saat masih diam menebak hingga lupa untuk mempersilahkan orang di balik pintu itu untuk masuk. Namun saat tersadar dari lamunanku, terlihat handle pintu itu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status