***
Flashack 8 tahun lalu Baru saja kami melangsungkan akad nikah, ayahku ikut mendampingiku sebagai wali nikah. Dengan pakaian sederhana ayah menjadi waliku. Luapan kebahagiaan sangat terasa di hati kami. Namun, tidak bagi keluarga Andra. Melihat dan mendengar ayahku yang bekerja sebagai tukang becak membuat mereka mulai menghina dan merasa jijik dengan kami. Akad nikah yang semula sakral menjadi cerita horor bagiku. Apa tidak boleh anak dari tukang becak menjadi dokter? Apa tidak boleh menikah dengan keluarga terpandang seperti Andra? Jujur, hati ini sedih melihat mereka mulai menunjukkan taringnya di depan orang tuaku. Sosok ayah panutanku, walau dalam keadaan tidak punya pun ayah selalu mengajariku untuk bekerja keras, dan tetap semangat menjalani hidup. Kuliah kedokteran berbekal dari beasiswa prestasi dan sepetak sawah dari ayah menjadi saksi perjuangan kami. "Sabar, Nak. Kita memang orang miskin, tapi ayah bangga melihatmu menjadi seorang dokter. Ini adalah pilihan hidupmu menjadi seorang istri dari dokter yang hebat, Ayah tenang bisa mengantarmu sampai disini." wajah sepuh itu justru menasehatiku, ayah tidak pernah membuat hati seorang pun terluka, sebagai anak gadisnya yang berprestasi membuat semangat ayah terus menggebu-gebu setiap saat, menunjukkan kepada semua orang bahwa siapa saja bisa menjadi dokter meski dari golongan ke bawah. Salahku yang cepat ingin menikah karena Andra menjanjikan kebahagiaan untukku. Menjanjikan akan melanjutkan gelar dokter hingga spesialis. "Nanti Mas yang akan membiayaimu sampai spesialis setelah menikah." Begitu ucapannya, karena Andra memang sangat menyanyangiku. Tidak ingin pacaran dia langsung melamarku. Acara akad nikah selesai keluarganya mulai menerorku satu per satu. Dari awal hubungan ini salah karena Andra tidak jujur dengan keluarganya menikahiku anak tukang becak, keluarga kebawah menurut mereka. "Anak tukang becak jadi mantu di rumah ini, selamat!" mereka mulai memojokkanku, Andra bersaudara tiga dan Andra anak pertama. "Kenapa kamu tidak jujur jika anak tukang becak, bangun woy dari mimpi!" saudara perempuan nya Andra berteriak, apa dia tidak takut karma berlaku padanya! "Sampai kapan pun kami tidak sudi!" Penghinaan itu terus berlanjut, pernikahanku seperti neraka bagiku. Malam pertama yang harusnya bahagia jauh dari ekspetasi. Ini memang salahku dari awal, berambisi menjadi istri seorang Andra dokter berprestasi yang banyak direbutkan oleh para gadis dan dokter yang lain. "Hei, Nad. Pastikan kamu tidak berhubungan dengan Andra! Katakan kalau kamu sedang berhalangan. Pikir baik-baik jika kamu ingin melangsungkan pernikahan ini." Mama mertuaku ikut menghinaku. Dari awal dia memang menentang hubungan kami karena Andra akan dinikahkan dengan gadis dari kalangannya. "Apaan Andra ini, bilangnya istrinya sudah bergelar dokter ternyata masih panjang perjalanan. Harusnya kamu juga mikir menikah dengan yang tidak sepadan denganmu!" dada ini terus bergemuruh, make up ku masih cantik dengan polesan perias terkenal pun rusak seketika, air mata terus mengalir. Kemana Andra? Bukannya dia sangat mencintaiku? Kemana dia ketika istri yang baru dinikahi dihina seperti ini. Aku memang baru selesai kuliah dengan gelar S.Ked perjuangan yang luar biasa meski belum bergelar dr. Karena harus menjadi co-ass terlebih dahulu. "Kamu tidur di gudang!" "Aku istri sahnya mas Andra, Ma." Aku mulai membela diri. "Hei, mimpi bangun, woy!" mereka sangat kompak menyerangku. "Apa kata Mas Andra jika istrinya tidak bersama di malam pertama!" aku mulai membela diri, jangan sampai lemah dengan keadaan yang sudah terjadi denganku, menikah dengan Andra benar-benar bencana bagiku. "Baiklah, jangan sampai kamu berhubungan, katakan sama Andra jika kamu sedang halangan. Kamu tidak mau 'kan menghidupi anakmu sendiri!" Baru kutahu keluarga mereka sangat kejam! Ini seperti masuk ke dalam lubang buaya yang siap menerkam. Di malam pertama yang harusnya memadu kasih, tidak bagiku dengan Andra. Beralasan sedang berhalangan membuat Andra sadar tidak berani menyentuhku. Andra laki-laki yang sangat istimewa, dia sangat memperlakukanku seperti ratu. Itu semakin membuat keluarga tidak terima. Di rumah sebesar itu aku sudah seperti babu bagi mereka, segala urusan rumah dilimpahkan kepadaku. Harga diriku benar-benar hancur. Mereka mulai bereaksi ketika Andra berangkat kerja. "Pilih diam atau pergi, rumah ini akan jadi neraka bagimu, Nadhin!" begitu ucapan mereka menyerangku. Mencoba bertahan meski luka dihati ini terus tumbuh setiap harinya, apalagi terang-terangan mereka menunjukkan calon istri Andra yang sebenarnya. Mereka sangat puas menghinaku, memojokkanku dan membuang segala harga diriku. Kalau tidak ingat pesan ayah ketika akad nikah, "Rumah tangga itu tidak mudah kadang butuh kekuatan untuk menjalani, ayah yakin kamu kuat."Hingga saat waktunya tiba, Andra dikirim keluarganya untuk keluar daerah, itulah puncak dari semua rasa yang ada. Disiksa lahir dan bathin. Selama ini Andra sikapnya bagaimana? Percuma menceritakan apa pun dengannya karena dia lebih berpihak dengan keluarganya yang terhormat! Mereka membuangku di jalanan, puas menghinaku dan melempar cek senilai seratus lima puluh juta, setelah itu dia memfitnahku sehingga keluar kata talak itu dari mulut Andra. "Menghilang lah, jangan pernah kembali!" Ibunya menyodorkan surat perjanjian agar aku tidak menceritakan menjadi janda dari Andra. Yang lebih menyakitkan Andra lebih membela keluarganya, tak sedikit pun membelaku. "Aku pulangkan kamu kepada keluargamu Nadhine Azzahra, hari ini resmi aku menceraikanmu!" suara di telpon begitu lantang, Ibunya terlihat sangat bahagia dan aku tak mengeluarkan sedikit pun air mata. Mereka berhasil membuat fitnah aku main dibelakang dengan seorang laki-laki selama Andra di luar daerah. Flashback off *** "Hallo, Nad! Kenapa bengong!" Khayalanku ke delapan tahun yang lalu membuat hati ini perih dan semakin mantap bahwa Andra bukan laki-laki yang patut diperjuangkan. "Baik, Han. Kali ini aku mengikuti saranmu!" Reyhan tersenyum, Reyhan laki-laki yang luar biasa ikhlas membantuku. Akan kubuktikan bahwa Nadhine Azzahra anak tukang becak itu bangkit!Masuk trimester ketiga kondisi Nadhine semakin berbeda. Bukan hanya kaki, tapi tangan dan wajahnya juga bengkak. Hari ini dia memintaku untuk mengajaknya ke pantai. Pantai dekat kampung halamannya. "Sayang, jika aku tiada nanti. Berjanjilah untuk selalu bahagia." Ucapan itu mungkin sudah sekian ratus kali Nadhine ucapkan ketika bersamaku. Di bibir pantai aku duduk dengannya. Kami bernostalgia tentang cinta kami dan kenangan di kedokteran. Sesekali dia tertawa, tapi justru aku yang terluka. Aku seperti bersama dengan orang yang akan pergi jauh. Pergi selama-lamanya. "Han, wasiat dokter Andra lebih baik dimanfaatkan dengan sebaik mungkin. Rumahnya kembalikan saja ke adik-adiknya yang lebih berhak. Kudengar mereka ngontrak dari satu tempat ke tempat yang lain. Kalau uangnya mungkin bisa dibuatkan sebuah yayasan penderita jantung. Agar kebaikannya mengalir terus menerus." Aku hanya mengangguk, meski setiap kata yang terucap dari Nadhine membuatku hancur.***Aku bahkan tak tenang kerja
***Menjelang melahirkan bahkan aku tak bisa tidur malam lagi. Kaki yang bengkak ini membuatku sulit untuk berjalan. Badanku mulai terasa berat, nafasku bahkan sudah tak beraturan. Namun, aku sadar diri sebisa mungkin tak ingin membuat Reyhan panik. Aku sudah berusaha seperti wanita hamil lainnya banyak gerak menjelang melahirkan."Sayang diam saja, jangan terlalu banyak gerak.""Harus banyak gerak sayang, biar dedek sehat dan bunda kuat." Reyhan hanya tersenyum. Namun, kutahu dia lebih panik dariku menjelang persalinan"Sehat-sehat ya, dedek dan bunda." Dia memegang dan mencium perutku."Sayang kenapa tidak kerja?" tanyaku heran melihatnya belum siap 
Hari semakin hari kehamilanku terasa berat. Aku sudah resign dari rumah sakit. Mudah lelah dan sering sesak nafas membuatku tidak nyaman. Namun, tak menyurutkanku untuk menghadirkan buah hati ini. Jika waktuku tiba ada anak yang menjadi penyemangat Reyhan nanti. Kujalani semua ini dengan ikhlas dan berharap semua kebaikan bertumpu kepada kami.Reyhan terus memenuhi segala keinginanku. Aku bukannya tak mau dia merasakan apa yang kurasakan, tapi setiap melihatku Reyhan selalu menangis, entah apa yang ditakutkannya. Bahkan Reyhan tidak akan tidur jika aku belum tidur aku dibuat seperti bayi. Dijaga dan dirawat sebaik mungkin padahal aku tahu dia sangat capek bekerja dari pagi."Apanya yang sakit?""Gak ada, sayang. Bunda sama calon dedek sehat." Aku berusaha untuk selalu tersenyum, tapi guratan kesedihan dalam diri Reyhan tak bisa disembunyikan. Bahkan aku tak mengeluh sedikit pun di depannya. Ini kare
Satu tahun kemudian ....Entah mengapa hari ini badanku terasa lemas sekali, ingin rebahan saja. Ada rasa mual yang mendera. Apa aku magh? Setiap makanan yang masuk langsung aku muntahin."Sayang kenapa pucat?" tanya Reyhan yang panik baru pulang kerja. Aku hari ini tidak masuk kerja, biasanya kami selalu pulang bersamaan, Reyhan takut jika aku pulang sendiri."Iya, sayang, pusing.""Ayo tidur dulu." Aku menggeleng, tidur pun tak enak soalnya."Kenapa?""Capek tidur, rasanya mual." Aku berlari ke kamar mandi untuk muntah-muntah lagi.Oek ... oek ...oek Ya Allah capek sekali rasanya muntah-muntah terus dari pagi. Reyhan terlihat panik, karena dari pagi memang aku hanya lemas saja tidak sampai muntah-muntah."Sayang ....""Kenapa sayang?"Semua pelayan terlihat panik melihatku yang muntah-muntah. Bagaimana tidak? Aku pucat dari pagi tidak ada makanan yang bisa masuk, mual dan muntah menjadi satu."Sayang mau makan apa?" tanya Reyhan."Pengen mangga muda, sayang. Dari pagi mangga muda it
"Lagi buka apa, sayang?" Reyhan tiba-tiba masuk menanyakan amplop yang akan kubuka."Ini, sayang. Bukannya ini punyaku?" tanyaku yang penasaran."Iya, sayang itu punyamu." Reyhan nampak tenang, tidak ada gelagat yang mencurigakan. Aku membuka isi amplop itu, tapi semua hasil normal tak ada yang harus kukhawatirkan. Itu berarti aku masih punya kesempatan untuk hamil."Han ....""Iya, sayang, kenapa?""Aku khawatir rahimku bermasalah?" Reyhan mengenggam tanganku, dia duduk dibawah renjang sementara posisiku di atas ranjang. Dalam kelembutan dia menatapku seperti merasakan kegalauan yang kualami."Allah itu mengikuti prasangka hamba-Nya. Kita harus berprasangka baik agar semua yang kita harapkan berakhir baik. Abang bersyukur masih bisa melihatmu dan berada didekatmu, sayang." Aku seperti merasakan kode bahwa sebenarnya akan sulit bagi kami memiliki anak."Aku hanya ingin membuatmu bahagia, Han.""Melihat senyummu saja sudah anugerah yang luar biasa bagiku, sayang. Tidak mudah bagi kit
Tak terasa sudah sampai di rumah, mami sudah siap salat magrib. Sementara Rachel belum pulang dari rumah sakit, pasti sangat macet di jalan. "Alhamdulillah kalian sudah sampai," ucap mami. "Mana Rachel, Mi? Apa dia balik lagi ke rumah sakit setelah makan siang tadi?" tanya Reyhan yang belum melihat adik manisnya. "Belum pulang, paling macet di jalan. Iya tadi adikmu balik, dia menggerutu tidak kuat jadi direktur di rumah sakit." Aku hanya senyum-senyum mendengar mami cerita. "Bawa apa, Nak?" tanya mami yang melihatku membawa amplop besar. Reyhan menjelaskan ke mami, hasil pertemuanku dengan Jihan dan Laras. "Ujian dan musibah terkadang membuat orang semakin dewasa, ya, Rey." Ayah ikut bergabung bersama kami. "Kalian mandi, ya, udah mau magrib," ucap mami. Kami mengangguk dan bersiap ke kamar, suara deru mobil Rachel memasuki halaman rumah. Dia pasti belum tahu akan dipinang oleh dok
"Boleh kami berbicara, Nad?" tanya Laras. Aku menoleh ke Reyhan menanyakan kode apakah aku boleh atau tidak. Reyhan mengangguk. Kami sepakat untuk berbicara sebentar mengingat ada acara di rumah. Penampilan Laras dan Jihan saat ini sangat jauh sebelum aku kecelakaan. Tidak tahu bagaimana nasib mantan mama mertua. "Maafkan kami, Nad." Laras memulai pembicaraan. "Mama sudah meninggal dunia," sambung Jihan. "Innalillahiwainnailaihi roji'un." "Kami tidak memiliki biaya untuk pengobatan mama, setelah mas Andra meninggal mama depresi, kami mencoba untuk membawanya keluar negeri. Ternyata mama mengalami kanker rahim stadium akhir. Nyawanya tidak tertolong hingga meninggal satu bulan yang lalu." Jihan dengan detail menceritakan kejadian yang menimpanya. Aku dan Reyhan hanya menjadi pendengar setia.
"Nak, laki-laki dewasa itu biasnya belajar dari pengalaman. Asal Nadhine tahu saja Ayah itu sangat mencintai mami sampai pernah menjadi orang jahat, ternyata setelah enam tahun kemudian, kami dipertemukan dengan ayah kalian yang begitu dewasa dalam kondisi mami janda. Bahkan dia rela mengambil spesialis bedah agar bisa bersama mami. Jodoh selalu datang di waktu yang tepat meski butuh waktu yang lama. Makanya kalau lihat Reyhan seperti melihat ayah waktu muda dulu mencintai mami sampai waktu yang tak terbatas." Mami sangat menghayati sekali menceritakan masa lalunya sambil meneteskan air mata."Saat ini nak Nadhine harus percaya bahwa Reyhan tulus menyanyangimu agar transfer cinta kalian menyatu. Hindari pikiran yang dapat merusak hubungan dan perasaan kalian. Apalagi penyakit jantung tidak boleh stress." Aku mengangguk dan membalas pelukan mami. Mami mertua yang luar biasa dihatiku.Kalimat terakhir yang membuatku terenyuh adalah pernyataan mami bahwa yang
Reyhan sangat setia merawatku di rumah. Tiga hari ini dia minta cuti untuk tidak bekerja. Dia bahkan membuat jadwal untukku mengkonsumsi obat. Dia tak ingin waktu hilang bersamaku walau sedetik pun. Makanan pun semuanya di steril dulu olehnya. Ada beberapa makanan yang tidak dianjurkan untuk penderita jantung. Reyhan sangat hati-hati. Semua pelayan bahkan di berikan pengarahan dulu agar makanan yang kumakan harus benar-benar sesuai. Kami hanya senyum-senyum melihat tingkah Reyhan yang mengalahkan perawat rumah sakit."Abang, kak Nadhine udah sembuh. Dibuat kayak gitu bikin sakit beneran." Seperti biasa Rachel menganggu Reyhan yang sedang menyuapiku. Bahkan Reyhan tak pernah absen menyuapiku makan selama di rumah."Kalau jomlo mana tahu hal demikian." Rachel justru tertawa, aku hanya senyum-senyum melihat si abang yang memang berlebihan bapernya.Kondisiku memang masih lemah meski badan terasa segar.