Hari ini, kedua kalinya Lee menjemput Gemi di apartemen wanita itu. Sesuai janji keduanya kala itu, mereka akan pergi ke taman hiburan setelah menjemput Chandie di sekolah.
Gemi hanya mengenakan celana jeans serta kaos longgar, yang sama sekali tidak memamerkan bentuk tubuhnya. Gemi hanya menyesuaikan tempat yang dikunjungi, dengan pakaian yang dikenakan. Karena mereka akan pergi ke taman hiburan, maka Gemi ingin berpenampilan sekasual mungkin, agar mempermudah pergerakannya di sana nanti.
Lagi-lagi, bel apartemennya berbunyi lima belas menit, sebelum waktu yang dijanjikan, yakni pukul sembilan. Sepertinya, Lee adalah pria yang memang sangat menghargai waktu. Pria itu lebih memilih datang lebih cepat, dari pada terlambat ketika menjemputnya
Gemi bergegas mengambil tas selempangnya. Memastikan penampilannya di depan standing mirror terlebih dahulu. Lalu, setelah dirasa sempurna, Gemi bergegas pergi untuk membukakan pintu.
Di depan sana, sudah ada Lee yang juga memakai pakaian kasual dan membuat pria itu terlihat beberapa tahun lebih muda dari usianya. Pria tampan dengan segala kharisma, yang mampu membuat tiap wanita melebur, terlebih, jika mengenal Lee lebih dekat lagi. Seperti Gemi saat ini, ia sudah mencair dengan semua kesempurnaan tanpa celah yang ditunjukkan pria itu kepadanya.
Andai saja, waktu bisa diulang kembali. Gemi mungkin bisa berhati-hati dan mejaga dirinya dengan baik di masa lalu.
Senyuman hangat kembali diberikan Lee kepada Gemi. Melihat penampilan wanita itu dari ujung rambut hingga kaki. Gemi, memanglah sangat cantik secara visual, tapi yang membuat Lee lebih tertarik kepada wanita itu adalah, otak cerdas yang selalu bisa diajak berargumen tentang apa saja. Dalam angan Lee, menghabiskan masa tua bersama Gemi, pasti tidak akan membosankan. Karena mereka akan selalu memiliki obrolan yang tidak akan pernah ada habisnya.
“Lagi-lagi, kamu sudah siap seperti ini.”
“Maksudnya, Pak?”
Lee melipat tangan di depan dada. “Apa kamu menyembunyikan sesuatu di apartemenmu, Gem? Benar kamu tinggal sendiri?”
Gemi yang hendak menarik handle pintu untuk menutupnya, berhenti sejenak. Mengerjab beberapa kali ketika memandang Lee. “Tinggal sendiri lah, Pak.”
“Yakin?” mata Lee menyipit tajam, ingin tertawa di dalam hati.
“Yakin!”
“Boleh saya periksa?”
Seketika itu juga Gemi paham dengan ucapan Lee. “Bilang aja, kalau Bapak mau masuk,” cebik Gemi kemudian menggeser tubuhnya dan membuka pintu dengan lebar. Membiarkan Lee yang terkekeh kecil untuk masuk ke dalam apartemen sederhananya.
Begitu masuk, Lee langsung disuguhi ruang tamu yang bersebelahan dengan kitchen bar, yang hanya terdapat dua stool bar di depannya. Ada sebuah sofa bed di sebelah kanan Lee dan teve layar datar berukuran 21 inchi di seberangnya.
“Boleh saya duduk?” tanyanya dengan sopan pada Gemi.
“Oh, iya, Pak, silakan duduk.” Gemi melewati Lee, dan melangkah lurus menuju dapur. Menggaruk leher karena bingung. Gemi tidak pernah menyetok makanan apapun di unitnya kecuali air mineral. Bagi Gemi, apartemennya hanya tempat untuk melepas lelah setelah bekerja. Jika ia lapar dan hendak makan, tinggal turun ke bawah lalu membeli makanan yang dijual di sekitar gedung apartemenya. Atau kalau sedang malas, ia hanya memesannya lewat aplikasi on-line. Sesimple itulah hidup Gemi selama ini.
Manik Lee berpendar, melihat apartemen Gemi yang begitu bersih dan minimalis. Meneliti dari sudut ke sudut, lalu tatapannya berhenti pada Gemi yang terlihat bingung.
“Kenapa, Gem?”
Gemi meringis datar. “Saya, nggak punya apa-apa di sini, Pak. Adanya cuma air mineral di kulkas sama air galon,” tunjuknya pada dispenser yang berada di meja bar.
“Kita bisa mampir ke supermarket sebentar sebelum jemput Chandie, kamu bisa belanja dulu di sana.” Lee mengangkat tangan kirinya untuk melihat jam tangan yang melingkar di sana. “Masih ada satu jam, sebelum Chandie pulang sekolah.”
Gemi menggigit separuh bibir bawahnya. Berjalan menghampiri Lee dengan pelan. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana jeans bagian belakang. Berhenti tepat di depan teve, yang membelakangi sebuah rak.
“Saya, nggak pernah nyetok makanan, sih, Pak. Kalau mau makan ya beli, karena nggak punya waktu juga buat masak.”
“Nggak pernah nyetok karena nggak bisa masak, atau karena malas masak?”
Sungguh pertanyaan yang menjebak. Karena apa pun jawabannya, tetap lah menguak kekurangan Gemi yang memang tidak ahli dalam satu hal itu.
Yang mampu Gemi lakukan saat ini hanya menghela dengan ringisan lebar dan tersipu. “Nggak bisa, sama malas juga sebenarnya. Karena, saya sudah capek duluan kalau pulang kerja. Kalau pagi, lebih banyak ngecek berita anak-anak yang sudah terbit.”
Lee paham akan hal itu. Ia lantas berdiri dan mengajak Gemi untuk keluar dari apartemen wanita itu. “Sampai kapan kamu mau jadi wartawan, Gem?”
“Sampai …” Gemi terdiam sembari mengunci pintu apartemennya. Tidak pernah sedikit pun terlintas di pikirannya, untuk berhenti menggeluti dunia yang sudah ia cintai selama ini. Sebuah pekerjaan yang sudah memperkenalkan dunia luas kepadanya. Memiliki berbagai teman dan relasi dari berbagai daerah. Karena tak ayal, Gemi juga pernah ditugaskan ke beberapa daerah, bahkan ke luar negeri karena pekerjaannya saat ini.
“Nggak tahu lah, Pak.” Gemi mengendik ragu, berjalan bersisihan pelan dengan Lee menuju lift. “Bentar lagi saya mau UKW, jadi redaktur utama … mana tahu, kan, Pak, beberapa tahun ke depan saya bisa jadi pemred Radar, ATAU, ada partai politik yang mau gandeng saya jadi walikota,” ucap Gemi berniat berkelakar. Tapi, tiap ucapan sesungguhnya adalah sebuah doa, dan bagi Gemi, semua hal diucapkannya barusan memang bukan sesuatu yang mustahil.
“Bagaimana dengan keluarga, Gem?” Keduanya memasuki lift dan Lee menekan tombol menuju lantai basement. “Apa hanya karir yang kamu pikirkan?”
Hati Gemi selalu saja terasa diremas erat, ketika ada yang mempertanyakan hal tersebut. Wanita mana yang tidak ingin menikah dan mempunyai keluarga yang sempurna di dunia ini.
Namun, Gemi sadar, tidak semua pria akan mau menerima dirinya, dengan semua masa lalu yang membuatnya menjadi wanita yang tidak sempurna. Gemi cemas, jika suatu saat ia menikah, sang suami akan mengungkit semua itu, jika ada salah paham atau pertengkaran di dalam rumah tangganya kelak. Itulah mengapa, Gemi lebih memilih menjalani hidupnya sendiri. Penuh sesal, karena semua kesalahan yang telah diperbuatnya di masa lalu.
“Go with the flow aja lah, Pak. Saya ngikut takdir Tuhan aja, karena apa pun nantinya, saya yakin Tuhan pasti ngasih yang terbaik.”
Di hari kerja seperti ini, taman hiburan benar-benar tidak terlalu ramai. Hingga hampir semua wahana sudah dicoba oleh Gemi dan Chandie tentunya. Sedangkan Lee, pria itu lebih banyak menjadi penonton saja. Mengamati interaksi akrab yang terjadi antara Gemi dan putrinya.Setelah sekian tahun berlalu, entah mengapa baru kali ini Lee memiliki sebuah keinginan untuk kembali membina sebuah biduk rumah tangga. Sebenarnya, Gemi bukan satu-satunya wanita yang bisa dekat dengan Chandie. Ada satu orang guru TK yang juga dekat dengan putrinya, tapi Lee tidak merasakan sebuah chemistry seperti yang dirasakannya terhadap Gemi.Gemi cantik, bahkan bisa dibilang sangat cantik. Bulu mata lentik yang selalu berayun tajam dan bibir sensual, yang selalu bisa membalas argumennya, dengan sebuah nalar yang masuk akal. Membuat Lee merasakan sesuatu yang berbeda dengan Gemi.Tapi … apakah Gemi memiliki perasaan yang sama dengannya? Atau kah, semua ini nantinya hanya menjadi sebu
“Next, saya yang traktir Bapak, ya! hari ini kenyang banget dari pagi dapet gratisan mulu.” Gemi lagi-lagi menggigit separuh bibir bawahnya yang sensual. Menenggelamkan kedua tangan di saku belakang celana jeans, sembari menatap Lee yang mengantarnya sampai depan pintu apartemen.Beberapa saat yang lalu, setelah sampai di lobi kantor, Lee tiba-tiba mengajak Gemi untuk makan malam sebentar. Tentu saja Gemi tidak menolak, karena cacing di perutnya juga sudah bergejolak meminta untuk diisi. Mereka pun hanya mampir di kafe yang terdapat di lantai dasar. Memesan beberapa menu untuk disantap, kemudian pergi menuju gedung apartemen Gemi.“You don’t have to.”“Ya nggak bisa gitu, Pak. Nanti saya nggak mau diajak jalan lagi loh,” tandas Gemi dengan wajah merajuk cantik, hingga membuat Lee terkekeh melihatnya.“Oke, kamu atur aja. Tapi Gem, bisa saya pinjam toilet sebentar?”“Boleh, boleh!” Ge
Sebuah napas panjang dan lega Gemi hembuskan, setelah menyatakan semua hal mengenai dirinya. Gemi mengatakan bahwa dirinya bukanlah seorang wanita baik, seperti yang ada di pikiran Lee saat ini. Ia pernah jatuh ke sebuah kubangan dosa, yang membuat Gemi tidak lagi sempurna sebagai seorang wanita.Degup jantung yang Gemi rasakan, memang sama dengan apa yang Lee rasakan. Keduanya memang memiliki sebuah rasa yang sama. Namun, sebelum rasa itu terlanjur berjalan jauh, Gemi harus menguak sebuah aib diri, sebelum ada masalah yang terjadi di kemudian hari.Lee sangat menghargai kejujuran Gemi, yang telah mengatakan semua hal dengan terbuka kepadanya. Meskipun sempat syok, tapi perasaannya terlalu kolot, jika harus menilai seseorang dari masa lalunya yang kelam.Diantara keterdiaman Lee, Gemi memutar stool barnya menghadap meja. Menunduk dan menyuapkan bubur ayam dengan hati tersayat. Tidak mudah untuk Gemi mengakui segalanya, tapi itu semua harus ia lakukan.Apa
Audi masuk ke dalam ruang keluarga, setelah mendengar maksud kedatangan Lee yang didampingi oleh Asri dan Riko. Kedua orang tua Lee dan Asri sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Oleh sebab itu, Lee hanya di dampingi oleh kakak perempuan serta iparnya untuk mendatangi rumah Gemi.“Gemiii …” Audi memeluk erat sang putri yang sedari tadi hanya berada di dalam. Tidak diperkenankan keluar hingga kedua orang tuanya berbicara dengan keluarga Lee. “Akhirnya anakku laku juga!” ujarnya terkekeh geli dengan ucapan sendiri.“Anaknya dianggap sembako, gini,” cebik Gemi menampilkan eskpresi dramatis.Audi mengurai pelukannya, kemudian merapikan juntaian rambut Gemi yang berada di depan wajah. Tangan Audi terjatuh pada pundak sang putri, kemudian turun, merosot pada lengan Gemi.“Bulan depan, kami sudah nentuin tanggal pernikahanmu, Gem!” seru Audi dengan manik berbinar-binar.Sudah Gemi duga, Lee tidak
Gemi mendorong tubuh Aries yang merengkuhnya, dengan sekuat tenaga. “Ar … lepas … in,” pinta Gemi masih berusaha mengumpulkan seluruh akalnya. “Brengmm …” Gemi pasrah ketika Aries sudah meraup bibirnya dengan rakus. Lebih tepatnya, tubuh Gemi lah yang pasrah, meski akal sehatnya menjerit tidak terima dengan semua sentuhan Aries yang menjalar di tubuhnya. Semakin Aries menyentuhnya, semakin Gemi menginginkan hal yang lebih dari pria itu. Lenguhan demi lenguhan pun sudah tidak dapat lagi terelakkan. “Ar … kamu … brengSEK!” Gemi masih sempat memaki pria itu ketika Aries mulai membuka satu persatu kancing seragam kerja yang dikenakannya. Aries berseringai tajam. Maniknya menatap dengan rasa lapar pada lekuk tubuh Gemi, yang menurutnya terlampau seksi dan menghanyutkan. Semua terlihat sangat proporsional. “Ayolah, Gem, kita bisa seperti dulu. Bersenang-senang sampai pagi.” “AR!” di sisa-sisa kesadarannya, Gemi menendang perut Aries
"Kamu mau nikah?" Aries meraih tangan Gemi dan sedikit mencengkramnya. "Bulan depan?” lanjutnya seolah tidak percaya."Hm!" gumam Gemi mengangkat dagu dengan tinggi. Tidak gentar sedikit pun saat berhadapan dengan Aries seperti ini.Ada seringai kecil yang terlukis di wajah Aries. "Bagaimana kalau calon suamimu tahu, semalam kit—"Plak!Gemi membungkam mulut Aries dengan satu buah tamparan dengan tangannya yang bebas. "Berani kamu cari masalah denganku, aku bersumpah, bakal nyari semua kebusukanmu sama partaimu sampai ke akar-akarnya! Kamu tahu, kan, kalau gak ada yang namanya teman dalam politik? Aku bisa buat kamu jatuh, sejatuh-jatuhnya!"Satu kelemahan Aries yang Gemi sangat pahami. Pria itu sangat gila dengan jabatan dan kedudukan yang ada. Aries senang menjadi terkenal, dihormati, serta disegani oleh khalayak ramai. Image santun dan ramah selalu saja Aries sematkan di mana pun ia berada. Andai pun memang pada nyatanya Aries bersih
Gemi benar-benar merasa bersalah kepada Lee. Kalau begini terus-terusan, ia akan dilanda frustasi sendiri, karena tidak jujur dengan calon suaminya. Namun, tidak mungkin rasanya jika Gemi harus berkata jujur tentang kejadian malam itu kepada Lee.Lantas, dengan satu kali tarikan napas yang begitu dalam, Gemi meyakinkan diri untuk menjauh dan membatalkan pernikahannya dengan Lee. Dimulai dari tidak mengangkat telepon, atau pun membalas chat dari Lee sama sekali.Keputusan Gemi kali ini sudah bulat, ia akan menghindari pria itu. Gemi pun sudah mengatur strategi sebaik mungkin untuk menghindari, kalau-kalau mereka bertemu kantor.Lantas, untuk dua hari ini semua rencana yang telah disusunnya pun berhasil. Gemi selalu berangkat lebih pagi dari apartemennya. Tidak langsung ke kantor, ia lebih memilih berkeliling sembari mencari sesuatu yang menarik untuk diberitakan. Yang mungkin bisa Gemi tulis menjadi tulisan feature.Sedangkan malamnya, Gemi melakukan peker
Lee mengantarkan Gemi kembali ke apartemennya dalam diam. Pria itu bahkan tetap menemani Gemi hingga sampai ke unit tempat tinggalnya. Padahal, Gemi sudah menolaknya berulang kali, tapi Lee hanya memberi jawaban singkat kepada wanita itu.Rasa-rasanya, Lee masih tidak bisa menerima, kalau Gemi tiba-tiba ingin membatalkan pernikahan mereka secara sepihak. Terlebih, Chandie pun sudah sering bertanya, kapan Gemi akan tinggal bersama mereka.Otak Lee masih belum bisa diajak berpikir kalau seperti ini. Ia harus menenangkan diri terlebih dahulu, sembari mencari jalan keluar yang terbaik.“Aku tinggal ke Glory, nanti jam setengsh sepuluh aku ke sini lagi,” ujar Lee ketika sudah sampai di depan pintu unit Gemi.“Ke sini lagi?” tanya Gemi ragu, ingin memastikan sesuatu.“Ya, bukannya kamu sudah janji mau jemput Chandie di sekolah?” Sepertinya, menyodorkan Chandie pada Gemi adalah senjata terakhir yang akan digunakan oleh