Share

Deadline

Sunguh makan malam yang tidak akan terlupakan bagi Gemi. Lee memperlakukannya sangat istimewa. Pria itu benar-benar menghargai Gemi sebagai seorang wanita, sangat sopan dan gentleman, menurutnya.

Dari membukakan pintu, menarik kursi untuknya, mendahulukan Gemi disetiap situasi. Ah! Wanita mana yang tidak akan luluh, jika diperlakukan layaknya ratu seperti Gemi.

Sangat berbeda dengan hubungannya dahulu kala dengan Aries. Sebuah keterikatan yang hanya dihiasi hasrat masa muda yang mengatasnamakan cinta. Lalu semua berakhir hampa. Kalau sudah seperti itu, hanya sesal yang membalut dada. Merugikan Gemi sebagai pihak wanita.

Sungguh, nasi sudah menjadi bubur bagi Gemi. Oleh sebab itu, sejak putus dari Aries, ia tidak pernah lagi berhubungan dengan pria mana pun. Cenderung bersikap dingin dan profesional untuk menjaga jaraknya. Karena Gemi sadar, ia sudah tidak lagi sempurna sebagai seorang wanita.

“Pagi Gem!” sebuah seruan dan tepukan keras, pada ransel yang tergantung di punggungnya, membuat Gemi berjengit kaget. Menjauh satu langkah dan memberi tatapan protes pada atasannya, yang sudah berdiri di samping untuk menunggu pintu lift terbuka.

“Pak Rudi, ada laptop saya di tas, rusak saya minta ganti, loh!”

Rudi memberi Gemi decakan keras. “Percuma punya laptop, berita yang saya minta aja belum digarap sama kamu.”

Gemi kembali melangkah mendekati Rudi, memasuki lift yang pintunya baru saja terbuka. “Iya, Pak, iya,” Gemi mencebik sembari menekan tombol berangka 35 yang berjejer di samping pintu. “Nanti saya ke senayan deh, denger-denger Aries ada di sana hari ini.”

“Jangan mengecewakan, tunjukkin kalau kamu memang layak jadi redaktur utama.”

“Iyaaa, layak kok saya, Pak!” seru Gemi dengan percaya diri. Karena ia yakin dengan kapasitas otaknya yang mampu menampung dan memilah, semua informasi untuk diolah menjadi berita dengan tata bahasa yang luar biasa. Semua juga sudah mengakui kemampuannya yang satu itu.

“Buktikan dulu, dapet nggak kamu wawancara sama Aries!”

“Dapet, dapet, percayalah sama saya,” jawab Gemi dengan entengnya. Ia akan mempertaruhkan semuanya demi mendapatkan berita yang diminta oleh sang pemred. Ada nama Gemi juga yang dipertaruhkan di sini. Sebagai wartawan senior, Gemi harus bisa mendapatkan berita yang hitungannya hanya receh. Karena tugasnya kali ini, bukan lah sebuah pemberitaan besar yang tengah diburu oleh khalayak ramai. Bukan juga berita investigasi, yang mengharuskannya berpikir keras.

Tiba-tiba, Gemi mengingat sesuatu dan harus ditanyakannya saat ini juga, selagi mereka hanya berdua di dalam lift.

“Pak, waktu itu … ngapain Pak Lee Seung-Gi datang ke Radar? Saya juga lihat beliau habis dari Glory?”

Sebenarnya, hal tersebut ingin Gemi tanyakan pada Lee tadi malam. Hanya saja, obrolan yang mereka lakukan semalam, membuat Gemi melupakan semua rasa penasarannya tersebut.

“Serius kamu gak tahu?” Rudi menatap Gemi tidak percaya. Padahal gosip sudah menyebar dengan luas, tapi sang redaktur madya tersebut tidak mengetahui hal apapun. “Kamu gak dengar kabar apapun?”

Gemi menggeleng pelan dengan bibir mengerucut. “Apaan emang, Pak?”

“Leonard Arkatama sekarang itu komisaris Global Corp, Gem. Statusnya memang belum resmi tapi beliau sudah diminta untuk meninjau Radar sama Glory. Tinggal nunggu RUPS minggu depan.”

“Emang udah pasti, gitu ya? gimana kalau hasil RUPS—”

“Sudah pasti!” sela Rudi dengan tegas untuk membungkam mulut bawahannya yang selalu saja membuatnya pusing. Karena Rudi tahu, Gemi pasti akan mengajukan pertanyaan berikutnya. Lagi dan lagi.

--

Gemi membuang napas besarnya dengan keras, ketika melihat Aries keluar dari ruang sidang paripurna. Mempersiapkan sebuah emosi, yang harus benar-benar diredam ketika bertemu dengan pria itu. Melangkah menembus kerumunan anggota dewan, kemudian dengan cepat melangkah bersisihan dengan Aries.

“Pak, bisa minta waktunya sebentar?”

Aries yang sangat mengenali suara renyah itu, tersenyum miring. Berhenti dan berbicara sejenak pada rekannya sebentar untuk berpamitan. Setelah itu, ia memutar tubuh menatap Gemi. Bersedekap angkuh untuk menunjukkan kekuasaan serta tingkat patriarki yang begitu tinggi.

“Ada apa?”

Gemi terpaksa menyematkan senyum ramahnya pada Aries. “Kapan bapak ada waktu? Saya mau melanjutkan wawancara kemarin.”

Aries memberi gestur pongah untuk jual mahal. Penghinaan Gemi yang menyatakan bahwa ia mandul kala itu, sungguh melukai harga dirinya. Aries sudah memeriksakan diri bertahun-tahun sebelumnya di dokter spesialis. Begitu pun memeriksakan benihnya di laboratorium dan hasilnya baik-baik saja. Hal yang sama dilakukan juga oleh istrinya, Sageeta Naladipha. Keduanya sehat, hanya saja, Tuhan belum mempercayakan sebuah momongan kepada mereka.

Segala macam cara juga sudah dicoba, tapi hasilnya nihil. Mereka juga belum diberi anugrah indah tersebut. Bahkan, program bayi tabung yang sempat mereka lakukan juga gagal. Hingga Aries menyerah, dan hanya menunggu waktu, hingga Tuhan mempercayakan hal tersebut pada keluarga yang telah ia bina selama delapan tahun.

“Saya tidak punya waktu.” Aries memutar tubuh, kemudian berjalan mendahului Gemi. Ingin menguji seberapa keras usaha wanita itu, untuk menyelesaikan tugas yang diberikan kepadanya. Aries sudah memiliki sebuah rencana tersendiri untuk membalas penghinaan Gemi kala itu.

Gemi berdecak, segera menyusul Aries yang berjalan dengan langkah panjangnya. “Kapan Bapak punya waktunya? Saya bisa kapan aja.”

“Bagaimana kalau saya tidak mau, Gem?” Aries terus saja berjalan ke area parkir. Berniat pergi untuk makan siang dengan seorang kawan lamanya. Tetap menunjukkan sikap formalnya kepada sang wartawan yang pernah menjadi kekasihnya dahulu kala.

“Bapak nggak mau diwawancarai dengan saya?”

“Ya!”

“Mau ganti wartawan, Pak?” Bagaimanapun, Gemi harus mendapatkan wawancara ekslusif tersebut dengan Aries. Apa pun itu caranya.

“Saya tidak mau diwawancarai denganmu, atau dengan siapa pun.” Aries mengeluarkan remot kunci mobilnya untuk membukanya. Berhenti sebentar untuk menatap Gemi sebelum ia menarik handle pintu mobil. “Pergilah.”

Begitu Aries masuk ke dalam mobil, Gemi berlari dengan cepat mengitari roda empat Aries dan masuk ke dalam kursi penumpang di sampingnya.

“Aku … minta maaf.”

Gemi tersenyum datar. Membuang semua harga diri yang dijaganya selama ini dan menyingkirkan sikap formalnya.

“Untuk?” Aries tersenyum miring, Merasa kemenangan sudah di depan mata.

“Yang kemaren.”

“Cuma maaf?”

“Ya terus mau gimana? kamu yang duluan mulai, kan?” intonasi Gemi mulai sedikit memanjat naik. “Coba nggak usah singgung-singgung masa lalu, pasti semua bakalan baik-baik aja.”

Dengan tangan kanan masih berada di atas setir, Aries memutar tubuhnya untuk menghadap Gemi. “Apa kamu lupa, Gem? Kamu sendiri yang lebih dulu mengibarkan bendera perang. Coba diingat lagi, aku sudah berusaha bersikap ramah denganmu waktu itu. Ruangan itu sudah aku pesan khusus buat kamu wawancara denganku. Untuk apa?”

Aries menghela panjang sejenak. “Untuk minta maaf, dengan semua yang sudah pernah aku perbuat ke kamu. Tapi apa responmu? Ck!”

“Tapi ujung-ujungnya, kamu tetep aja nyinggung aku, ya aku singgung balik lah!” sahut Gemi tidak mau kalah.

Aries kembali membuang napasnya. “Keluar lah, Gem. Aku ada janji sama orang.”

“Kapan aku bisa wawancara?”

“Kapan deadlinenya?”

“Akhir bulan ini.”

“Oke, nanti aku hubungi kamu lagi.”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
Arues benar² egois ga mau disalahkan nih
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status