Entah apa yang berlabuh dalam pikiranku saat itu, mengundang apa yang seharusnya tak boleh dilakukan. Aku bodyguard-nya, pelindungnya, bukan kekasih Owen.
Kemarahan membuncah menguras semua logika keluar dari otakku. Dia hidup, dia mempermainkan hidupku, dan mengapa aku masih hidup sampai detik ini? Apa karena Axel menyelamatkanku, menyuruhku pergi sejauh mungkin, atau karena dia sudah bosan padaku?
Kalimatnya kembali bergaung, cerita tak masuk akalnya tentang ikan petarung yang bahkan membunuh kekasihnya sendiri. Hidup dalam kesendirian abadi. Apa dia merepresentasikan sosoknya saat itu? Dia ... tidak menginginkanku lagi.
Aku membenamkan wajah ke dalam bantal, merasa sesak ini membantuku menghentikan pikiran buruk. Pedih, sakit. Seperti sesuatu menyalakan api di dalam dada. Terus berkobar menjilati semua organ tubuh, membakarku hidup-hidup.
Sementara aku terbenam dalam tangis. Suara ketukan di pi
"Tidak apa-apa jika kau tidak mau." Aku menarik selimut menutupi tubuh setelah Owen selesai membelitkan perban baru, dan menggeser ke arah lain agar tidak berbaring di atas bekas darah. Kupikir, siapa yang suka berhubungan dengan gadis kaku sepertiku, bahkan di dalam sex, aku layaknya benda mati."Bukan itu. Aku sangat senang bisa menjadi pengalih rasa sakitmu, tapi El ...." Owen menyentuh noda merah di seprai. "Aku ingin kau juga menikmatinya. Aku ingin kau menerimaku.""Bukankah aku sudah menerima tubuhmu di dalamku." Kalimat vulgar itu membuat wajah Owen kembali memerah."Bukan itu, aku ingin hatimu.""Owen ...." Aku menatap mata biru itu sembari menghela napas lelah, "Eli ... sudah mati lima tahun yang lalu, kau tidak bisa memiliki hatinya lagi."Owen menekuk wajah, mengeraskan rahang lalu mengembuskan napas kalah. Ia bangkit, memberi kecupan ringan di keningku. "Aku akan menyuruh pela
"Got it!" Jawaban di ujung sambungan membuatku menghela napas sejenak. Kerinduan itu kini berganti rasa terhina dan marah.Sengaja kukecup pipi Owen sementara mataku terpatri pada wajah tampan Axel. Masih rupa yang sama, seolah usia enggan menjamah kulit mulusnya. Axel tak berpaling sekali pun. Mengunci tatapan ke arah kami.Owen terkejut mendapat reaksi agresif dariku, tepuk tangan hadirin menjadi satu-satunya suara berisik di ruangan ini. Mereka kira tindakanku merupakan jawaban atas pernyataan cinta Owen."Kita harus keluar sekarang," bisikku ke telinga Owen."Kenapa, kau ingin--" Pikiran kotor sepertinya mengontaminasi otak anak ingusan ini."Mereka di sini." Kalimat tersebut seketika membungkam kebahagiaan di binar mata biru Owen."Apa?""Bersikaplah sebagaimana biasanya, beri tahu ibumu diam-diam."Owen mengikuti perintahku,
Axel melepaskan pelukan eratnya. Tawa membahana segera terdengar setelah keterkejutan kami. Aku mengira anggota PPS telah tiba, tapi yang kulihat malah kehadiran Madam Ghie.Wanita berwajah oriental itu menggenakan gaun panjang berwarna hazelnut. Menonjolkan lekuk tubuh ramping dan riasan yang masih kuingat sejauh ini. Minimalis, cantik, dan elegan."Kalian kira aku agen PPS kan? Hei, Axel, apa gadis ini yang kau ceritakan kemarin?" Ia melangkah mendekati kami.Jemari lentik Madam Ghie memegang rahangku. "Ini bukan wajah si Manis. Ini bukan dia," putusnya."Suaranya," jawab Axel."Siapa namamu, Nak? Kau bukan Gregory Eli 'kan?" tanya Madam Ghie, ia menarik sebuah pisau kecil dan menekankan benda itu ke wajahku."Jangan." Axel memperingatkan Madam Ghie."Dia tahu tentang kita, dia harus mati atau menjadi anggota, maukah kau, hm?"U
"El!" panggil Owen sewaktu kakiku menjejak ke dalam ruang tamu keluarga Riley."Kau baik-baik saja?" tanyaku.Pandangan Owen jatuh pada garis darah di leherku. Ia mendekat dan langsung memelukku erat-erat."Kau terluka? Apa dia menyakitimu?" Bisa kurasakan detak jantung Owen bertalu kuat."Aku tidak apa-apa, hanya goresan kecil. Kau membuatku sesak."Owen tak jua melepaskan pelukannya."Owen?"Aku mendengar isakan tangis, Owen membenamkan wajah pada leherku. "Jangan tinggalkan aku, El. Aku takut kau terluka."Pernyataan itu membuatku terkesiap. Apa anak ingusan ini benar jatuh cinta padaku? Aku tak ingin menjerumuskannya pada cinta menyakitkan, kebohongan berupa pelarian."Tenanglah, tidak ada yang mati hari ini." Cukup enggan aku mengelus punggung Owen lamat-lamat.Owen mengurai pelukan kami. Menanamkan c
"Kau yakin ini yang terbaik, El? Kau tahu bisa mendapatkan promosi setelah kasus Owen selesai, mungkin saja menjadi bagian tim Alpha," protes Eve.Aku mengepak semua pakaian ke dalam koper. "Kita sudah membicarakannya kemarin Eve, aku sudah mengajukan resign.""Kau pergi begitu saja setelah lima tahun perjuangan, semua menjadi sia-sia, El." Jodi ikut menimpali. Mereka semua berkumpul di dalam kamarku di rumah Keluarga Riley."Ini hidupku," ucapku kasar.Mereka menggeleng frustrasi. "Terserahlah." George memilih keluar dari kamar."Apa rencanamu selanjutnya?" tanya Boni, hanya dia yang menerima diriku keluar dari PPS tanpa protes."Entahlah, menjalani hidup," jawabku singkat. Semua barangku telah ter-packing rapi.Eve melihatku hendak beranjak pergi. Ia menarikku ke dalam pelukan hangat. "Sampai jumpa lagi.""Terima kasih, Eve." Ak
Aku tersenyum pongah, dengan memberi tahu identitas Axel, pria berengsek itu kemungkinan tidak akan membunuh Diana. Bagaimana pun juga gadis ini hanya korban, lebih baik dia tak terjebak dengan hubungan maut ini."Kenapa, kau tidak bisa membunuhnya sekarang 'kan? Kau tak pernah memberi tahu namamu pada mangsa," ejekku.Axel mengangkat satu alis ke atas, tersenyum miring memesona. "El, bagaimana kau bisa tahu?"Jantungku seketika berdetak kuat. Oh, sial! Apa aku membuka kedok sendiri? "Tentu saja Eli memberitahukan semua padaku, semua ... bahkan kenyataan kau tak bisa terangsang dengan gadis mana pun selain dirinya."Wajah Axel seketika berubah gelap mendengar penuturanku."Diana, dia tak pernah menyentuhmu bukan?" tanyaku pada gadis manis itu.Mulanya dia diam, kelihatan bingung, tapi akhirnya mengangguk mengiyakan."Setampan apa pun dirinya, percuma saja
Netraku mengerjap sambil meliukkan tubuh, terasa sangat nyaman berada di tempat tidur empuk nan wangi ini. Tunggu dulu. Seketika tubuhku melonjak duduk memperhatikan keadaan sekitar. Apa-apaan ini? Dalam semalam saja ruangan telah berpindah, bukan lagi di basement di mana aku jatuh tertidur.Kamar ini? Tempat tidur kayu, meja dan lemari. Aku mengerjap bingung. Ini ... Rumah Kayu? Bagaimana bisa? Jangan-jangan? Sebuah pemahaman menghantamku telak. Aku berlari ke jendela untuk mengonfirmasi hal tersebut.Benar saja, jendela yang sama seperti lima tahun lalu memperlihatkan pemandangan hutan dari lantai dua. Aku menggigit jempol bingung, berusaha menggali ingatan yang terkubur.Makanan, pasti Axel menaruh sesuatu pada makanan semalam hingga aku tertidur begitu nyenyak. Ia bisa memindahkan diriku tanpa ketahuan.Aku berbalik, kembali ke tempat tidur dan menemukan Diana tertidur nyenyak di sana. Axel ta
Setelah mendengar kalimatku, Diana memilih meringkuk di kepala ranjang. Gemetar di seluruh badan. Jika dibandingkan diriku dulu, gadis ini jauh lebih rapuh dan tak berdaya. Mungkin dia tak memiliki kisah sedih sebelum bertemu Axel. Sialnya, perawakan yang mirip dengan rupaku membuat Diana harus menderita."Jangan takut," ujarku. Duduk di samping gadis itu di ranjang."Makan dulu, kau butuh kekuatan." Aku mengedik, memberitahunya piring di atas meja kayu yang tadi ditinggalkan Axel.Diana menggeleng lemah. "Kau ... tidak takut?" tanyanya pelan."Tidak! Untuk apa? Hidup tak selalu indah, mati pun bukan pilihan buruk. Selama aku tidak mati konyol saja. Makanlah jika kau tidak ingin mati konyol."Jemariku terulur ke arah sang gadis.Si gadis ragu-ragu, menerima uluranku. Aku menariknya ke kursi dan mendudukkannya di hadapan makanan. Daging panggang beserta salad membuat perut kami bergemu