Share

Psycho

Pria itu lalu memotong pakaian dalam Lyra, menampilkan sederet halus kulit di dadanya.

Keyakinanku semakin kuat bahwa pria ini akan melakukan hal keji. Kuakui tubuh si pirang sangat seksi, lagi menarik. Kulitnya mulus, seputih susu. Pinggangnya ramping dengan tubuh semampai bak biola. Begitulah dulu ia menjebak atensi pria dengan pesona kecantikan dan mengambil apa yang bukan haknya.

Tiba-tiba pria itu menghunjamkan pisaunya dalam-dalam ke dada Lyra. "Dengan hati yang busuk," ucapnya, memutar pisau yang menancap.

Kali ini, tidak ada suara jeritan lagi, yang ada hanya suara berdenguk dari tenggorakan Lyra. Sesaat kemudian tubuh sekarat itu menggelepar liar, kejang-kejang. Lalu berhenti untuk selamanya.

Darah membanjiri lantai, membentuk kubangan merah mengerikan. Sangat kasar, pria itu menarik pisau yang menancap di tubuh tak bernyawa Lyra, lalu membersihkan darah dengan lidahnya.

"Tidak boleh meninggalkan jejak," racaunya.

Ia lalu berbalik ke arahku.

Inilah saatnya, giliranku untuk mati.

"Giliranmu, Manis," ucapnya.

Aku menatapnya tanpa gentar sewaktu ia mendekat, pria itu mulai mengarahkan pisau ke mataku.

"Untuk mata yang cantik."

Pandanganku berlabuh pada gerakannya sesaat, kemudian kembali mematut wajah memesona pria itu.

"Hei! Kau tak ingin menjerit dulu, atau memohon-mohon padaku?" tanyanya.

"Lakukanlah dengan cepat," balasku sarkas.

Ia menatapku tidak percaya, lalu tawanya membahana, menggema ke seluruh ruangan.

"Bagus! Bagus sekali, kau akan kubiarkan hidup, sampai aku melihat sinar di matamu meredup. Akan kutunjukkan cara mati yang bagus."

Pria itu menurunkan pisau dan berjalan menjauh.

“Hei!” panggilku.

Si pria tampan menoleh, bahkan dari belakang ia memiliki fitur indah. Tegap, tak terlalu berisi maupun kurus.

"Siapa namamu? Tidak mungkin aku memanggilmu Tuan Pembunuh 'kan?"

"Mm ... aku tidak pernah memberi tahu nama asliku pada mangsaku, kau bisa memanggilku sesuai selera.” Ia berjingkrak senang. “Aku bisa menjadi Kevin, David, Alan, atau nama-nama popular lain.” Ia terkekeh seolah itu adalah guyonan lucu, aku menanggapi dengan tatapan malas.

Melihat reaksiku, tawanya berhenti. Ia berjalan mendekat, berjongkok tepat di hadapanku. “Tapi baiklah! Kau adalah pengecualian." Pria itu mendekatkan mulutnya ke telingaku.

"Kau boleh memanggilku, Axel." Embusan napasnya menggelitik telingaku.

"Axel, namaku adalah ...."

"Shttt!!!" Axel langsung membekap mulutku.

"Aku tidak bertanya dan aku tidak mau tahu siapa nama mangsaku, kau cukup kupanggil, Manis!"

Aku mengangguk pelan.

"Bagus!" ucapnya sambil melepaskan bekapan tangannya.

Aku mungkin sudah gila, karena tahu berhadapan dengan pembunuh sadis tanpa gentar sedikit pun. Mungkin aku hanya belum sadar atau otakku belum berfungsi normal jika aku sedang dalam bahaya.

Ia memperlakukanku sangat baik. Setelah menerima begitu banyak beban dan sakit hati, betapa senangnya aku mendapat perlakuan manusiawi seperti ini, dan aku membuang jauh-jauh kenyataan bahwa Axel adalah seorang pembunuh.

Pria tampan yang bisa membunuhku kapan saja. Hari ini, esok, atau bahkan lusa. Kegamangan intuisi membuatku kehilangan persepsi bahaya. Otakku merespon lamban, terutama terhadap rasa takut. Aku tahu depresi telah mengambil kenormalan sebagai manusia.

Namun, Axel tidak puas hanya dengan membunuh Lyra, ia sangat ketagihan dengan membunuh, pria itu bercerita padaku dengan bangga bahwa ia sudah mulai membunuh saat usianya baru sepuluh tahun.

Ia membunuh kedua orang tua angkatnya.

Ya .... Dia adalah anak yatim-piatu.

Meski melihat kesintingan di mata Axel saat bercerita, tetapi entah kenapa ... aku merasa iba padanya.

Hidup dalam kegelapan karena dia ditolak oleh semua orang, sama sepertiku.

***

Decitan ban berpadu dengan teriakan manusia, dalam gerak lambat mobil bus menghantam tubuh sesosok remaja, kala kaki kecilnya menyeberangi jalan. Air mataku mengalir bersama teriakan keras.

“Tidaaak!” Aku terbangun bersimbah keringat.

Ruangan gelap membuatku semakin tercekik keputusasaan. Sakit. Kenangan mengerikan itu membuatku terisak sedih.

“Hei!” panggil suara sendu di sampingku, aku menoleh.

Perlu waktu sejenak hingga mataku berhasil menyesuaikan intesitas cahaya temaram. Itu Axel. Pria itu bergeming bagai patung manekin. Duduk di lantai, sementara aku menyadari telah tertidur dalam kondisi terikat di kursi.

“Apa?” Aku berharap dapat mengusap keringat yang hampir jatuh mengenai mataku.

Axel beringsut mendekat, menyadari intensiku dengan mengusap lembut kening basah ini.

“Jangan menangis.” Jemarinya turun menjamah wajahku. “pain, pain, go away!” Ia meniup lembut seolah mengusir duka lara yang tersirat dalam romanku. Sialnya, perlakuan kekanakan itu malah membuat air mataku mengalir deras.

“Apa yang membuatmu menangis?” Axel membelai kepalaku. “Tanganmu sakit?”

Aku menggeleng, tersedak pilu. “Mereka membenciku,” ujarku lirih.

“Siapa?”

“Orang tuaku.”

“Kenapa?”

“Karena aku menyebabkan adikku meninggal.” Perasaan bersalah itu mencengkeram semakin kuat, mengimpitku erat.

“Bukan salahmu, kecelakaan itu bukan salahmu,” ujarnya.

Aku terbeliak tak percaya. “Bagaimana kau bisa tahu?”

Axel tersenyum ramah, mengusap air mata yang hampir menyentuh bibirku. “Kau berbicara dalam tidur, bagaimana sebuah kecelakaan bisa menjadi kesalahanmu?”

“Karena pertengkaran kami, karena aku dipecat, karena aku tidak bisa membiayai sekolahnya, andai saja … aku ….” Tangisku pecah, berderai keras meruntuhkan pertahanan terakhirku. Betapa lucunya menangis di hadapan orang asing. Bagaimana dia bisa mengerti?

Andai saja hari itu bisa diulang, andai saja adikku tak pergi dalam kemarahan dan berlari menyeberang jalan saat itu, andai saja Lyra tak membuatku dipecat, semua ini … tidak akan pernah terjadi.

Axel menepuk punggungku, berusaha menenangkan mangsanya. Konstan, berirama, membuatku merasa tak sendirian. Aku tenggelam dalam dunia kebaikan yang pembunuh ini ciptakan. Sebuah penerimaan.

Aku, si pendosa yang rapuh.

***

Hari berganti. Di mana ada ketenangan, berikutnya pasti ada kericuhan. Axel membawa seorang pria gemuk ke ruang bawah tanah hari itu, menyiksanya dengan meminta si tambun memohon untuk hidup. Bagai binatang, kedua tangan terikat sementara sang korban merangkak meminta belas kasihan. Namun pada akhirnya, Axel tetap mengiris putus tenggorokan pria itu.

Pembunuhan kali ini memberi efek pada otakku. Mungkin perlahan-lahan otakku mulai sembuh.

Darah yang menggenangi lantai membuat isi perutku bergejolak mual, saat ia menatapku, aku membuang wajah, sebelum balas menatapnya dengan tipuan pandangan hampa.

Namun, sebenarnya aku tahu ia menangkap kilatan dalam mataku.

Apakah ia sudah melihat ketakutan di sana?

Jantung kuberdegup cepat mengamati reaksi si pembunuh. Axel terlihat tak tertarik, masih menutup rapat bilah indahnya. Ia lalu menyeret mayat pria gemuk itu pergi.

Bukan darah yang membuatku takut saat otakku sudah mulai sembuh, tetapi permohonan mereka untuk tetap hidup dan jeritan menyayat mereka yang terus membayangi tidurku.

Bagaimana Axel masih bisa tertidur lelap setelah semua yang telah ia lakukan? Apakah hatinya sudah berubah menjadi batu? Atau aku yang terlalu lemah, yang sudah berubah dari niat awal untuk mati.

Meski selalu dalam kondisi terikat, aku diberi tempat tidur dan makanan yang cukup. Bahkan setiap satu kali sehari ia melepaskan ikatan dan berdiri mengamatiku mandi.

Walaupun respon otakku masih lambat, tetapi aku merasa malu juga pada awalnya. Namun, karena dia hanya melihat tanpa berbuat macam-macam, bahkan boleh dibilang dia sangat sopan padaku, lambat laun perasaan malu itu hilang dengan sendirinya.

Ia memperlakukanku sama, seolah kami adalah sesama pria, tidak pernah terpancar nafsu dalam matanya. Itu yang membuatku merasa aman, meskipun kadang kami tidur berdampingan.

Di luar dari kesintingannya dalam ketagihan membunuh, Axel terlihat seperti manusia pada umumnya.

Ia sering mengajakku berbicara, menceritakan tentang dirinya atau bertanya tentang diriku.

Bahkan mungkin dalam kondisi biasa, aku mungkin akan jatuh cinta padanya.

Tidak! Aku mungkin akan tergila-gila padanya.

Secara fisik, ia terlihat seperti model atau aktor terkenal yang salah lokasi.

Ya, tipe yang akan membuat iri para pria dan membuat wanita tergila-gila.

Kau bisa membayangkannya sendiri bagaimana rupanya, sangat sulit untuk menjabarkannya.

Wajahnya lebih dari 6X kata "sangat" tampan.

Ya ... seperti iblis dalam rupa malaikat. Dia beracun, tetapi memikat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status