Share

Akhirnya Dia Tahu

Aku memejamkan mata saat mendengar jeritan yang membekukan jantung. Wanita itu masih menjerit saat aku membuka mata.

Ia menatap Axel tidak percaya. Dengan santai, Axel berjalan menjauh dan mengambil senjata lain.

"Menjeritlah sesukamu, ruangan ini kedap suara, jadi takkan ada yang mendengar suaramu, Sayang."

"K-kau ... kau?" Sambil menahan sakit, wanita itu memegang ulu hatinya, pemecah es itu masih menancap di sana.

"Kenapa?" tanya Axel sambil memiringkan kepalanya. Mengerikan sekaligus menggemaskan. Menampilkan wajah sepolos anak kecil.

"Kau marah sayang? Bukankah sebelumnya kau bilang aku boleh melakukan apa saja padamu?" Axel tersenyum culas, memesona, tapi juga menakutkan.

"Jadi ini yang kulakukan, Sayang! Aku ingin melihat tubuhmu dengan lebih jelas."

Axel melangkah ke arah tubuh wanita itu dengan dua utas tali dan sebuah pisau bedah.

"Showtime!"

"JANGAN!J--jangan!" teriak wanita itu.

"Ow! Kasihan, sudah terlambat untuk mengatakan itu, aku merasa sedih untuk suamimu yang mendapatkan istri yang suka selingkuh, tapi akan kuhapuskan kesedihannya dengan mencabut nyawamu." Axel menepuk pipi wanita itu beberapa kali.

Ia lalu mengikat kedua tangan dan kaki wanita itu, si wanita tak mampu memberi perlawanan sama sekali. Dengan darah yang begitu banyak keluar dari tubuhnya, ia mulai kehilangan kesadaran. Aku membuang wajah.

"Hey manis, Ow! Jangan begitu, jangan palingkan wajahmu," protes Axel.

Aku memutar kepala, kembali menatap wanita tak berdaya itu.

"Nah! Begitu dong, bagus sekali. Lihat ini! Hari ini aku akan menjelaskan padamu bagian dari tubuh manusia." Ia mengacungkan pisau bedah bersama senyum sinting.

Axel menurunkan rok pendek wanita itu sebatas lutut, lalu mulai mengiris tipis pada kulitnya.

"Kau tidak boleh terlalu kuat mengiris, nanti akan merusak organ dalamnya."

Mata wanita itu membelalak, ia mengerang keras sambil menggumamkan sesuatu.

"Stop ... Stop."

"Apa sayang?" tanya Axel sambil pura-pura mendekatkan telinganya.

"Hei, Manis! Kurasa ia ingin mengucapkan kata-kata terakhir."

"To-long-ja-jangan ... kumohon ... aku-tidak ingin ma-mati ... a-aku ... aku ... ingin hidup, please ... aku ... ingin hidup." Ia semakin histeris seiring dengan suara tangisan keras, meskipun setiap kalimatnya terbata-bata, menyiratkan tubuh yang sekarat.

"Oh, kasihan. Sudah terlambat, Sayang! Sudah sangat terlambat. Hei, Manis!" Axel menoleh padaku. "Lihat ini baik-baik!"

Ia mengiris lebih dalam lagi, membuat wanita itu melolong kesakitan. Tubuhnya melengkung ke belakang merasakan sakit yang teramat sangat. Bisa kubayangkan tajamnya pisau bedah yang mengiris daging dan kulit bagaikan kertas.

Aku tercekat, seluruh kulitku berkeringat, tetapi tak mampu mengalihkan pandangan dari tubuh wanita itu. Aku tahu sedang mengalami syok, kehilangan kendali atas tubuhku sendiri.

Darah yang merembes membuat cairan perutku ingin keluar. Dengan sadis Axel mengiris si wanita sambil menjelaskan padaku. Ia mengiris dengan rapi layaknya seorang ahli bedah, hingga lapisan lemak di bawah daging tampak.

Aku tidak tahu berapa lama si wanita melolong, sampai akhirnya hanya terdengar suara tercekat, dan tubuh yang tersentak-sentak tak terkendali.

Axel membelah perut si wanita, kedua lengan putihnya kini berwarna merah. Matanya membesar dengan alis menukik girang, sungguh! Rupanya serupa topeng dengan senyum abadi mengerikan. Wanita itu kini sediam patung, nyawanya telah terenggut.

"Ow! Lambung dan hatinya tampak jelek. Kau terlalu banyak mengonsumsi makanan yang tidak baik, Sayang."

Axel berdiri, mengambil sebuah gunting raksasa dan memotong rusuk wanita itu.

"Bye ... bye, Honey!"

Suara retakan tulang membuatku ngilu. Axel membuka rusuk dengan kekuatan penuh. Tulang-tulang itu kini menganga lebar mempertonton organ dalam.

"Ah! Paru-parunya juga jelek sekali, terlalu banyak merokok. Hei, Manis! Jangan mencontoh gaya hidupnya ya!" Axel nyengir sambil memamerkan sederet gigi putih tersusun rapi.

Aku sudah tidak tahan lagi, dengan sisa kendali yang ada, kumiringkan kepala ke bawah ranjang, lalu memuntahkan seluruh isi perut.

"Ow! Jangan begitu. Kau jadi mengotori lantai 'kan?" Axel berteriak tak senang.

Aku mengangkat kepala, menatap takut ke arahnya, ia balas menatapku dengan wajah tanpa ekspresi.

Seluruh tubuhku gemetaran.

"Kau belum melihat pertunjukkan sebenarnya. "Bibir Axel tertarik ke atas, membentuk sebuah senyuman jahat, lalu tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak. Tertawa dengan sangat keras sehingga seluruh ruangan menggema oleh suaranya.

Ia benar-benar sudah gila. Aku tidak bisa menahan diri lagi, sangat ketakutan dengan sosok Axel saat ini, tanpa sadar air mata mengalir deras membanjiri wajahku.

Axel bertindak semakin brutal, mencabik-cabik organ tubuh wanita itu dengan tangannya. Mengeluarkan hati, usus, paru-paru, jantung, bahkan ginjal. Lalu menghamburkan semuanya ke dinding dibarengi tawa keras, seolah-olah dia adalah anak kecil yang sedang melempar mainan baru.

"Sangat menyenangkan Manis ... HAHAHAHAHHA." Ia memutar usus seolah itu adalah laso.

Percikan darah menodai dinding, lantai, hingga mengenai ranjang. Seprai yang semula putih bersih, kini berbercak merah gelap. Bau memuakkan membuat kepalaku berputar pusing.

"Sangat menyenangkan bukan?" Axel menghentikan tawanya dan menatapku dalam-dalam.

Menatap tepat ke dalam bola mataku tanpa berkedip, mencari sesuatu di sana. Kurasakan seluruh tubuhku bergetar hebat. Aku beringsut menjauh, tetapi tertahan oleh ikatan tali.

Aku mulai memberontak, kalut. Pikiranku menampilkan opsi mengerikan yang akan pria ini lakukan. Ya Tuhan, bibirnya tertarik membentuk senyum miring.

Inilah saatnya, ia sudah melihatnya, melihat ketakutan di mataku.

Dengan cepat Axel meraih pisau bedah, lalu berjalan ke arahku. Saking takutnya, aku memejamkan mata kuat-kuat, tak berani menatap kedatangan pria itu. Suara dentum langkah Axel seirama dengan detak jantungku yang tak karuan. Berdegup kencang seolah akan melompat keluar.

Tak pernah terpikir olehku akan mati dengan cara yang sangat menyakitkan. Yang kuinginkan hanya mengakhiri hidup dengan cepat, jika bisa dengan rasa sakit seminimal mungkin, tetapi melihat apa yang psikopat ini lakukan pada wanita itu, bagaimana mungkin ia akan membiarkanku mati secara mudah.

"Hei, Manis! Kenapa kau menutup matamu?" Tangannya menyentuh wajahku, lalu perlahan mengangkat daguku ke atas karena aku menunduk dalam-dalam.

"Ow, kurasa aku akan mengiris di sini dan di sini." Ia memainkan pisau bedahnya di bawah mata, beralih ke pangkal hidung. Dinginnya benda tajam itu membuatku bergidik.

"Lalu turun ke sini!" Axel menggeser pisaunya ke bawah leherku.

"Kau akan mati perlahan-lahan karena kehabisan darah, dan sakitnya ... shhh... bisa membuat tubuhmu jungkir-balik." Ia terkekeh. Pisau di tangannya berguncang oleh tawa mengerikannya. Aku tercekat takut.

Aku tahu semua yang diucapkannya benar, air mata semakin deras mengalir dan gigiku gemeletukan karena takut. Aku mengerjap, air mata mengaburkan bidang pandang, sosok Axel memudar.

"Tatap aku!" teriaknya sambil mengguncang tubuhku.

Aku membuka mataku yang berlepotan air mata. Terisak gugup.

"Showtime!" ucapnya sambil menghunjamkan pisau ke arah leherku.

Aku menjerit keras sambil memejamkan mata.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status