"Ms. Ellena, ini hasil pemeriksaannya." Dokter itu menatapku dengan senyum terkembang lebar pada bibir tipisnya.
"Ya," jawabku pelan. Masih merasa pusing setelah terbangun dari pingsan.
Dokter melirik kehadiran George, Boni, Jodi, dan juga Eve.
"Tidak apa-apa, langsung katakan saja, Dok." pintaku.
"Selamat, Anda sedang mengandung."
"Apa?" Seketika keempat rekanku berteriak terkejut.
"Maksud Dokter?"
"Ya, kandungan masih sangat kecil. Satu bulan."
Apa? Bagaimana mungkin? Seketika bayangan pemaksaan itu kembali hadir dalam benak. Oh ya benar, Axel melakukannya tanpa proteksi waktu itu. Di saat seperti ini, kenapa harus terjadi.
"Selamat ya. Jaga kondisi, istirahat cukup agar morning sicknes tak semakin parah," pesan dokter itu sebelum pergi.
Setelah pintu ditutup, Eve segera mendekatiku. "A
"Apa?" tanya Axel tak percaya."Aku mengandung anakmu, kau ingat waktu itu?" Aku menunduk malu, terlalu takut dengan penolakan dari bibir pria ini."Benarkah, sungguh!" Suaranya berubah penuh sukacita.Aku baru berani menatapnya. "Dokter baru memberitahuku tadi," lirihku."Milikku?""Ya, hanya kau yang melakukannya tanpa proteksi."Senyum merekah, wajah pria tampan itu seketika menguarkan cahaya kebahagiaan."Aku ... akan menjadi ayah?" tanyanya tak percaya."Ya," jawabku pelan.Axel berusaha meraih wajahku dan menanamkan kecupan pada keningku. "Aku mencintaimu, Eli. Kekasihku, separuh jiwaku."Hatiku bergetar, tersentuh oleh pernyataannya. Namun dalam sekejap, kebahagiaan itu sirna ketika Axel menyadari kenyataan di masa depan."Aku ... tidak akan bisa mendampingimu, membelikanmu makanan yang kau inginkan saat ngidam, aku ... tak bisa menggenggam tanganmu saat kau melahirkan bayi kita."
Mati. Kata itu mungkin akan membuat sebagian besar umat manusia ketakutan, tetapi tidak untukku.Aku berdiri di atas gedung tujuh lantai. Merentangkan kedua tangan untuk merasakan angin yang menerpa tubuh. Bajuku berkibar, menari mengikuti buaian semilir udara. Sejuk, tapi tak menetramkan hati.Cuaca hari ini cerah, senja menerpa dan membiaskan cahaya jingga indah. Mungkin … ini akan menjadi kali terakhirku menatap cakrawala.Aku menerka, apa rasanya saat tubuh ini menghantam trotoar di bawah gedung. Apa tubuhku akan terburai? Darah memercik estetik, melengkapi senja dengan rona merahnya?Aku tersedak tangis, lebih dari itu, adakah yang bersedih untuk kematianku?Aku rasa tidak ada. Menyedihkan bukan?Embusan napas terdengar keras, beban menyesakkan dada membuatku kesulitan meraup udara.Kurasa inilah saatnya.Menatap dengan hampa ke bawah bangunan lantai tujuh ini.Bersiap melangkahkan kakiku ke bawah, kupejamkan
Pria itu lalu memotong pakaian dalam Lyra, menampilkan sederet halus kulit di dadanya.Keyakinanku semakin kuat bahwa pria ini akan melakukan hal keji. Kuakui tubuh si pirang sangat seksi, lagi menarik. Kulitnya mulus, seputih susu. Pinggangnya ramping dengan tubuh semampai bak biola. Begitulah dulu ia menjebak atensi pria dengan pesona kecantikan dan mengambil apa yang bukan haknya.Tiba-tiba pria itu menghunjamkan pisaunya dalam-dalam ke dada Lyra. "Dengan hati yang busuk," ucapnya, memutar pisau yang menancap.Kali ini, tidak ada suara jeritan lagi, yang ada hanya suara berdenguk dari tenggorakan Lyra. Sesaat kemudian tubuh sekarat itu menggelepar liar, kejang-kejang. Lalu berhenti untuk selamanya.Darah membanjiri lantai, membentuk kubangan merah mengerikan. Sangat kasar, pria itu menarik pisau yang menancap di tubuh tak bernyawa Lyra, lalu membersihkan darah dengan lidahnya."Tidak boleh meninggalkan jejak," racaunya.Ia lalu berbalik ke
Setelah kira-kira lima hari tinggal bersamanya, lebih tepat disekap olehnya. Aku mulai tahu kalau Axel tidak sembarangan memilih mangsa.Mangsa yang ia pilih adalah orang-orang yang mempunyai kecenderungan untuk berbuat jahat.Seperti pria gemuk itu, yang ternyata sangat suka korupsi.Axel bercerita tentang bagaimana cara menjerat mangsa, dengan pesona yang dimilikinya dan tutur kata halus, setiap mangsa menjadi lengah tanpa tahu bahwa yang sedang mereka hadapi adalah iblis berwajah malaikat.Bisa kubayangkan bagaimana wajah sendu Lyra yang menatap Axel penuh harap, terjerat oleh daya pikatnya. Juga iming-iming uang pada pria gemuk mata duitan itu. Hawa nafsu menjadi racun yang membua tmereka menemui ajal.Seperti laba-laba menjerat mangsanya, sekali terjerat tak akan bisa melepaskan diri. Mungkin ... mungkin saja, perlahan-lahan aku juga mulai terjerat pesonanya.Kadang aku berharap ia berhenti untuk memuaskan keinginan membunuh. Karena aku t
Aku memejamkan mata saat mendengar jeritan yang membekukan jantung. Wanita itu masih menjerit saat aku membuka mata.Ia menatap Axel tidak percaya. Dengan santai, Axel berjalan menjauh dan mengambil senjata lain."Menjeritlah sesukamu, ruangan ini kedap suara, jadi takkan ada yang mendengar suaramu, Sayang.""K-kau ... kau?" Sambil menahan sakit, wanita itu memegang ulu hatinya, pemecah es itu masih menancap di sana."Kenapa?" tanya Axel sambil memiringkan kepalanya. Mengerikan sekaligus menggemaskan. Menampilkan wajah sepolos anak kecil."Kau marah sayang? Bukankah sebelumnya kau bilang aku boleh melakukan apa saja padamu?" Axel tersenyum culas, memesona, tapi juga menakutkan."Jadi ini yang kulakukan, Sayang! Aku ingin melihat tubuhmu dengan lebih jelas." Axel melangkah ke arah tubuh wanita itu dengan dua utas tali dan sebuah pisau bedah."Showtime!""JANGAN!J--jangan!" teriak wanita itu."Ow! Kasihan, s
"TADAA! Bohong deh! HAHAHAHAHAHA ...." Ia tertawa terbahak-bahak sampai terbaring di ranjang yang kutempati.Ingin sekali aku memaki dan memukulinya, karena membuatku berpikir akan mati saat ini. Gemetar di seluruh tubuhku tidak mau berhenti dan aku menangis sejadi-jadinya.Ia berhenti tertawa mendengar tangisan keras, lalu mendekatkan wajah padaku. Kukira ia akan berteriak lagi, tetapi tiba-tiba tangannya terulur dan membelai kepalaku dengan lembut. Seolah aku seorang anak kecil.Axel lalu berbisik, "I'm sorry, Sweetheart." Sebelum akhirnya melangkah pergi untuk membereskan kekacauan yang ia buat.Axel menyeret tubuh si wanita. Mencacahnya menjadi potongan-potongan kecil sebelum dimasukkan ke dalam kantung sampah besar. Setelah itu, Axel membawa potongan tubuh ke lantai atas, ia menghilang selama dua jam.Kembali lagi dengan nampan berisi makanan. Mataku terasa bengkak karena tangis berkepanjangan, masih tergugu saat ia mendekat.&
Pagi pun menjelang. Saat aku membuka mata setelah tertidur selama dua jam, Axel sudah menghilang dari tempat tidur kami.Apa yang disiapkannya?Apa yang direncanakannya?Aku memegang kepalaku dengan takut.Tanpa sadar kakiku menyentuh sesuatu di bawah ranjang, aku melongok ke bawah.Sebuah piring berisi makanan diletakkan di sana, beserta segelas besar air dan secarik pesan.Makan pagimu, Axel!Axel sebelumnya tidak pernah meninggalkanku pada saat pemberian makan, selalu mengawasi gerak-gerikku. Aneh sekali kali ini dia melakukan pengecualian. Dia bahkan menyediakan pispot urinal wanita di samping ranjang. Secara tidak langsung, ini menyiratkan bahwa dia akan pergi dalam waktu lama.Setelah seharian menanti dengan takut, akhirnya sang pembunuh kembali. Ia masuk ke ruang bawah tanah dengan wajah berseri-seri, lalu melemparkan dua buah bungkusan ke atas kasurku."Ayo mandi!" ucapnya sambil membuka b
Aku melangkah cepat ke ujung jalan. Agak malu dengan penampilanku yang sangat seksi. Mata-mata kurang ajar melemparkan tatapan menjijikkan ketika kaki ini melewati mereka. Sebelum aku sampai ke tempat pria berjas biru itu, ia sudah menatapku lekat-lekat dari jauh. Ya ... kombinasi dari gaun merah mencolok dan baju seseksi ini, siapa yang tidak melihat kedatanganku. Bahkan kerlipan indah di sepatu mewah ini menarik atensi para wanita.Aku berjalan ke arahnya perlahan, mengeja langkah lamat-lamat. Tahu dengan pasti Axel sedang memperhatikan kami saat ini. "Hallo, Manis! Ada yang bisa kubantu?" ucapnya sambil memicing ke arah pahaku.Jijik sekali mendengar lelaki itu memanggilku seperti ini. Panggilan serupa dengan yang diberikan Axel padaku. "Ya …," jawabku sengaja menggantungkan suara, "kurasa … aku tersesat," tambahku malu-malu dan mengerling padanya. Ok! Kuakui aktingku sangat memalukan, tidak pernah sekali pun seumur hidup aku menggoda lelaki,