Home / Romansa / Shadow on me / Bab 7. Jejak Rahasia

Share

Bab 7. Jejak Rahasia

Author: Dwie_ina
last update Last Updated: 2025-05-27 20:33:36

Camille.

Nama itu terpatri di layar ponsel Dante. Mengusik dalam satu kedipan. Mengubah atmosfer ruangan seperti angin dingin yang menyusup dari celah jendela.

Aira menatap layar ponsel itu tanpa berkedip. Detik demi detik terasa seperti gesekan belati ke kulitnya.

“Apa kau tidak akan angkat?” tanyanya pelan, hampir berbisik. Suaranya dingin, walau matanya terbakar.

Dante tidak menjawab. Ia hanya menatap layar itu dalam diam sebelum akhirnya menekan tombol merah—menolak panggilan itu begitu saja.

“Kenapa kau—”

“Bukan urusanmu,” potong Dante, nada suaranya berubah. Lebih tajam. Tegas. Seolah mencoba menarik kembali dinding yang nyaris runtuh tadi.

Aira mengerjap. “Bukan urusanku?” katanya lambat, seperti mencicipi kata-kata itu. “Kau menarikku ke kamar ini, menggenggamku seolah aku milikmu, dan sekarang... Camille meneleponmu tengah malam, dan kau bilang bukan urusanku?”

Ia menertawakan kata-katanya sendiri. Tawa getir yang memercik seperti api dari serpihan logam.

“Camille itu sahabatku, Dante.”

Dante memutar tubuhnya, berjalan ke arah meja, lalu menaruh ponselnya dengan keras. “Justru karena itu aku tidak ingin membahasnya.”

“Berarti ada yang perlu dibahas.”

Dante mendesah, lalu membalikkan badan. Tatapannya dalam, gelap, dan terbelah antara dua sisi—sisi prajurit yang terbiasa menahan segalanya, dan sisi pria yang mulai goyah karena satu wanita keras kepala.

“Camille bukan hanya sahabatmu, Aira.”

Aira mengerutkan kening. “Maksudmu?”

“Dia... menyelamatkanku sekali waktu.”

“Apa maksudmu?”

Dante menatap Aira lama, lalu berkata pelan, “Tiga tahun lalu, aku kembali dari Suriah. Luka parah, kehilangan satu tim, dan nyaris bunuh diri. Camille-lah yang mengirim seseorang menolongku. Dia relawan, saat itu. Dokter lapangan. Dia menulis surat atas namanya, menyamar sebagai tunangan tentara supaya bisa ikut proses evakuasi. Tanpa dia, aku mungkin sudah mati.”

Aira terdiam. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tidak tahu detail masa lalu Dante. Ia tidak pernah membayangkan ada seorang wanita lain—apalagi Camille—dalam fragmen luka-luka pria itu.

“Tapi kami tidak pernah... bersama,” lanjut Dante, seolah bisa membaca pikirannya. “Dia hanya—terlalu peduli. Lebih dari seharusnya.”

Aira melipat tangan di dada. “Dan kau membiarkannya?”

Dante menatapnya, tajam. “Aku tidak punya hak untuk menolak bantuan waktu itu. Aku hanya ingin hidup.”

Hening menyergap keduanya. Napas mereka membentuk ritme tidak teratur yang saling menghantam.

“Apakah dia masih mencintaimu?” bisik Aira.

Dante tidak menjawab.

Dan itu sudah cukup jadi jawaban.

**

Keesokan harinya, Camille muncul di rumah. Tidak dengan gaun pesta, tidak dengan riasan glamor. Tapi dengan sweater longgar, rambut digelung, dan ransel di punggungnya. Seperti biasa. Sederhana. Tapi Aira bisa melihat kelembutan yang dibuat-buat di setiap gerakannya.

“Aira,” sapa Camille hangat. “Kau kelihatan lelah. Kurang tidur?”

Aira tersenyum kecil. “Kau juga, sepertinya.”

Camille tertawa. “Jet lag. Aku baru kembali dari Berlin tadi pagi.”

“Sendirian?” tanya Aira, pura-pura acuh.

Camille hanya mengangguk. “Aku dengar dari Papamu, kau sekarang punya pengawal pribadi. Aku penasaran seperti apa wajah prajurit yang bisa bertahan menemanimu lebih dari tiga hari.”

Aira tertawa hambar. “Oh, dia lebih tahan banting daripada kelihatannya.”

Tepat saat itu Dante muncul dari sisi ruang tamu. Camille menoleh, dan sorot matanya berubah. Ada percikan di sana. Antara rindu dan sesuatu yang lebih dalam.

“Dante.”

“Camille.”

Mereka saling menatap. Tak bersentuhan. Tapi atmosfernya cukup untuk membuat udara menegang.

Aira meneguk ludah. “Kalian terlihat seperti dua aktor film perang yang ketemu di tengah reruntuhan.”

Camille terkekeh. “Mungkin memang begitu.”

Lalu ia menoleh pada Aira. “Boleh aku bicara empat mata dengan Dante?”

Aira menatapnya, lalu Dante. Dan ia tahu, apapun yang terjadi, ia tidak akan suka jawabannya.

“Tentu,” jawabnya akhirnya. “Ruang belakang kosong.”

**

Camille berdiri tegak di depan Dante, pintu tertutup di belakangnya.

“Kenapa kau tolak teleponku tadi malam?” tanyanya langsung, tanpa basa-basi.

Dante menatap Camille lama, lalu menggeleng. “Kau tidak seharusnya menelepon tengah malam.”

“Kenapa? Karena kau takut Aira tahu?”

Dante menghela napas. “Camille…”

“Jangan bilang kau jatuh cinta padanya. Dia anak manja. Kau tahu itu.”

“Dia bukan hanya itu.”

Camille mendekat. “Kau lupa siapa yang menahan tanganmu saat kau berdarah-darah? Siapa yang diam-diam menghubungi keluargamu, membelamu saat semua orang bilang kau cacat mental karena trauma?”

Dante menegang. “Aku tidak lupa. Tapi itu tidak membuatmu memiliki hak atas hidupku, Camille.”

Camille menatapnya penuh luka. “Kau berutang nyawa padaku.”

“Dan aku sudah membayarnya dengan bertahan hidup.”

Mata Camille berkaca-kaca, tapi ia tidak menangis. “Kalau begitu... apa kau akan melindunginya seperti kau menolak diselamatkan olehku dulu? Mati-matian tapi tetap menjaga jarak?”

Dante tidak menjawab.

“Dia tidak pantas mendapatkanmu,” bisik Camille. “Tapi aku tidak akan berperang. Aku akan menunggu. Sampai kau sadar siapa yang benar-benar mencintaimu.”

**

Di balik pintu, Aira berdiri diam. Ia mendengar semua.

Kata demi kata menusuknya.

Dia tidak tahu mengapa Camille menyimpan luka sedalam itu.

Tapi satu hal yang ia tahu: cinta bukan hanya tentang siapa yang lebih dulu hadir. Tapi siapa yang lebih dipilih.

Dan untuk pertama kalinya, Aira merasa takut kehilangan sesuatu yang belum sempat ia genggam.

**

Malamnya, Aira berdiri di depan cermin, menatap tubuhnya sendiri.

Ia mengenakan lingerie hitam tipis, rambutnya digerai, parfum di lehernya seperti racun lembut.

Dante masuk tanpa suara. Tapi saat ia menatapnya, pandangannya langsung membeku.

“Apa ini... maksudnya apa?”

Aira menoleh pelan. “Kalau Camille datang sebagai penyelamat masa lalumu, biarkan aku jadi ancaman masa depanmu.”

“Jangan main-main.”

“Aku tidak main-main. Aku tidak butuh pengakuan. Aku hanya ingin tahu, siapa yang lebih kau inginkan saat ini.”

Dante melangkah maju, mencengkeram lengannya, membawanya lebih dekat.

“Kau tidak tahu apa yang kau minta.”

Aira menatap matanya. “Tunjukkan padaku, Dante. Apa yang sebenarnya kau tahan selama ini.”

Tepat saat tubuh mereka bersentuhan, dan napas mulai menjadi senjata, terdengar suara di luar kamar.

Tok. Tok. Tok.

Camille.

“Aira? Aku perlu bicara…”

Dante menegang. Aira juga.

“Buka pintunya,” kata Camille lagi, suaranya sedikit mendesak. “Ada sesuatu yang harus kau tahu tentang Dante.”

Aira menoleh pelan pada pria di depannya, yang kini kembali berubah menjadi batu.

“Dia tahu sesuatu?” bisik Aira.

Dante tidak menjawab.

Camille berkata dari balik pintu dengan nada dingin, “Dia bukan hanya mantan tentara, Aira. Dia pembunuh bayaran. Dan aku bisa buktikan itu.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Shadow on me   bab 10. luka yang dibungkam

    Hujan kembali turun, lebih deras dari semalam. Seakan langit ingin mencuci bersih sesuatu yang busuk di dunia ini—meski tahu itu sia-sia.Aira duduk di dalam mobil hitam yang dipinjamkan Dante untuknya, jemarinya mencengkeram tas kecil yang sejak pagi tadi tak pernah dilepas. Sudah dua jam sejak pertemuan itu. Sejak pria bernama Nox muncul dan merobek realita tenangnya yang semu."Aku datang bukan untukmu..."Kata-kata itu masih menggema. Seperti bayangan, mengendap di balik tengkuk. Membuat kulitnya dingin meski AC mobil sudah mati sejak tadi.Ponselnya berdering. Ia menoleh pelan. Nama di layar: Dante.Tangan Aira gemetar saat menyentuh layar.“Halo,” suaranya pelan.“Kau di mana?” suara Dante terdengar datar. Tapi bukan datar karena tenang—melainkan terlalu banyak emosi yang dikunci rapat.“Aku keluar sebentar,” jawab Aira hati-hati. “Aku… butuh udara.”Keheningan.Kemudian Dante berkata, “D

  • Shadow on me   bab 9. janji yang tertinggal di luka

    Dante merasakan ada yang tidak seimbang saat ia membuka mata.Udara pagi seharusnya membawa ketenangan, tapi ini seperti jebakan yang terlalu rapi. Hening yang disulam terlalu sempurna. Sunyi yang menunggu untuk memekik.Ia meraih celana panjangnya, mengenakannya sambil berjalan keluar kamar. Langkahnya cepat, naluri lamanya seperti sedang digelitik dari tidur panjang. Belum sampai ke tangga, ia mendengar suara rendah yang tidak asing di telinganya.“Nox,” gumamnya, nyaris tanpa suara.Ia mempercepat langkah, menuruni anak tangga dan menemukan Aira berdiri di ambang dapur, tubuhnya kaku seperti patung, sedang seorang pria asing duduk santai di kursi makan sambil memutar cangkir kopi yang belum disentuh.Pria itu menoleh, dan bibirnya membentuk senyum yang tidak sampai ke mata.“Dante,” ucapnya, seolah menyapa sahabat lama.“Keluar,” kata Dante, dingin.“Tentu. Tapi bukan sebelum kau mendengarkanku.”“Ti

  • Shadow on me   bab 8. di balik nama Dante

    Pintu tidak langsung dibuka.Aira berdiri mematung di dalam kamar, tubuhnya hanya diselimuti oleh kain tipis dan napas yang memburu. Dante berdiri tak jauh darinya, punggungnya tegak namun dagunya menunduk. Seolah baru saja dijatuhkan dari ketinggian yang terlalu akrab.Suara Camille kembali terdengar dari balik pintu, lebih tegas, lebih menusuk.“Kalau kau tidak percaya padaku, bukalah laptopnya. Lihat folder yang bernama RAVEN. Kata sandinya: 0611Nox. Itu tanggal pertama kali dia membunuh seseorang.”Darah Aira terasa surut dari wajahnya.Dante menggeram pelan, hampir tidak terdengar. “Dia melampaui batas.”“Benarkah?” bisik Aira. “Jadi... itu semua benar?”Dante menatapnya lama, dan saat ia akhirnya bicara, suaranya seperti batu basah yang digores silet.“Aku pernah jadi tentara. Itu bukan rahasia. Tapi setelah keluar, hidup tidak sesederhana berjualan senjata bekas atau buka gym pelatihan. Dunia gelap tidak

  • Shadow on me   Bab 7. Jejak Rahasia

    Camille.Nama itu terpatri di layar ponsel Dante. Mengusik dalam satu kedipan. Mengubah atmosfer ruangan seperti angin dingin yang menyusup dari celah jendela.Aira menatap layar ponsel itu tanpa berkedip. Detik demi detik terasa seperti gesekan belati ke kulitnya.“Apa kau tidak akan angkat?” tanyanya pelan, hampir berbisik. Suaranya dingin, walau matanya terbakar.Dante tidak menjawab. Ia hanya menatap layar itu dalam diam sebelum akhirnya menekan tombol merah—menolak panggilan itu begitu saja.“Kenapa kau—”“Bukan urusanmu,” potong Dante, nada suaranya berubah. Lebih tajam. Tegas. Seolah mencoba menarik kembali dinding yang nyaris runtuh tadi.Aira mengerjap. “Bukan urusanku?” katanya lambat, seperti mencicipi kata-kata itu. “Kau menarikku ke kamar ini, menggenggamku seolah aku milikmu, dan sekarang... Camille meneleponmu tengah malam, dan kau bilang bukan urusanku?”Ia menertawakan kata-katanya sendiri. Tawa

  • Shadow on me   Bab 6. Jejak di Tubuhmu

    Aira masih merasakan denyut halus di pergelangan tangannya—sisa dari cengkeraman Dante semalam. Ia menatap kulitnya yang kini sedikit merah muda, nyaris memar, lalu menoleh ke kaca besar di kamar mandi suite pribadinya. Matanya belum sepenuhnya jernih, seperti belum siap kembali ke kenyataan.Ia telah mencium Dante.Bukan dalam lamunan, bukan karena dorongan iseng—tapi sungguh-sungguh. Nyata. Terjadi.Dan pria itu membalasnya. Bukan dengan kelembutan, bukan dengan bisikan cinta, tapi dengan tatapan yang mengunci, tangan yang menggenggam terlalu erat, dan ciuman yang seolah menelan habis seluruh keberaniannya.Aira menyentuh bibirnya pelan.“Aku sudah gila…” gumamnya lirih.**Di lantai bawah, Dante berdiri di dekat jendela kaca. Kopi hitam di tangannya sudah dingin. Tatapannya terpaku pada pohon palem di kejauhan, tapi pikirannya terjebak di kamar atas, pada aroma tubuh Aira, pada desahan samar yang nyaris membuatnya keh

  • Shadow on me   bab 5. hadirnya bayangan lama

    Hari itu, Jakarta menyembunyikan panasnya di balik awan mendung. Tapi di dalam mobil hitam berlapis kaca gelap yang membawa Aira ke kampus untuk mengisi seminar tamu, suhu terasa seperti mendidih.Dante menyetir dengan satu tangan di kemudi, satu lagi menggenggam setengah rokok elektrik yang belum dinyalakan. Wajahnya tenang, tapi setiap otot di rahangnya tampak mengeras. Sejak malam itu—sejak Aira menerima panggilan dari Adrian—ia tak banyak bicara.Dan Aira juga tidak bertanya.Mereka terjebak dalam jarak yang tak bisa diucapkan dengan kata. Jarak yang tidak diciptakan dari pertengkaran, tapi dari kerinduan yang disangkal."Setelah ini ke mana?" suara Dante datar."Aku janji ketemu seseorang. Teman lama.""Siapa?"Aira menoleh ke arahnya. "Namanya Leona. Kita kuliah bareng di Belanda."Dante hanya mengangguk kecil, tapi matanya menatap kaca spion dengan lebih tajam.Leona datang seperti badai tropis—berisik, berani, dan terlalu cantik untuk dipercaya. Ia memeluk Aira seperti adik ya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status