Camille.
Nama itu terpatri di layar ponsel Dante. Mengusik dalam satu kedipan. Mengubah atmosfer ruangan seperti angin dingin yang menyusup dari celah jendela. Aira menatap layar ponsel itu tanpa berkedip. Detik demi detik terasa seperti gesekan belati ke kulitnya. “Apa kau tidak akan angkat?” tanyanya pelan, hampir berbisik. Suaranya dingin, walau matanya terbakar. Dante tidak menjawab. Ia hanya menatap layar itu dalam diam sebelum akhirnya menekan tombol merah—menolak panggilan itu begitu saja. “Kenapa kau—” “Bukan urusanmu,” potong Dante, nada suaranya berubah. Lebih tajam. Tegas. Seolah mencoba menarik kembali dinding yang nyaris runtuh tadi. Aira mengerjap. “Bukan urusanku?” katanya lambat, seperti mencicipi kata-kata itu. “Kau menarikku ke kamar ini, menggenggamku seolah aku milikmu, dan sekarang... Camille meneleponmu tengah malam, dan kau bilang bukan urusanku?” Ia menertawakan kata-katanya sendiri. Tawa getir yang memercik seperti api dari serpihan logam. “Camille itu sahabatku, Dante.” Dante memutar tubuhnya, berjalan ke arah meja, lalu menaruh ponselnya dengan keras. “Justru karena itu aku tidak ingin membahasnya.” “Berarti ada yang perlu dibahas.” Dante mendesah, lalu membalikkan badan. Tatapannya dalam, gelap, dan terbelah antara dua sisi—sisi prajurit yang terbiasa menahan segalanya, dan sisi pria yang mulai goyah karena satu wanita keras kepala. “Camille bukan hanya sahabatmu, Aira.” Aira mengerutkan kening. “Maksudmu?” “Dia... menyelamatkanku sekali waktu.” “Apa maksudmu?” Dante menatap Aira lama, lalu berkata pelan, “Tiga tahun lalu, aku kembali dari Suriah. Luka parah, kehilangan satu tim, dan nyaris bunuh diri. Camille-lah yang mengirim seseorang menolongku. Dia relawan, saat itu. Dokter lapangan. Dia menulis surat atas namanya, menyamar sebagai tunangan tentara supaya bisa ikut proses evakuasi. Tanpa dia, aku mungkin sudah mati.” Aira terdiam. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tidak tahu detail masa lalu Dante. Ia tidak pernah membayangkan ada seorang wanita lain—apalagi Camille—dalam fragmen luka-luka pria itu. “Tapi kami tidak pernah... bersama,” lanjut Dante, seolah bisa membaca pikirannya. “Dia hanya—terlalu peduli. Lebih dari seharusnya.” Aira melipat tangan di dada. “Dan kau membiarkannya?” Dante menatapnya, tajam. “Aku tidak punya hak untuk menolak bantuan waktu itu. Aku hanya ingin hidup.” Hening menyergap keduanya. Napas mereka membentuk ritme tidak teratur yang saling menghantam. “Apakah dia masih mencintaimu?” bisik Aira. Dante tidak menjawab. Dan itu sudah cukup jadi jawaban. ** Keesokan harinya, Camille muncul di rumah. Tidak dengan gaun pesta, tidak dengan riasan glamor. Tapi dengan sweater longgar, rambut digelung, dan ransel di punggungnya. Seperti biasa. Sederhana. Tapi Aira bisa melihat kelembutan yang dibuat-buat di setiap gerakannya. “Aira,” sapa Camille hangat. “Kau kelihatan lelah. Kurang tidur?” Aira tersenyum kecil. “Kau juga, sepertinya.” Camille tertawa. “Jet lag. Aku baru kembali dari Berlin tadi pagi.” “Sendirian?” tanya Aira, pura-pura acuh. Camille hanya mengangguk. “Aku dengar dari Papamu, kau sekarang punya pengawal pribadi. Aku penasaran seperti apa wajah prajurit yang bisa bertahan menemanimu lebih dari tiga hari.” Aira tertawa hambar. “Oh, dia lebih tahan banting daripada kelihatannya.” Tepat saat itu Dante muncul dari sisi ruang tamu. Camille menoleh, dan sorot matanya berubah. Ada percikan di sana. Antara rindu dan sesuatu yang lebih dalam. “Dante.” “Camille.” Mereka saling menatap. Tak bersentuhan. Tapi atmosfernya cukup untuk membuat udara menegang. Aira meneguk ludah. “Kalian terlihat seperti dua aktor film perang yang ketemu di tengah reruntuhan.” Camille terkekeh. “Mungkin memang begitu.” Lalu ia menoleh pada Aira. “Boleh aku bicara empat mata dengan Dante?” Aira menatapnya, lalu Dante. Dan ia tahu, apapun yang terjadi, ia tidak akan suka jawabannya. “Tentu,” jawabnya akhirnya. “Ruang belakang kosong.” ** Camille berdiri tegak di depan Dante, pintu tertutup di belakangnya. “Kenapa kau tolak teleponku tadi malam?” tanyanya langsung, tanpa basa-basi. Dante menatap Camille lama, lalu menggeleng. “Kau tidak seharusnya menelepon tengah malam.” “Kenapa? Karena kau takut Aira tahu?” Dante menghela napas. “Camille…” “Jangan bilang kau jatuh cinta padanya. Dia anak manja. Kau tahu itu.” “Dia bukan hanya itu.” Camille mendekat. “Kau lupa siapa yang menahan tanganmu saat kau berdarah-darah? Siapa yang diam-diam menghubungi keluargamu, membelamu saat semua orang bilang kau cacat mental karena trauma?” Dante menegang. “Aku tidak lupa. Tapi itu tidak membuatmu memiliki hak atas hidupku, Camille.” Camille menatapnya penuh luka. “Kau berutang nyawa padaku.” “Dan aku sudah membayarnya dengan bertahan hidup.” Mata Camille berkaca-kaca, tapi ia tidak menangis. “Kalau begitu... apa kau akan melindunginya seperti kau menolak diselamatkan olehku dulu? Mati-matian tapi tetap menjaga jarak?” Dante tidak menjawab. “Dia tidak pantas mendapatkanmu,” bisik Camille. “Tapi aku tidak akan berperang. Aku akan menunggu. Sampai kau sadar siapa yang benar-benar mencintaimu.” ** Di balik pintu, Aira berdiri diam. Ia mendengar semua. Kata demi kata menusuknya. Dia tidak tahu mengapa Camille menyimpan luka sedalam itu. Tapi satu hal yang ia tahu: cinta bukan hanya tentang siapa yang lebih dulu hadir. Tapi siapa yang lebih dipilih. Dan untuk pertama kalinya, Aira merasa takut kehilangan sesuatu yang belum sempat ia genggam. ** Malamnya, Aira berdiri di depan cermin, menatap tubuhnya sendiri. Ia mengenakan lingerie hitam tipis, rambutnya digerai, parfum di lehernya seperti racun lembut. Dante masuk tanpa suara. Tapi saat ia menatapnya, pandangannya langsung membeku. “Apa ini... maksudnya apa?” Aira menoleh pelan. “Kalau Camille datang sebagai penyelamat masa lalumu, biarkan aku jadi ancaman masa depanmu.” “Jangan main-main.” “Aku tidak main-main. Aku tidak butuh pengakuan. Aku hanya ingin tahu, siapa yang lebih kau inginkan saat ini.” Dante melangkah maju, mencengkeram lengannya, membawanya lebih dekat. “Kau tidak tahu apa yang kau minta.” Aira menatap matanya. “Tunjukkan padaku, Dante. Apa yang sebenarnya kau tahan selama ini.” Tepat saat tubuh mereka bersentuhan, dan napas mulai menjadi senjata, terdengar suara di luar kamar. Tok. Tok. Tok. Camille. “Aira? Aku perlu bicara…” Dante menegang. Aira juga. “Buka pintunya,” kata Camille lagi, suaranya sedikit mendesak. “Ada sesuatu yang harus kau tahu tentang Dante.” Aira menoleh pelan pada pria di depannya, yang kini kembali berubah menjadi batu. “Dia tahu sesuatu?” bisik Aira. Dante tidak menjawab. Camille berkata dari balik pintu dengan nada dingin, “Dia bukan hanya mantan tentara, Aira. Dia pembunuh bayaran. Dan aku bisa buktikan itu.”Angin pagi menyusup masuk ke sela-sela jaket mereka saat kelima pejuang itu berjalan menyusuri hutan jarang menuju reruntuhan Stasiun Varra—sebuah bangunan kuno yang konon pernah digunakan sebagai tempat penyimpanan data awal sistem pemetaan cinta. Bangunan itu ditinggalkan sejak lebih dari satu dekade lalu, dikabarkan ambruk karena kebakaran misterius. Namun bagi Leona, tempat itu lebih dari sekadar reruntuhan. Ia menyebutnya “akar dari segalanya”.“Tempat ini yang pertama kali memproses basis data emosi,” jelas Leona sembari menatap peta digital dari gawai kecilnya. “Di sinilah algoritma awal dikembangkan sebelum dipindahkan ke server utama pemerintah pusat.”Aira mengerutkan kening. “Jadi di tempat ini... manusia pertama kali mulai dipelajari seperti objek?”“Ya,” jawab Leona lirih. “Dipetakan. Diberi nilai. Lalu diarahkan seperti boneka.”Langkah mereka berhenti di depan sebuah dinding beton besar yang penuh semak merambat. Dante mengamati permukaan kusam itu dan menemukan celah l
Sungai kecil di balik bukit itu membawa air yang dingin dan beraroma lumut. Aira menggigil, menahan napas sambil menyusuri arus dangkal bersama Dante, Lana, Leona, dan Joel. Langit mulai menggelap, namun tidak benar-benar gelap—sisa-sisa siaran yang tadi mereka pancarkan masih terasa, seperti arus listrik halus yang mengalir dalam udara malam.Mereka berjalan beriringan, tidak bicara, hanya suara gemericik air dan napas yang berat yang mengisi keheningan. Tubuh mereka lelah, tapi hati mereka penuh.Saat mereka akhirnya mencapai tebing rendah di sisi timur, Leona memberi isyarat berhenti. Mereka berlindung di balik formasi batu-batu alam, duduk berjajar, menggeliat mengeringkan pakaian dan peralatan.“Ini akan membekas,” gumam Joel sambil membuka bagian bawah tasnya yang basah kuyup, memperlihatkan alat komunikasi kecil yang masih menyala.Dante mengangguk. “Bukan hanya karena kita hampir mati. Tapi karena siaran itu… sampai.”Leona mengusap rambut basahnya ke belakang. “Tiga jaringan
Langit tampak pucat saat matahari menggeliat dari balik awan, menyinari jalan setapak penuh batu tajam dan reruntuhan logam. Angin di perbukitan utara berembus dingin, membawa bau karat dan abu dari menara tua yang menjulang jauh di atas sana.Mereka berenam mendaki dalam diam. Setiap langkah diatur dengan waspada. Leona memimpin, diikuti oleh Joel yang membawa perangkat siaran dalam tas hitam. Di belakang mereka, Aira dan Dante berjalan beriringan, sementara Lana menjaga posisi paling belakang dengan mata tajam dan tangan siap di senjata api kecilnya.“Menara itu dulunya milik penyiar independen,” kata Leona tanpa menoleh. “Tapi setelah penggabungan sistem, sinyalnya dipadamkan dan lokasinya dikunci. Sekarang, satu-satunya yang tersisa adalah struktur usang dan... jejak sinyal yang kadang masih menyala sendiri.”“Seolah tempat itu belum siap mati,” gumam Dante.Leona berhenti mendadak di balik semak berduri. Ia berjongkok dan mengangkat tangan. “Penjaga.”Dari atas, tampak dua orang
Malam belum benar-benar surut saat Aira berdiri di depan monitor besar dalam ruangan bawah tanah. Gema suara-suara sistem terdengar seperti napas terakhir dari bangunan tua yang sudah lama ditinggalkan. Pipa-pipa menggantung di atas kepala mereka, dan suara tetesan air mengiringi detak jantung yang semakin tak karuan.Di layar, wajah Aira terekam secara langsung.Joel berdiri di balik konsol kendali, jari-jarinya cepat menari di atas keyboard. Dante mengawasi ruangan dari belakang, mata waspada. Sementara Lana, bersandar pada dinding, menggenggam pisau lipat kecil—satu-satunya yang membuatnya merasa masih bisa bertahan hidup.Siaran dimulai.“Namaku Aira Vex,” ucapnya dengan suara tenang tapi bergetar, “dan jika kalian melihat ini... berarti sistem telah gagal menyembunyikan kami lagi.”Ia berhenti sejenak, menatap langsung ke kamera. Tak ada naskah. Tak ada arahan. Hanya kebenaran yang menggantung di lidahnya.“Kami dulu hanyala
Sore itu, langit tampak lebih berat daripada biasanya. Awan menggumpal seperti rahasia-rahasia yang belum terucap. Kabut tipis menyelimuti jalan berkerikil menuju ke kota tua—kota yang dulu mereka tinggalkan karena bahaya, dan kini mereka masuki kembali karena pilihan.Mobil mereka bergerak lambat, sunyi. Tidak ada musik, tidak ada obrolan ringan. Hanya denting waktu dan suara ban yang menelan jarak.Dante menyetir. Matanya tertuju lurus ke depan, tapi tangannya sesekali mengetuk setir seperti menahan gelisah. Aira duduk di sampingnya, menggenggam peta lama yang sudah direvisi dengan tinta biru dan coretan tangan Joel. Di kursi belakang, Lana memeriksa senjata untuk kesekian kalinya, dan Joel memandangi layar kecil yang menampilkan sinyal dari tiga drone kecil yang dilepaskan sebelumnya.“Berapa menit lagi kita sampai di titik aman?” tanya Dante tanpa menoleh.“Kurang dari sepuluh menit,” jawab Joel. “Kalau tak ada drone patroli musuh. Tapi… aku t
Udara kota menyambut mereka dengan aroma logam dan beton tua. Langit seperti dinding kusam yang menggantung terlalu rendah, dan cahaya lampu jalan menyapu wajah mereka dalam bayangan bergerak. Aira duduk di kursi belakang mobil van yang mereka pakai, jantungnya berdetak perlahan tapi berat. Sesuatu dalam dirinya menolak untuk merasa aman. Bahkan sekarang, ketika pintu belakang dunia tampak terbuka di hadapan mereka.Dante duduk di kursi pengemudi, tangannya menggenggam setir seperti menahan seluruh beban langit. Di sebelahnya, Joel memeluk koper berisi data, seperti seorang ayah yang menolak menyerahkan anaknya. Lana diam, menatap ke luar jendela, matanya mengikuti siluet bangunan yang mereka lewati.Mereka tiba di markas bawah tanah Elias menjelang tengah malam. Sebuah ruangan tersembunyi di balik lorong parkiran tua, terlindung dari radar, kamera, dan sinyal umum. Elias menyambut mereka seperti seorang tuan rumah yang terlalu tenang untuk dunia yang sedang terbak