Aira masih merasakan denyut halus di pergelangan tangannya—sisa dari cengkeraman Dante semalam. Ia menatap kulitnya yang kini sedikit merah muda, nyaris memar, lalu menoleh ke kaca besar di kamar mandi suite pribadinya. Matanya belum sepenuhnya jernih, seperti belum siap kembali ke kenyataan.
Ia telah mencium Dante. Bukan dalam lamunan, bukan karena dorongan iseng—tapi sungguh-sungguh. Nyata. Terjadi. Dan pria itu membalasnya. Bukan dengan kelembutan, bukan dengan bisikan cinta, tapi dengan tatapan yang mengunci, tangan yang menggenggam terlalu erat, dan ciuman yang seolah menelan habis seluruh keberaniannya. Aira menyentuh bibirnya pelan. “Aku sudah gila…” gumamnya lirih. ** Di lantai bawah, Dante berdiri di dekat jendela kaca. Kopi hitam di tangannya sudah dingin. Tatapannya terpaku pada pohon palem di kejauhan, tapi pikirannya terjebak di kamar atas, pada aroma tubuh Aira, pada desahan samar yang nyaris membuatnya kehilangan kendali. Ia tahu ini tidak boleh terjadi. Ia tahu seharusnya ia menolak sejak sentuhan pertama. Tapi dia tidak. Karena sesungguhnya, Dante sudah kalah sejak Aira pertama kali menantangnya dengan tatapan genit dan senyum setengah mengejek itu. Dan sekarang, dia harus membayar harga dari kebodohannya. ** Aira turun dengan langkah pelan. Rambutnya diikat seadanya, dan kaus putih longgar itu nyaris menutupi celana pendeknya. Seolah ia memang ingin terlihat nyaman—atau sengaja menggoda. Tapi tatapannya gugup, tidak seperti biasanya. Dante tak menoleh saat mendengar langkah kakinya, tapi Aira bisa merasakan ketegangannya memenuhi udara. “Kau selalu berdiri diam seperti patung, atau ini bagian dari pelatihan tentara itu?” tanyanya ringan, mencoba meruntuhkan dinding yang jelas mulai ia bangun kembali. Dante tidak menjawab. Aira mendekat. “Aku... ingin bicara soal semalam.” “Itu tidak akan terjadi lagi,” ucapnya sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya. Aira mengerutkan kening. “Kenapa? Karena kau pengawal dan aku... klien manja yang tidak bisa kau sentuh?” “Karena itu salah. Dan aku tidak mengulang kesalahan dua kali.” Nada suaranya rendah, tapi tajam. Namun Aira tidak mundur. “Salah? Lucu. Karena aku tidak menyesalinya. Bahkan kalau kau tidak menciumku balik, aku mungkin akan tetap melakukannya. Kau pikir aku lemah hanya karena aku muda dan penuh nafsu? Salah, Dante.” Dia mendekat hingga hanya berjarak satu tarikan napas dari pria itu. “Aku tahu apa yang aku mau.” Dante mendekap tangannya di belakang tubuhnya, tubuhnya tetap kaku. “Dan kau pikir itu aku?” “Bukan cuma pikir. Aku tahu.” Tatapan Dante menurun, menatap tubuh Aira yang begitu dekat, lalu kembali menatap matanya. “Kau bermain api, Aira.” “Aku tidak takut terbakar.” “Aku bukan laki-laki yang akan memberimu bunga dan ucapan manis.” “Aku tidak butuh bunga. Aku butuh yang nyata.” Keheningan menggantung di antara mereka. Dante tahu ia seharusnya pergi dari ruangan itu. Tapi tubuhnya tetap membeku, dan napasnya mulai tidak teratur. Ia bisa menghancurkannya dalam satu sentuhan, dan Aira tahu itu. “Kau harusnya menjaga jarak dariku,” desis Dante, suaranya serak. “Terlambat,” balas Aira, suaranya nyaris berbisik. ** Hari itu berjalan seperti biasa. Aira pergi ke galeri seni, ditemani Dante yang kembali bertingkah seperti tembok baja. Ia tidak bicara kecuali diperlukan. Ia tidak menatap lebih dari satu detik. Tapi Aira bisa merasakan semuanya—gemetar kecil yang tak kentara saat tangan mereka hampir bersentuhan, atau napas tertahan saat dia tertawa terlalu keras. Lalu Luca muncul. Laki-laki itu mengenakan setelan rapi, senyumnya percaya diri, seperti selalu. “Aira. Sudah lama,” katanya dengan nada akrab. Aira mendadak tegang, tapi membalas dengan senyum sopan. “Luca. Aku tidak tahu kau diundang juga.” Luca mendekat, meraih tangan Aira dan menciumnya pelan—kebiasaan lama yang masih saja ia lakukan. Dante hanya berdiri diam di belakang, tapi Aira tahu dia mengawasi setiap gerakan. “Siapa teman barumu?” tanya Luca, matanya menilai Dante dari ujung kaki sampai kepala. “Pengawalku,” jawab Aira pendek. “Ah,” senyum Luca melebar. “Ayahmu memang selalu berlebihan.” Aira hendak membalas, tapi Dante melangkah maju, berdiri setengah menghalangi Aira. “Saya Dante. Dan saya tidak hanya berdiri untuk pemandangan.” Luca menaikkan alis, tapi tertawa. “Kau lucu juga. Tapi tenang saja, aku tidak berniat menculiknya.” Dante tidak tertawa. Aira menahan napas. Ia bisa merasakan suhu di sekitarnya berubah, dan sesuatu dalam sorot mata Dante—ancaman yang tak terlihat, tapi nyata. ** Malam harinya, Aira berdiri di balkon, mengenakan gaun sutra tipis yang nyaris tembus pandang. Ia tahu Dante sedang berjaga tak jauh dari situ. Dan dia tahu, pria itu belum tidur. Ia ingin menguji batas. Ia ingin tahu, sampai sejauh mana Dante bisa bertahan. “Apa kau akan terus diam seperti patung?” tanyanya tanpa menoleh. Dante mendekat, berdiri satu meter di belakangnya. “Kalau aku bicara, kau tidak akan suka jawabannya.” Aira menoleh, matanya menantang. “Coba saja.” Dante menatap tubuhnya, lalu menatap matanya. “Kalau aku jujur, aku ingin menyeretmu kembali ke kamar, mengikatmu, dan menunjukkan siapa yang seharusnya memimpin permainan ini.” Aira terdiam. Lalu ia tersenyum tipis. “Lalu kenapa kau tidak melakukannya?” Dante mendekat. Tangannya menyentuh wajah Aira, kemudian turun ke leher, lalu berhenti di tulang selangkanya. “Karena kalau aku mulai, aku tidak akan bisa berhenti.” Aira menggigit bibir bawahnya, napasnya bergetar. “Mungkin aku tidak mau kau berhenti.” Tangan Dante mencengkeram lengannya. “Kalau kau terus seperti ini, Aira…” bisiknya, suaranya dalam dan bergetar. “Aku akan membuatmu lupa siapa dirimu.” “Buat aku lupa. Aku tidak peduli.” Mata mereka saling mengunci. Dalam sekejap, Dante menyeret Aira masuk ke kamar. Tak ada lagi basa-basi. Tak ada lagi penolakan. Tapi saat ia hendak mencium Aira, telepon Dante berdering. Ia terdiam. Aira membeku. Dante mengeluarkan ponsel dari sakunya, dan layar menampilkan satu nama: Camille. Aira menatap layar itu. Camille? Sahabatnya? Apa yang dilakukan Camille menelepon Dante... tengah malam begini?Angin pagi menyusup masuk ke sela-sela jaket mereka saat kelima pejuang itu berjalan menyusuri hutan jarang menuju reruntuhan Stasiun Varra—sebuah bangunan kuno yang konon pernah digunakan sebagai tempat penyimpanan data awal sistem pemetaan cinta. Bangunan itu ditinggalkan sejak lebih dari satu dekade lalu, dikabarkan ambruk karena kebakaran misterius. Namun bagi Leona, tempat itu lebih dari sekadar reruntuhan. Ia menyebutnya “akar dari segalanya”.“Tempat ini yang pertama kali memproses basis data emosi,” jelas Leona sembari menatap peta digital dari gawai kecilnya. “Di sinilah algoritma awal dikembangkan sebelum dipindahkan ke server utama pemerintah pusat.”Aira mengerutkan kening. “Jadi di tempat ini... manusia pertama kali mulai dipelajari seperti objek?”“Ya,” jawab Leona lirih. “Dipetakan. Diberi nilai. Lalu diarahkan seperti boneka.”Langkah mereka berhenti di depan sebuah dinding beton besar yang penuh semak merambat. Dante mengamati permukaan kusam itu dan menemukan celah l
Sungai kecil di balik bukit itu membawa air yang dingin dan beraroma lumut. Aira menggigil, menahan napas sambil menyusuri arus dangkal bersama Dante, Lana, Leona, dan Joel. Langit mulai menggelap, namun tidak benar-benar gelap—sisa-sisa siaran yang tadi mereka pancarkan masih terasa, seperti arus listrik halus yang mengalir dalam udara malam.Mereka berjalan beriringan, tidak bicara, hanya suara gemericik air dan napas yang berat yang mengisi keheningan. Tubuh mereka lelah, tapi hati mereka penuh.Saat mereka akhirnya mencapai tebing rendah di sisi timur, Leona memberi isyarat berhenti. Mereka berlindung di balik formasi batu-batu alam, duduk berjajar, menggeliat mengeringkan pakaian dan peralatan.“Ini akan membekas,” gumam Joel sambil membuka bagian bawah tasnya yang basah kuyup, memperlihatkan alat komunikasi kecil yang masih menyala.Dante mengangguk. “Bukan hanya karena kita hampir mati. Tapi karena siaran itu… sampai.”Leona mengusap rambut basahnya ke belakang. “Tiga jaringan
Langit tampak pucat saat matahari menggeliat dari balik awan, menyinari jalan setapak penuh batu tajam dan reruntuhan logam. Angin di perbukitan utara berembus dingin, membawa bau karat dan abu dari menara tua yang menjulang jauh di atas sana.Mereka berenam mendaki dalam diam. Setiap langkah diatur dengan waspada. Leona memimpin, diikuti oleh Joel yang membawa perangkat siaran dalam tas hitam. Di belakang mereka, Aira dan Dante berjalan beriringan, sementara Lana menjaga posisi paling belakang dengan mata tajam dan tangan siap di senjata api kecilnya.“Menara itu dulunya milik penyiar independen,” kata Leona tanpa menoleh. “Tapi setelah penggabungan sistem, sinyalnya dipadamkan dan lokasinya dikunci. Sekarang, satu-satunya yang tersisa adalah struktur usang dan... jejak sinyal yang kadang masih menyala sendiri.”“Seolah tempat itu belum siap mati,” gumam Dante.Leona berhenti mendadak di balik semak berduri. Ia berjongkok dan mengangkat tangan. “Penjaga.”Dari atas, tampak dua orang
Malam belum benar-benar surut saat Aira berdiri di depan monitor besar dalam ruangan bawah tanah. Gema suara-suara sistem terdengar seperti napas terakhir dari bangunan tua yang sudah lama ditinggalkan. Pipa-pipa menggantung di atas kepala mereka, dan suara tetesan air mengiringi detak jantung yang semakin tak karuan.Di layar, wajah Aira terekam secara langsung.Joel berdiri di balik konsol kendali, jari-jarinya cepat menari di atas keyboard. Dante mengawasi ruangan dari belakang, mata waspada. Sementara Lana, bersandar pada dinding, menggenggam pisau lipat kecil—satu-satunya yang membuatnya merasa masih bisa bertahan hidup.Siaran dimulai.“Namaku Aira Vex,” ucapnya dengan suara tenang tapi bergetar, “dan jika kalian melihat ini... berarti sistem telah gagal menyembunyikan kami lagi.”Ia berhenti sejenak, menatap langsung ke kamera. Tak ada naskah. Tak ada arahan. Hanya kebenaran yang menggantung di lidahnya.“Kami dulu hanyala
Sore itu, langit tampak lebih berat daripada biasanya. Awan menggumpal seperti rahasia-rahasia yang belum terucap. Kabut tipis menyelimuti jalan berkerikil menuju ke kota tua—kota yang dulu mereka tinggalkan karena bahaya, dan kini mereka masuki kembali karena pilihan.Mobil mereka bergerak lambat, sunyi. Tidak ada musik, tidak ada obrolan ringan. Hanya denting waktu dan suara ban yang menelan jarak.Dante menyetir. Matanya tertuju lurus ke depan, tapi tangannya sesekali mengetuk setir seperti menahan gelisah. Aira duduk di sampingnya, menggenggam peta lama yang sudah direvisi dengan tinta biru dan coretan tangan Joel. Di kursi belakang, Lana memeriksa senjata untuk kesekian kalinya, dan Joel memandangi layar kecil yang menampilkan sinyal dari tiga drone kecil yang dilepaskan sebelumnya.“Berapa menit lagi kita sampai di titik aman?” tanya Dante tanpa menoleh.“Kurang dari sepuluh menit,” jawab Joel. “Kalau tak ada drone patroli musuh. Tapi… aku t
Udara kota menyambut mereka dengan aroma logam dan beton tua. Langit seperti dinding kusam yang menggantung terlalu rendah, dan cahaya lampu jalan menyapu wajah mereka dalam bayangan bergerak. Aira duduk di kursi belakang mobil van yang mereka pakai, jantungnya berdetak perlahan tapi berat. Sesuatu dalam dirinya menolak untuk merasa aman. Bahkan sekarang, ketika pintu belakang dunia tampak terbuka di hadapan mereka.Dante duduk di kursi pengemudi, tangannya menggenggam setir seperti menahan seluruh beban langit. Di sebelahnya, Joel memeluk koper berisi data, seperti seorang ayah yang menolak menyerahkan anaknya. Lana diam, menatap ke luar jendela, matanya mengikuti siluet bangunan yang mereka lewati.Mereka tiba di markas bawah tanah Elias menjelang tengah malam. Sebuah ruangan tersembunyi di balik lorong parkiran tua, terlindung dari radar, kamera, dan sinyal umum. Elias menyambut mereka seperti seorang tuan rumah yang terlalu tenang untuk dunia yang sedang terbak