Pintu tidak langsung dibuka.
Aira berdiri mematung di dalam kamar, tubuhnya hanya diselimuti oleh kain tipis dan napas yang memburu. Dante berdiri tak jauh darinya, punggungnya tegak namun dagunya menunduk. Seolah baru saja dijatuhkan dari ketinggian yang terlalu akrab. Suara Camille kembali terdengar dari balik pintu, lebih tegas, lebih menusuk. “Kalau kau tidak percaya padaku, bukalah laptopnya. Lihat folder yang bernama RAVEN. Kata sandinya: 0611Nox. Itu tanggal pertama kali dia membunuh seseorang.” Darah Aira terasa surut dari wajahnya. Dante menggeram pelan, hampir tidak terdengar. “Dia melampaui batas.” “Benarkah?” bisik Aira. “Jadi... itu semua benar?” Dante menatapnya lama, dan saat ia akhirnya bicara, suaranya seperti batu basah yang digores silet. “Aku pernah jadi tentara. Itu bukan rahasia. Tapi setelah keluar, hidup tidak sesederhana berjualan senjata bekas atau buka gym pelatihan. Dunia gelap tidak pernah benar-benar melepaskan siapa pun, Aira.” Ia melangkah mendekat, tangannya gemetar sedikit. “Aku tidak pernah memilih hidup itu. Tapi saat orang-orang seperti Camille menyelamatkanku, mereka juga memasukkanku ke dalam jaringan yang tidak bisa kutinggalkan begitu saja.” Aira tidak mundur. Tidak juga menjauh. Tapi wajahnya datar. Terlalu datar untuk seorang gadis yang baru saja tahu pria yang ia inginkan mungkin seorang pembunuh. “Apa maksudmu... jaringan?” gumamnya. Dante menatap lurus ke matanya. “Aku pernah menjadi bagian dari organisasi non-resmi. Penugasan bayaran. Menangani target politik, pengedar, dan kadang... orang tak bersalah yang menjadi collateral damage.” Aira menggigit bibir bawahnya. “Kau masih terlibat?” “Tidak.” “Tapi masih ada datanya di laptopmu?” “Karena aku harus punya pegangan. Kalau mereka berbalik menyerang, aku tidak boleh buta. Camille tahu itu. Tapi dia bermain dengan informasi yang tidak utuh.” Aira menghela napas panjang. Lalu berkata, “Aku ingin melihatnya.” “Tidak.” “Aku harus lihat, Dante. Kalau kau tidak sembunyikan apa-apa, biarkan aku tahu seberapa dalam lubang yang sedang kujatuh ini.” Dante terdiam. Lalu, dengan berat hati, ia berbalik, mengambil laptop dari lemari besi tersembunyi di belakang lukisan tua. Jari-jarinya bergerak pelan. Ia mengetikkan kata sandi: 0611Nox. Folder itu terbuka. Ratusan file terdaftar rapi. Setiap nama, setiap tempat, setiap tanggal. Beberapa disensor. Beberapa berisi foto yang tidak layak dilihat siapapun kecuali algojo dan penguasa bayangan. Aira menelan ludah. Tangannya gemetar saat menggeser kursor. Beberapa nama terlalu familiar—nama-nama yang pernah jadi headline di berita internasional. Beberapa... hanya angka dan lokasi. “Kau benar-benar pernah jadi pembunuh bayaran...” bisiknya. “Ya.” Ia menoleh, menatap pria itu. “Apa kau menyesal?” Dante tidak menjawab segera. “Tidak. Karena saat itu, itu satu-satunya cara bertahan hidup. Tapi aku menyesal tidak berhenti lebih awal.” Aira memejamkan mata. Dan saat ia membukanya lagi, ia berkata pelan, “Camille tahu semua ini. Dan dia bisa membocorkannya.” “Dia tidak akan. Dia tidak sebodoh itu.” “Kenapa?” “Karena kalau dia menyeretku jatuh, dia juga jatuh. Dia bagian dari sistem itu.” ** Sementara itu, Camille menuruni tangga rumah dengan cepat. Langkahnya panjang dan tegas. Tapi wajahnya penuh konflik. Ia tidak tahu kenapa ia mengucapkan kata-kata itu barusan. Tidak dengan nada setajam itu. Tidak dengan ancaman yang seolah mengundang badai. Apakah itu karena Aira? Atau karena dirinya sudah terlalu lama menahan luka dan berharap? Seseorang menunggunya di luar rumah. Pria muda, berjas hitam, dengan wajah terlalu tenang untuk seorang sopir biasa. Camille membuka pintu mobil dan masuk. “Dia tidak membuka pintunya,” katanya pelan. Pria itu menatap Camille lewat kaca spion dalam mobil. “Kau bilang akan memberinya waktu.” “Aku memberinya cukup waktu, Ellis. Sekarang waktuku.” Ellis tidak menjawab. Mobil melaju perlahan ke arah pusat kota. Di tangan Camille, ponsel terbuka, menampilkan satu nama kontak: Black Cell. Tiga huruf putih yang dingin dan mengancam. Camille menatap layar itu lama. Kemudian ia menghapus pesan yang belum dikirim. Dan menutup ponselnya dengan hati berat. ** Kembali di kamar, Aira duduk di atas ranjang. Tangannya menopang kepala. Napasnya pendek dan patah-patah. “Kalau kau ingin pergi,” kata Dante pelan, “Aku tidak akan menghentikanmu.” Aira menoleh, matanya merah. “Kenapa? Karena kau pikir aku terlalu suci untukmu? Atau karena kau pikir aku tidak akan tahan?” “Karena aku tahu hidup bersamaku bukan hal yang mudah. Ada luka yang tidak akan pernah bisa kututupi.” Aira berdiri. Melangkah pelan ke arahnya. Ia menyentuh wajah Dante. Menariknya mendekat. Lalu berbisik, “Aku tidak peduli masa lalumu. Tapi aku butuh tahu masa depanmu tidak akan menelanku hidup-hidup.” Dante memejamkan mata. “Aku akan melindungimu dari semua itu.” “Kau janji?” “Aku janji.” Lalu, dengan desahan lelah dan rindu yang bersatu, Aira meraih leher Dante dan menciumnya. Mereka berciuman seperti dua orang yang mencoba menyelamatkan satu sama lain dari tenggelam. Tidak ada romantisme. Hanya ketakutan dan keinginan yang saling melilit. Kemeja Dante jatuh ke lantai. Aira mendorongnya ke sofa, lalu ikut duduk di atasnya, kakinya mengapit tubuh pria itu. Malam itu, untuk pertama kalinya, mereka menyentuh bukan untuk memuaskan, tapi untuk saling menguatkan. Tidak ada permainan. Tidak ada ego. Hanya dua jiwa yang retak, mencoba menyatu di tengah dunia yang terlalu kejam. ** Pagi menjelang dengan aroma hujan pertama. Udara mengandung ketenangan yang nyaris rapuh. Tapi ketenangan itu tidak bertahan lama. Saat Aira turun ke dapur, seorang pria berdiri di sana. Ia tinggi, berambut abu-abu muda, dengan senyum terlalu tenang. “Selamat pagi, nona Althea,” katanya sopan. Aira mengerutkan dahi. “Anda siapa?” Pria itu mengangkat tangan dengan santai. “Namaku Nox.” “Maaf?” “Nox. Nama samaran, tentu saja. Tapi saya yakin Dante akan mengenalnya.” Aira melangkah mundur. “Apa keperluanmu?” Nox menatapnya lama. “Aku datang bukan untukmu. Tapi kalau kau tidak memberitahunya aku di sini... yang akan kutemui bukan dia. Tapi keluargamu.”Angin pagi menyusup masuk ke sela-sela jaket mereka saat kelima pejuang itu berjalan menyusuri hutan jarang menuju reruntuhan Stasiun Varra—sebuah bangunan kuno yang konon pernah digunakan sebagai tempat penyimpanan data awal sistem pemetaan cinta. Bangunan itu ditinggalkan sejak lebih dari satu dekade lalu, dikabarkan ambruk karena kebakaran misterius. Namun bagi Leona, tempat itu lebih dari sekadar reruntuhan. Ia menyebutnya “akar dari segalanya”.“Tempat ini yang pertama kali memproses basis data emosi,” jelas Leona sembari menatap peta digital dari gawai kecilnya. “Di sinilah algoritma awal dikembangkan sebelum dipindahkan ke server utama pemerintah pusat.”Aira mengerutkan kening. “Jadi di tempat ini... manusia pertama kali mulai dipelajari seperti objek?”“Ya,” jawab Leona lirih. “Dipetakan. Diberi nilai. Lalu diarahkan seperti boneka.”Langkah mereka berhenti di depan sebuah dinding beton besar yang penuh semak merambat. Dante mengamati permukaan kusam itu dan menemukan celah l
Sungai kecil di balik bukit itu membawa air yang dingin dan beraroma lumut. Aira menggigil, menahan napas sambil menyusuri arus dangkal bersama Dante, Lana, Leona, dan Joel. Langit mulai menggelap, namun tidak benar-benar gelap—sisa-sisa siaran yang tadi mereka pancarkan masih terasa, seperti arus listrik halus yang mengalir dalam udara malam.Mereka berjalan beriringan, tidak bicara, hanya suara gemericik air dan napas yang berat yang mengisi keheningan. Tubuh mereka lelah, tapi hati mereka penuh.Saat mereka akhirnya mencapai tebing rendah di sisi timur, Leona memberi isyarat berhenti. Mereka berlindung di balik formasi batu-batu alam, duduk berjajar, menggeliat mengeringkan pakaian dan peralatan.“Ini akan membekas,” gumam Joel sambil membuka bagian bawah tasnya yang basah kuyup, memperlihatkan alat komunikasi kecil yang masih menyala.Dante mengangguk. “Bukan hanya karena kita hampir mati. Tapi karena siaran itu… sampai.”Leona mengusap rambut basahnya ke belakang. “Tiga jaringan
Langit tampak pucat saat matahari menggeliat dari balik awan, menyinari jalan setapak penuh batu tajam dan reruntuhan logam. Angin di perbukitan utara berembus dingin, membawa bau karat dan abu dari menara tua yang menjulang jauh di atas sana.Mereka berenam mendaki dalam diam. Setiap langkah diatur dengan waspada. Leona memimpin, diikuti oleh Joel yang membawa perangkat siaran dalam tas hitam. Di belakang mereka, Aira dan Dante berjalan beriringan, sementara Lana menjaga posisi paling belakang dengan mata tajam dan tangan siap di senjata api kecilnya.“Menara itu dulunya milik penyiar independen,” kata Leona tanpa menoleh. “Tapi setelah penggabungan sistem, sinyalnya dipadamkan dan lokasinya dikunci. Sekarang, satu-satunya yang tersisa adalah struktur usang dan... jejak sinyal yang kadang masih menyala sendiri.”“Seolah tempat itu belum siap mati,” gumam Dante.Leona berhenti mendadak di balik semak berduri. Ia berjongkok dan mengangkat tangan. “Penjaga.”Dari atas, tampak dua orang
Malam belum benar-benar surut saat Aira berdiri di depan monitor besar dalam ruangan bawah tanah. Gema suara-suara sistem terdengar seperti napas terakhir dari bangunan tua yang sudah lama ditinggalkan. Pipa-pipa menggantung di atas kepala mereka, dan suara tetesan air mengiringi detak jantung yang semakin tak karuan.Di layar, wajah Aira terekam secara langsung.Joel berdiri di balik konsol kendali, jari-jarinya cepat menari di atas keyboard. Dante mengawasi ruangan dari belakang, mata waspada. Sementara Lana, bersandar pada dinding, menggenggam pisau lipat kecil—satu-satunya yang membuatnya merasa masih bisa bertahan hidup.Siaran dimulai.“Namaku Aira Vex,” ucapnya dengan suara tenang tapi bergetar, “dan jika kalian melihat ini... berarti sistem telah gagal menyembunyikan kami lagi.”Ia berhenti sejenak, menatap langsung ke kamera. Tak ada naskah. Tak ada arahan. Hanya kebenaran yang menggantung di lidahnya.“Kami dulu hanyala
Sore itu, langit tampak lebih berat daripada biasanya. Awan menggumpal seperti rahasia-rahasia yang belum terucap. Kabut tipis menyelimuti jalan berkerikil menuju ke kota tua—kota yang dulu mereka tinggalkan karena bahaya, dan kini mereka masuki kembali karena pilihan.Mobil mereka bergerak lambat, sunyi. Tidak ada musik, tidak ada obrolan ringan. Hanya denting waktu dan suara ban yang menelan jarak.Dante menyetir. Matanya tertuju lurus ke depan, tapi tangannya sesekali mengetuk setir seperti menahan gelisah. Aira duduk di sampingnya, menggenggam peta lama yang sudah direvisi dengan tinta biru dan coretan tangan Joel. Di kursi belakang, Lana memeriksa senjata untuk kesekian kalinya, dan Joel memandangi layar kecil yang menampilkan sinyal dari tiga drone kecil yang dilepaskan sebelumnya.“Berapa menit lagi kita sampai di titik aman?” tanya Dante tanpa menoleh.“Kurang dari sepuluh menit,” jawab Joel. “Kalau tak ada drone patroli musuh. Tapi… aku t
Udara kota menyambut mereka dengan aroma logam dan beton tua. Langit seperti dinding kusam yang menggantung terlalu rendah, dan cahaya lampu jalan menyapu wajah mereka dalam bayangan bergerak. Aira duduk di kursi belakang mobil van yang mereka pakai, jantungnya berdetak perlahan tapi berat. Sesuatu dalam dirinya menolak untuk merasa aman. Bahkan sekarang, ketika pintu belakang dunia tampak terbuka di hadapan mereka.Dante duduk di kursi pengemudi, tangannya menggenggam setir seperti menahan seluruh beban langit. Di sebelahnya, Joel memeluk koper berisi data, seperti seorang ayah yang menolak menyerahkan anaknya. Lana diam, menatap ke luar jendela, matanya mengikuti siluet bangunan yang mereka lewati.Mereka tiba di markas bawah tanah Elias menjelang tengah malam. Sebuah ruangan tersembunyi di balik lorong parkiran tua, terlindung dari radar, kamera, dan sinyal umum. Elias menyambut mereka seperti seorang tuan rumah yang terlalu tenang untuk dunia yang sedang terbak