“Apa? apa kamu bilang Be?”“Glass, maaf! tapi selama ini aku hanya memanfaatkanmu, aku sengaja melakukan ini untuk menghindari perjodohan yang dilakukan oleh orangtuaku dan orangtua Rain, karena Rain mencintai Embun dan Embun mencintainya, ada satu hal di masa lalu di antara kami, aku melakukan itu untuk menebus kesalahanku.”Bening mengulum bibir, ia hapus air mata setelah menarik napas dalam-dalam, ditatapnya Glass dengan penuh ketegaran, Bening berani menerima apa pun konsekuensi yang akan dia dapat, meski hatinya sedikit takut. Ia takut kehilangan pemuda di hadapannya ini.“Kenapa? kenapa Be?”Glass memang sudah mulai curiga kalau Bening tidak lah sedang hamil, kecurigaannya pun semakin menjadi-jadi. Meski tidak berpengalaman tapi sekarang semua informasi bisa didapat dengan mudah di internet, usia kandungan, perubahan bentuk tubuh Bening semua di
“Be, soal kehamilanmu. Apa yang akan kamu lakukan sekarang?”“Kamu bisa menghamiliku betulan,” goda Bening dengan seringai nakal di wajah.Glass pun sama, wajah tampannya berubah nakal. Ia yang sedang dalam masa pertumbuhan jelas tidak akan menyia-nyiakan gizi yang ditawarkan oleh sang istri secara cuma-cuma. Dengan senang hati Glass akan melakukan kewajibannya sebagai suami, terutama yang satu itu.🥛🥛🥛“Glass berhenti menatapku seperti itu, kamu pemuda nakal.”Bening melemparkan serbet ke muka Glass yang sibuk melihatnya memotong bahan makanan sambil melihat sebuah video tutorial dari kanal berbagi video. Gadis itu dengan penuh perhatian mengikuti petunjuk di video bahkan beberapa kali memutar ulang saat dia merasa ketinggalan.“Sudah lah duduk saja! aku yang akan memasak,&rdquo
“Turunkan aku!” Bening tiba-tiba saja menunjukkan ketidaksukaan setelah dia dan Glass masuk ke dalam ruang kerjanya. Glass tentu saja merasa aneh, hingga memilih mendudukkan Bening ke sofa. Gadis itu mengurut betis dan melepas sepatu hak tingginya, merasa sakit di bagian sana karena perlakuan Elisa. “Kamu tidak apa-apa ‘kan?” Glass berjongkok, melepaskan sepatu Bening yang belum lepas lalu memijat dengan lembut betis sang istri sampai ke telapak kaki. Bening merasa tersanjung dengan perlakuan Glass yang penuh perhatian seperti itu, tapi tetap saja dia harus menanyakan sesuatu secara langsung ke sang suami, mengenai ucapan Elisa yang bekata bahwa mereka akan menjadi sepasang kekasih jika dirinya tidak hadir di tengah-tengah keduanya. “Apa aku ini orang ketiga?” tanya Bening sambil menjauhkan kaki yang masih berada di genggaman Glass.
Glass menunduk tapi tidak dengan Bening yang merasa tidak salah sama sekali di depan kedua orangtuanya. Bersandar pada kursi meja makan, Rea memijat kening, untung dia tidak memiliki penyakit darah tinggi atau jantung, begitu juga dengan Arkan yang sejak tadi hanya bisa diam memandangi wajah berdosa menantu dan wajah tak berdosa putrinya.“Kenapa kamu melakukan ini?” tanya Arkan dengan suara lembut. “Kalau kamu memang mencintai pria lain, tidak perlu sampai berbohong, katakan pada mamamu kamu tidak menyukai Rain, selesai Be!”“Masalahnya aku sudah bilang ke mama tapi mama seperti tidak peduli,” jawab Bening.Kini Rea menjadi pusat perhatian Arkan dan Glass. Mereka menatap ke arah wanita itu dengan tanda tanya besar di kepala, menunggu respon Rea atas pernyataan Bening barusan.“Mama mengira kamu menyukai sesama jenis Be, karena s
Menutup warungnya yang kebetulan sudah sepi, Fitria nampak menunduk di depan semua orang. Ia baru saja selesai menceritakan kejadian di masa lalu, mengakui bahwa Glass memang bukan lah anak kandungnya. Sang suami memang memungut Glass dari tempat sampah dan membawa bayi itu pulang, karena sangat menginginkan anak lagi mereka pun memutuskan untuk merawat Glass seperti anak kandung sendiri.Bening membeku, sedari tadi dia terus menggenggam erat tangan Glass yang juga melakukan hal yang sama seperti sang ibu. Pemuda itu menunduk, tak menyangka bahwa sembilan belas tahun dibesarkan oleh wanita yang ternyata bukan ibu kandungnya sendiri.“Semua ini tidak benar!”Glass berdiri bahkan menarik tangannya yang digenggam Bening. Jelas semua ini tidak bisa diterima dengan mudah olehnya. Glass terus saja berjalan menuju parkiran, mengabaikan Bening yang berteriak memanggil. Pada akhirnya Beni
“Tidak akan mudah membawanya ke keluarga Wijaya, aku akan menentang itu. Anak itu tidak pantas menjadi bagian dari keluarga kita yang terpandang.” “Tidak seharusnya kamu berbicara seperti itu karena jelas dia juga pewaris Papa.” Aline menyanggah ucapan Arnold, dia sama sekali tidak takut dengan ancaman yang sang kakak lontarkan malah bersikap menantang. “Apa kamu berniat menjadikan anak itu kekasihmu?” Arnold tertawa menghina, dia tahu kebiasaan sang adik yang menyukai pria yang berusia lebih muda, maka dari itu sampai umur yang bisa dibilang tak lagi muda, Aline belum juga menikah. “Apa tidak cukup asistenmu ini?” imbuh Arnold dengan senyuman mencibir, dia tatap Romi dengan pandangan hina. Aline marah, bagaimana pun juga dia masih membutuhkan Romi, jadi jangan sampai pria itu terpengaruh dengan perkataan Arnold meskipun ucapan itu benar
Glass tak menyangka siang itu Aline akan mendatanginya ke kampus. Mereka duduk berhadapan di kantin, mengabaikan beberapa tatapan aneh dari mahasiswa lain yang juga sedang menikmati istirahat di sana. Beberapa dari mereka tak percaya kalau Glass ternyata berhubungan dengan banyak wanita yang lebih dewasa, meski sebenarnya hubungannya dengan wanita dewasa di depannya ini bukan menyangkut percintaan tapi tetap saja pikiran orang lain tidak bisa dikendalikan.Aline memandangi wajah Glass sejak tadi, adiknya itu sama sekali tidak mau memandang ke arahnya dan hanya menatap gelas yang terlihat mengembun dan basah di bagian bawah karena Glass sama sekali tidak meminum minumannya. Aline baru saja meminta Glass untuk kembali ke keluarga. Wanita itu berkata akan memberikan hak Glass sebagai salah satu pewaris keluarga Wijaya.“Pikirkan lagi! kamu memiliki masa depan yang cerah Glass, aku ingin kamu menjadi pengusaha sukses seperti Pa
"Apa listrik mati?"Arkan menyalakan lampu, pria itu membuat putri dan menantunya kaget bukan kepalang. Bening langsung mengusap bibir yang basah. Sungguh tak dia duga sang papa merusak momen berharganya dan Glass.“Papa, kenapa belum pulang?” tanya Bening ke Arkan, dia salah tingkah dan berdehem melirik Glass yang menunduk mengusap bibir.“Papa sudah hampir pulang, tapi tidak jadi saat melihat mobilmu masih berada di parkiran. Apa pekerjaanmu banyak? Ini sudah malam.”Mendapati wajah Glass dan Bening yang malu, Arkan malah merasa berdosa. Ia sadar mungkin saja baru mengganggu kemesraan keduanya.“Papa pikir kamu sendirian, ternyata bersama Glass. Jika tahu Papa pasti tidak akan cemas,” imbuh Arkan.“Aku sebentar lagi pulang,” jawab Bening gelagapan. Namun, sebuah