Kilapan pada ujung dagger terpantul di mataku, membuatku ingin meraihnya. Aku masih terdiam ketika Aleea mendekatkan dagger itu tepat di wajahku.
Kutatap Aleea yang mengangguk dan tak lama, dagger pun berpindah tangan. Satu hal dalam pikiranku. Seumur hidupku, aku tidak pernah membayangkan jika harus menjadi bagian dari kelompok pembunuh berdarah dingin seperti ini.
“Baiklah, aku akan bergabung.”
Aleea tersenyum sambil menjabat tangan dan aku meraihnya sesaat.
“Selamat bergabung, Valen. Aku mohon untuk kerja samanya.”
Aku mengangguk namun sedetik kemudian, aku kembali termenung sambil menatap dagger di tanganku. Mulai detik ini aku menjadi pembunuh di balik layar, sangat mustahil untuk menjadi seorang ksatria.
Malam semakin larut dan mataku terasa berat. Aku menata jerami untuk terbaring dan kulihat Aleea sudah terkulai di atas batu, sementara Velian dan Zealda belum juga kembali, tapi aku tidak peduli sama sekali.
Aku mengerang lirih ketika bekas lukaku kembali terasa nyeri. Kulihat pinggangku sudah memar di area luka. Aku kembali mengoles ramuan herbal untuk meredakan nyeri meskipun awalnya sangat pedih.
Baru saja mau terbaring, suara derap kaki terdengar begitu jelas dan menuju ke arah sini. Aku meraih pedangku sambil menatap pintu masuk dengan waspada. Sosok pria berambut panjang masuk, disusul yang berambut pendek.
“Siagamu cukup bagus, nona.” Zealda menyeringai.
Aku meletakkan kembali pedangku. “Aku hanya belum terlelap.”
Aku kembali terbaring dengan pelan-pelan untuk menghindari rasa nyeri berlebihan di pinggangku.
“Aku sudah membawa binatang buruan.” Velian meletakkan seekor rusa hidup namun sudah cacat dan terikat oleh tali. “Besok, masaklah sesuatu yang enak.”
Aku terdiam dan menatapnya bertanya. Apa yang disuruh masak itu...aku?
“Maaf, kau berbicara padaku?”
Velian mengerutkan kening dengan heran. “Tentu saja. Bukankah perempuan seharusnya yang memasak?”
Mataku melebar seketika dengan pikiran kosong. Gawat! Tamatlah riwayatku! Aku...tidak memasak. “Kalau aku tidak mau memasak apa yang akan kau lakukan?”
“Jika kau tidak mau memasak, kau tidak akan mendapat jatah makan dan berburulah sendiri!”
Aku menghela napas lega, kupikir ia akan menghukumku dengan kejam dan sebagainya. “Baiklah, aku akan berburu sendiri.”
Velian terbangun dari duduknya dan mendekatiku. “Kau takan bisa berburu dengan luka seperti itu.”
“Kita lihat saja nanti,” sahutku.
Tubuhku tersentak ketika sebuah belati menancap di jerami dekat pipiku, ternyata Velian yang melemparnya. Aku hanya menelan ludah ketika melihat tatapannya yang begitu dingin.
Aku berusaha untuk duduk dengan susah payah, karena lukaku masih sedikit nyeri jika banyak bergerak.
“Jika aku memasak untuk kalian, kujamin kalian akan kecewa dengan masakanku,” ujarku jujur, berharap mereka mengerti maksudku.
Velian kini duduk di tepi jerami dengan tatapan tidak suka. “Jadi maksudmu kau tidak pandai memasak?” Ia menyeringai dengan ekspresi mengejek. “Kau sama sekali bukan perempuan yang menarik.”
“Itulah, jangan memintaku untuk memasak jika kau tidak ingin makan makanan yang akan membuatmu tidak makan setahun.”
“Seburuk itu kah kemampuanmu?” Velian mencengkeram leherku hingga aku terbatuk. “Lalu jika kau tidak bisa memasak, apa gunanya kau menjadi anggota kami?”
Aku melepas cengkeramannya sekuat tenaga hingga leherku tergores kukunya. Kupuaskan batukku sebelum menjawab, “Kalian ini Assassin bukan? Sebenarnya kalian merekrutku untuk menjadi Assassin atau hanya menjadikanku pembantu kalian? Memangnya kenapa jika aku tidak bisa memasak? Sebelum aku datang pun juga tidak ada yang memasak untuk kalian kan?”
Velian terdiam namun rahangnya mengencang seakan tidak terima dengan jawabanku. Tangannya meraba lukaku dan mencengkeramnya hingga berdarah kembali.
Aku mengerang kesakitan sambil melepaskan cengkeramannya. Rasa sakitnya membuatku ingin menitikkan air mata. Seumur hidupku, baru kali ini aku bertemu orang kejam seperti mereka.
“Berburulah dengan luka seperti itu!” ujarnya setelah melepas cengkeramannya, kemudian merebahkan diri di tumpukan jerami dekat perapian.
Aku hanya meringis kesakitan dan berlari menuju pintu goa karena tak tahan dengan situasi ini, namun sudah dicegat Zealda.
“Mau kemana kau?”
“Lepas!”
Aku menendang dadanya dan mendorongnya hingga tersungkur. Zealda tampak kesal seketika, ia melompat dan menarik tanganku kemudian membanting tubuhku ke tanah.
“Kau bahkan berani menyerangku?” Zealda mencabut sebilah pedang tipis. “Kau cukup bernyali juga.” Ia mengacungkan pedang itu ke arahku. “Kita lihat, bagaimana kemampuan bertarungmu.”
Aku berusaha untuk bangun sambil memegangi lukaku. Pedangku ada di atas jerami dan aku bersusah payah untuk meraihnya.
Aku memaksakan diri untuk berdiri sambil mengacungkan pedangku juga. Rasa sakit yang
mendera, membuat rahangku mengencang untuk menahannya.Aku menarik napas panjang agar sedikit tenang. “Majulah.”
Zealda menyeringai dan ia benar-benar menyerangku. Aku menepis serangannya sambil membaca gerakannya dengan baik. Tubuhku bergerak memutar untuk menghindari serangan telaknya, sekali saja aku salah melangkah, mungkin bisa berakibat fatal.
“Ck ck ck. Jadi hanya segini saja kemampuanmu? Kau bahkan tidak bisa menyerangku balik dan hanya bisa menghindar seperti ini? Seharusnya Velian tidak menyelamatkanmu malam itu dan membiarkanmu mati di tangan mereka.”
Aku tidak menyahut, namun aku menemukan celah di setiap gerakannya. Di saat ia mencoba menyerangku dari atas, aku langsung merunduk lalu sedikit berputar untuk menebas pinggangnya dengan cepat. Zealda mengerang dan ambruk seketika.
Aku kembali memegangi lukaku yang sakitnya sedari tadi kutahan. Bajuku sudah berlumuran darah di bagian pinggang, namun aku menyeringai melihat Zealda berusaha berdiri dengan susah payah. Akhirnya
aku berhasil memberi pelajaran pada pria terkutuk yang satu ini, berikutnya mungkin si Velian sialan itu.“Bagaimana, Zealda? Kau puas dengan seranganku?” ujarku tersenyum miring sambil berdiri. “Sekarang kau memiliki luka yang sama denganku tapi bedanya itu luka sayatan.”
Suara tepuk tangan dari Velian menggema di seluruh goa hingga Aleea yang terlelap pun terbangun.
“Ada apa ini?” tanya Aleea dengan rambut perak yang berantakan. “Zealda, kau bertarung dengan siapa?” Ia menatap pedang di tanganku dan melihat lukaku yang terlihat semakin parah. “Valen lukamu-"
“Berani menyentuhku, kubunuh kau!” ancamku untuk menahan gerakannya agar tidak mendekatiku.
“Jangan bilang kau bertarung melawan Zealda dengan luka seperti itu,” gumam Aleea menatapku tak percaya.
“Kau menghindari serangan Zealda sambil membaca gerakannya, bahkan kau berhasil menemukan celah dan kau menggunakan kesempatan itu untuk menyerangnya balik,” komentar Velian dengan senyum miring menyebalkannya. “Taktikmu bagus sekali.”
“Apa kau juga mau bertarung denganku?”
“Tentu saja. Kita lihat apa kau juga bisa megalahkanku?”
“Velian, hentikan!” Aleea sudah menghadangnya.
“Kau akan memperparah lukanya.”“Aku tidak peduli,” sahutnya.
Aleea mendengus tertawa. “Kau yakin ingin bertarung dengan gadis yang terluka? Di mana harga dirimu?”
“Aleea. Justru karena aku terlalu menjaga harga diriku. Aku bukan lah orang yang sembarangan memilih seseorang untuk menjadi anggota, dan juga-" Velian menatapku sambil menyeringai. “Gadis ini perlu tahu prinsip menjadi seorang Assassin.”
Aku menggenggam pedangku semakin erat. “Aku tidak akan ragu untuk menyerangmu.”
“Baguslah, memang itu yang kuharapkan.”
“Kalau begitu ambil senjatamu sekarang juga.”
“Aku tidak perlu menggunakan senjata untuk menghadapimu.”
Sombong sekali pemuda yang satu ini! Tapi biarlah, ini kesempatan bagus untukku bukan? Dengan begini aku pasti bisa mengalahkannya dan memberinya pelajaran.
“Coba kau gores aku dengan pedangmu. Kita lihat, apakah kau bisa melakukannya?”
Velian melompat ke arahku dan bersiap menyerang dengan tangannya. Jika ia bertarung dengan tangan kosong berarti ia akan melawanku dengan pukulan atau cengkeraman. Tapi...selama ini memang ia selalu mencengkeramku dengan tangannya.
Gerakannya mudah sekali terbaca dan terlalu banyak celah. Tentunya aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk menyerangnya.
Aku bergerak memutar dan bersiap untuk menebas lengannya, namun tak disangka, tangan satunya sudah menangkap pergelangan tanganku dan memelintirnya ke belakang hingga gerakanku terkunci seperti waktu
itu. Aku mengerang kesakitan saat tangan satunya mencengkeram lukaku dengan keras.“Aku sudah melihat caramu bertarung sebelumnya. Kau tipe orang yang mencari celah untuk menyerang lawan ketika bertarung, karena itu aku sengaja memberimu celah untuk menyerangku, tapi...satu hal yang perlu kau tahu, Assassin berbeda dengan ksatria perang.”
“Velian,” pekikku.
“Pertama, prinsip ksatria adalah membunuh dan bertarung, sementara Assassin adalah membunuh dengan sedikit bertarung,” lanjutnya tanpa mempedulikan rasa sakitku. “Kedua, ksatria pasti akan mencari celah untuk menyerang lawan, sementara Assassin pasti akan mencari kelemahan lawan. Kau harus tahu Valen, celah bisa ditutupi, sedangkan kelemahan adalah titik fatal yang tidak bisa dipungkiri. Kelemahanmu saat ini adalah lukamu, karena itu aku langsung menyerang lukamu.” Velian mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik, “Katakan padaku, apa impian terbesarmu? Apa yang membuatmu lebih memilih pedang dari pada memasak?”
Aku terdiam sejenak, namun pada akhirnya aku menjawab, “Tentu saja untuk melindungi orang-orang lemah dari orang-orang kejam sepertimu.”
Aku mengerang lagi ketika cengkeramannya semakin erat pada lukaku, seakan-akan ia tidak terima dengan ucapanku.
“Ketiga, ksatria melindungi dengan cara berperang sementara Assassin melindungi dengan cara membunuh. Dengarkan aku baik-baik Valen! Saat ini kau adalah anggota Assassin dan tinggalkan semua prinsip ksatriamu. Jika kau ingin melindungi seseorang, kau harus melindunginya dengan cara membunuh dalangnya langsung. Mengerti?”
Aku menelan ludah sambil mengangguk. “Ah, aku mengerti.”
“Dia sudah mengerti bukan? Sekarang lepaskan dia, Velian.” Aleea sudah mencengkeram bahu Velian dari belakang.
Velian melepaskanku perlahan, namun tubuhku ambruk seketika dan kesadaranku mulai memudar. Rasa lelah melandaku akibat peratarungan dan juga rasa sakit yang mendera.
Aku ingin sekali terlelap sambil berharap aku tidak akan lagi membuka mata. Namun, aroma mint dari tubuhnya membuatku nyaman dan entah mengapa, aku...menyukai aroma ini. Ya, hanya menyukai aromanya, bukan orangnya.
* * *
Ketika membuka mata, aku sadar bahwa aku masih berada di dalam goa yang sekarang menjadi tempat tinggal baruku. Pikiranku melayang pada pertarungan semalam.
Aku menggerakkan tubuh untuk duduk dan kulihat lukaku sudah dilumuri ramuan herbal.
Aku yakin, Aleea yang mengoleskan obat herbal ini, mana mungkin dua iblis itu yang melakukannya? Kuhela napas lega karena sakitnya mulai berkurang.
Aku mengedarkan pandangan dan tidak kulihat siapapun di sini selain diriku, entah kemana mereka. Kulangkahkan kaki keluar goa dan udara sejuk nan lembut langsung menyambutku.
“Kau sudah bangun rupanya.”
Aku melihat sosok Zealda yang telanjang dada sedang membakar daging rusa semalam, tapi tatapanku tertuju pada balutan luka di pinggangnya.
Aku mendengus tertawa. “Tak kusangka ada obat herbal di pinggangmu. Mau mencoba menyamai penampilanku?” ujarku mengejek.
“Tertawalah sepuasmu! Jika aku sembuh, aku akan benar-benar menghajarmu.”
“Kita lihat saja nanti.” Aku tersenyum miring.
Aku mengedarkan pandangan dan sejenak, aku merasa ada yang kurang. “Kemana Aleea dan Velian?”
“Mereka sedang ke kota untuk mencari rempah-rempah.”
Aku hanya manggut-manggut.
“Oh ya, karena kau tidak mau memasak, berarti hari ini kau harus mencari makananmu sendiri sesuai kesepakatan.”
Aku mengendikan bahu. “Tidak masalah, lagi pula dari pada memasak untuk kalian lebih baik berburu sendiri sesuai selera.”
Zealda tersenyum miring, namun aku bisa membaca keheranan di wajahnya. “Kau berasal dari distrik Drysh bukan? Setahuku, wanita di sana sangat anggun dan mempesona. Selain itu, hampir semua wanitanya pandai memasak dan selalu menjaga penampilan. Tapi-" Ia menatapku intens. “Bagaimana bisa ada gadis urakan yang hobi bertarung sepertimu terselip di sana? Apa kau tidak malu dengan wanita tulen yang ada di sekitarmu?”
“Dari mana kau tahu aku dari distrik Drysh?” Aku memicingkan mata.
“Tidak sulit untuk mengetahui asal usulmu. Apa lagi kau gadis yang memang terkenal urakan dan suka sembarangan.” Zealda tersenyum miring.
Seketika aku menjadi sedikit kesal dengan sikapnya, tapi aku berusaha agar tetap berpikir jernih. “Baiklah, tidak masalah,” ujarku setelah menghela napas. “Aku juga tidak peduli kau dapat informasi dari mana tentangku. Aku akan pergi berburu, jadi jangan ganggu aku.”
Aku meninggalkan Zealda begitu saja di perapian, persetan dengan kondisinya. Mengeluarkan pisauku dan mematahkan tiga ranting pohon yang sudah tumbang, lalu meruncingkan ujungnya untuk kujadikan tombak.
Aku mulai mengitari hutan yang masih tergolong rimba. Sebenarnya aku sendiri masih tidak tahu mau berburu apa.
Aku lapar, tapi berburu rusa tidaklah mudah, ditambah aku tidak pandai memanah. Senjataku hanya tombak dan pisau yang terselip di pinggangku.
Aku pergi ke sungai sejenak untuk membasuh wajahku sambil berpikir binatang apa yang harus kutangkap, namun air segar membuatku ingin mandi.
Kebetulan sekali, sudah hampir dua hari aku tidak mandi dan sekarang aku baru sadar jika tubuhku terasa lengket.
Kuedarkan pandangan dan keadaan begitu sepi. Aku segera melangkah menuju batu besar yang tak jauh dariku dan menanggalkan pakaianku di sana. Pikiranku menjadi tenang seketika, saat tubuhku masuk kedalam air.
Kesejukannnya membuat segala gundahku lenyap dalam sekejap. Beban pikiranku seolah ikut terhanyut oleh arus sungai yang semi deras. Laparku juga sedikit berkurang, tapi mungkin aku akan merasa lapar setelah keluar dari air.
“Apa lukamu baik-baik saja setelah terkena air?”
Aku melonjak kaget ketika melihat sosok Velian duduk di atas batu yang tak jauh dariku.
“Seharusnya lukamu tidak boleh terkena air sebelum mengering.”
Aku langsung masuk kedalam air untuk menutupi tubuhku. “Sejak kapan kau di situ? Bukankah kau sedang pergi ke pasar?”
“Kau takut aku sedang mengintipmu?”
“Tentu saja!” ketusku.
Velian tersenyum miring. “Mau kutemani?”
“Tidak perlu!” sergahku mulai kesal.
“Baiklah.” Velian mengendikan bahu. “Hati-hati kau di sini. Kudengar di sungai ini ada Buaya besar sekali.”
Aku mendengus tertawa, apa dia pikir aku ini bocah? “Aku tidak takut. Kalau memang ada Buaya, baguslah! Jadi aku tidak perlu berjalan jauh untuk berburu,” ujarku asal.
“Oh!” Velian melipat tangannya di dada. “Jadi maksudmu kau ingin makan daging Buaya? Ck ck ck.” Ia menggelangkan kepalanya. “Mungkin kau adalah orang pertama makan daging Buaya yang kulihat secara langsung.”
“Jika sudah selesai mengejekku, cepat pergilah!”
Velian mendesah iba. “Baiklah nona Buaya. Kuakui kau sangat menakutkan dan juga...terlihat liar.” Velian melompati batu untuk menepi. “Ah satu lagi, aku ingin melihat hasil buruanmu dan melihatmu makan daging Buaya.”
Aku mendengus tertawa, meskipun dalam hati begitu kesal. “Kenapa kau begitu ingin?”
“Karena jika kau benar-benar memakan daging Buaya, berarti kau lebih ganas dari binatang itu, sampai-sampai Buaya yang seharusnya memakanmu justru sebaliknya, malah dimakan olehmu.” Velian tersenyum mengejek sebelum akhirnya melangkah pergi.
Aku menarik napas panjang kemudian mencelupkan kembali kepalaku ke dalam air. Berharap rasa kesalku turut hanyut terbawa aliran sungai.
“Velian sialan!” umpatku dalam hati.
Aku kembali menyembulkan kepala ke permukaan saat merasakan ada seseorang yang masuk ke dalam air. Hampir saja aku menjerit, namun ia sudah membekap mulutku sambil meletakan telunjuknya di bibir, pertanda aku harus diam.
Mataku menatapnya tajam dengan kesal yang semakin membara. “Kau? Kenapa kesini lagi? Bukahkah kau tadi sudah mau pergi?!” Aku meninju bahu Velian yang ternyata keras sampai jariku sedikit kebas.
“Kecilkan suaramu! Orang-orang itu ada di sekitar sini.”
“Apa?” tanyaku setengah berbisik.
Aku mengedarkan pandangan dan benar saja, aku merasakan ada pergerakan di sekitarku. Aku menatap Velian bingung ketika ia meraih pakaianku di atas batu.
Awalnya kupikir ia akan memberikannya padaku dan memintaku untuk memakainya, tapi ternyata ia membuangnya ke sungai dan membiarkannya hanyut.
“Hei apa yang kau lakukan dengan pakaianku?!”
“Cepat masuk ke dalam air!”
Aku terdiam sejenak untuk mencerna ucapannya, karena terlalu syok dengan pakaianku yang dibuang begitu saja. Velian mendorong kepalaku ke dalam air dengan paksa, tanpa memberiku kesempatan untuk menyimpan udara di paru-paruku.
Aku memukul-mukul lengannya agar melepaskan kepalaku, lalu menghirup udara sebanyak-banyaknya ketika kepalaku berhasil keluar.
“Kau ingin membunuhku?!” Aku mendorongnya sekuat tenaga hingga ia terjungkal.
“Kau masih saja melawan!” desisnya setelah terbatuk-batuk akibat tersedak.
Velian terdiam seketika, begitu pun denganku. Kami saling menatap pertanda harus waspada lalu sedetik kemudian, aku mengangguk begitu pun dengannya.
Aku menarik napas panjang, kemudian kami sama-sama masuk kedalam air sambil pegangan batu agar tubuh kami tidak mengapung ke permukaan.
Yang tadi itu jelas sekali ada suara derap kaki yang berjalan menuju kemari. Tapi setelah masuk kedalam air, telingaku hanya dipenuhi suara aliran sungai. Meskipun begitu, aku tidak berani menyembulkan kepala ke kepermukaan jika situasinya belum sepenuhnya aman.
Aku tidak tahu sudah berapa lama kepalaku di dalam air hingga dadaku terasa sesak, karena udara di paru-paruku mulai menipis.
Aku dan Velian menyembulkan kepala bersamaan dan menghirup udara sebanyak-banyaknya. Kulihat keadaanya mulai aman dan aku menarik napas lega.
“Kita harus segera kembali,” ujarnya, sambil mengedarkan pandangan dengan waspada.
Aku menatapnya kesal seketika. “Kenapa kau membuang pakaianku?”
“Jika mereka melihat pakaianmu, mereka akan tahu posisi kita.”
“Oh, kuakui kau cerdas sekali.” Aku termanggut-manggut, namun rasa kesal ini mulai meningkat. “Sekarang pikirkan, bagaimana caraku keluar dari air tanpa pakaian?” lanjutku dengan nada dingin.
Velian terdiam seakan baru menyadarinya. Aku meraih pisau yang kuselipkan di bebatuan, lalu menghunuskannya di leher Velian.
“Lepas pakaianmu atau kubunuh kau!” ancamku.
_______To be Continued_______
Velian menyerahkan pakaiannya padaku. Meskipun basah, setidaknya aku memiliki sesuatu untuk menutupi tubuhku. Kini ia hanya memakai celana pendek dengan bertelanjang dada. Sepanjang perjalanan menuju goa, aku memalingkan wajahku sambil menahan tawa. Aku hanya bisa terbahak-bahak dalam hati atas keberhasilanku memberi pelajaran pada dua iblis ini. Pertama, aku berhasil melukai Zealda dan sekarang aku berhasil membuat Velian melucuti pakaiannya. “Hahah rasakan!” sorakku dalam hati. Tak butuh waktu lama, kami sampai di depan goa dan di sana sudah ada Aleea dan Zealda. Sesuai dugaanku, mereka berdua terbahak-bahak begitu melihat Velian. Aku membekap mulutku agar tidak ikut terbahak-bahak meskipun bahuku sedikit terguncang karena tawa. Aku benar-benar puas mendengar tawa mereka yang terkesan mempermalukan Velian. “Velian, kau benar-benar tidak tahu malu,” ujar Zealda dan kembali tertawa. “Kalian pikir ini lucu?!” teriaknya menggelegar.
Pikiranku terus berputar pada ucapan pria itu semalaman, sampai aku tidak bisa tidur. Aku mulai mencelupkan tubuh di air sungai. Meskipun segar, namun pikiranku masih saja kalut. Tanda lahir yang sama dengan putra ke empat raja terdahulu, pangeran Vel. Yang benar saja? Aku sudah mengamati seluruh tubuhku tapi tidak kutemukan tanda lahir itu. Aku yakin sekali kalau tubuhku bersih dari yang namanya tanda lahir, bahkan aku sudah mengecek punggungku dan ternyata tidak ada. Apa mungkin di kepala dan tertutup rambut? Haruskah aku memotong rambut sampai botak untuk mengeceknya? Hari ini aku akan pulang ke rumah dan aku harus menemukan petunjuk itu. Mungkin...aku perlu menggeledah kamar ayah. Seusai mandi, aku segera bergegas mempersiapkan diri untuk pulang ke rumah, sementara mereka bertiga sudah menyewa kuda untuk perjalanan kami. Aku tidak mengerti kenapa mereka begitu penasaran dengan keluargaku, apa mereka juga mengetahui sesuatu? “Berhentilah melamun!”
Di tengah derasnya hujan, kudaku masih melaju kencang. Aku masih menggenggam tangan Velian agar tangannya tetap hangat, meskipun tangan dalam tali pacuan ku sudah membiru dan berkerut. Kubiarkan ia terkulai di bahuku. Tubuhnya yang mulai menggigil membuatku semakin cemas. Tak lama, akhirnya kami sampai di goa. Aku segera memapah Velian yang sudah sangat lemah untuk masuk. Aku segera membetulkan perapian setelah ia sudah duduk dengan posisi hangat. Kuraih buntalan kain yang berisi pakaian Velian dan melemparnya. “Cepat ganti pakaianmu. Aku akan pergi mencari makanan.” “Valen.” Aku menoleh sejenak. “Hmm?” “Di luar sedang hujan. Biar aku saja yang mencari makanan.” “Kondisimu sedang tidak baik, jadi...sadar diri lah. Aku usahakan tidak lama.” Aku segera melesat keluar sebelum Velian berkomentar lebih banyak lagi. Rencananya, aku tidak bermaksud untuk berburu melainkan ingin kembali ke rumahku. Setidaknya...beberapa keping uang sud
“Ayah, aku pulang!” Aku menoleh ketika sosok gadis yang terlihat seumuran denganku datang melewati pintu begitu saja. Kami saling berpandangan sejenak, Velian dan paman Thomas sudah kembali dari obrolannya. Mata gadis itu melebar ketika melihat Velian. “Velian!” Velian terlihat syok melihat gadis yang langsung berlari ke arahnya. “Sarah?” Gadis bernama Sarah itu langsung memeluknya tanpa ragu. “Kapan kau datang?” “Sarah!” lerai paman Thomas. “Jaga sikapmu.” Sarah langsung melepaskan Velian dengan cemberut. “Belum lama ini,” jawab Velian dengan nada dingin khasnya, namun tidak terlihat kesal. “Aku ingin sekali pergi ke tempatmu tapi ayah selalu melarangku.” “Itu perjalanan yang berbahaya untuk anak gadis sepertimu,” sergah paman Thomas. “Paman benar. Tapi kalau kau mau ke tempatku, aku bisa menjemputmu.” “Benarkah?” tanyanya antusias dan Velian hanya mengangguk. Aku mengamati perca
Aku berlatih bersama Velian menggunakan senjata yang ada di tempat penyimpanan senjata milik paman Thomas. Ia benar-benar terlihat serius untuk menjalankan misi dan masuk ke dalam istana. Aku tidak tahu apa yang ia pikirkan saat ini, tapi aku bisa merasakan sedikit ambisinya. “Berhenti!” Aku dan Velian menoleh dan menghentikan serangan kami. Sarah menatapku lekat dengan wajah tidak suka. “Aku ingin melawan mu.” Aku hanya terdiam mendengar ucapannya yang lugas. “Tapi Sarah-" “Velian aku butuh teman berlatih juga.” Sarah melirik ke arahku. “Aku penasaran dengan kemampuannya.” Velian menghela napas dan pada akhirnya ia bilang, “baiklah, kalian berlatih saja. Aku akan membantu paman Thomas.” Sarah mengangguk, sementara Velian sudah menatapku. “Kau berlatih dulu dengan Sarah.” Ya,” sahutku seadanya. Aku dan Sarah saling menatap lekat, tapi aku masih tidak mengerti kenapa ia begitu sengit menatapku. Ia b
Pening bergelayut ketika tubuhku mengerjap. Perlahan kesadaran ku mulai mengalir dan kulihat langit-langit goa ketika membuka mata. Aku terbaring di atas tumpukan jerami dan melihat perapian sudah menyala.Aku mencoba untuk duduk sambil memegangi kepala yang ternyata—sudah di perban. Kemudian aku menyentuh ulu hatiku yang terasa seperti ada yang mengganjal. Kulihat sebuah buntalan kain yang entah apa isinya namun terasa hangat di kulit. Apa—Velian tahu ada memar di perutku?“Kau sudah sadar rupanya.”Aku menoleh ketika sosok pria berambut perak masuk dari luar goa. Kulihat Aleea mulai membaik dan ia sudah segar kembali.“Tunggu sebentar,” ujarnya lagi kemudian keluar.Tak lama mereka bertiga masuk, wajah mereka begitu cemas melihatku namun aku juga melihat kelegaan di mata mereka setelah melihat kondisiku.“Valen, bagaimana kondisimu?” Zealda yang pertama kali bertanya.“Yah, aku m
Rambutku berkibar diterpa angin malam ketika turun dari kereta kuda. Aku mengamati halaman istana yang begitu luas dan ramai hingga menuju ke pintu masuk. Aku mengenakan topeng pesta kemudian melangkah masuk perlahan dengan hati-hati agar kakiku tidak terkilir.Aku terduduk di sudut ruangan dengan santai sambil mengamati keadaan sekitar. Kupandangi sosok pria paruh baya dengan baju kebesaran seorang raja sedang duduk di kursi besar di atas sana, sementara di samping kiri dan kanannya sudah didampingi dua wanita dengan pakaian khas kerajaan juga.Tak jauh di sana, sudah berdiri seorang pemuda tampan yang jangkung memakai dengan jubah kebesaran seorang putra mahkota mengamati keadaan di sekitarnya. Aku tidak bisa mengawasi mereka dengan leluasa karena putra mahkota terlihat mengawasi para tamu undangan. Aku hanya sesekali melirik kearah mereka sambil berpura-pura menikmati pesta.“Maaf nona, silahkan ambil minuman anda.”Aku menoleh ke arah pria
Cahaya api yang hangat memberikan kesan oranye pada dinding goa ketika kami berempat duduk berkumpul di tengah udara malam yang dingin. Hasil dari misi kemarin adalah sebuah buku tebal yang sepertinya dijaga dengan ketat.Di dalam buku itu terdapat penjelasan mengenai ritual dua puluh tahun yang lalu dan kami bertiga hanya mendengarkan ketika Velian membacakannya.“Di sini dijelaskan bahwa ritual dua puluh tahun yang lalu bertujuan untuk menyelamatkan keturunan-keturunan raja Victor Leys alias raja terdahulu, jadi—bisa disimpulkan waktu itu ada perebutan tahta antara raja Victor dengan adiknya. Raja Victor dibunuh dan kini tahta dialihkan ke adiknya, Herrian Leys, raja Axylon yang sekarang,” tutur Velian dan ia kembali membaca. “Raja Victor sengaja mengikat jiwa-jiwa keturunannya dengan orang lain yang bukan dari keluarga kerajaan, dan itu bertujuan agar penerusnya tidak bisa mati dibunuh. Dan jiwa-jiwa yang diikat dengan jiwa keturunannya dinam