Ada empat poin dalam perjanjian pranikah itu. Hal yang pertama, aku dan Juanxi harus tidur bersama selama dua jam setiap hari. Tak masalah itu tidur siang, atau tidur malam. Intinya aku harus mengenggam tangannya.
Sebab fokusnya ingin mengenggam tanganku. Aku menawarkan tidak harus di tempat tidur. Namun ia menolaknya dengan tegas. Aku tak tahu orang gila ini punya masalah apa dengan otak dan mentalnya. Aku tak ingin berdebat tak penting dan memilih diam saja.
Poin kedua, aku harus sepakat untuk mengikuti perjamuan sosial Juanxi. Bila dalam undangan itu tertera pergi bersama pasangan. Aku rasa ini juga tak perlu. Sebab masa waktu pernikahan ini hanya dua tahun atau selama tuduhan tindak pidana atas perkaraku selesai.
Sekali lagi, orang gila ini keras kepala dan tak bisa dilawan. Alasannya melakukan ini agar dirinya bisa tenang tidak dikejar-kejar keluarganya. Jadi, ketika masa kontrak berakhir, dia dan aku harus berada dalam fase bak berduka kehilangan orang yang meninggal. Kemudian tidak percaya lagi dengan cinta dan trauma menjalin hubungan.
Aku tak tahu Juanxi mendapatkan informasi darimana bahwa aku tak ada niatan menikah. Namun, sebagai orang yang sama-sama gila menambah kekayaan perlahan. Aku bisa memahaminya dari segi ingin fokus pada pekerjaan saja. Namun aku merasa tidak perlu melakukan drama seperti ini. Pasalnya tidak ada orang yang perlu aku perlihatkan permainan sandiwara ini. Kedua orang tuaku sudah meninggal. Aku anak tunggal. Jadi aku tidak memahami dari sudut pandang Juanxi yang kesal dikejar-kejar keluarganya untuk mendapatkan pasangan atau menikah.
Poin ketiga, tidak boleh jatuh cinta. Aku setuju.
Poin keempat, aku harus sepakat untuk membuat akte perjanjian pisah harta setelah menikah. Yah, walaupun ini nikah kontrak. Namun kami akan mendaftarkan pernikahan ini secara formal dan legal ke instansi berwenang.
Dari keempat poin yang ia ajukan padaku. Aku bisa merangkum sifat dan karakter orang gila ini. Dia pria tampan dan seksi di usia 32 tahun yang sangat gila bekerja, dan pelit. Juga punya masalah dengan kondisi kesehatan mentalnya.
Hanya saja berdasarkan instingku yang sangat kuat. Tujuan ia menikah denganku hanya untuk memenuhi poin pertama. Walaupun aku jarang bersosialisasi. Namun aku sering membaca buku. Ini asumsi gila yang tak berani aku suarakan langsung. Sepertinya dengan menyentuhku akan membantu kehidupannya. Entah efek apa yang terjadi setelah bersentuhan denganku. Namun hanya itu saja yang terbesit di pikiranku. Apakah asumsiku ini benar atau tidak aku perlu melihat kedepannya.
“Kenapa kau tahu letak dapurku tadi?” Tanyaku setelah termenung lama dari membaca perjanjian pranikah itu.
“Tanteku bercerita banyak hal tentangmu padaku. Penyidik itu pernah ke sini untuk menjemputmua ke kantor polisi kan,” jawabnya santai.
Mungkin benar tantenya mengatakan itu padanya. Tapi aku merasa sangat yakin dia berbohong. “Apa aku juga akan diperkenalkan dengan keluargamu?” Tanyaku lagi.
“Tentu saja,” jawabnya dengan mantap. Aku menatapnya lalu menghembuskan nafas panjang.
Rumah kecil ini tidak cocok untuk pria bertubuh besar sepertinya. Bahkan ia duduk di sofa ruang tengah saja, terlihat sesak dan kasihan. Ia menekuk lututnya sampai itu bisa mengenai dadanya. Apakah sofaku sekecil itu?
“Pernikahan ini… bila kasusku selesai lebih cepat. Apakah bisa lebih cepat berpisah?” Tanyaku. Aku menatap jari-jari kakiku. Sejujurnya aku takut dengan Poin Tiga. Aku takut aku terbiasa dengan kehadirannya, dan pada akhirnya aku yang paling tersakiti. Namun di lain sisi, aku juga takut untuk tetap tinggal di tempat ini terlalu lama. Akhirnya orang-orang yang mengincarku mulai mencelakai Paman Zinbei dan Ibu Yanyan. Aku takut.
Jika masalahnya bisa diselesaikan dengan aku pindah ke kota, dan menggunakan properti yang sudah lama tak aku gunakan jugalah hal yang bagus. Hanya saja aku tidak bisa menjamin keselamatan Paman Zinbei dan Ibu Yanyan. Kekuatanku terbatas.
Dalam perjanjian pranikah ini, Huang Juanxi berjanji akan menaruh orang terpecayanya untuk menjaga pasangan tua itu. Apalagi mengingat tantenya adalah Kepala Penyidik bagian Kasus Kriminalitas Digital. Aku yakin orang yang dikenal Juanxi adalah orang yang kompeten juga. Bagaimanapun ia juga pemilik Firma Hukum Dantons yang sudah berdiri selama empat generasi. Benar dia generasi yang keempat.
Aku langsung mengambil pulpen di atas meja dan berniat menandatangani surat itu. Aku bisa mendengar tarikan nafas pria itu yang menjadi antusias. Aku menghentikan tindakanku sejenak, tidak menatapnya, “Aku … tak ingin ada pesta. Kita langsung daftarkan saja pernikahannya,” ucapku.
“Oke!” setujunya dengan cepat. Tanpa pikir panjang lagi aku langsung bertanda tangan di atas kertas tersebut. Lalu menempelkan jari jempolku pada bantalan tinta, dan menekannya ke kertas putih lainnya. Sidik jariku membekas di atas sana. Kemudian Juanxi melakukan hal serupa.
“Akta Perjanjian Pisah Harta baru bisa dibuat setelah kita menikah. Ayo kita ke Biro Urusan Sipil,” ucapnya lagi sembari menyodorkan tangan kanannya ke arahku. Aku berdiri sendiri tanpa bantuannya. Kemudian memberikan tatapan sinis padanya. Kenapa ia terburu-buru sekali? Apa ia tak sadar dengan pakaian yang masih aku kenakan sekarang? Dia memang gila.
Aku menetap berkas yang masih ada di atas meja itu. Entah kenapa rasanya aku ingin merobeknya.
Seakan bisa membaca pikiranku, Huang Juanxi langsung merapikan semua berkas tersebut dan menyimpannya dalam genggamannya. Dari gerak-geriknya, sepertinya ia takut aku berubah pikiran.
“Pernikahan ini…. Jangan beri tahu pada Paman Zinbei dan Ibu Yanyan. Lagipula kita akhirnya akan berpisah, dan juga tidak ada pesta. Kau pergi saja lebih dahulu dari sini. Aku akan mengurus beberapa hal di sini,” ucapku sembari menatap kedua matanya dengan mantap. “Jika mengingat poin pertama, waktu yang kau butuhkan haya dua jam saja. Itu berarti kita tak perlu tinggal dalam satu atap yang sama,” sambungku lagi.
“Jika seperti itu, apa kau ingin tetap tinggal di sini dan aku harus mendatangimu setiap hari untuk itu? Sama saja kau memberitahu mereka kita ada hubungan,” sanggah Juanxi.
“Aku akan pindah dari sini. Aku punya properti di pusat kota. Berhentilah menganggu. Sudah ku bilang kan, aku perlu mengurus beberapa hal di sini. Pergilah,” jawabku kesal.
Kemudian ia menepuk tangannya sekali, dan membenarkan posisi berdiri tegapnya sembari menggibaskan jasnya. “Oke, aku akan menghubungimu lagi. Beri tahu aku jika kau sudah pindah. Orangku akan menempati tempat ini,” tuturnya sembari melangkah ke arah pintu luar. Ia berjalan perlahan sembari melihat sekeliling rumahku. Aku diam saja membiarkannya. “Kau orang yang rapi dan artistik ya,” komentarnya. Kemudian memasang sepatu kulitnya yang mahal itu perlahan sembari duduk di lantai kayu ini.
Setelah ia selesai dengan dirinya. Ia berdiri dari posisi duduknya dan berbalik badan ke arahku lagi. “Aku akan bilang pada orang di luar sana. Kau menolak lamaranku. Sepertinya mereka masih berkumpul di rumahnya pemilik tempat ini,” tuturnya kemudian membuka pintu dan melenggang kelua sana sendirian.
Aku diam saja, dan bisa mendengar kehebohan para warga sekitar. Suaranya tidak terlalu jelas dari dalam sini. Namun yang pasti aku tahu dia dikerumuni para tetangga. Hanya suara Tante Meidong yang paling nyaring dan bisa aku tangkap, “Apa! Dia berani menolakmu?”
Seterah Tante, seterah.
Aku memutuskan untuk menyeduh susu coklat. Membuka kulkas dan mengambil stok coklat batangan. Kemudian memotong bagian secukupnya untuk dilelehkan. Aku menuangkan susu ke dalam wadah dan mengambil panci berisi air untuk dipanaskan terlebih dahulu. Kemudian menaruh wadah coklat bercampur susu di atas pancinya.
Aku benar-benar tak ada niatan untuk sarapan sama sekali hari ini. Tunggu. Ini hari Minggu, kan? Aku mengecek tanggal yang tertera di kalender ponselku. Rupanya memang benar ini hari Minggu.
“Kenapa dia mau ke Biro Sipil hari ini? Dia memang gila,” gumamku sembari terus mengaduk wadah berisi coklat-susu itu.
Saat semua sudah bercampur aku kasih sedikit garam ke dalamnya. Hanya kebiasaan. Menurutku rasanya jadi semakin enak. Aku menaruh susu coklat itu ke dalam gelas dan menunggu suhunya menjadi lebih dingin sembari mengecek berita dari ponselku. Rupanya namaku masih ada dalam 10 topik hangat, Samara Gwenn Pemilik Judi Online Ilegal.
“Kali ini aku bukan orang yang terlibat lagi. Sekarang sudah menjadi pemilik. Luar biasa sekali,” gumamku.
Semua ini terjadi lima bulan yang lalu, saat Samara Gwenn lagi-lagi dipercayai untuk bergabung dengan tim kreatif di salah satu ‘Perusahaan Game Online’ Zhou.co. Dari kasus ini pula aku bertemu dengan Orang Gila yang baru saja aku setujui untuk menjalin nikah kontrak. Pekerjaan pertamaku dengan perusahan ini terjadi sudah lama sekali. Sekitar setahun lalu sebelumnya. Awalnya aku dihubungi salah satu perwakilannya melalui email untuk menggambar tujuh karakter dan beberapa ekspresi wajah mereka, dengan format mentah .psd dan .rtf yang dipisah per layer. Mereka menawarkan harga sebesar 14.000 RMB dengan masa pengerjaannya selama 30 hari. Kala itu aku berhasil menyelesaikan proyek komersil tersebut selama 29 hari. Sebagai illustrator yang memiliki integritas dan etos kerja yang baik. Serta nama yang besar dengan pengikut di Ourchat sebesar lima juta. Aku dikenal banyak perusahaan sebagai komikus yang memiliki persentase selesai sebelum tenggat waktu sebesar 80 persen tanpa banyak drama
Presdir Zhou.co sekarang sudah berusia 86 tahun, dan beberapa komentar menyebutkan bahwa ia gila jabatan. Bahkan sampai sekarang tidak turun-turun dari posisinya sekarang. Ini seperti drama mengambil alih tahta kerajaan. Pada akhirnya, presdir ini pun menjual nama adiknya, yang merupakan paman dari anaknya, seperti seakan-akan ia adalah orang yang jahat merebut posisi wakil presdir ini. Namun hal-hal ini aku baca dari kolom komentar. Sebab lebih seru membaca komentar para netizen dibandingkan artikel klarifikasi yang membosankan tentang sang Ayah yang takut kehilangan para pemegang saham. Aku pikir tidak ada masalah dengan perusahaan selain drama keluarga ini. Jadi aku memutuskan untuk mengambil pekerjaan gambar ini. Aku segera beralih membuka jendela email di layar desktop ini. Lalu mengetik jawaban untuk menerima tawaran pekerjaan tersebut, sekali lagi tanpa banyak bertanya. Orang bodoh mana yang menolak pekerjaan mudah yang memberikan banyak bayaran? Tanpa pikir panjang lagi ak
Semalaman ini aku terus mencoba menghubungi email perwakilan Zhou.co itu. Namun tidak ada jawaban sama sekali. Aku mencoba berpikir positif mungkin karena ini tengah malam, dan mereka telah tidur. Jadi mereka tak bisa membalas pesanku segera.Ini membuatku panik, sebab ada sebuah cuitan dari Ourchat bahwa ada yang menduga pihak kepolian akan menangkap semua yang berada di balik layar pembuatan situs judi online ini. Aku yang membaca komentar itupun dibuat panik dan panas-dingin.Selain menghubungi pihak perusahaan, aku mencari-cari firma hukum terpercaya yang bisa aku hubungi. Namun segala pesan yang aku kirimkan ke nomor mereka hanya membuahkan centang satu. Ini membuat perutku semakin mual. Pasalnya aku tahu betul besok, hari Sabtu, beberapa tempat tidak memiliki jadwal kerja. Masa iya sih, aku harus menunggu sampai hari Senin dulu?Tepat pukul jam 8 pagi, aku mendapatkan balasan dari email perwakilan Zhou.co. Tidak. Lebih tepatnya pemberitahuan dari email, bahwa akun tersebut telah
Dalam perjalanan menuju firma hukum berikutnya, aku hanya mengandalkan bantuan dari supir taxi untuk menemukan lokasinya. Sebab aku tak tahu seluruh jalanan di Kota B ini.Untungnya Bu Mei tahu posisiku saat ini sedang terdesak. Ia berbaik hati memanggilkan supir taxi andalannya. Tidak perlu waktu lama untukku menunggu beliau. Saat mobil berhenti tepat di depan kantor Bu Mei, aku langsung melanjutkan perjalanan.Sesampainya aku di sana, aku meminta Pak Dongdong, supir taxi yang mengaku usianya sudah 56 tahun itu, untuk menungguku sejenak dan aku tak lupa membayar perjalanan dari kantornya Ibu Mei, pengacara sebelumnya ke kantor lainnya ini.“Siap, Nona! Saya akan menunggu Anda walaupun badai hujan menerjang sekalipun,” ungkapnya sembari hormat padaku. Aku memberinya tip yang berlebih agar ia memenuhi permintaanku. Sikapnya langsung berlipat-lipat penuh dengan pengabdian.Ketika aku masuk ke kantor firma hukum kedua ini, resepsionisnya seakan sudah menduga kedatanganku. Aku yakin sekal
Kami menyelesaikan makan siang ini tepat pukul setengah empat sore. Kami berbicara banyak hal, dan pembicaraan bersama orang tua ini membuat perasaanku semakin tenang. Sepertinya Pak Dongdong juga menyadari bahwa aku berda dalam masalah sehingga ia tak menanyakan hal-hal yang sensitif atau mengundang perasaan negatif kembali. Ia cenderung menceritakan pengalamannya yang menarik. Ada kalanya aku menanggapi dengan beberapa pertanyaan lebih detail, atau tertawa mendengar hal yang tak masuk akal atau prasangkanya yang menarik. Terlebih karakter Pak Dongdong ini ceria, jadi aku menerima energi positif darinya dengan sangat mudah. Saat kami keluar dari ruangan pribadi ini, kami bersamaan dengan pemilik ruangan di seberang kami. Namun mereka semua belum keluar dan beberapa masih ada yang di dalam. Sedangkan salah satu orang lainnya menahan pintunya terbuka. Jadi mau tidak mau, aku dan Pak Dongdong bisa melihat kondisi ruangan tetangga kami tersebut. Pandangan mataku bertau dengan seorang p
Setelah urusanku dengan Pengacara Jung selesai, aku pergi lebih dahulu meninggalkan bangunan Firma Hukum Dantons ini. Aku berniat pulang dengan bis umum. Lagipula ini masih jam tujuh malam. Masih ada jadwal rute untuk menuju area pinggiran kota. Aku berjalan ke arah halte bus. Namun seseorang menarik sedikit kain lengan jasku. “Nona Muda! Saya menunggu Anda. Jangan pulang pakai Bis, Nona. Daritadi saya panggil loh,” ucap Pak Dongdong panjang lebar sembari melepaskan genggamannya pada jasku. “Yaampun Pak,” jawabku kaget. “Sudah daritadi menunggu saya? Bapak tak perlu repot-repot loh,” sambungku. Aku benar-benar tak mendengar Pak Dongdong memanggilku. Pikiranku masih kacau mengingat email perwakilan Zhou.co menghilang dan begitupun jejak digitalnya. Bagaimana bisa? “Oh, jangan terlalu segan dengan pria tua seperti saya. Ayo, Nona Muda, saya antarkan pulang. Nona, bagaimana bila menyimpan nomor saya? Saya bisa jadi su
“Dari awal si Jung ini agak mencurigakan memang,” gumamku sembari berleha-leha di atas sofa yang ada di ruang tengah. Posisinya dekat sekali dengan area kerjaku yang ada di sudut ruangan.Aku menatap pot kaktus yang sudah membesar dan meninggi sampai ke dadaku. Dulu sekali kaktus itu masih berukuran sejengkal tangan Ayah saja. Kalau teringat kedua orang tua yang sudah tiada, rasanya sepi sekali. Namun mau bagaimana lagi. Inilah kehidupan.Aku menatap ponsel baruku lagi. Kali ini aku tidak mengaktifkan akun sosial mediaku di sini. Aku takut dengan notifikasi yang luar biasa seperti ponsel pintarku sebelumnya.Kalau dibilang aku sudah terbiasa dengan munculnya notif yang banyak dari serbuan para penggemar gambarku. Tentu saja, aku sudah terbiasa. Namun kebanyakan yang aku terima adalah kata-kata positif. Jikalaupun itu bukan hal yang sifatnya mengagumi atau menyemangati. Paling tidak berisi kritikan yang memban
Setelah Ibu Yanyan pergi, aku tak tahu harus melakukan apa. Jadi aku menghabiskan waktu yang cukup lama untuk mandi saja. Aku berendam di dalam bathtub dan menyembunyikan kulitku dibalik busa sabun yang menggumpal. Tiba-tiba saja ponselku berdering dan itu membuyarkan lamunanku yang hanya menatap dinding kamar mandi tanpa pikiran apapun. Aku terbiasa membawa ponsel ke dalam kamar mandi, dan aku melihat notifikasi email dari orang yang tak dikenal. Namun dari namanya mr.wonxiegreatestjung@yahoi.com, entah kenapa aku langsung teringat wajah pengacara yang mencurigakan itu. Aku langsung menekan isi pesan tersebut. ___________ Halo Nona Samara! Ini Pengacara Jung. Kenapa Anda tidak menghubungi saya? Saya perlu memperlajari kasus Anda, mohon segera mengirimkan berkas yang saya minta. Termasuk tangkapan gambar dari transaksi transfer uang yang mencurigakan ke akun uang digital Anda. Terima kasih. Ps. Segera mungkin kirimkan ya. ___________ Aku yang membaca pesan itu saja dibuat jengke