Elinoure berdiri di tepi danau. Nafasnya berulang kali diembus kasar."Untukmu." Andrew tiba-tiba memberikan sekuntum mawar merah. Elinoure melirik pelan seraya menerima sekuntum mawar tersebut. "Terima kasih.""Kamu sama seperti mawar merah itu," puji Andrew.Setiap kelopak mawar Elinoure perhatikan secara seksama. Detik berikutnya, dia tersenyum getir. "Keindahan mawar ini tidak bisa dibandingkan denganku."Andrew menggeleng dengan tatapan melarang. "Bahkan bunga pun akan malu bila bertemu kamu.""Kenapa?" Tampak berkerut halus kening Elinoure.Andrew lebih mendekatkan posisi lalu menjawab, "Karena kecantikanmu mengalahkan keindahan mereka."Elinoure tersenyum tertahan tapi akhirnya terkekeh singkat. "Berlebihan sekali."Andrew ikut terkekeh sambil mundur beberapa langkah. "Aku tidak bohong. Kamu sungguh cantik. Kalau tidak, mana mungkin kita saling memperebutkanmu."Kening Elinoure kembali berkerut. "Kita?"Andrew berkedip satu sisi. "Aku dan Carlos."Nama Carlos langsung mengheni
Sampai di rumah, Larissa sudah berdiri di depan pintu masuk seperti penjaga. Berhubung Carlos ada di antara mereka, Larissa langsung berkacak pinggang siap memarahi."Apa-apaan ini, Andrew! Kalian …" Larissa berpikir bahwa Andrew sengaja mendekati Elinoure supaya Carlos lebih gampang menjumpai gadis tersebut.Andrew segera menjelaskan, "Tidak seperti yang Bibi Larissa duga."Larissa mengernyitkan kening dengan kepala sedikit miring.Andrew melanjutkan, "Carlos menyusul kami ke danau."Karena fakta, Carlos tak mengelak. Dia bahkan membenarkan ucapan Andrew. "Benar, aku yang menyusul mereka. Bukan Elinoure yang mendatangiku atau kami yang sengaja ketemuan."Di antara dua pria itu, Elinoure tak beraksi; menundukan kepala.Kemudian Larissa menarik tangan Elinoure, serta memposisikan gadis itu di belakangnya. "Terima kasih telah menjaga Elinoure, Andrew. Sekarang silahkan bawa Tuan muda bangsawan ini pergi dari hadapanku!"Dari nada bicara Larissa, jelas sekali tidak ada kebaikan sedikitpu
Begitu sampai rumah, Carlos mendapati kuda hitam legam gagah milik Krunoslav Marion; sang Kakek, tengah asyik memakan jerami.Perasaan Carlos tak enak. Pria itu berinisiatif tidak langsung memasuki rumah, melainkan berjalan mengendap-endap dari pintu belakang menuju tembok perbatasan ruang tamu dengan ruang belakang."Tu—" Melihat Carlos, Anne selaku Pelayan bagian dapur nyaris bersuara. Bagus wanita itu sadar Carlos sedang menghindari sesuatu, jadi mulutnya lekas dibekap rapat-rapat.Melalui tembok pembatas, Carlos mengintip apa yang sekarang Kakek dan Ibunya lakukan.Meski mereka terlihat duduk normal seperti biasanya, tetapi wajah mereka terlihat serius apalagi saat Tom ikut andil.Sayangnya, suara mereka tidak berhasil sampai ke telinga Carlos. Pria itu balik badan menghela nafas menyayangkan."Apa Tuan muda ingin aku menghampiri mereka?" tawar Anne.Kelopak mata Carlos membuka lebar bersemangat. "Ya! Kalau bisa."Anne menunjuk baki berisi satu set teko keramik putih. Berdasarkan
Memikirkan rencana Kakeknya, Carlos tidak bisa tertidur. Pria itu berjalan mondar-mandir mencari cara supaya pernikahan tersebut tidak terjadi, karena jika Kakeknya sudah berencana maka semuanya akan berjalan cepat.Tok! Tok! Tok!Pintu kamar pria itu tiba-tiba diketuk.Carlos spontan mengarahkan matanya ke jam dinding, dan keningnya seketika berkerut. "Siapa yang tengah malam masih terjaga?"Tok! Tok! Tok! Ketukan berlangsung lagi.Karena penasaran, Carlos membuka perlahan pintunya dengan kepala tertunduk lalu terangkat dan …"Bibi Anne!" Rupanya asisten rumah tangga pria itu yang datang semalam ini.Sambil memastikan tidak ada orang melihat, Anne bertanya pelan. "Apa saya diperbolehkan masuk, Tuan muda?"Carlos membuka pintunya lebih lebar. "Silahkan."Anne segera masuk kemudian Carlos menutup pintunya sesegera mungkin."Ada yang harus saya sampaikan, Tuan muda," ungkap Anne serius."Katakan," suruh Carlos pun tak kalah serius. Anne mendekatkan kepalanya pada telinga Carlos untuk
Waktu cerita adalah pada zaman setelah tragedi tenggelamnya kapal Titanic. Di luar hujan mengguyur deras. Anginnya menggulung-gulung. Meniup kencang pohon-pohon, serta membawa percikan air ke dalam. Diantara gemuruh hujan, aktifitas panas sedang terjadi. Mereka adalah Smith Carlos dan kekasih tercintanya, Elinoure. Keduanya saling menyatu tanpa sehelai benang pun. Mengeluarkan desahan demi desahan, yang tidak akan mungkin bisa didengar oleh siapapun, mengingat tempat mereka bercinta adalah sebuah menara setinggi 20 meter dari permukaan tanah. Semakin lama, desahan keduanya semakin kencang. Bahkan bisa dibilang, hampir-hampir ingin menyamai gemuruh hujan. Nampak merah wajah pria itu. Ke
"Menara," kata si pelayan saat kepalanya menengadah, dan mendapati lampu penerangan berwarna oranye dari jendela terbuka menara itu sendiri.Seolah dituntun, si pelayan itu melangkahkan kakinya menuju tempat tersebut.Sementara di dalam menara, Carlos dan Elinoure tengah menuruni anak tangga sambil berpegangan tangan dan sesekali berciuman.Saking bahagianya mereka hari ini, mereka tidak menyadari seseorang telah hadir di depan mereka. Di depan adegan ciuman panas mereka.Hingga kedua bibir mereka saling lepas, mereka seketika tersentak.Bagi diberi titah, Carlos sigap menyembunyikan Elinoure di balik punggungnya. Elinoure pun menundukkan wajah dengan rasa
"Elinoure."Mendengar nama sang kekasih tercinta disebut, Carlos lekas berbalik.Ditatapnya dengan sorot serius pelayan wanita tersebut. Lalu, Carlos agak mendekat. Setengah berbisik, ia bertanya. "Siapa Elinoure?"Carlos tidak mau rahasia terbongkar. Ia terpaksa pura-pura tidak mengenali Elinoure.Sudut bibir si pelayan wanita itu terangkat. Ada senyum yang tidak bisa dijelaskan melalui kata-kata. Namun, satu yang membuat Carlos takut.Bagaimana kalau pelayan wanita itu melaporkannya pada Yolanda?"Elinoure adalah tetangga saya di kampung halaman, tuan. Semua penduduk menyebut gadis itu sebagai la
Rosita Johannes dan Ivory Johannes. Itulah nama kedua anak perempuan yang saat ini menebar pesonanya, demi memikat hati Carlos.Nampak mereka saling bersaing mengerahkan seluruh kecantikannya. Harap-harap, Carlos dengan segera menentukan. Namun, malang. Bukannya Carlos terpikat, justru ia enggan menatap mereka.Hal itu menimbulkan raut kekecewaan di wajah kedua perempuan itu, disusul tatapan resah dari sang tuan rumah."Nak Carlos, di depanmu pemandangan indah disajikan. Lantas, mengapa, kau berpaling?"Carlos mau tak mau menoleh. Terlihat wajahnya yang masam. Lalu, dengan perasaan seadanya, ia berucap, "Maaf, Paman. Kedua anak perempuanmu tidak membuatku terpikat."