Si Gendut Penakluk Bos - Bab 113 Restu Orang Tua
Dalam diamnya Falisha menilai ekspresi kedua orang tuanya. Mudah saja membaca raut wajah Miranda karena keterkejutan nyata tergurat serta tidak ada kemarahan atau keengganan sedikitpun di sana. Akan tetapi, tidak sedemikian mudah menilai ekspresi Teddy.
Berbekal pengalaman Teddy di dunia bisnis selama puluhan tahun, pria paruh baya itu mampu mengontrol garis wajahnya sedatar mungkin, dia juga bisa mengendalikan emosi di balik topeng tanpa ekspresinya.
Tidak ada yang bisa Falisha nilai pada Teddy kecuali wajah kaku seperti papan dan aura dingin kentara yang kian menciutkan nyalinya.
Hanya Teddy sendiri dan Tuhan saja yang tahu keputusan apa yang telah diambil oleh Ayah kandung Falisha itu.
Sampai pada akhirnya, Falisha tidak tahan lagi dan memecah kesunyian dengan berkata “Papa … Mama … maukah merestui pernikahan Sasha dengan Mamat?”
Sungguh, menunggu jawaban seperti s
Si Gendut Penakluk Bos - Bab 114 Restu Orang Tua (2)Teddy membalas pelukan Falisha erat, hatinya jelas menghangat atas perlakuan buah hatinya saat ini. Sungguh, Teddy merindukan saat-saat seperti sekarang, saat Falisha bermanja pada dirinya.“Sudah jadi seorang Ibu dan akan menjadi seorang istri lagi … Sasha harus lebih dewasa dan lebih bertanggung jawab lagi ya.”Kalimat yang baru saja digaungkan Teddy disertai dengan usapan lembut di bagian punggung sukses membuat mata Falisha kian memanas.Falisha tidak mampu menjawab Teddy, sebagai gantinya ia menganggukkan kepala dan bening pun tumpah tanpa bisa dicegah.“Papa nggak tahu ada apa sebenarnya antara Kamu dan Matteo, Nak … tapi, Papa sangat berharap jika pernikahan ini akan menjadi pernikahan terakhir untukmu …,” ujar Teddy lagi tanpa menjeda usapannya dan kembali pria paruh baya itu menghela napas berat.Kalimat yang terlontar dari mulut Teddy
Si Gendut Penakluk Bos - Bab 115 Percepatan“Kamu nangis? Matamu bengkak gini! Katakan, siapa yang bikin Kamu nangis?”Sungguh, beberapa tahun terakhir ini Falisha jarang sekali menerima perhatian dari orang yang ada disekelilingnya termasuk dari suaminya sekalipun. Koreksi, mantan suami si Bramantyo Satya. Selalunya, Falisha yang menjadi pemberi bukan penerima. Kasus ini tentu dikecualikan untuk putri semata wayangnya Ameera.Kalau pun mendapatkan perhatian kecil, selalu ada embel-embel entah apapun itu juga penghinaan yang mengikuti di belakang. Contoh kecil, saat itu Falisha dalam keadaan sakit. Falisha dikira sengaja berpura-pura sakit karena malas atau manja serta tidak ingin membereskan pekerjaan rumah, tuduhan ini selalu disematkan kepada setiap kali wanita itu menderita flu atau demam. Ujung-ujungnya Falisha tidak dibawa ke dokter dan cuma diberikan obat murah yang beredar di pasaran.Oleh karena itu, apa yang baru saja dilakukan Matteo pada Falisha tak pelak membuat hati wani
Si Gendut Penakluk Bos - Bab 116 Jalur Keinginan Matteo“Kamu tahu, Mat … sudah Aku putuskan, percepat saja pernikahan kita. Biar semuanya jadi lebih terkendali aja. Aku nggak apa kok, nggak perlu resepsi atau akad atau apapun yang mewah-mewah, tinggal tanda tangan tanpa apapun juga Aku bersedia. Beneran, Aku bersedia dan Papa juga telah merestui ini!”Tidak bisa Matteo tidak tertegun dengan apa yang baru saja ia dengar, terutama kalimat terakhir yang terlontar dari bibir wanita yang ia pilih sebagai istri itu nantinya.Memang, pernikahan yang ingin dilakukan itu hanyalah pernikahan sebatas di atas kertas pun berjangka waktu tertentu meski belum ada pembicaraan mendetail dengan Falisha mengenai hal ini. Akan tetapi, bukan berarti Matteo ingin melangsungkannya dengan cara yang salah sebab dasar untuk menikah itu sendiri saja sudah tidak benar.Matteo ingin melalui jalur yang baik meski melewatkan momen lamaran dan sekelumit cinta yang seharusnya ada. Walau, ada banyak faktor yang harus
“Jadi … apa yang ingin Kamu bicarakan? Sampai-sampai mengganggu waktu istirahat Saya seperti ini!”Kalimat langsung yang begitu to the point dan tanpa basa-basi sedikitpun dari Teddy itu membuat Matteo merasa punggungnya kian berkeringat meski berada di ruangan berpendingin ini. Setelah kedatangannya diterima keduanya bertemu dan duduk bersama berhadapan, tapi di lima menit pertama mereka hanya duduk diam saling memandang satu dengan yang lainnya.Keterdiaman yang ada nyata sangat bisa menyebabkan suasana menjadi tegang hingga Matteo tidak berani buka suara terlebih dahulu untuk memulai percakapan.Tersentak Matteo tidak kentara ditegur demikian oleh Teddy, dia sangat jelas jika ayah dari Falisha itu pasti memiliki penilaian tertentu mengenai kehadirannya.“Begini Om …,” ujar Matteo menjawab pelan setelah sebelumnya terlebih dahulu menelan Saliva guna menentramkan ketegangan diri. Sungguh, Matteo rasanya membutuhkan sedikit ruang untuk meredam rasa dan terbersit setitik penyesalan men
"Loh, Mas Bram sudah pulang? Tumben … jam segini?"Falisha bermonolog sendiri sambil memerhatikan mobil putih yang terparkir manis di tepi tembok, di samping pagar rumahnya.Wanita bernama lengkap Falisha Tahira Tirta itu terang saja bertanya-tanya. Hari ini masih terhitung hari kerja sang Suami, tetapi tak biasanya pria itu pulang sebelum lewat petang. Pagar besi yang tidak tertutup juga turut membuat wanita bertubuh tambun itu langsung mengerutkan keningnya.Falisha yakin sekali jika gerbang itu dalam keadaan tertutup sebelum ia tinggalkan untuk menjemput putrinya dari sekolah.“Tadi perasaan sudah kututup kok!”Tanpa mematikan mesin motor, netra kecokelatan wanita itu sudah lebih dulu beredar mencari tahu. Falisha tentu tidak akan salah mengenali, sebab nomor kendaraan mobil yang merupakan tanggal kelahiran putri mereka tertera nyata di sana.Di belakang Falisha, ada seorang gadis kecil berpotongan rambut bob. Sang bocah ikut memanjangkan lehernya mencari tahu dalam diam dan kehera
"Kamu ... kenapa tega melakukan semua ini, Mas?"Pertanyaan ini memang pertanyaan bodoh, tapi Falisha tetap mengutarakannya demi mendapatkan kepastian langsung dari pria yang telah menikahinya bertahun-tahun ini. Bukti pengkhianatan pria ini, aksi yang tidak diliputi oleh perasaan bersalah sedikitpun. Wanita itu baru menyadari, semua yang terjadi hari ini adalah pertanda bahwa sejatinya, bahteranya bersama Bramantyo sudah kandas … bahkan jauh sebelum hari ini.Hera yang masih berada di dalam dekapan berpeluh Bramantyo jelas satu frekuensi dengan pria itu. Ia tidak menutupi tawa geli yang meluncur bebas dari bibirnya karena baru saja mendengar lelucon bodoh dari Falisha.“Kamu serius nanya begitu, Lisha?” Bramantyo berujar dengan nada mencela, “Kamu nggak ngaca lihat dirimu sendiri seperti apa?”Pandangan mata jijik Bramantyo terang-terangan ia tujukan sepenuhnya untuk Falisha, “Gemuknya kebangetan, kucel, kusam, bau juga!” sambungnya melemparkan hinaan pada Falisha.“Sudah kayak babi
"Apa maksudmu, Mas?!"Mendengus Bramantyo mendengar pertanyaan itu, “Mobil, tanah, termasuk rumah ini … semua atas namaku!” sanggah Bramantyo. “Kamu atau anak tulimu itu tidak berhak sepeser pun atas hasil kerja kerasku!” sambungnya ketus tanpa menurunkan tangannya yang masih berada di pinggang.Membesar mata Falisha akan apa yang baru saja dilontarkan oleh Bramantyo.'Segala sesuatunya pasti telah disusun oleh pria itu matang-matang,' pikir Falisha. Falisha menggelengkan kepalanya, ia tak habis pikir.“Tega kamu, Mas, mengambil hak anakmu sendiri?” sindir Falisha dengan wajah pias dan basahnya.Sayang, pria yang masih menghadapnya dengan arogan itu tak peduli. Atas hasutan Hera, dengan dalih peduli padanya, Bramantyo mulai berlaku menyimpang dari segala kesepakatan pra nikah yang pernah ia sepakati bersama Falisha, termasuk dalam urusan harta.“Kamu boleh tidak menafkahiku setelah ini, Mas! Aku tidak akan mempermasalahkannya!”“Tentu tidak! Untuk apa Aku melakukannya!” sela Bramantyo
“Argh!”Falisha mengerang perlahan, ketika merasakan kepalanya berdenyut nyeri saat ia membuka matanya.“Kamu sudah sadar?”Pertanyaan dasar ini meluncur dari bibir pria yang pertama dilihat Falisha dan ia yakin pria itu bukanlah dokter ditilik dari jas hitam tidak terkancing yang membalut tubuhnya.Falisha tidak menjawab, pening yang mendera kian kuat membuatnya spontan mengangkat tangan untuk memijat pangkal matanya.“Falisha? Kamu baik-baik saja? Ada yang sakit atau gimana?” tanya pria itu lagi dengan langkah kaki yang kontan dipercepat karena reaksi yang ditunjukkan Falisha, “Rio panggil dokter!” titahnya kemudian sambil menekan tombol yang berada di samping brankar.Pijatan sederhana dengan jemari gempal Falisha sebenarnya tidak terlalu banyak membantu tapi pening itu sudah tidak lagi ia pedulikan sebab pria yang kini beridir tepat di samping brangkar telah mengalihkan perhatian sepenuhnya.Falisha menurunkan tangannya, detik itu juga ia mendapati ada sepasang netra biru yang men