Home / Romansa / Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku / 4 — Awal Kerja Sama yang Aneh

Share

4 — Awal Kerja Sama yang Aneh

Author: Syuhda
last update Last Updated: 2025-10-01 11:44:13

Keesokan paginya, suasana kelas sudah kembali ramai. Mahasiswa baru saling sapa, ada yang sibuk membicarakan tugas kelompok kemarin, ada juga yang masih mencari posisi duduk nyaman.

Aurelya datang dengan wajah masih setengah malas. Ia menaruh tas di bangku, lalu langsung merebahkan kepala di atas meja. “Hhh… baru hari kedua, tugas udah numpuk. Rasanya pengen balik tidur.”

Shafira duduk di sampingnya sambil nyengir. “Rel, lo jangan drama deh. Lagian kemarin kan kerjaan kita udah lumayan banyak beres.”

“Lumayan beres, tapi beres total kan belum,” sahut Aurelya ketus.

Shafira mengedikkan dagu ke arah pintu. “Tuh, yang satu udah dateng.”

Raksa masuk kelas dengan langkah tenang, tas hitam tersampir seperti biasa. Matanya langsung melirik sebentar ke arah Aurelya, tapi tanpa kata-kata ia duduk di bangku belakang, membuka buku catatannya, dan mulai menulis sesuatu.

Aurelya buru-buru menegakkan kepala. “Kenapa dia keliatan rajin banget, sih? Nggak capek apa serius mulu?”

Shafira terkekeh. “Rel, kalau lo liat dari sisi lain, itu keren tau. Cowok serius tuh jarang.”

“Serius apaan. Itu namanya kaku,” Aurelya mendengus, tapi matanya tak sengaja kembali melirik ke belakang. Raksa tetap fokus, bahkan tidak sadar diperhatikan.

Setelah kelas selesai, kelompok mereka sepakat untuk rapat sebentar di kantin. Satya membawa map tebal, Keira dengan laptopnya, sementara Shafira sudah siap dengan kamera ponsel.

“Jadi,” Satya membuka pembicaraan, “hari ini kita tinggal ngerangkum hasil observasi kemarin. Raksa, lo udah nyusun catatannya?”

Raksa mengangguk singkat. Ia mengeluarkan beberapa lembar kertas penuh coretan rapi. “Udah. Gue coba susun berdasarkan pola aktivitas. Tinggal ditambahin hasil wawancara dari Aurelya.”

Aurelya yang sedang mengaduk jus jeruknya mendongak. “Eh, iya. Gue udah catet jawaban mereka, tapi masih acak.”

“Gue bantuin rapihin, ya?” Keira menawarkan.

Raksa menoleh sebentar ke arah Aurelya. “Kalau bisa, lo kasih ke gue dulu. Gue mau cocokin sama data observasi.”

Nada suaranya tenang, tapi Aurelya merasa seperti ditantang. “Lo pikir gue nggak bisa nyocokin sendiri?!”

Raksa menatapnya sebentar. “Bukan gitu. Gue cuma pengen hasilnya konsisten. Biar lebih gampang pas Keira analisis.”

“Yaudah, nih.” Aurelya menyodorkan catatannya dengan nada setengah kesal. Tapi begitu Raksa mengambilnya, jari mereka sempat bersentuhan sebentar.

Aurelya refleks menarik tangannya cepat. Wajahnya panas, tapi buru-buru ia meneguk jus untuk menutupi rasa kikuk.

Shafira menahan senyum lebar, hampir ngakak melihat ekspresi sahabatnya.

Rapat kecil itu berlangsung lancar. Satya membagi tugas menulis, Keira mengerjakan analisis, Shafira bagian dokumentasi. Raksa fokus mengetik ulang catatan di laptop pinjamannya, sementara Aurelya pura-pura sibuk menggambar di buku tulis, padahal sesekali matanya melirik.

Ia tidak bisa bohong—cara Raksa bekerja benar-benar serius. Fokus, detail, tapi nggak pernah ribut. Diam-diam Aurelya merasa kagum, meski lidahnya enggan mengakuinya.

Sampai akhirnya, ketika kelompok bubar, Raksa menghampiri Aurelya yang masih duduk.

“Aurelya.”

Aurelya mendongak cepat. “Apa lagi?!”

Raksa menghela napas sebentar, lalu menaruh catatan di mejanya. “Tugas wawancara lo bagus. Jawabannya lumayan dalam. Nggak semua orang bisa dapet data kayak gini.”

Aurelya terdiam. Pujian itu datang begitu saja, tanpa basa-basi, tanpa senyum berlebihan—tapi justru terasa tulus.

“Eh… yaudah, makasih,” jawabnya terbata.

Raksa hanya mengangguk singkat, lalu pergi begitu saja.

Aurelya menatap punggungnya yang menjauh dengan wajah campur aduk. Dalam hatinya ia menggerutu, kenapa sih dia harus bikin gue bingung begini?

Dan Shafira, yang sudah berdiri di dekat pintu, langsung bersiul kecil. “Rel, fix banget. Antara lo yang makin kepancing atau dia yang tanpa sadar bikin lo kepancing. Salah satu pasti ada yang jatuh duluan.”

Aurelya menutup wajah dengan kedua tangannya. “Astaga, Fir. Gue nggak mau mikir sejauh itu!”

Tapi jauh di dalam hati, Aurelya tahu—hubungan antara dia dan Raksa baru saja masuk ke fase yang lebih rumit.

Awal kerja sama yang aneh, tapi entah kenapa… terasa menarik.

Setelah bubar, Aurelya dan Shafira berjalan pelan menuju gerbang. Matahari siang lumayan terik, bikin kepala tambah berat.

“Rel, lo sadar nggak sih? Raksa tadi nggak pernah nge-‘iya iya’ aja. Dia detail banget kalo ngomong. Tapi justru itu yang bikin kelompok kita rapi,” kata Shafira sambil menggigit roti isi.

Aurelya mendengus, tapi bibirnya masih menahan senyum kecil. “Detail apaan. Menyebalkan lebih tepatnya. Kayak semua orang harus nurut cara dia.”

“Hmm…” Shafira menaikkan alis. “Tapi lo kagum kan?”

Aurelya langsung menoleh dengan tatapan menusuk. “Apaan sih, Fir! Gue kagum apanya. Ih, jangan halu deh.”

Namun dalam hati ia tak bisa menyangkal. Jari yang sempat bersentuhan tadi masih membekas aneh di pikirannya.

Sore harinya, Aurelya baru sampai kosan. Ia membuka buku catatan yang tadi sempat diambil Raksa. Di sudut kertas, ia menemukan satu tulisan kecil dengan pulpen hitam yang bukan miliknya:

“Data udah bagus, tinggal lo atur urutannya. Biar lebih gampang nanti. –R”

Aurelya mematung. Tulisan itu rapi tapi tegas, mirip orangnya. Ia menggigit bibir, antara kesal karena berani-beraninya si cowok nulis di catatannya, sekaligus merasa… diperhatikan.

“Kenapa sih, Raksa… lo bikin gue bingung,” gumam Aurelya, menutup buku dengan cepat seakan takut ketahuan oleh dirinya sendiri.

Keesokan harinya, sebelum kelas dimulai, Raksa tiba-tiba duduk di bangku sebelahnya. Aurelya yang sedang menulis asal di buku hampir tersedak napasnya sendiri.

“Eh—apa-apaan lo duduk di sini?”

Raksa hanya mengeluarkan flashdisk kecil dan meletakkannya di meja Aurelya. “Tugas kelompok. Gue udah nyusun draft. Cek dulu, siapa tahu ada yang kurang.”

Aurelya menatap flashdisk itu, lalu menatap Raksa. “Lo nggak bisa kasih ke Keira aja? Kan biasanya dia yang analisis.”

“Gue mau lo yang baca dulu,” jawab Raksa datar. “Lo yang wawancara, jadi lo yang paling ngerti konteks jawabannya.”

Aurelya terdiam. Untuk pertama kalinya, dia merasa diakui kontribusinya.

Sementara Raksa sudah membuka buku dan menulis sesuatu lagi, seolah duduk di sebelah Aurelya bukan hal aneh sama sekali.

Di sisi lain, Shafira yang baru masuk kelas nyaris menjerit kecil melihat pemandangan itu. Ia buru-buru duduk di belakang mereka, mengeluarkan HP, dan berbisik pada dirinya sendiri.

“Ya ampun… fix. Ini awal drama kampus yang gue tunggu-tunggu!”

Aurelya akhirnya menyerah. Dengan berat hati, ia colok flashdisk pemberian Raksa ke laptop pinjaman dari kampus. Raksa duduk di sampingnya, tubuhnya condong sedikit ke depan.

“Ini gue udah susun ringkasannya,” ucap Raksa sambil menunjuk layar. “Liat bagian yang ini, sesuai nggak sama jawaban yang lo catet kemarin?”

Aurelya menggulir halaman Word yang penuh tabel rapi. Sebenarnya, dalam hati dia kaget. Rapi banget, detail pula. Dia bener-bener niat.

“Hmm… iya sih, bener. Cuma di bagian narasumber dua ini, kayaknya agak kelewat deh. Mereka ngomong soal kendala waktu, inget nggak?” Aurelya menunjuk ke layar.

Raksa mengangguk pelan. “Iya, bener. Gue nggak masukin karena datanya setengah. Lo bisa tambahin sekarang?”

Aurelya mengangguk cepat, lalu mulai mengetik. Tapi tiap kali ia mengetik, Raksa diam-diam memperhatikan dari samping. Jarak mereka begitu dekat, sampai Aurelya bisa mencium samar aaroma parfume dari baju Raksa.

Deg. Deg. Deg.

Ya ampun, Rel, fokus dong. Jangan sampe salah ngetik gara-gara deg-degan begini!

“Eh… ini… udah bener belum?” Aurelya memberanikan diri menoleh. Tapi sialnya, di saat yang sama, Raksa juga menoleh.

Mata mereka bertemu. Raksa menatap lurus, tenang, tapi tajam. Jarak wajah mereka cuma beberapa senti.

Aurelya refleks langsung menahan napas. Pipinya memerah, jari-jarinya membeku di atas keyboard.

Raksa seolah menyadari reaksi Aurelya, dan bukannya menjauh, dia malah sedikit mencondongkan wajah. Suaranya rendah.

“Lo nervous, ya?”

Aurelya langsung menutup mata rapat-rapat. Dalam kepalanya, panik. Astaga, jangan bilang dia mau—

Hening sejenak.

Tapi bukannya ciuman, Raksa hanya menunjuk layar laptop dengan jarinya yang ada di dekat Aurelya. “Ketik tambahan data di sini. Itu yang tadi lo bilang.”

Aurelya membuka mata perlahan. Wajahnya merah padam. “Hah? Oh… iya… iya…” buru-burunya mengetik lagi, jantung masih nggak karuan.

Raksa hanya menghela napas kecil, seolah nggak sadar efeknya. “Gitu aja panik. Fokus aja, Aurelya.”

Aurelya menggertakkan giginya pelan, mencoba menutupi rasa malu. Gila, gue kira dia mau nyium gue tadi! Astaga, Rel, lo kenapa sih?!

Sementara dari bangku belakang, Shafira yang diam-diam ngintip hampir meledak menahan tawa. “Ya Tuhan… ini kalo beneran jadi, gue sumpah bakal jadi saksi sejarah kampus.”

Aurelya menutup laptopnya begitu selesai ngetik tambahan data. Ia mendorong kursi sedikit menjauh dari Raksa, lalu bersedekap dengan muka masam.

“Lo tuh ya… kalau jelasin sesuatu jangan deket-deket gitu, bisa kali agak jauhan dikit,” omelnya, pura-pura jutek.

Raksa mengerutkan alis, ekspresinya tetap datar. “Kenapa? Kan biar lebih gampang nunjukin.”

“Gampang buat lo, bikin deg-degan buat orang lain,” gumam Aurelya pelan, tapi untungnya nyaris nggak terdengar.

Raksa sempat menatap sebentar, lalu mengangguk singkat. “Oke. Lain kali gue jaga jarak.” Ucapannya tenang, tapi entah kenapa malah bikin Aurelya makin salah tingkah.

“Yaudah, selesai kan? Gue pergi dulu,” tambah Raksa sebelum bangkit dan melangkah keluar kelas.

Begitu punggungnya menghilang di balik pintu, Aurelya langsung menutup wajah dengan kedua tangan. Pipinya panas sekali.

“Ya ampun… Rel, lo apaan sih tadi? Bete-betean segala, padahal dalem hati lo kayak—” Shafira tiba-tiba nongol dari belakang, nggak tahan lagi menahan tawa.

Aurelya cepat-cepat menjawab ketus, “Apaan sih, Fir! Gue sebel aja kalau orang kelewat deket.”

“Tapi senyum lo sekarang lebar banget, Rel. Jangan bohong deh.” Shafira menyeringai jail.

Aurelya buru-buru meraih tasnya. “Udah ah, gue pulang dulu. Nanti kalau lama-lama ngobrol sama lo, bisa makin ke-gap.”

Shafira ngakak. “Fix banget lo mulai kepancing, Rel. Fix banget.”

Aurelya hanya bisa menunduk, berusaha menenangkan detak jantungnya yang masih kacau. Ia tahu, sebete apapun ekspresi yang dipasang, kenyataannya… dia seneng banget barusan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku   8 — Yang Pelan-Pelan Mulai Mengganggu

    Shafira akhirnya ngorok kecil, tanda udah beneran tidur. Aurelya membuka mata sekali lagi, menatap langit-langit kamar. Hatinya terasa pelan tapi pasti… jalan ke suatu arah. Arah yang dia sendiri belum siap tapi juga… nggak bisa nolak. Dada hangat. Pipi panas. Senyum kecil muncul lagi, mau ditahan sekuat apa pun tetap bocor. Dan sebelum akhirnya dia benar-benar terlelap, satu pikiran terakhir datang: “Mungkin besok… gue bakal lebih nunggu dari hari ini.” Pagi datang lebih cepat dari yang dia kira. Aurelya kebangun bukan karena alarm—tapi karena jantungnya yang berdetak kayak lagi latihan sprint. Dia bahkan sempat bengong beberapa detik sebelum sadar: dia bangun dengan perasaan… beda. Entah kenapa, matahari pagi yang nyelip dari celah gorden keliatan lebih ramah dari biasanya. Udara kamar, walaupun dingin, nggak terasa nyebelin. Bahkan suara Shafira yang masih tidur pulas pun terdengar lucu. Aneh. Semua yang biasanya biasa-biasa aja, sekarang kayak punya kualitas “lebih”.

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku   7 — Yang Mulai Terasa Tanpa Disadari

    Besok paginya, alarm HP Aurelya bunyi berkali-kali. Tapi seperti biasa, dia cuma mindahin tangan, pencet snooze, lalu balik meringkuk. Sampai akhirnya… “REL. BANGUN. KALO LO TELAT, GUE GAK MAU NEMENIN LO LARI KE KELAS.” Suara Shafira dari luar kamar ngegedor pintu asrama. Aurelya ngedumel, bangkit dengan mata separuh kebuka. Rambutnya awut-awutan, tapi yang paling kacau adalah hatinya—karena begitu buka mata, hal pertama yang keinget bukan jadwal kelas… tapi satu kalimat itu. “Selamat istirahat, Rel.” Aurelya buru-buru nutup wajah pakai bantal. “Ih, apaan sih… pagi-pagi udah keinget dia.” Shafira nyelonong masuk (kebiasaan jeleknya). “Lo mandi sekarang. Mukanya masih muka habis mimpi cowok.” Aurelya lempar bantal. “Gue nggak mimpi apa-apa!” “Rel… pipi lo merah.” “Karena gue kesel sama lo!” “Hmm… kesel atau keinget Raksa ngucapin selamat tidur?” “FIR.” Cukup satu nama, Shafira langsung tutup pintu sebelum kena lemparan kedua. Di kampus, udara masih seger. Mahasiswa baru p

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku   6 — Yang Datang Tanpa Diundang

    Pagi itu kampus lebih ramai dari biasanya. Di koridor lantai dua, suara mahasiswa lewat saling tumpang-tindih, mulai dari yang curhat soal kuis dadakan sampai yang panik karena lupa print tugas. Aurelya berjalan pelan sambil menguap, rambutnya dicepol seadanya. Tasnya cuma diselempang dengan satu tangan, tanda dia belum sepenuhnya “online”.“Rel! Astaga muka lo… lo begadang lagi ya?” Shafira langsung nyamber dari belakang.Aurelya mendelik lemes. “Gue tuh udah niat tidur cepat, Fir… sumpah. Tapi mata gue punya kemauan sendiri.”Shafira cekikikan. “Kemauan atau kepikiran seseorang?”Aurelya berhenti jalan, menatap temennya itu dengan pandangan jangan mulai pagi-pagi. “Gue lempar lo pake buku modul beneran nih.”Mereka berdua baru mau masuk kelas ketika dari ujung lorong, Raksa muncul sambil bawa map tebal. Dia jalan santai, tapi tetap dengan aura dingin khas dia yang bikin banyak cewek diem sejenak.Aurelya refleks nahan napas. Jangan liat. Jangan liat. Pret, malah ngeliat.Raksa lewat

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku   5 — Tatapan yang Nggak Bisa Dibohongin

    Malam itu, di kamar kos yang temaram, Aurelya masih gelisah. Laptopnya menyala, file tugas kelompok terbuka, tapi pikirannya bukan di situ. Ia malah sibuk memandangi flashdisk kecil yang tadi siang dititipkan Raksa. "Kenapa sih harus lo kasih ke gue dulu? Kan bisa aja langsung ke Keira," gumamnya pelan, memutar flashdisk di tangannya. Padahal jawabannya jelas. Raksa percaya sama data wawancaranya. Tapi hati Aurelya menolak menerima alasan sesederhana itu. Karena di balik semua keseriusan Raksa, ada cara dia melihat Aurelya—tatapan lurus, tenang, tapi bikin dada berdebar nggak karuan. Aurelya menggeleng cepat. "Astaga, Rel. Jangan halu. Jangan!" Ia menutup laptop, lalu menenggelamkan wajah di bantal. Keesokan paginya, kelas kembali penuh. Shafira langsung nimbrung di sebelah Aurelya dengan wajah penuh gosip. "Rel, lo semalem kepikiran kan? Jangan bohong, gue tau banget tuh muka lo kayak orang nggak bisa tidur," bisiknya sambil nyengir lebar. Aurelya mendesah panjang. "Fir, sumpah

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku    — Awal Kerja Sama yang Aneh

    Keesokan paginya, suasana kelas sudah kembali ramai. Mahasiswa baru saling sapa, ada yang sibuk membicarakan tugas kelompok kemarin, ada juga yang masih mencari posisi duduk nyaman. Aurelya datang dengan wajah masih setengah malas. Ia menaruh tas di bangku, lalu langsung merebahkan kepala di atas meja. “Hhh… baru hari kedua, tugas udah numpuk. Rasanya pengen balik tidur.” Shafira duduk di sampingnya sambil nyengir. “Rel, lo jangan drama deh. Lagian kemarin kan kerjaan kita udah lumayan banyak beres.” “Lumayan beres, tapi beres total kan belum,” sahut Aurelya ketus. Shafira mengedikkan dagu ke arah pintu. “Tuh, yang satu udah dateng.” Raksa masuk kelas dengan langkah tenang, tas hitam tersampir seperti biasa. Matanya langsung melirik sebentar ke arah Aurelya, tapi tanpa kata-kata ia duduk di bangku belakang, membuka buku catatannya, dan mulai menulis sesuatu. Aurelya buru-buru menegakkan kepala. “Kenapa dia keliatan rajin banget, sih? Nggak capek apa serius mulu?” Shafira

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku   4 — Awal Kerja Sama yang Aneh

    Keesokan paginya, suasana kelas sudah kembali ramai. Mahasiswa baru saling sapa, ada yang sibuk membicarakan tugas kelompok kemarin, ada juga yang masih mencari posisi duduk nyaman. Aurelya datang dengan wajah masih setengah malas. Ia menaruh tas di bangku, lalu langsung merebahkan kepala di atas meja. “Hhh… baru hari kedua, tugas udah numpuk. Rasanya pengen balik tidur.” Shafira duduk di sampingnya sambil nyengir. “Rel, lo jangan drama deh. Lagian kemarin kan kerjaan kita udah lumayan banyak beres.” “Lumayan beres, tapi beres total kan belum,” sahut Aurelya ketus. Shafira mengedikkan dagu ke arah pintu. “Tuh, yang satu udah dateng.” Raksa masuk kelas dengan langkah tenang, tas hitam tersampir seperti biasa. Matanya langsung melirik sebentar ke arah Aurelya, tapi tanpa kata-kata ia duduk di bangku belakang, membuka buku catatannya, dan mulai menulis sesuatu. Aurelya buru-buru menegakkan kepala. “Kenapa dia keliatan rajin banget, sih? Nggak capek apa serius mulu?” Shafira

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status