Share

— Awal Kerja Sama yang Aneh

Penulis: Syuhda
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-01 11:42:33

Keesokan paginya, suasana kelas sudah kembali ramai. Mahasiswa baru saling sapa, ada yang sibuk membicarakan tugas kelompok kemarin, ada juga yang masih mencari posisi duduk nyaman.

Aurelya datang dengan wajah masih setengah malas. Ia menaruh tas di bangku, lalu langsung merebahkan kepala di atas meja. “Hhh… baru hari kedua, tugas udah numpuk. Rasanya pengen balik tidur.”

Shafira duduk di sampingnya sambil nyengir. “Rel, lo jangan drama deh. Lagian kemarin kan kerjaan kita udah lumayan banyak beres.”

“Lumayan beres, tapi beres total kan belum,” sahut Aurelya ketus.

Shafira mengedikkan dagu ke arah pintu. “Tuh, yang satu udah dateng.”

Raksa masuk kelas dengan langkah tenang, tas hitam tersampir seperti biasa. Matanya langsung melirik sebentar ke arah Aurelya, tapi tanpa kata-kata ia duduk di bangku belakang, membuka buku catatannya, dan mulai menulis sesuatu.

Aurelya buru-buru menegakkan kepala. “Kenapa dia keliatan rajin banget, sih? Nggak capek apa serius mulu?”

Shafira terkekeh. “Rel, kalau lo liat dari sisi lain, itu keren tau. Cowok serius tuh jarang.”

“Serius apaan. Itu namanya kaku,” Aurelya mendengus, tapi matanya tak sengaja kembali melirik ke belakang. Raksa tetap fokus, bahkan tidak sadar diperhatikan.

Setelah kelas selesai, kelompok mereka sepakat untuk rapat sebentar di kantin. Satya membawa map tebal, Keira dengan laptopnya, sementara Shafira sudah siap dengan kamera ponsel.

“Jadi,” Satya membuka pembicaraan, “hari ini kita tinggal ngerangkum hasil observasi kemarin. Raksa, lo udah nyusun catatannya?”

Raksa mengangguk singkat. Ia mengeluarkan beberapa lembar kertas penuh coretan rapi. “Udah. Gue coba susun berdasarkan pola aktivitas. Tinggal ditambahin hasil wawancara dari Aurelya.”

Aurelya yang sedang mengaduk jus jeruknya mendongak. “Eh, iya. Gue udah catet jawaban mereka, tapi masih acak.”

“Gue bantuin rapihin, ya?” Keira menawarkan.

Raksa menoleh sebentar ke arah Aurelya. “Kalau bisa, lo kasih ke gue dulu. Gue mau cocokin sama data observasi.”

Nada suaranya tenang, tapi Aurelya merasa seperti ditantang. “Lo pikir gue nggak bisa nyocokin sendiri?!”

Raksa menatapnya sebentar. “Bukan gitu. Gue cuma pengen hasilnya konsisten. Biar lebih gampang pas Keira analisis.”

“Yaudah, nih.” Aurelya menyodorkan catatannya dengan nada setengah kesal. Tapi begitu Raksa mengambilnya, jari mereka sempat bersentuhan sebentar.

Aurelya refleks menarik tangannya cepat. Wajahnya panas, tapi buru-buru ia meneguk jus untuk menutupi rasa kikuk.

Shafira menahan senyum lebar, hampir ngakak melihat ekspresi sahabatnya.

Rapat kecil itu berlangsung lancar. Satya membagi tugas menulis, Keira mengerjakan analisis, Shafira bagian dokumentasi. Raksa fokus mengetik ulang catatan di laptop pinjamannya, sementara Aurelya pura-pura sibuk menggambar di buku tulis, padahal sesekali matanya melirik.

Ia tidak bisa bohong—cara Raksa bekerja benar-benar serius. Fokus, detail, tapi nggak pernah ribut. Diam-diam Aurelya merasa kagum, meski lidahnya enggan mengakuinya.

Sampai akhirnya, ketika kelompok bubar, Raksa menghampiri Aurelya yang masih duduk.

“Aurelya.”

Aurelya mendongak cepat. “Apa lagi?!”

Raksa menghela napas sebentar, lalu menaruh catatan di mejanya. “Tugas wawancara lo bagus. Jawabannya lumayan dalam. Nggak semua orang bisa dapet data kayak gini.”

Aurelya terdiam. Pujian itu datang begitu saja, tanpa basa-basi, tanpa senyum berlebihan—tapi justru terasa tulus.

“Eh… yaudah, makasih,” jawabnya terbata.

Raksa hanya mengangguk singkat, lalu pergi begitu saja.

Aurelya menatap punggungnya yang menjauh dengan wajah campur aduk. Dalam hatinya ia menggerutu, kenapa sih dia harus bikin gue bingung begini?

Dan Shafira, yang sudah berdiri di dekat pintu, langsung bersiul kecil. “Rel, fix banget. Antara lo yang makin kepancing atau dia yang tanpa sadar bikin lo kepancing. Salah satu pasti ada yang jatuh duluan.”

Aurelya menutup wajah dengan kedua tangannya. “Astaga, Fir. Gue nggak mau mikir sejauh itu!”

Tapi jauh di dalam hati, Aurelya tahu—hubungan antara dia dan Raksa baru saja masuk ke fase yang lebih rumit.

Awal kerja sama yang aneh, tapi entah kenapa… terasa menarik.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku   8 — Yang Pelan-Pelan Mulai Mengganggu

    Shafira akhirnya ngorok kecil, tanda udah beneran tidur. Aurelya membuka mata sekali lagi, menatap langit-langit kamar. Hatinya terasa pelan tapi pasti… jalan ke suatu arah. Arah yang dia sendiri belum siap tapi juga… nggak bisa nolak. Dada hangat. Pipi panas. Senyum kecil muncul lagi, mau ditahan sekuat apa pun tetap bocor. Dan sebelum akhirnya dia benar-benar terlelap, satu pikiran terakhir datang: “Mungkin besok… gue bakal lebih nunggu dari hari ini.” Pagi datang lebih cepat dari yang dia kira. Aurelya kebangun bukan karena alarm—tapi karena jantungnya yang berdetak kayak lagi latihan sprint. Dia bahkan sempat bengong beberapa detik sebelum sadar: dia bangun dengan perasaan… beda. Entah kenapa, matahari pagi yang nyelip dari celah gorden keliatan lebih ramah dari biasanya. Udara kamar, walaupun dingin, nggak terasa nyebelin. Bahkan suara Shafira yang masih tidur pulas pun terdengar lucu. Aneh. Semua yang biasanya biasa-biasa aja, sekarang kayak punya kualitas “lebih”.

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku   7 — Yang Mulai Terasa Tanpa Disadari

    Besok paginya, alarm HP Aurelya bunyi berkali-kali. Tapi seperti biasa, dia cuma mindahin tangan, pencet snooze, lalu balik meringkuk. Sampai akhirnya… “REL. BANGUN. KALO LO TELAT, GUE GAK MAU NEMENIN LO LARI KE KELAS.” Suara Shafira dari luar kamar ngegedor pintu asrama. Aurelya ngedumel, bangkit dengan mata separuh kebuka. Rambutnya awut-awutan, tapi yang paling kacau adalah hatinya—karena begitu buka mata, hal pertama yang keinget bukan jadwal kelas… tapi satu kalimat itu. “Selamat istirahat, Rel.” Aurelya buru-buru nutup wajah pakai bantal. “Ih, apaan sih… pagi-pagi udah keinget dia.” Shafira nyelonong masuk (kebiasaan jeleknya). “Lo mandi sekarang. Mukanya masih muka habis mimpi cowok.” Aurelya lempar bantal. “Gue nggak mimpi apa-apa!” “Rel… pipi lo merah.” “Karena gue kesel sama lo!” “Hmm… kesel atau keinget Raksa ngucapin selamat tidur?” “FIR.” Cukup satu nama, Shafira langsung tutup pintu sebelum kena lemparan kedua. Di kampus, udara masih seger. Mahasiswa baru p

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku   6 — Yang Datang Tanpa Diundang

    Pagi itu kampus lebih ramai dari biasanya. Di koridor lantai dua, suara mahasiswa lewat saling tumpang-tindih, mulai dari yang curhat soal kuis dadakan sampai yang panik karena lupa print tugas. Aurelya berjalan pelan sambil menguap, rambutnya dicepol seadanya. Tasnya cuma diselempang dengan satu tangan, tanda dia belum sepenuhnya “online”.“Rel! Astaga muka lo… lo begadang lagi ya?” Shafira langsung nyamber dari belakang.Aurelya mendelik lemes. “Gue tuh udah niat tidur cepat, Fir… sumpah. Tapi mata gue punya kemauan sendiri.”Shafira cekikikan. “Kemauan atau kepikiran seseorang?”Aurelya berhenti jalan, menatap temennya itu dengan pandangan jangan mulai pagi-pagi. “Gue lempar lo pake buku modul beneran nih.”Mereka berdua baru mau masuk kelas ketika dari ujung lorong, Raksa muncul sambil bawa map tebal. Dia jalan santai, tapi tetap dengan aura dingin khas dia yang bikin banyak cewek diem sejenak.Aurelya refleks nahan napas. Jangan liat. Jangan liat. Pret, malah ngeliat.Raksa lewat

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku   5 — Tatapan yang Nggak Bisa Dibohongin

    Malam itu, di kamar kos yang temaram, Aurelya masih gelisah. Laptopnya menyala, file tugas kelompok terbuka, tapi pikirannya bukan di situ. Ia malah sibuk memandangi flashdisk kecil yang tadi siang dititipkan Raksa. "Kenapa sih harus lo kasih ke gue dulu? Kan bisa aja langsung ke Keira," gumamnya pelan, memutar flashdisk di tangannya. Padahal jawabannya jelas. Raksa percaya sama data wawancaranya. Tapi hati Aurelya menolak menerima alasan sesederhana itu. Karena di balik semua keseriusan Raksa, ada cara dia melihat Aurelya—tatapan lurus, tenang, tapi bikin dada berdebar nggak karuan. Aurelya menggeleng cepat. "Astaga, Rel. Jangan halu. Jangan!" Ia menutup laptop, lalu menenggelamkan wajah di bantal. Keesokan paginya, kelas kembali penuh. Shafira langsung nimbrung di sebelah Aurelya dengan wajah penuh gosip. "Rel, lo semalem kepikiran kan? Jangan bohong, gue tau banget tuh muka lo kayak orang nggak bisa tidur," bisiknya sambil nyengir lebar. Aurelya mendesah panjang. "Fir, sumpah

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku    — Awal Kerja Sama yang Aneh

    Keesokan paginya, suasana kelas sudah kembali ramai. Mahasiswa baru saling sapa, ada yang sibuk membicarakan tugas kelompok kemarin, ada juga yang masih mencari posisi duduk nyaman. Aurelya datang dengan wajah masih setengah malas. Ia menaruh tas di bangku, lalu langsung merebahkan kepala di atas meja. “Hhh… baru hari kedua, tugas udah numpuk. Rasanya pengen balik tidur.” Shafira duduk di sampingnya sambil nyengir. “Rel, lo jangan drama deh. Lagian kemarin kan kerjaan kita udah lumayan banyak beres.” “Lumayan beres, tapi beres total kan belum,” sahut Aurelya ketus. Shafira mengedikkan dagu ke arah pintu. “Tuh, yang satu udah dateng.” Raksa masuk kelas dengan langkah tenang, tas hitam tersampir seperti biasa. Matanya langsung melirik sebentar ke arah Aurelya, tapi tanpa kata-kata ia duduk di bangku belakang, membuka buku catatannya, dan mulai menulis sesuatu. Aurelya buru-buru menegakkan kepala. “Kenapa dia keliatan rajin banget, sih? Nggak capek apa serius mulu?” Shafira

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku   4 — Awal Kerja Sama yang Aneh

    Keesokan paginya, suasana kelas sudah kembali ramai. Mahasiswa baru saling sapa, ada yang sibuk membicarakan tugas kelompok kemarin, ada juga yang masih mencari posisi duduk nyaman. Aurelya datang dengan wajah masih setengah malas. Ia menaruh tas di bangku, lalu langsung merebahkan kepala di atas meja. “Hhh… baru hari kedua, tugas udah numpuk. Rasanya pengen balik tidur.” Shafira duduk di sampingnya sambil nyengir. “Rel, lo jangan drama deh. Lagian kemarin kan kerjaan kita udah lumayan banyak beres.” “Lumayan beres, tapi beres total kan belum,” sahut Aurelya ketus. Shafira mengedikkan dagu ke arah pintu. “Tuh, yang satu udah dateng.” Raksa masuk kelas dengan langkah tenang, tas hitam tersampir seperti biasa. Matanya langsung melirik sebentar ke arah Aurelya, tapi tanpa kata-kata ia duduk di bangku belakang, membuka buku catatannya, dan mulai menulis sesuatu. Aurelya buru-buru menegakkan kepala. “Kenapa dia keliatan rajin banget, sih? Nggak capek apa serius mulu?” Shafira

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status