Share

3 — Antara Dingin dan Api

Penulis: Syuhda
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-29 23:01:25

Pagi berikutnya, suasana kampus jauh lebih ramai. Mahasiswa baru berseliweran dengan map kuning di tangan, beberapa sibuk mencari kelas, sebagian lain asyik ngobrol membentuk kelompok.

Aurelya melangkah dengan wajah cemberut sambil menenteng botol minum. Ia masih kesal kalau mengingat kejadian kemarin di aula.

“Nyebelin banget, sumpah. Baru ketemu udah bisa bikin emosi kayak gitu,” gumamnya pelan.

Shafira yang berjalan di sampingnya cuma nyengir. “Rel, jangan bilang lo kepikiran terus gara-gara Raksa?”

“Apaan sih, Fir! Nggak banget deh,” Aurelya menukas cepat, tapi pipinya memerah.

Shafira sengaja menahan tawa. “Ya udah, gue diem. Tapi kalo lo ketemu dia lagi, jangan meledak-ledak kayak kemarin, ya. Malu diliatin anak satu angkatan.”

Aurelya hanya mendengus dan melangkah lebih cepat.

Namun, seolah semesta sengaja bercanda, dari arah berlawanan muncul Raksa. Dengan tas hitam tersampir di bahu, wajah datarnya tetap sama—tenang, dingin, seolah dunia nggak punya urusan penting untuknya.

Tatapan Aurelya dan Raksa sempat bertabrakan. Sekejap, waktu seperti berhenti. Aurelya buru-buru memalingkan muka, tapi Raksa justru tetap menatapnya, matanya dalam, tenang, tanpa ekspresi berlebihan.

“Rel…” Shafira berbisik, menahan geli. “Kayaknya lo baru aja ketahuan masih kepikiran.”

Aurelya mendesis pelan. “Sssh!”

Raksa melewati mereka tanpa suara. Tapi, sebelum benar-benar jauh, ia berhenti. Menoleh sedikit.

“Aurelya.”

Aurelya terkejut mendengar namanya disebut. “Apa lagi?” nadanya refleks naik.

Raksa menatapnya dengan tatapan yang sulit ditebak. “Jadwal kelas lo... ada yang bentrok, kan? Kalau mau, nanti gue tunjukin cara baca sistemnya biar lebih gampang.”

Shafira menutup mulutnya menahan tawa, jelas menikmati momen itu. Aurelya, di sisi lain, merasa tersulut. “Lo pikir gue nggak bisa?!”

Raksa tidak berubah ekspresi sedikit pun. “Bukan gitu maksud gue. Gue cuma nawarin.”

“Ya, gue nggak butuh ditolong.” Aurelya menyambar cepat, lalu berbalik melangkah pergi dengan langkah besar.

Shafira menggeleng tak percaya sambil menepuk kening. “Rel, lo sadar nggak kalo tadi tuh cowok jarang banget nawarin bantuan ke siapa pun?”

Aurelya berhenti sejenak, tapi tetap tak menoleh. “Biarlah. Gue nggak peduli.”

Tapi di dalam hati kecilnya, Aurelya tahu—kalimat Raksa tadi menggema lebih lama dari yang ia harapkan.

Sementara itu, Raksa menatap punggung Aurelya yang menjauh. Untuk pertama kalinya, ia sendiri bingung kenapa mulutnya gatal menawarkan bantuan, padahal biasanya ia paling malas terlibat.

Ada sesuatu pada Aurelya. Sesuatu yang membuat sikap dinginnya tidak lagi cukup untuk menjaga jarak.

Dan di sinilah api dan es mulai bersinggungan—saling memicu, saling menguji, tanpa mereka sadari sedang menyiapkan panggung untuk cerita yang lebih dalam.

Aurelya masih kesal sendiri waktu masuk ke kelas. Ia duduk dengan wajah murung, sementara Shafira asik ngobrol sama teman-teman baru.

Namun, ketenangan kelas nggak berlangsung lama ketika dosen pengampu masuk sambil membawa tumpukan kertas.

“Selamat pagi. Karena kalian mahasiswa baru, saya ingin kalian langsung membiasakan diri dengan kerja kelompok. Minggu ini kita mulai dengan tugas observasi kecil. Saya sudah bentuk kelompoknya. Tidak ada tawar-menawar.”

Seketika kelas gaduh. Beberapa mahasiswa bersorak karena sekelompok dengan teman dekatnya, tapi sebagian lain langsung mengeluh.

Nama-nama pun dipanggil satu per satu. Aurelya menunduk, berdoa dalam hati supaya nggak sekelompok dengan orang yang paling bikin dia kesel.

Tapi semesta lagi-lagi punya selera humor yang buruk.

“Kelompok empat: Raksa Adityan, Aurelya Pramesthi, Shafira Arunika, Satya Narendra, dan Keira Maheswari.”

Aurelya spontan mendongak. “Apa-apaan sih ini…” gumamnya kesal.

Shafira justru sumringah. “Asik! Gue sekelompok sama lo, Rel. Eh… plus Raksa juga.” Ia sengaja menahan tawa.

Raksa hanya mengangkat alis tipis tanpa komentar. Ekspresinya tetap datar, seolah pengumuman itu nggak berarti apa-apa.

Setelah kelas selesai, mereka diminta untuk berkumpul sesuai kelompok.

Aurelya berdiri dengan tangan terlipat di dada, jelas-jelas malas. Satya, si cowok kalem berkacamata, langsung mengambil inisiatif.

“Oke, karena kita harus observasi di sekitar kampus, gimana kalau kita bagi peran biar cepat?” katanya tenang.

“Setuju,” jawab Raksa singkat.

Aurelya mendengus. “Yaudah, terserah. Gue ikut aja.”

Satya menatapnya sebentar, lalu menuliskan nama di catatannya. “Aurelya, kamu bisa handle bagian wawancara. Shafira dokumentasi, Keira analisis, Raksa dan aku observasi lapangan.”

Aurelya hampir protes, tapi Shafira langsung menepuk lengannya pelan. “Udah, Rel. Santai aja, kan bareng-bareng juga.”

Raksa hanya melirik sekilas ke arah Aurelya, lalu kembali fokus pada catatan. Tapi entah kenapa, Aurelya merasa lirikan itu bikin jantungnya berdebar lebih cepat—bukan karena suka, tapi karena sebel.

Atau mungkin… ada alasan lain yang belum mau ia akui.

Mereka pun sepakat bertemu sore nanti untuk mulai observasi.

Aurelya keluar kelas dengan langkah besar, diikuti Shafira yang masih sibuk menggoda. “Rel, serius deh, ini kesempatan emas. Lo bisa liat sisi lain Raksa.”

“Gue nggak butuh liat sisi lain dia. Yang gue liat sekarang aja udah cukup ngeselin,” sahut Aurelya cepat.

Tapi dalam hati kecilnya, ada rasa penasaran yang mulai tumbuh—apakah Raksa benar-benar cuma sekadar dingin, atau ada sesuatu yang lain di balik sikapnya itu?

Dan sore nanti, saat mereka dipaksa bekerja sama, jawaban itu mulai sedikit demi sedikit terkuak.

Sore itu, suasana kampus mulai sepi. Matahari condong ke barat, cahaya keemasan menimpa gedung-gedung dengan bayangan panjang. Di taman depan perpustakaan, kelompok empat sudah berkumpul.

Satya langsung buka map berisi lembar tugas. “Oke, kita harus observasi interaksi mahasiswa di ruang publik. Gue sama Raksa fokus catat pola aktivitas, Aurelya handle wawancara singkat ke beberapa mahasiswa, Shafira foto-foto, dan Keira nanti analisis data.”

“Fine,” jawab Aurelya malas. Ia bersandar di bangku, memainkan bolpoin di tangannya.

Sementara itu, Raksa sudah berdiri agak jauh, memperhatikan sekitar dengan wajah serius. Tangannya sibuk menulis catatan cepat di kertas, matanya fokus penuh.

Aurelya sempat melirik sekilas, berniat untuk mengabaikan. Tapi semakin lama ia perhatikan, semakin jelas terlihat kalau Raksa benar-benar serius. Caranya mengamati detail kecil, dari siapa yang duduk sendiri, siapa yang ngobrol berkelompok, sampai ritme interaksi mahasiswa di taman, semuanya dicatat rapi.

“Rel, ayo mulai wawancara,” Shafira menyenggol bahunya.

“Oh, iya.” Aurelya mendekati dua mahasiswi yang duduk sambil membaca buku. Ia bertanya beberapa hal, lalu kembali ke kelompok sambil mencatat jawaban mereka.

Ketika Aurelya hendak duduk, ia melihat Raksa jongkok di dekat air mancur kecil, mencatat pola anak-anak yang lewat. Angin sore meniup rambutnya, membuatnya terlihat berbeda. Dingin, iya. Tapi kali ini dingin yang fokus, bukan dingin yang nyebelin.

“Raksa,” panggil Satya.

“Hm?” Raksa menjawab tanpa menoleh, tangannya masih sibuk menulis.

“Detail banget lo nyatet.”

Raksa mengangguk tipis. “Kalau observasi setengah-setengah, nanti hasilnya juga nggak valid.”

Aurelya sempat tertegun. Ia nggak menyangka orang yang tadi pagi bikin darahnya mendidih bisa seserius itu kalau lagi belajar.

Shafira yang duduk di samping Aurelya menyikut pelan. “Tuh kan… lo liat sendiri.”

“Apaan sih…” Aurelya buru-buru menunduk, pura-pura menulis di kertasnya. Tapi matanya nggak berhenti melirik ke arah Raksa.

Raksa berdiri lagi, berjalan ke arah mereka sambil merapikan kertas catatannya. “Aurelya, kalau bisa tambahin pertanyaan tentang alasan mereka pilih duduk di tempat tertentu. Itu bisa nyambung ke analisis Keira.”

Aurelya sempat bengong. “Eh… iya.”

“Nggak usah terlalu panjang, cukup dua sampai tiga pertanyaan tambahan.” Raksa berbicara datar, tapi matanya menatap lurus, serius.

Untuk pertama kalinya, Aurelya merasa seperti bukan lagi berhadapan dengan cowok nyebelin, tapi partner yang bisa diandalkan.

Di dalam hati, Aurelya mendesah pelan. Oke, mungkin gue agak salah sangka. Dia nggak selalu nyebelin…

Tapi tentu saja, mulutnya tetap keras kepala. “Yaudah, gue usahain.”

Raksa hanya mengangguk singkat sebelum kembali fokus ke catatannya.

Dan Aurelya, tanpa bisa mencegah, mulai menatap punggung dingin itu dengan perasaan yang jauh lebih rumit dari sekadar benci.

Satu jam lebih berlalu. Catatan di tangan Satya sudah hampir penuh, Shafira puas dengan hasil dokumentasi fotonya, dan Keira sudah siap menuliskan analisis sederhana.

“Kayaknya cukup untuk hari ini,” ujar Satya sambil menutup mapnya. “Besok tinggal kita rangkum bareng-bareng.”

Mereka semua sepakat, tapi belum ada yang benar-benar beranjak. Angin sore masih sejuk, bangku taman terasa nyaman, jadi kelompok itu memilih untuk duduk sebentar melepas lelah.

Raksa duduk agak terpisah, membuka botol minum dan meneguk perlahan. Matanya masih menatap catatannya, seolah pikirannya belum berhenti bekerja.

Aurelya tanpa sadar memperhatikan. Dia serius banget, ya. Bahkan setelah selesai pun masih mikirin detail tugas… pikirnya.

Shafira, yang duduk tepat di samping Aurelya, langsung menyeringai nakal. Ia sengaja berbisik cukup keras untuk didengar.

“Hm, keknya ada yang mulai jatuh cinta, nih…”

Aurelya langsung menoleh cepat. “Hah?! Apaan sih lo, Fir!” serunya dengan nada tinggi.

Keira dan Satya menoleh penasaran, tapi Shafira buru-buru menutup mulut sambil tertawa kecil. “Ups, nggak, nggak. Nggak usah heboh gitu dong. Gue cuma bilang, dari tadi ada yang matanya nggak bisa lepas dari Raksa.”

Wajah Aurelya langsung panas. “Lo ngaco! Gue cuma… eh… cuma kaget aja liat dia ternyata bisa serius. Gue kira dia tuh nyebelin 24 jam, ternyata nggak.”

Shafira semakin ngakak. “Nah, itu namanya bibit, Rel. Bibit-bibit cinta.”

“Apaan sih!” Aurelya meraih botol minumnya dan pura-pura sibuk meneguk isinya, menutupi pipinya yang memerah.

Sementara itu, Raksa yang duduk agak jauh ternyata sempat menoleh sebentar. Ia tidak menunjukkan reaksi apa pun, tapi ada sedikit tarikan di sudut bibirnya—senyum samar yang hampir tidak terlihat.

Dan sore itu, tanpa ada yang benar-benar menyadari, benih kecil yang disebut Shafira memang mulai tumbuh.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku   8 — Yang Pelan-Pelan Mulai Mengganggu

    Shafira akhirnya ngorok kecil, tanda udah beneran tidur. Aurelya membuka mata sekali lagi, menatap langit-langit kamar. Hatinya terasa pelan tapi pasti… jalan ke suatu arah. Arah yang dia sendiri belum siap tapi juga… nggak bisa nolak. Dada hangat. Pipi panas. Senyum kecil muncul lagi, mau ditahan sekuat apa pun tetap bocor. Dan sebelum akhirnya dia benar-benar terlelap, satu pikiran terakhir datang: “Mungkin besok… gue bakal lebih nunggu dari hari ini.” Pagi datang lebih cepat dari yang dia kira. Aurelya kebangun bukan karena alarm—tapi karena jantungnya yang berdetak kayak lagi latihan sprint. Dia bahkan sempat bengong beberapa detik sebelum sadar: dia bangun dengan perasaan… beda. Entah kenapa, matahari pagi yang nyelip dari celah gorden keliatan lebih ramah dari biasanya. Udara kamar, walaupun dingin, nggak terasa nyebelin. Bahkan suara Shafira yang masih tidur pulas pun terdengar lucu. Aneh. Semua yang biasanya biasa-biasa aja, sekarang kayak punya kualitas “lebih”.

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku   7 — Yang Mulai Terasa Tanpa Disadari

    Besok paginya, alarm HP Aurelya bunyi berkali-kali. Tapi seperti biasa, dia cuma mindahin tangan, pencet snooze, lalu balik meringkuk. Sampai akhirnya… “REL. BANGUN. KALO LO TELAT, GUE GAK MAU NEMENIN LO LARI KE KELAS.” Suara Shafira dari luar kamar ngegedor pintu asrama. Aurelya ngedumel, bangkit dengan mata separuh kebuka. Rambutnya awut-awutan, tapi yang paling kacau adalah hatinya—karena begitu buka mata, hal pertama yang keinget bukan jadwal kelas… tapi satu kalimat itu. “Selamat istirahat, Rel.” Aurelya buru-buru nutup wajah pakai bantal. “Ih, apaan sih… pagi-pagi udah keinget dia.” Shafira nyelonong masuk (kebiasaan jeleknya). “Lo mandi sekarang. Mukanya masih muka habis mimpi cowok.” Aurelya lempar bantal. “Gue nggak mimpi apa-apa!” “Rel… pipi lo merah.” “Karena gue kesel sama lo!” “Hmm… kesel atau keinget Raksa ngucapin selamat tidur?” “FIR.” Cukup satu nama, Shafira langsung tutup pintu sebelum kena lemparan kedua. Di kampus, udara masih seger. Mahasiswa baru p

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku   6 — Yang Datang Tanpa Diundang

    Pagi itu kampus lebih ramai dari biasanya. Di koridor lantai dua, suara mahasiswa lewat saling tumpang-tindih, mulai dari yang curhat soal kuis dadakan sampai yang panik karena lupa print tugas. Aurelya berjalan pelan sambil menguap, rambutnya dicepol seadanya. Tasnya cuma diselempang dengan satu tangan, tanda dia belum sepenuhnya “online”.“Rel! Astaga muka lo… lo begadang lagi ya?” Shafira langsung nyamber dari belakang.Aurelya mendelik lemes. “Gue tuh udah niat tidur cepat, Fir… sumpah. Tapi mata gue punya kemauan sendiri.”Shafira cekikikan. “Kemauan atau kepikiran seseorang?”Aurelya berhenti jalan, menatap temennya itu dengan pandangan jangan mulai pagi-pagi. “Gue lempar lo pake buku modul beneran nih.”Mereka berdua baru mau masuk kelas ketika dari ujung lorong, Raksa muncul sambil bawa map tebal. Dia jalan santai, tapi tetap dengan aura dingin khas dia yang bikin banyak cewek diem sejenak.Aurelya refleks nahan napas. Jangan liat. Jangan liat. Pret, malah ngeliat.Raksa lewat

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku   5 — Tatapan yang Nggak Bisa Dibohongin

    Malam itu, di kamar kos yang temaram, Aurelya masih gelisah. Laptopnya menyala, file tugas kelompok terbuka, tapi pikirannya bukan di situ. Ia malah sibuk memandangi flashdisk kecil yang tadi siang dititipkan Raksa. "Kenapa sih harus lo kasih ke gue dulu? Kan bisa aja langsung ke Keira," gumamnya pelan, memutar flashdisk di tangannya. Padahal jawabannya jelas. Raksa percaya sama data wawancaranya. Tapi hati Aurelya menolak menerima alasan sesederhana itu. Karena di balik semua keseriusan Raksa, ada cara dia melihat Aurelya—tatapan lurus, tenang, tapi bikin dada berdebar nggak karuan. Aurelya menggeleng cepat. "Astaga, Rel. Jangan halu. Jangan!" Ia menutup laptop, lalu menenggelamkan wajah di bantal. Keesokan paginya, kelas kembali penuh. Shafira langsung nimbrung di sebelah Aurelya dengan wajah penuh gosip. "Rel, lo semalem kepikiran kan? Jangan bohong, gue tau banget tuh muka lo kayak orang nggak bisa tidur," bisiknya sambil nyengir lebar. Aurelya mendesah panjang. "Fir, sumpah

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku    — Awal Kerja Sama yang Aneh

    Keesokan paginya, suasana kelas sudah kembali ramai. Mahasiswa baru saling sapa, ada yang sibuk membicarakan tugas kelompok kemarin, ada juga yang masih mencari posisi duduk nyaman. Aurelya datang dengan wajah masih setengah malas. Ia menaruh tas di bangku, lalu langsung merebahkan kepala di atas meja. “Hhh… baru hari kedua, tugas udah numpuk. Rasanya pengen balik tidur.” Shafira duduk di sampingnya sambil nyengir. “Rel, lo jangan drama deh. Lagian kemarin kan kerjaan kita udah lumayan banyak beres.” “Lumayan beres, tapi beres total kan belum,” sahut Aurelya ketus. Shafira mengedikkan dagu ke arah pintu. “Tuh, yang satu udah dateng.” Raksa masuk kelas dengan langkah tenang, tas hitam tersampir seperti biasa. Matanya langsung melirik sebentar ke arah Aurelya, tapi tanpa kata-kata ia duduk di bangku belakang, membuka buku catatannya, dan mulai menulis sesuatu. Aurelya buru-buru menegakkan kepala. “Kenapa dia keliatan rajin banget, sih? Nggak capek apa serius mulu?” Shafira

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku   4 — Awal Kerja Sama yang Aneh

    Keesokan paginya, suasana kelas sudah kembali ramai. Mahasiswa baru saling sapa, ada yang sibuk membicarakan tugas kelompok kemarin, ada juga yang masih mencari posisi duduk nyaman. Aurelya datang dengan wajah masih setengah malas. Ia menaruh tas di bangku, lalu langsung merebahkan kepala di atas meja. “Hhh… baru hari kedua, tugas udah numpuk. Rasanya pengen balik tidur.” Shafira duduk di sampingnya sambil nyengir. “Rel, lo jangan drama deh. Lagian kemarin kan kerjaan kita udah lumayan banyak beres.” “Lumayan beres, tapi beres total kan belum,” sahut Aurelya ketus. Shafira mengedikkan dagu ke arah pintu. “Tuh, yang satu udah dateng.” Raksa masuk kelas dengan langkah tenang, tas hitam tersampir seperti biasa. Matanya langsung melirik sebentar ke arah Aurelya, tapi tanpa kata-kata ia duduk di bangku belakang, membuka buku catatannya, dan mulai menulis sesuatu. Aurelya buru-buru menegakkan kepala. “Kenapa dia keliatan rajin banget, sih? Nggak capek apa serius mulu?” Shafira

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status